Cerpen Mengharukan Kakak Beradik Berbeda Ibu: Kisah Tentang Kasih Sayang Tanpa Batas

Posted on

Pernah gak sih kamu merasa gak diterima di keluarga sendiri? Mungkin karena beda ibu, beda ayah, atau alasan lainnya. Tapi, cerita kali ini bakal ngasih tahu kalau kasih sayang itu gak kenal siapa ibu, siapa ayah, yang penting kita punya satu sama lain. Jadi, buat kamu yang lagi nyari cerita yang ngena banget tentang keluarga, ini dia! Siapin tisu, ya!

 

Kisah Tentang Kasih Sayang Tanpa Batas

Di Antara Dua Ibu

Pagi itu, aroma teh hangat memenuhi udara rumah. Ranisa sudah duduk di meja makan, cangkir kecil di depannya, menatap secangkir teh yang baru diseduh. Tidak seperti biasanya, matanya sedikit sayu, seolah ada beban yang tak tampak. Ia menatap cemas ke luar jendela, melihat cahaya matahari pagi menyusup masuk, tetapi entah mengapa, hari itu terasa sedikit berbeda.

Di meja makan, Iman, adiknya, sibuk mengacak-acak lembaran gambar yang ia buat. Kertasnya penuh warna, lebih banyak coretan ceria daripada gambar yang sebenarnya. Iman tidak peduli dengan apapun selain kegembiraannya sendiri. Begitulah cara dia menghadapinya, selalu dengan senyuman lebar yang menular. Ia adalah sosok yang selalu bisa membuat Ranisa merasa tenang, meski kadang hatinya berguncang.

Ranisa memandang adiknya. Lalu, suara langkah kaki terdengar. Ibu mereka, Dewi, baru saja keluar dari dapur sambil membawa nampan penuh dengan piring kecil berisi roti bakar dan keju.

“Iman, kamu makan dulu ya, nanti kita pergi ke taman,” Dewi menyarankan dengan senyum penuh kehangatan, seraya menata piring di meja.

Iman mengangguk, matanya berbinar mendengar kata ‘taman’. “Ayo, Bu! Kita ke sana!” jawabnya dengan antusias.

Dewi tersenyum lebar, berbalik ke arah Ranisa, yang masih duduk diam. “Kamu tidak ikut makan, Nisa?” tanya Dewi lembut.

Ranisa hanya menggelengkan kepala pelan, matanya masih tertuju pada cangkir teh di depannya. Sesekali ia melihat ke arah Iman, yang terus menggambar dengan ceria, seakan tidak ada masalah dalam hidupnya. Tidak ada kegelisahan yang memenuhi benaknya, tidak ada keraguan seperti yang dirasakan Ranisa.

Ranisa menghela napas, merasa sedikit terjepit. Sebenarnya, ia merasa bingung. Meski begitu banyak kebahagiaan yang ada dalam rumah ini, selalu ada rasa kehilangan yang mengganjal. Perasaan bahwa ia tidak sepenuhnya milik keluarga ini, meski orang-orang yang ada di sini selalu mencintainya.

Iman, adiknya, tidak pernah merasa ada yang aneh. Sejak kecil, ia hanya mengenal ibu mereka, Dewi, sebagai ibu yang selalu ada. Bahkan Iman tidak pernah merasa bahwa mereka berbeda ibu. Cinta yang diberikan Dewi padanya sama besarnya dengan kasih sayang yang diberikan kepada Ranisa. Begitu juga dengan ayah mereka, Rizal. Ranisa tahu, mungkin bukan hal yang mudah bagi Dewi untuk menerima kenyataan bahwa suaminya memiliki anak dari wanita lain. Namun, ia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Ranisa, memperlakukannya seperti anak kandungnya sendiri.

“Ranisa, kamu oke?” Dewi tiba-tiba bertanya, menyadari Ranisa yang terlihat sedikit terpaku.

Ranisa tersentak, sedikit kaget mendengar pertanyaan ibunya. Ia memaksakan senyum. “Iya, Bu. Aku hanya… berpikir. Tidak ada apa-apa.”

Dewi memandangnya dengan tatapan penuh kasih. “Jangan terlalu dipikirkan, ya. Kamu tahu kan, kalau kami semua sayang sama kamu.” Dewi berkata dengan lembut, menyentuh bahu Ranisa sejenak.

