Cerpen Mengharukan: Ketika Anak Merantau, Lalu Menyadari Rumah Adalah Segalanya

Posted on

Sering kali, kita sibuk ngejar mimpi di luar sana sampai lupa kalau ada dua orang yang selalu nunggu kita pulang tanpa banyak bicara—orang tua.

Ini bukan cerita tentang sukses di kota besar atau drama keluarga yang ribet. Ini tentang anak yang akhirnya sadar kalau rumah bukan cuma soal tempat tinggal, tapi juga tentang hati yang nggak pernah ninggalin.

Cerpen Mengharukan

Sepasang Tangan yang Tak Pernah Lelah

Matahari pagi baru saja naik ketika suara ayam jantan membangunkan seisi desa. Di salah satu rumah sederhana yang dikelilingi hamparan sawah, seorang pria paruh baya sudah berdiri di depan pintu, meregangkan tubuhnya yang kaku setelah semalaman tidur di dipan bambu. Pak Arya, lelaki itu, menghirup udara pagi dalam-dalam sebelum melirik ke dalam rumah.

“Dirga, ayo bangun! Udah hampir kesiangan,” serunya.

Tak lama kemudian, dari dalam kamar, terdengar suara gerutuan lirih. Seorang pemuda dengan rambut acak-acakan muncul dari balik pintu kayu, matanya masih menyipit karena kantuk.

“Iya, iya, Yah. Sebentar,” gumamnya sambil menguap.

Pak Arya hanya tersenyum kecil. Ia tahu anaknya butuh waktu untuk benar-benar bangun. Namun, sebelum sempat kembali ke halaman, Bu Lestari muncul dari dapur dengan membawa segelas air putih dan menyodorkannya ke tangan Dirga.

“Minum dulu, biar nggak lemas. Terus cuci muka, baru bantuin ayah di sawah,” katanya lembut.

Dirga mengambil gelas itu dengan malas-malasan, tapi tetap meneguknya. Ia tahu, meskipun ibunya tidak pernah berbicara dengan nada tinggi, perintahnya lebih sulit ditolak dibanding ayahnya.

Beberapa menit kemudian, setelah benar-benar sadar dari kantuknya, Dirga berjalan ke sawah bersama Pak Arya. Langit cerah, udara segar, dan suara gemericik air irigasi terdengar di kejauhan. Di sepanjang jalan setapak yang membelah sawah, mereka berjalan berdampingan, sesekali berbincang ringan tentang cuaca atau hasil panen tahun lalu.

“Kamu udah kepikiran mau lanjutin sekolah ke mana, Dir?” tanya Pak Arya tiba-tiba.

Dirga terdiam sejenak. Ia tahu pertanyaan itu cepat atau lambat pasti akan muncul. Ia memang ingin melanjutkan kuliah, tapi di sisi lain, ia tidak ingin meninggalkan kedua orang tuanya sendirian di desa.

“Masih belum kepikiran, Yah,” jawabnya pelan. “Aku juga masih bingung, kalau aku pergi, siapa yang bakal bantuin Ayah di sawah?”

Pak Arya tertawa kecil, menepuk bahu putranya. “Jangan mikirin sawah ini. Sawah nggak akan ke mana-mana, tapi masa depan kamu yang harus dikejar.”

Dirga tidak langsung menjawab. Pikirannya bercampur aduk.

Mereka tiba di sawah, dan tanpa banyak bicara, mulai bekerja. Pak Arya turun ke petakan sawah yang tergenang air, sementara Dirga membantu mengangkat karung pupuk dari gubuk kecil di pinggir lahan. Butiran keringat mulai mengalir di pelipisnya, namun ia tidak mengeluh. Sejak kecil, Dirga sudah terbiasa dengan pekerjaan ini.

Saat matahari mulai naik, mereka berhenti sejenak. Pak Arya duduk di pematang, menyeka keringat dengan lengan bajunya.

“Kamu tahu nggak, Nak, waktu seumuran kamu, Ayah juga harus mikirin masa depan,” katanya tiba-tiba. “Dulu Ayah juga pengen sekolah lebih tinggi, tapi keadaan nggak memungkinkan. Jadi, Ayah kerja keras biar kamu nggak perlu ngalamin hal yang sama.”

