Daftar Isi
Pernah nggak sih, ngerasa sayang banget sama seseorang tapi dia kayak nggak pernah sadar? Atau lebih parahnya lagi, dia malah dingin dan ngejauhin kamu?
Cerita ini tentang Arka, adik yang selalu ngeidolain kakaknya, tapi cuma dapet dinginnya sikap Bara. Sakit? Banget. Apalagi waktu akhirnya dia tahu alasan kenapa kakaknya selama ini kayak gitu. Siap-siap, karena cerita ini bakal ngaduk-ngaduk perasaan kamu.
Kakak, Sayangi Aku Sebelum Terlambat
Bayangan di Mata Kakakku
Langit sore berwarna jingga, semburatnya membelah cakrawala yang perlahan meredup. Angin berembus pelan, menyentuh dedaunan yang mulai menguning di halaman rumah sederhana itu. Bau tanah yang masih lembap karena hujan siang tadi masih bisa tercium samar.
Di ambang pintu, seorang anak laki-laki kecil duduk bersila, lututnya didekap erat ke dada. Matanya yang bulat memantulkan cahaya senja, menatap seorang pemuda di kejauhan yang berjalan pulang dengan langkah santai tapi penuh beban.
“Kak Bara!” suara nyaring itu memecah keheningan sore.
Bara menoleh sebentar. Tatapannya kosong, nyaris tak menunjukkan ekspresi. Dia terus berjalan tanpa mempercepat langkah, seolah keberadaan bocah itu bukan sesuatu yang perlu dia hiraukan.
Arka berdiri dari tempat duduknya, berlari kecil mendekati kakaknya dengan sesuatu yang dia genggam erat.
“Aku simpan ini buat kamu!” katanya sambil mengangkat roti yang sudah agak dingin. “Aku sengaja nggak makan tadi, biar kamu bisa—”
Belum selesai kalimatnya, Bara menepis tangan Arka. Roti itu jatuh ke tanah, bercampur debu dan sisa air hujan.
“Aku nggak butuh itu,” suara Bara datar.
Arka terdiam. Pandangannya jatuh ke roti yang sudah kotor. Tangannya mengepal kecil, tapi bukan karena marah. Lebih ke arah menahan sesuatu yang mulai terasa menyumbat di dadanya.
“Tapi… kamu belum makan, kan?”
Bara mendengus, menyibakkan rambutnya yang sedikit basah karena keringat. “Aku bilang nggak butuh. Kamu nggak perlu repot-repot buat aku.”
Arka menunduk, tapi tetap tersenyum kecil.
“Aku cuma… pengen berbagi sama kamu.”
Bara diam sebentar, sebelum akhirnya mendesah panjang. “Jangan sok peduli.”
Setelah itu, pemuda itu melangkah pergi, meninggalkan Arka yang masih berdiri di tempat yang sama, dengan roti kotor di kakinya.
Di dalam rumah, suara percakapan terdengar dari ruang makan. Ayah dan ibu sedang berbincang sambil sesekali melirik Arka yang duduk di meja makan.
“Arka, kamu udah makan?” suara ibu terdengar lembut, penuh perhatian.
Arka mengangguk kecil. “Udah, Bu.”
“Tadi siang kamu makan apa?”
Arka berpikir sebentar, lalu tersenyum. “Aku makan roti.”
Bara yang baru saja masuk ke dapur mendengarnya. Matanya sekilas melirik ke arah Arka, tapi dia tak mengatakan apa pun.
“Bukan cuma roti, kan?” tanya ayah.
Arka menggeleng cepat. “Enggak, aku makan nasi juga kok!”
Ibu tersenyum lega. “Bagus, anak pintar.”
Bara berbalik, membuka lemari makanan dan mengeluarkan gelas. Dia menuang air ke dalamnya dengan gerakan malas, tapi di kepalanya, kata-kata Arka tadi terus terngiang.
Roti.
Jadi itu satu-satunya yang dimakan bocah itu tadi?