Ranisa mengangguk pelan, meski ada sedikit rasa sesak di dadanya. Dia tahu Dewi dan Rizal selalu berusaha memberikan yang terbaik, tetapi kadang, ia merasa berbeda. Apalagi ketika melihat Iman yang begitu polos, begitu bahagia tanpa pernah merasa kekurangan. Ranisa, di sisi lain, masih merasa bingung dengan jati dirinya, dengan posisi yang ia miliki dalam keluarga ini.

“Yuk, kita pergi ke taman!” seru Iman, menghentikan sejenak pikiran Ranisa.

Ranisa tersenyum, walaupun hatinya masih penuh dengan keraguan. “Ayo, kita pergi,” jawabnya, mencoba untuk terdengar ceria.

Taman itu penuh dengan warna-warni bunga yang bermekaran. Ranisa dan Iman duduk di atas tikar yang mereka bawa, menikmati udara segar dan sinar matahari pagi. Dewi duduk di sebelah mereka, sesekali berbicara dengan Ranisa tentang hal-hal ringan. Iman, seperti biasa, sibuk dengan permainan kecil yang ia temui di sekitar taman. Dia menemukan sebuah batu kecil dan mulai mengumpulkan batu-batu lainnya untuk membuat “rumah batu”.

Ranisa mengamati adiknya. Betapa polosnya Iman. Betapa dia tidak pernah merasa khawatir dengan dunia sekitarnya. Ranisa, di sisi lain, merasa seperti ada yang hilang. Meski ia tahu keluarga ini menyayanginya, perasaan itu selalu datang—perasaan bahwa ada yang berbeda, ada yang harus ia pertanyakan tentang dirinya sendiri.

“Apa yang kamu pikirkan, Nisa?” Dewi tiba-tiba bertanya, menyadari ekspresi Ranisa yang kurang ceria.

Ranisa menatap ibunya. Ia tahu, Dewi selalu bisa melihatnya lebih dalam, bahkan ketika ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. “Aku cuma mikirin Iman, Bu,” jawab Ranisa, mencoba memberi penjelasan yang sederhana.

“Iman memang seperti itu. Dia bahagia dengan apapun yang ada, tidak terlalu memikirkan masa depan atau hal-hal yang berat. Kadang aku berharap kamu bisa seperti dia, bisa lebih ringan, lebih ceria,” Dewi mengungkapkan dengan suara lembut.

Ranisa hanya tersenyum tipis, tetapi hatinya tergerak. Ia tahu ibunya ingin yang terbaik untuknya. Dewi ingin agar Ranisa lebih mudah menikmati hidup, tidak terus terjebak dalam perasaan keraguan dan kecemasan yang terkadang datang tanpa alasan yang jelas.

“Gak usah terlalu dipikirkan, ya. Kita semua di sini. Kita keluarga,” Dewi menambahkan, membelai rambut Ranisa dengan penuh kasih.

Namun, meski kata-kata Dewi menenangkan, Ranisa masih merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Iman tidak pernah merasa terasing. Iman tidak pernah merasa terpisah dari ibu mereka. Tapi Ranisa, meski diberi banyak kasih sayang, selalu merasa ada jarak yang tidak bisa ia lepaskan.

Di tengah taman yang damai itu, dengan angin yang berhembus pelan dan Iman yang tertawa riang, Ranisa tahu satu hal—bahwa apapun yang terjadi, apapun perasaannya, keluarga ini adalah tempatnya kembali. Mereka tidak sempurna, mereka bukan keluarga tanpa masalah. Tapi mereka saling mencintai, mereka ada untuk satu sama lain. Itu yang paling penting.

Bahkan jika ada perasaan yang belum bisa ia ungkapkan, ada hal yang lebih besar yang mengikat mereka semua: cinta. Cinta yang tidak peduli siapa yang melahirkan siapa, cinta yang melampaui perbedaan.

 

Senyum yang Tak Pernah Pudar

Hari semakin siang, dan hawa panas mulai terasa menyelimuti taman yang sebelumnya begitu sejuk. Iman masih asyik dengan batu-batu yang ia kumpulkan, membentuk tumpukan-tumpukan kecil yang terlihat seperti istana mini. Ranisa dan Dewi duduk di bawah pohon rindang, keduanya menikmati ketenangan suasana sambil berbincang ringan.