Dirga menunduk. Ia selalu tahu bahwa ayahnya adalah orang yang pekerja keras, tapi ia tidak pernah benar-benar menyadari seberapa besar pengorbanan yang telah dilakukan demi dirinya.

Hari itu berlalu dengan cepat. Setelah menyelesaikan pekerjaan di sawah, mereka pulang saat langit mulai berubah jingga. Di rumah, Bu Lestari sudah menyiapkan makan malam. Dirga duduk bersila di lantai, di depan meja kayu sederhana, bersama kedua orang tuanya.

“Besok pagi aku mau ke kota, Bu,” kata Dirga tiba-tiba, sambil memainkan sendoknya.

Bu Lestari menatap putranya dengan kening berkerut. “Ke kota? Buat apa?”

Dirga menarik napas dalam. “Mau lihat-lihat, cari tahu soal universitas yang mungkin bisa aku masukin.”

Sejenak, keheningan memenuhi ruangan. Pak Arya dan Bu Lestari saling bertukar pandang, sebelum akhirnya sebuah senyum tipis muncul di wajah mereka.

“Kamu nggak perlu ragu, Nak,” kata Pak Arya. “Kalau itu yang terbaik buat kamu, kami pasti dukung.”

“Tapi kalau nanti aku harus tinggal di kota, Ayah sama Ibu nggak keberatan?” tanya Dirga, sedikit ragu.

Bu Lestari menghela napas, menatap putranya dengan penuh kasih sayang. “Dir, rumah ini bakal selalu jadi tempat kamu pulang. Yang penting, kamu nggak lupa sama kami.”

Dirga menggigit bibirnya, menahan rasa haru yang mendadak memenuhi dadanya.

Di luar, angin malam berhembus lembut. Rumah kecil itu tetap sederhana, namun di dalamnya, cinta dan kehangatan mengalir tanpa henti—seperti sepasang tangan yang tak pernah lelah merawat dan menjaga.

 

Langkah yang Menjauh

Hari keberangkatan itu akhirnya tiba. Matahari baru saja muncul di ufuk timur saat Dirga berdiri di depan rumahnya, menatap sekeliling. Di halaman kecil itu, tempat ia biasa bermain saat kecil, Bu Lestari tengah sibuk membenarkan letak kancing kemeja putranya, memastikan semuanya rapi.

“Kamu udah bawa semuanya, kan?” tanya Bu Lestari sambil melirik tas ransel yang tersampir di pundak Dirga.

“Iya, Bu. Udah dicek berkali-kali,” jawab Dirga, mencoba tersenyum.

Pak Arya, yang berdiri sedikit jauh, hanya memperhatikan. Ada guratan halus di wajahnya, tapi senyum tetap tersungging di bibirnya. Ia tahu, cepat atau lambat, anaknya memang harus pergi.

Mobil travel yang akan membawa Dirga ke kota akhirnya datang, berhenti di depan rumah. Supirnya turun, membuka bagasi belakang, memberi isyarat kalau mereka harus segera berangkat.

Dirga menoleh ke kedua orang tuanya, hatinya terasa berat.

“Kamu jaga diri di sana, ya,” kata Pak Arya, menepuk pundaknya pelan. “Kalau ada apa-apa, jangan ragu kasih kabar.”

Dirga mengangguk, lalu berbalik ke arah ibunya. Bu Lestari tidak mengatakan apa-apa, hanya menariknya ke dalam pelukan erat—lebih lama dari biasanya.

“Jangan lupa makan yang teratur,” bisiknya pelan. “Jangan terlalu sering begadang.”

“Iya, Bu,” sahut Dirga, suaranya hampir tercekat.

Ia akhirnya naik ke mobil. Saat roda mulai berputar, ia melongok ke luar jendela, melihat kedua orang tuanya masih berdiri di tempat yang sama, melambaikan tangan. Perlahan, rumah itu semakin jauh dari pandangan, tergantikan oleh jalanan panjang yang menuju kota.

Kota itu ramai. Jauh berbeda dari desa tempatnya tumbuh. Gedung-gedung tinggi menjulang, kendaraan berseliweran tanpa henti, dan orang-orang berjalan dengan tergesa-gesa seolah dikejar waktu. Dirga turun dari mobil, menyeret koper kecilnya menuju kos yang sudah ia pesan sebelumnya.