Bara mengerjap sebentar, lalu buru-buru mengabaikan pikiran itu. Bukan urusanku.
“Ayah lihat nilai ulangannya Arka tadi. Bagus banget!” ujar ayah tiba-tiba, suaranya terdengar bangga.
Arka tersenyum malu-malu. “Nggak terlalu bagus kok, Yah.”
“Apa nggak bagus? Lihat ini!” Ayah mengambil lembar ulangan dari atas meja. “Sembilan puluh delapan. Kamu luar biasa!”
Ibu mengusap kepala Arka dengan sayang. “Ibu bangga banget sama kamu. Pasti nanti kamu jadi anak sukses.”
Arka tersipu. “Aku kan mau jadi kayak Kak Bara,” katanya polos.
Bara yang tengah minum langsung berhenti. Gelasnya ditaruh di meja, sedikit lebih keras dari yang seharusnya.
“Lucu juga,” gumamnya sinis. “Mau jadi kayak aku? Kamu yakin?”
Arka mengangguk mantap. “Iya! Kak Bara keren, aku pengen bisa kayak Kakak.”
Bara menatapnya lama, sebelum akhirnya mendengus dan bangkit dari tempat duduknya. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berjalan ke kamarnya, menutup pintu dengan cukup keras.
Arka menunduk, menatap piring kosongnya. Senyum kecilnya sedikit meredup, tapi tetap ada di sana.
Malamnya, hujan turun deras. Petir menyambar langit dengan suara menggelegar, membuat suasana malam semakin mencekam.
Di dalam kamar, Bara sedang berbaring, memainkan ponselnya tanpa banyak pikiran.
Lalu terdengar suara pelan dari balik pintu.
Tok. Tok. Tok.
Bara menghela napas, lalu malas-malasan bangkit untuk membukanya. Begitu pintu terbuka, sosok kecil dengan piyama tipis berdiri di sana, tangannya menggenggam ujung bajunya sendiri.
“Kak Bara…” suara Arka terdengar ragu.
Bara bersandar di kusen pintu, menatapnya tanpa ekspresi. “Apa lagi?”
“Aku… takut petir,” katanya lirih. “Boleh aku tidur sama kamu?”
Bara menatapnya lama.
Di luar, petir kembali menyambar. Arka tanpa sadar bergerak sedikit lebih dekat ke Bara, meski tetap menjaga jarak.
Bara mendengus. “Jangan manja.”
“Aku nggak manja!” Arka buru-buru membantah. “Aku cuma… pengen bareng Kakak.”
Bara mengangkat satu alis. “Kenapa harus aku? Tidur aja sama ibu atau ayah.”
Arka menunduk, menggigit bibirnya pelan. Dia tidak menjawab, hanya menunggu.
Tapi Bara tidak memberi izin.
“Balik ke kamar kamu,” katanya dingin. “Jangan ganggu aku.”
Arka diam sebentar, lalu mengangguk pelan. “Iya…”
Tanpa banyak suara, bocah itu berbalik, berjalan perlahan ke kamarnya.
Bara menutup pintu dengan sedikit kasar, kembali ke ranjangnya, dan membenamkan wajahnya ke bantal.
Entah kenapa, kali ini dadanya terasa sedikit lebih sesak.
Hujan dan Jarak di Antara Kita
Hujan masih turun deras sejak tadi malam. Langit gelap, mendung menggantung rendah di atas atap-atap rumah, seakan enggan memberikan secercah cahaya pagi. Jalanan dipenuhi genangan, air mengalir pelan di sepanjang parit, membawa dedaunan kering yang hanyut entah ke mana.
Di dalam rumah, suara piring dan sendok beradu memenuhi ruang makan. Aroma sup hangat bercampur bau teh melati mengisi udara, menghadirkan kehangatan di pagi yang dingin.
Tapi di antara kehangatan itu, ada satu sudut yang terasa dingin—sebuah kursi di meja makan yang sepi, kosong tanpa pemiliknya.