Namun, dalam hati Ranisa, ada hal yang tak pernah bisa ia ungkapkan. Ia merasa seperti sebuah puzzle yang belum lengkap, sepotong bagian yang entah kenapa selalu terasa hilang. Meskipun Iman sangat ceria, dengan tawa yang selalu mengisi rumah mereka, Ranisa tetap merasa dirinya tak utuh.

“Mau lanjut ke mana, Nisa?” tanya Dewi, mengalihkan perhatian Ranisa dari pikirannya.

Ranisa tersenyum dan mengangguk. “Ke toko buku, Bu. Aku ingin beli beberapa buku untuk tugas kuliah.”

Dewi menatapnya sejenak, melihat bagaimana Ranisa terkadang terjebak dalam dunia sendiri, namun tetap berusaha untuk tidak terlalu menyusahkan orang lain. “Kalau begitu, kita pulang dulu, ya?” Dewi mengusulkan.

Iman, yang mendengar percakapan itu, langsung menghampiri mereka. “Ayo, Bu, Kak Nisa! Aku nggak mau pulang dulu!” teriaknya dengan semangat.

Ranisa tertawa, mencoba mencairkan suasana. “Sabar, adikku yang satu ini. Kita pulang dulu, nanti kita cari makanan enak setelah itu. Kamu suka kan?”

Iman langsung melompat kegirangan. “Beneran, Kak? Makanan enak?” tanyanya, matanya berbinar.

Ranisa hanya tersenyum melihat kelucuan Iman. Terkadang, kebahagiaan Iman terasa begitu sederhana, hanya dengan hal-hal kecil yang membuatnya ceria. Berbeda dengan Ranisa yang kadang merasa dibebani oleh banyak hal yang bahkan tidak perlu ia pikirkan.

Sesampainya di rumah, Dewi bergegas masuk ke dapur untuk menyiapkan makan siang. Ranisa duduk di ruang tamu, membuka laptop untuk menyelesaikan tugas kuliahnya. Iman, yang merasa bosan, duduk di sampingnya, mulai mengobrak-abrik benda-benda yang ada di sekitar ruang tamu.

Tiba-tiba, Iman berhenti dan menatap Ranisa dengan serius. “Kak, kamu lagi sedih ya?” tanyanya, polos. “Aku lihat kamu dari tadi kayak mikirin sesuatu.”

Ranisa terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia tidak menyangka Iman bisa melihat hal-hal seperti itu. Adik kecilnya yang ceria itu selalu tampak begitu bahagia, tanpa beban, sementara Ranisa terkadang merasa penuh dengan kecemasan yang tak tahu harus ia tuangkan ke siapa.

“Aku nggak sedih kok, Iman,” jawab Ranisa, berusaha tersenyum.

“Tapi kamu pasti mikirin sesuatu. Aku bisa lihat kok,” Iman mendesak.

Ranisa terdiam sejenak, menatap adiknya yang masih menunggu jawaban. Ranisa tahu Iman bukan anak kecil yang tidak peka. Ia memiliki cara yang unik untuk mengungkapkan perasaannya, dan meskipun usianya masih muda, Iman sudah bisa memahami perasaan orang lain dengan sangat baik.

“Kamu tahu, Iman,” kata Ranisa, akhirnya memutuskan untuk berbicara. “Kadang aku merasa, aku nggak sepenuhnya milik keluarga ini, ngerti nggak sih?”

Iman mengernyitkan dahi, bingung. “Maksudnya gimana, Kak?”

Ranisa terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Aku… aku kadang merasa kalau aku bukan anak kandung Bu Dewi, bukan anak dari ibu yang melahirkan aku. Aku… nggak tahu, Iman. Aku hanya merasa… berbeda, gitu.”

Iman tetap diam, menatap kakaknya dengan serius. Setelah beberapa detik, ia menyengir lebar. “Kak, itu cuma perasaanmu aja. Bu Dewi kan sayang banget sama kamu. Bu Dewi selalu mikirin kamu, kok. Aku aja ngerasa kalau kamu itu ibu aku juga!” katanya dengan polos, mencoba memberikan penjelasan yang menurutnya sangat sederhana.