Kamar itu sempit, hanya ada satu tempat tidur, meja belajar, dan lemari kecil di pojok ruangan. Tidak ada hamparan sawah yang bisa dilihat dari jendela, hanya gedung-gedung lain yang berdiri kokoh di kejauhan.

Dirga menarik napas panjang.

“Hari pertama,” gumamnya. “Ayo, bisa.”

Hari-hari berlalu dengan cepat. Dirga mulai sibuk dengan aktivitas barunya—mengurus pendaftaran kuliah, mencari jalan menuju kampus, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang asing. Semua terasa baru, tapi di satu sisi, ia juga merasa sendirian.

Sore itu, saat ia sedang duduk di kamar, ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuatnya tersenyum tipis.

Bu Lestari menelepon.

“Dirga, lagi apa?” suara ibunya terdengar di seberang.

“Lagi di kamar, Bu,” jawab Dirga. “Baru pulang dari kampus.”

“Hari ini makan apa?”

Dirga tertawa kecil. “Nasi padang, Bu. Enak, tapi harganya lumayan mahal.”

Bu Lestari ikut tertawa. “Yaudah, makan yang banyak. Nanti kalau kurang uang, jangan sungkan bilang.”

Mereka mengobrol beberapa menit sebelum akhirnya menutup telepon. Setelah panggilan itu berakhir, Dirga termenung. Sejak ia pergi, Bu Lestari selalu menelepon setiap malam, memastikan semuanya baik-baik saja.

Ia melirik kalender di dinding. Sudah hampir dua bulan ia berada di kota. Rasanya baru kemarin ia meninggalkan rumah, tapi sekarang ia sudah mulai terbiasa dengan kehidupan di sini.

Namun, di tengah kesibukannya, Dirga sering mendengar suara hatinya sendiri bertanya: Kapan bisa pulang lagi?

Sampai suatu hari, panggilan telepon itu datang.

Malam itu, Dirga baru saja selesai mengerjakan tugas ketika ponselnya kembali bergetar. Kali ini, bukan ibunya yang menelepon, melainkan nomor tidak dikenal dari desa.

Dengan hati berdebar, ia mengangkat panggilan itu.

“Dirga… ini Pak Surya, tetangga rumah,” suara di seberang terdengar lirih. “Bapakmu jatuh sakit, Nak. Sudah beberapa hari ini badannya lemas, nggak mau makan. Ibumu juga khawatir, tapi nggak mau bikin kamu kepikiran.”

Dada Dirga terasa sesak. Ia terdiam, tidak tahu harus merespons bagaimana.

“Nak, kalau bisa… pulanglah sebentar,” suara Pak Surya terdengar penuh harap.

Dirga mengangguk meski tahu orang di seberang tidak bisa melihatnya.

“Iya, Pak. Saya segera pulang.”

Tanpa pikir panjang, ia segera meraih tasnya, memasukkan beberapa pakaian seadanya, dan memesan tiket bus malam itu juga.

Dalam perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Ia tidak tahu seberapa parah kondisi ayahnya, tapi satu hal yang pasti—ia harus ada di sana.

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak pergi, langkahnya kembali menuju rumah.

 

Saat Rumah Memanggil

Dirga turun dari bus dengan langkah tergesa. Udara desa yang dingin dan lembap langsung menyapa kulitnya. Masih subuh, jalanan sepi, hanya ada beberapa warung yang mulai membuka pintunya. Tanpa menunggu lama, ia segera menyetop ojek dan meminta diantar pulang.

Sepanjang perjalanan, hatinya tidak tenang. Wajah Pak Arya terbayang dalam pikirannya—lelaki yang selalu tampak kuat dan teguh, kini jatuh sakit. Ia merutuki dirinya sendiri. Seharusnya ia lebih peka, lebih sering menanyakan keadaan di rumah, bukannya sibuk dengan dunianya sendiri di kota.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, akhirnya rumah itu terlihat di kejauhan. Dirga nyaris melompat dari motor sebelum kendaraan benar-benar berhenti. Ia berlari menuju pintu depan dan mengetuk dengan panik.