“Arka belum turun juga?” tanya ibu, suaranya terdengar sedikit khawatir.
Bara, yang sedang menyeruput teh hangatnya, tidak menoleh. Ia hanya mengangkat bahu kecil.
“Bukannya biasanya dia bangun pagi?” Ayah melirik jam dinding. “Udah hampir jam tujuh.”
Ibu bangkit dari kursinya. “Aku cek dulu.”
Beberapa menit kemudian, ibu kembali dengan ekspresi cemas. “Arka demam.”
Bara akhirnya menoleh, alisnya sedikit mengernyit.
“Demam?”
Ibu mengangguk, meletakkan tangannya di dada, seolah mencoba meredakan kekhawatirannya sendiri. “Dia kelihatan lemas, tubuhnya panas banget. Mungkin masuk angin gara-gara semalam.”
Bara diam, tapi di kepalanya, ia tahu persis alasan Arka jatuh sakit. Hujan. Petir. Piyama tipis.
Ia meneguk tehnya lagi, berusaha mengabaikan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba muncul di dadanya.
“Bara,” suara ibu membuatnya menoleh. “Kamu bisa antar dia ke dokter nanti?”
Bara menghela napas. “Kenapa nggak Ayah atau Ibu aja?”
“Ayah ada rapat, dan Ibu harus urus banyak hal di rumah.”
Bara menatap ibunya, berharap bisa menemukan alasan untuk menolak. Tapi sorot mata ibu penuh harap.
Akhirnya, ia mendesah. “Yaudah, nanti aku antar.”
Arka duduk di tepi ranjangnya, bersandar lemah di dinding dengan selimut masih melilit tubuhnya. Pipi bocah itu kemerahan, keringat tipis membasahi dahinya.
Saat melihat Bara masuk, ia tersenyum kecil. “Kak Bara…”
Bara mengalihkan pandangannya. “Ayo siap-siap, kita ke dokter.”
Arka mengangguk pelan, mencoba bangkit. Tapi tubuhnya lemas, dan saat ia berusaha berdiri, lututnya hampir goyah.
Refleks, Bara menangkapnya sebelum jatuh.
Sejenak, keduanya terdiam.
Arka menatap Bara dengan mata yang berbinar, seolah baru saja menerima sesuatu yang berharga. “Kak Bara nolongin aku?”
Bara buru-buru melepas pegangannya, membuang muka. “Jangan drama. Aku nggak mau kamu pingsan di jalan.”
Arka terkekeh kecil. “Aku nggak selemah itu, Kak.”
“Terserah.”
Setelah memastikan Arka bisa berdiri sendiri, Bara mengambil jaketnya lalu meraih payung. Hujan di luar masih turun, meski lebih pelan dari tadi pagi.
Di perjalanan ke klinik, Arka berjalan pelan di belakang Bara, mengikuti langkah kakaknya yang lebih panjang.
“Kak Bara,” panggilnya.
“Hm?”
“Kalau aku sakit terus, kamu bakal khawatir nggak?”
Bara menghela napas. “Jangan banyak ngomong, nanti makin sakit.”
Arka terkekeh lagi. “Jadi itu artinya iya?”
Bara tidak menjawab, hanya mempercepat langkahnya.
Dokter bilang Arka hanya demam ringan, kemungkinan karena kelelahan dan kehujanan. Ia diberi obat dan disarankan banyak istirahat.
Saat perjalanan pulang, hujan sudah berhenti. Jalanan basah, udara lebih sejuk, dan langit masih mendung tanpa tanda-tanda akan cerah.
Arka berjalan di samping Bara, sesekali menendang kerikil kecil di jalan.
“Kak,” panggilnya pelan.
“Apa lagi?” Bara mulai bosan dengan pertanyaan-pertanyaannya.
“Kamu beneran nggak suka aku?”
Langkah Bara sedikit melambat. Ia tidak langsung menjawab.
“Aku selalu pengen deket sama Kakak,” lanjut Arka. “Tapi Kakak selalu dingin sama aku. Aku salah apa?”