Ranisa tersenyum tipis. Tidak tahu harus berkata apa. Iman memang selalu bisa melihat segala sesuatunya dengan cara yang sangat ringan, dengan cara yang tidak rumit.

“Aku tuh sering bingung, Iman. Kamu bisa merasa nyaman begitu saja, tapi aku kadang merasa berat… dengan banyak hal,” Ranisa menjelaskan lebih dalam.

Iman menyentuh tangan Ranisa dengan lembut. “Aku tahu kamu lebih tua dari aku, Kak. Tapi kamu tahu nggak, aku selalu ngelihat kamu kayak… pahlawan. Kamu nggak pernah ngeluh, selalu kuat, dan kamu selalu ada buat aku.”

Kata-kata Iman membuat hati Ranisa terharu. Dalam kesederhanaan kata-kata itu, Iman memberikan kenyamanan yang tidak bisa diungkapkan dengan kalimat panjang lebar. Iman adalah adik yang selalu tahu kapan kakaknya membutuhkan pelukan, meskipun ia tidak selalu mengungkapkannya.

“Iya, Iman… Kadang, aku memang merasa harus lebih kuat. Tapi itu bukan karena aku ingin terlihat hebat, tapi karena aku ingin ada buat kamu. Kita kan kakak-adik, kita harus saling jaga,” jawab Ranisa, mencoba untuk lebih tegar.

Iman mengangguk dengan serius, meskipun itu hanya berlangsung sebentar. Lalu, dia kembali tersenyum lebar. “Kamu pasti bisa, Kak. Aku percaya sama kamu.”

Sekali lagi, Ranisa merasa hatinya tersentuh oleh kepolosan dan keyakinan Iman. Ia menyadari, meskipun ada banyak hal yang ia rasakan dalam hatinya, adiknya selalu bisa menjadi pelipur lara, dengan cara yang begitu sederhana, namun penuh makna.

Hari itu berakhir dengan tawa mereka yang bercampur, meskipun di dalam hati Ranisa masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Namun, satu hal yang ia tahu pasti—kehadiran keluarga ini, kehangatan yang mereka berikan, adalah jawaban yang lebih kuat daripada segala keraguan yang ada.

 

Di Antara Dua Dunia

Keesokan harinya, seperti biasa, Ranisa menghabiskan waktu di kampus dengan tumpukan tugas yang tak pernah ada habisnya. Namun, meskipun ia sibuk, pikirannya tak lepas dari Iman dan percakapan mereka semalam. Di satu sisi, ia merasa lega bisa sedikit berbagi perasaan dengan adiknya. Tetapi di sisi lain, ia masih terperangkap dalam keraguan yang sulit dijelaskan.

Iman memang bisa memberikan kenyamanan dengan cara yang sederhana, namun kadang, ada rasa bingung yang menggelayuti pikirannya. Bagaimana mungkin dirinya merasa terasing di rumah yang penuh dengan kasih sayang? Di tengah keluarga yang tak pernah memperlakukannya berbeda, mengapa ia masih merasa seperti orang luar?

Pulang dari kampus, Ranisa memasuki rumah dengan langkah lelah. Iman, seperti biasa, sudah menunggunya di ruang tamu dengan ekspresi ceria. Tanpa berkata apa-apa, Iman langsung melompat ke arahnya dan memeluknya dengan erat.

“Kak, Kak, aku kangen!” teriak Iman dengan suara riang.

Ranisa tertawa kecil, melepaskan pelukan Iman dan menepuk punggungnya. “Aduh, kamu ini ya, selalu aja ada-ada saja,” jawabnya, sambil sedikit tergelak.

Dewi yang sedang memasak di dapur tersenyum melihat pemandangan itu. Ranisa menyapa ibunya, “Bu, aku pulang.”

Dewi menghampiri dan menyapanya dengan lembut. “Kamu sudah makan siang?”

Ranisa menggelengkan kepala. “Belum, Bu. Aku makan di kampus tadi.”

Dewi mengangguk, tetap dengan senyum yang selalu menenangkan. “Yaudah, kalau gitu, nanti aku buatkan makan malam yang kamu suka, ya.”