Tak butuh waktu lama, pintu terbuka, dan Bu Lestari muncul. Wajahnya terlihat lelah, kantung matanya menghitam, tapi saat melihat Dirga berdiri di depannya, mata itu langsung berkaca-kaca.

“Kamu pulang…” suara Bu Lestari bergetar.

Tanpa pikir panjang, Dirga langsung memeluk ibunya erat. Ada kehangatan yang selama ini ia rindukan, sesuatu yang tak pernah ia temukan di kota.

“Mana Bapak?” tanyanya pelan.

Bu Lestari mengusap matanya dan memberi isyarat agar Dirga mengikutinya ke dalam.

Di dalam kamar yang remang, Pak Arya terbaring di tempat tidur dengan mata setengah terbuka. Wajahnya pucat, tubuhnya lebih kurus dari yang Dirga ingat.

Dirga melangkah mendekat dan duduk di tepi kasur.

“Bapak…”

Pak Arya membuka matanya lebih lebar, menoleh perlahan ke arah putranya. Senyum kecil tersungging di wajahnya.

“Kamu pulang,” suaranya lemah, tapi ada kebahagiaan di sana.

“Iya, Pak,” Dirga menggenggam tangan ayahnya erat. “Kenapa nggak kasih tahu kalau sakit? Aku bisa pulang lebih cepat.”

Pak Arya terkekeh pelan, seolah penyakit yang menggerogotinya bukan hal besar. “Bapak baik-baik aja. Cuma butuh istirahat.”

Dirga menggeleng. “Nggak ada alasan buat nyembunyiin ini dari aku.”

Pak Arya terdiam, lalu menatap putranya dengan lembut. “Karena Bapak mau kamu tetap fokus di sana. Kami nggak mau jadi beban.”

Kalimat itu membuat dada Dirga semakin sesak. “Aku ini anak Bapak… mana mungkin kalian jadi beban buat aku?”

Pak Arya tersenyum samar, lalu dengan susah payah mengangkat tangannya untuk mengusap kepala Dirga. “Kamu udah dewasa sekarang, ya?”

Mata Dirga panas. Ia berusaha menahan air matanya, tapi tidak bisa.

Bu Lestari, yang berdiri di ambang pintu, ikut menahan tangis. Selama ini, ia juga menyembunyikan kegelisahannya sendiri agar Dirga tidak khawatir. Tapi kini, melihat anaknya kembali, ada beban yang sedikit terangkat dari hatinya.

Hari-hari berlalu, dan Dirga tetap tinggal di rumah. Ia membantu ibunya mengurus Pak Arya, memastikan ayahnya mendapat perawatan yang cukup.

Sore itu, Dirga duduk di teras bersama Pak Arya, menemaninya menikmati angin desa.

“Kamu kapan balik ke kota?” tanya Pak Arya tiba-tiba.

Dirga terdiam.

“Bapak udah mulai membaik,” lanjutnya. “Nggak perlu khawatir. Kamu punya masa depan yang harus kamu kejar.”

Dirga menatap ayahnya lama. Ada kebanggaan di mata lelaki itu—bukan karena ingin mengusirnya, tapi karena ingin melihat anaknya tetap maju.

“Aku nggak bakal ninggalin rumah ini selamanya, Pak,” kata Dirga akhirnya. “Tapi aku juga nggak bakal berhenti berusaha biar bisa bikin kalian bangga.”

Pak Arya tersenyum puas. “Itu yang Bapak harapkan.”

Di dalam rumah, Bu Lestari mendengar percakapan mereka. Senyumnya perlahan merekah, penuh rasa syukur.

Malam itu, Dirga menelepon kampusnya dan meminta izin untuk kembali minggu depan. Ia tahu, ia harus pergi lagi—bukan karena ingin meninggalkan rumah, tapi karena ingin menjadi lebih baik untuk orang tuanya.

 

Kembali dan Tidak Pergi Lagi

Satu minggu berlalu, dan rumah terasa lebih hangat dari sebelumnya. Pak Arya mulai bisa duduk lebih lama, meski tubuhnya masih lemah. Bu Lestari terlihat lebih tenang, dan Dirga merasa hatinya jauh lebih ringan dibanding saat pertama kali ia pulang.

Namun, hari kepulangan ke kota semakin dekat. Dirga tahu ia harus kembali, tapi entah kenapa, ada sesuatu di hatinya yang membuatnya ragu.