Bara berhenti. Ia menghela napas panjang sebelum menoleh.
“Arka, dengerin,” katanya, suaranya terdengar lebih tegas. “Bukan masalah suka atau nggak suka. Aku cuma…”
Ia terdiam sebentar, seolah mencari kata yang tepat.
“Aku nggak bisa kayak kamu.”
Arka mengerutkan dahi. “Maksudnya?”
Bara menatapnya lama. “Kamu selalu jadi anak yang baik. Ayah dan ibu selalu bangga sama kamu. Aku?” Ia tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di sana. “Aku cuma bayangan. Dan jujur aja, kadang aku capek ngeliat kamu terus-terusan lebih baik dari aku.”
Arka menatap kakaknya, matanya melembut. “Kak, aku nggak pernah mau ngalahin kamu. Aku cuma… pengen Kakak sayang aku.”
Bara membuang muka. “Udah, jangan banyak mikir yang aneh-aneh. Ayo pulang.”
Arka menatap punggung Bara yang mulai berjalan lebih dulu. Senyumnya kecil, tapi ada rasa lega di sana.
Setidaknya, kali ini, Bara menjawab.
Dan itu sudah lebih dari cukup.
Langkah Kecil yang Tersesat
Malam turun dengan diam. Lampu-lampu jalan menyala redup, memantulkan cahaya temaram di atas aspal basah. Udara masih lembap sisa hujan tadi siang, membawa aroma tanah yang khas.
Di dalam rumah, Arka duduk di meja belajarnya, sesekali menatap jendela yang sedikit terbuka. Ia sudah lebih baik, demamnya turun setelah minum obat dan tidur beberapa jam.
Tapi meskipun tubuhnya sudah terasa ringan, ada sesuatu yang mengganjal di dadanya.
Kata-kata Bara siang tadi masih terngiang di kepalanya.
“Aku cuma bayangan. Dan jujur aja, kadang aku capek ngeliat kamu terus-terusan lebih baik dari aku.”
Arka menunduk, tangannya menggenggam ujung selimut.
Ia tidak pernah berpikir kalau Bara merasa seperti itu. Baginya, Bara adalah sosok yang selalu kuat, selalu tampak percaya diri, meskipun sikapnya dingin dan sering mengabaikannya.
Selama ini, ia hanya ingin dicintai sebagai adik. Tapi ternyata, di balik semua itu, Bara menyimpan sesuatu yang lebih dalam—perasaan yang tidak pernah Arka mengerti sebelumnya.
Dan itu membuat hatinya sesak.
Di kamar sebelah, Bara duduk di ujung ranjangnya. Matanya menatap kosong ke layar ponsel yang sejak tadi ia buka tanpa benar-benar memperhatikannya.
Terlalu banyak hal yang berkecamuk di kepalanya.
Percakapan dengan Arka tadi siang membuatnya sedikit menyesal. Ia tidak tahu kenapa malah mengungkapkan perasaannya seperti itu.
Seharusnya ia diam saja. Seharusnya ia tetap menjaga jarak seperti biasa.
Tapi melihat Arka jatuh sakit, melihat bocah itu berusaha berdiri sendiri meski tubuhnya lemas, entah kenapa ada sesuatu dalam dirinya yang bergetar.
Dulu, saat mereka kecil, Bara masih bisa mengabaikan semua ini. Ia hanya merasa kesal karena perhatian selalu terpusat pada Arka. Ia hanya merasa cemburu karena Arka selalu dipuji, selalu dibanggakan.
Tapi sekarang?
Sekarang ada hal lain yang membuatnya tidak nyaman.
Arka semakin besar, semakin mandiri, semakin bisa berdiri sendiri tanpa dirinya.
Dan anehnya, itu membuat Bara merasa… kosong.
Keesokan paginya, Arka bangun lebih awal dari biasanya.
Ia masih sedikit pusing, tapi tubuhnya jauh lebih baik dibanding kemarin. Setelah cuci muka dan berganti baju, ia turun ke ruang makan.