Iman langsung berlari ke meja makan, mengambil buku gambar dan pensil warna kesukaannya. Ia mulai menggambar sesuatu yang tak jelas, sementara Ranisa duduk di meja makan, memandangi Iman yang begitu asyik dengan dunianya sendiri. Sesekali Iman meliriknya dengan ekspresi serius, seolah menunggu perhatian.

“Ini Kak, aku gambar kamu,” kata Iman tiba-tiba, memperlihatkan gambar yang menurutnya sudah sangat sempurna—gambar Ranisa yang berdiri di bawah pohon besar, dikelilingi oleh bunga-bunga yang penuh warna.

Ranisa tertawa geli. “Aduh, Iman, ini kamu gambar aku atau pohon? Kenapa aku jadi kelihatan seperti pohon?”

Iman hanya tersenyum lebar, tidak peduli dengan komentar kakaknya. “Pokoknya itu kamu, Kak. Keren kan?”

Ranisa mengangguk, meskipun ia tahu gambar itu bukanlah karya seni terbaik yang pernah ada. “Iya, keren kok, Iman.”

Pernah ada waktu ketika Ranisa merasa agak canggung dengan Iman. Ketika Iman lebih memilih Dewi untuk bercerita atau berbagi cerita, ia merasa dirinya tersisihkan. Namun, belakangan, ia mulai menyadari, bahwa kedekatan Iman dengan Dewi tidak ada hubungannya dengan perasaan Iman terhadap dirinya. Iman hanya merasa nyaman dengan ibu yang penuh kasih itu, sama seperti ia merasa nyaman dengan Ranisa sebagai kakaknya.

Sekali lagi, Ranisa tersenyum pada Iman. Ada kehangatan yang hanya bisa ditemukan dalam kedekatan mereka berdua, meskipun kenyataannya mereka berbeda ibu.

Saat Dewi selesai memasak, mereka semua berkumpul di meja makan. Makan malam kali ini terasa berbeda. Rasanya, meski sederhana, ada semacam keharmonisan yang mengalir dalam setiap suapan. Ranisa menatap ibu dan adiknya dengan penuh rasa syukur. Walaupun perasaan aneh kadang muncul, ia menyadari bahwa tempat ini—bersama mereka, adalah rumahnya yang sejati.

Setelah makan malam, mereka duduk bersama di ruang tamu. Iman kembali menjadi pusat perhatian, dengan ceritanya yang tak pernah habis. Dewi dan Ranisa tersenyum mendengarkan cerita-cerita lucu dan imajinatif Iman, yang kadang membuat mereka tertawa terbahak-bahak.

“Aku punya cerita baru, Kak! Ini tentang si Kucing Biru yang bisa terbang!” Iman mulai menceritakan cerita imajinasinya dengan penuh semangat.

Ranisa menyimak dengan seksama, walaupun terkadang cerita Iman terasa aneh dan membingungkan. Namun, bagi Ranisa, itu adalah cara Iman menunjukkan bahwa ia merasa aman dan bahagia. Ia tahu, meskipun ceritanya tidak masuk akal, ada keinginan kuat dari Iman untuk selalu berbagi dengan mereka.

Ketika malam semakin larut, Ranisa merasa jantungnya berdebar. Sebuah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Ia memikirkan kata-kata Iman semalam. “Aku selalu ngelihat kamu kayak pahlawan,” kata Iman tadi. Itu kalimat yang membuat Ranisa merasa seperti ada beban besar di pundaknya. Ia merasa harus selalu menjadi yang terbaik, yang kuat, yang tidak boleh rapuh di hadapan Iman. Tapi, di saat yang sama, ia juga ingin sekali bisa berbagi dengan adiknya, melupakan segala keraguan dan kebingungannya.

“Makasih ya, Iman. Kamu selalu bisa bikin aku merasa lebih baik,” bisik Ranisa pada adiknya.

Iman tersenyum, matanya berbinar dengan rasa percaya diri yang tak tergoyahkan. “Kakak hebat kok, Kak. Aku selalu percaya sama kamu.”

Malam itu, di bawah cahaya rembulan yang temaram, Ranisa merasa sesuatu yang aneh, tapi juga menenangkan. Di antara perasaan bingung dan keraguan yang sering ia rasakan, ia menemukan bahwa cinta dalam keluarganya jauh lebih kuat daripada segala hal yang bisa menghalangi mereka. Iman dan Dewi adalah bagian dari rumah yang tak terpisahkan, dan meskipun jalan hidup mereka berbeda, mereka tetap saling memberi arti satu sama lain.