Malam sebelum keberangkatannya, Dirga duduk di teras, menatap bintang-bintang yang bersinar redup di langit desa. Pak Arya datang dengan langkah perlahan, lalu duduk di kursi di sampingnya.

“Jadi, besok pagi berangkat?” suara Pak Arya terdengar tenang, tapi ada nada yang sulit diartikan.

Dirga mengangguk. “Iya, Pak.”

Pak Arya menarik napas dalam. “Bagus. Jangan lupa jaga diri di sana.”

Ada jeda. Dirga menatap ayahnya, mencari sesuatu di balik ekspresi tenangnya.

“Bapak…” suara Dirga lirih. “Kalau aku di sini aja, gimana?”

Pak Arya menoleh, alisnya sedikit berkerut. “Maksudnya?”

Dirga menggenggam tangannya sendiri, seolah berusaha mencari keberanian untuk mengucapkan kata-kata itu. “Aku kepikiran buat cari kerja di sekitar sini. Bantuin Ibu, bantuin Bapak… nggak harus ke kota.”

Pak Arya terdiam cukup lama. Lalu ia tertawa pelan, tapi bukan tawa penuh kebahagiaan. Lebih seperti tawa seseorang yang memahami sesuatu lebih dari yang lain.

“Kamu pikir Bapak dan Ibu nggak bisa hidup tanpa kamu?” tanyanya, nada suaranya lembut.

“Bukan begitu, Pak…”

“Kamu nggak perlu ada di sini buat bantu kami. Kami nggak pernah minta itu,” potong Pak Arya. “Kami cuma mau lihat kamu maju, lebih jauh dari yang Bapak bisa capai dulu.”

Dirga menunduk.

“Kalau kamu tinggal di sini karena takut kami nggak bisa bertahan tanpamu, itu bukan alasan yang benar. Tapi kalau kamu mau tinggal di sini karena memang hatimu ada di sini, itu lain cerita.”

Dirga terdiam. Apa sebenarnya yang ia inginkan?

Ia memejamkan mata, mengingat semua yang telah terjadi. Ayahnya sakit, ibunya berjuang sendirian, dan ia merasa bersalah karena tidak selalu ada untuk mereka. Tapi apakah itu berarti ia harus mengorbankan semua yang sudah ia bangun di kota?

Keesokan paginya, Dirga bangun lebih awal. Ia berjalan ke dapur dan melihat ibunya tengah menyiapkan sarapan.

“Ibu,” panggilnya.

Bu Lestari menoleh. “Kamu mau makan dulu sebelum berangkat?”

Dirga menatap wajah ibunya. Lalu, dengan napas panjang, ia berkata, “Aku nggak jadi berangkat, Bu.”

Bu Lestari membeku sejenak, lalu mengerutkan kening. “Dirga… jangan buat keputusan yang kamu bakal sesali.”

“Aku nggak nyesel, Bu,” jawabnya mantap. “Aku mau tetap di sini, tapi bukan karena aku takut kalian nggak bisa hidup tanpaku. Aku mau tetap di sini karena ini rumahku.”

Bu Lestari terdiam lama. Lalu, senyum perlahan muncul di wajahnya, meskipun matanya mulai berkaca-kaca.

“Kamu yakin?”

Dirga mengangguk.

Di belakangnya, Pak Arya sudah berdiri, mendengar percakapan mereka. Ia tidak mengatakan apa pun, hanya menatap putranya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Lalu, akhirnya, ia mengangguk pelan.

“Kalau itu yang kamu pilih, Bapak percaya.”

Dirga mengangguk lagi.

Hari itu, ia tidak pergi ke terminal. Tidak naik bus menuju kota. Tidak kembali ke kehidupannya yang dulu.

Hari itu, Dirga pulang—dan kali ini, ia tidak akan pergi lagi.

 

Kadang kita mikir kalau orang tua butuh kita buat jagain mereka. Padahal, yang sebenernya butuh mereka itu kita. Karena sekeras apa pun dunia di luar sana, rumah bakal selalu jadi tempat yang paling nerima kita apa adanya. Dan pulang? Nggak selalu berarti kembali ke rumah, tapi kembali ke hati yang udah lama lupa buat berterima kasih.

Leave a Reply