Di sana, ia melihat Bara sudah duduk lebih dulu, sarapan sambil menatap layar ponselnya.
Ibu tersenyum lega melihat Arka datang. “Kamu udah baikan?”
Arka mengangguk kecil. “Iya, Bu.”
“Bagus. Sarapan yang banyak, ya.”
Arka duduk di seberang Bara, menyendok nasi ke piringnya. Untuk beberapa saat, mereka makan dalam diam.
Hingga akhirnya Arka yang membuka suara.
“Kak.”
Bara tidak langsung menoleh, tapi ia tetap mendengarkan.
“Kemarin… terima kasih.”
Bara mengangkat alis. “Buat apa?”
“Buat nolongin aku pas hampir jatuh,” kata Arka sambil tersenyum kecil. “Dan buat nganter aku ke dokter.”
Bara tidak langsung menjawab. Matanya masih menatap ponselnya, tapi jari-jarinya sudah berhenti bergerak.
Setelah beberapa detik, ia hanya menggumam pelan, “Hmm.”
Arka tertawa kecil. Ia sudah terbiasa dengan respon dingin seperti itu.
Tapi kali ini, ia merasa ada sesuatu yang sedikit berbeda.
Entah kenapa, dinginnya Bara tidak lagi terasa sejauh dulu.
Hari itu, Arka tidak pergi ke sekolah. Ia masih dalam masa pemulihan, jadi ibu memintanya untuk tetap di rumah.
Namun, menjelang sore, Arka merasa bosan.
Ia berjalan ke ruang tamu, mengamati hujan yang turun tipis di luar jendela. Jalanan basah, aroma tanah kembali menguar.
Tiba-tiba, matanya menangkap sosok Bara di depan pagar rumah, bersandar dengan tangan di saku.
Arka mengerutkan dahi. Kakaknya jarang keluar rumah tanpa alasan yang jelas.
Penasaran, ia mengambil jaket lalu keluar.
“Kak Bara?” panggilnya.
Bara menoleh sekilas. “Ngapain ke luar? Kamu baru sembuh.”
“Aku bosan.” Arka mendekat, berdiri di samping kakaknya. “Kakak ngapain di sini?”
Bara tidak langsung menjawab. Matanya masih menatap ke arah jalan, seperti sedang memikirkan sesuatu.
Akhirnya, ia berujar pelan.
“Aku mikir… mungkin aku terlalu keras sama kamu.”
Arka terkejut. Bara jarang, bahkan hampir tidak pernah, mengatakan sesuatu seperti itu.
“Tapi aku nggak pernah benci kamu,” lanjut Bara, masih dengan nada datarnya. “Aku cuma…”
Ia terdiam sebentar, sebelum akhirnya menghela napas.
“Aku nggak tahu gimana caranya jadi kakak yang baik.”
Arka menatapnya lama.
Lalu, tanpa berpikir panjang, ia tersenyum.
“Kak, aku nggak butuh kakak yang sempurna. Aku cuma butuh Kak Bara yang biasa aja.”
Bara meliriknya, sedikit terkejut dengan jawaban itu.
“Dan kalau Kakak ngerasa nggak bisa jadi kakak yang baik…” Arka menepuk bahu Bara pelan. “Aku bisa ajarin, kok.”
Bara mendengus pelan, lalu mengacak rambut Arka dengan kasar.
“Nyebelin.”
Arka tertawa, dan untuk pertama kalinya, Bara juga ikut tersenyum.
Hujan masih turun rintik-rintik, tapi di antara mereka, ada sesuatu yang perlahan mulai mencair.
Kakak, Jangan Pergi
Malam itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Arka duduk di ranjangnya, memandangi layar ponsel yang masih menyala.
Chat terakhir dari Bara masih ada di sana.
“Aku ada sesuatu yang mau aku omongin. Bisa keluar sebentar?”
Arka awalnya ragu. Ia baru saja sembuh, dan udara malam cukup dingin. Tapi ini pertama kalinya Bara mengajaknya bicara tanpa nada dingin atau terpaksa.
Jadi, tanpa berpikir panjang, Arka menyambar jaketnya lalu keluar dari kamar.
Bara sudah menunggu di depan rumah, bersandar di pagar dengan wajah serius.
“Ada apa, Kak?” tanya Arka, berdiri di sampingnya.
Bara diam cukup lama sebelum akhirnya menghela napas. “Aku bakal pindah.”
Dunia Arka seakan berhenti berputar.
“Apa?”
“Aku bakal kuliah di luar kota,” lanjut Bara. “Mulai semester depan.”
Arka merasakan sesuatu mencengkeram dadanya.
“Kenapa mendadak?” suaranya bergetar.
“Ini nggak mendadak. Aku udah ngerencanain ini sejak lama,” ujar Bara tenang. “Aku cuma nggak bilang ke siapa-siapa.”
Arka menggigit bibir. Hatinya mencelos.
“Kenapa… kenapa Kakak nggak pernah cerita ke aku?” tanyanya lirih.
Bara menoleh, menatapnya lama. “Kamu nggak butuh aku, Ka.”
Arka terkejut.
“Aku pikir kalau aku pergi, kamu nggak akan peduli,” lanjut Bara. “Kamu selalu bisa sendiri. Kamu selalu lebih baik dari aku. Selalu lebih disayang. Aku cuma beban di rumah ini.”
Arka menggeleng cepat. “Itu nggak benar! Aku—aku butuh Kakak!”
Bara tertawa kecil, getir. “Buat apa?”
Arka mengepalkan tangannya.
“Buat segalanya,” suaranya nyaris berbisik. “Aku mungkin nggak bisa dapetin kasih sayang Kakak selama ini. Tapi Kakak selalu jadi panutan aku. Kakak selalu ada di sana. Aku nggak pernah butuh perhatian Ayah dan Ibu sebanyak aku butuh Kakak di sisiku.”
Bara terdiam.
“Aku nggak pernah minta Kakak jadi sempurna. Aku cuma mau Kakak tetap ada,” suara Arka melemah. “Aku cuma mau Kakak nggak ninggalin aku.”
Hening.
Lalu, tanpa diduga, Bara menepuk kepala Arka pelan.
“Kamu tahu,” katanya dengan senyum tipis. “Dulu aku pikir aku paling kesepian di rumah ini. Tapi ternyata… kamu lebih kesepian dari aku.”
Arka mengangkat wajah, matanya memerah.
Bara menarik napas panjang. “Aku tetap harus pergi, Ka. Ini bukan tentang nggak mau ninggalin kamu. Tapi aku juga butuh cari tempat buat diri aku sendiri.”
Arka menelan ludah, lalu mengangguk lemah. Ia ingin memohon, ingin meminta Bara untuk tetap tinggal.
Tapi ia juga tahu, Kakaknya punya hak untuk mencari jalannya sendiri.
Malam itu, mereka tidak banyak bicara lagi. Mereka hanya berdiri berdampingan, merasakan angin dingin yang berhembus pelan.
Untuk pertama kalinya, Arka merasa ada sesuatu yang lebih berharga dari sekadar perhatian.
Ia tidak lagi berusaha meminta Bara untuk menyayanginya.
Karena akhirnya, ia tahu—Bara menyayanginya, dengan caranya sendiri.
Dan itu cukup.
Kadang, kasih sayang nggak selalu harus keliatan, kan? Ada orang yang sayang, tapi caranya salah. Ada juga yang cuma bisa berharap disayang, tapi nggak pernah dapet balasan.
Arka dan Bara akhirnya ngerti satu hal: mereka nggak butuh pengakuan buat saling menyayangi. Tapi pertanyaannya, apa semuanya nggak terlambat? Nah, buat kamu yang masih punya waktu, jangan tunggu sampe kehilangan baru sadar. Siapa yang harus kamu hargai sebelum semuanya cuma tinggal kenangan?