 

Benang Merah yang Tak Terlihat

Hari-hari terus berlalu, dan Ranisa mulai merasa perubahan dalam dirinya. Semuanya terasa lebih jelas, meski tak pernah sempurna. Kehidupan tetap berjalan dengan rutinitas yang hampir sama. Kuliah, tugas, rapat, semua terlewati dengan cepat. Tapi ada satu hal yang selalu membuatnya tersenyum, bahkan di tengah kelelahan. Adiknya—Iman, yang selalu mengingatkannya untuk berhenti sejenak dan menikmati momen-momen kecil yang seringkali terlewatkan.

Hari itu, setelah pulang kuliah, Ranisa duduk di balkon rumah, menikmati udara sore yang sejuk. Iman berlari kecil menghampirinya dengan wajah ceria.

“Kak, ayo! Ke taman! Aku mau lihat bunga-bunga yang baru mekar!” ajak Iman, penuh semangat.

Ranisa menatap adiknya, lalu tertawa. “Bunga-bunga lagi? Iman ini, ya, selalu aja ada ide baru.”

Iman melotot manja, “Ayo dong, Kak. Biar seru! Biar kamu bisa ngeliat yang indah-indah juga!”

Ranisa menghela napas ringan, tapi akhirnya ikut bangkit dan mengangguk. “Yaudah, kita ke taman. Tapi kamu jangan lari-lari terus ya!”

Mereka berdua berjalan menuju taman yang tak jauh dari rumah. Sore itu, taman sepi. Hanya ada beberapa orang yang sedang berjalan santai. Ranisa menatap bunga-bunga yang tumbuh dengan subur, kelopak-kelopak warna-warni yang terlihat seperti lukisan hidup. Iman sibuk mencari bunga yang ia anggap paling indah untuk dipetik.

“Jadi, Iman, kamu tahu kan kenapa aku gak suka terlalu banyak mikirin hal-hal yang bikin aku bingung?” tanya Ranisa tiba-tiba.

Iman berhenti sejenak, menatap kakaknya. “Kenapa, Kak?”

Ranisa tersenyum lembut, lalu duduk di sebuah bangku taman. “Karena kadang, kalau kita terlalu banyak mikirin hal yang gak jelas, kita malah gak bisa nikmatin yang ada sekarang.”

Iman ikut duduk di sebelahnya, menunduk, berpikir. “Kak, kamu sering mikir tentang ayah dan ibu ya?”

Ranisa terdiam sejenak. Ia tidak menyangka Iman akan bertanya begitu. Namun, ia tahu, ini adalah saat yang tepat untuk berbagi.

“Kadang-kadang. Aku suka mikir, apa mereka merasa susah karena kita beda ibu,” jawabnya perlahan. “Aku gak bisa pungkiri, Iman, ada saat-saat di mana aku merasa nggak punya tempat di antara mereka. Tapi… ada satu hal yang selalu aku ingat.”

Iman menatap kakaknya penuh perhatian.

“Ayah selalu bilang, kita semua sama. Kita saudara. Ayah gak pernah bedain kamu dan aku. Dia selalu ada untuk kita berdua, tanpa memandang perbedaan itu,” lanjut Ranisa, matanya berbinar. “Dan ibu… ibu juga selalu baik sama kita. Dia gak pernah memperlakukan aku beda sama kamu. Itu yang buat aku tetap merasa di rumah, walaupun kadang aku bingung harus bagaimana.”

Iman tersenyum, memegang tangan kakaknya dengan lembut. “Aku juga merasa kayak gitu, Kak. Aku gak peduli kalau kita beda ibu. Yang penting, kita punya keluarga yang saling sayang.”

Ranisa menatap Iman, dan untuk pertama kalinya, ia merasa begitu ringan. Semua kebingungannya, keraguannya tentang keluarga, tentang dirinya sendiri, terasa seolah menghilang begitu saja. Iman benar. Kadang, yang penting bukan apa yang membedakan, tapi apa yang mengikat.

“Makanya, Kak, jangan terlalu mikirin hal-hal yang nggak penting. Kita udah punya semuanya,” kata Iman, wajahnya berseri-seri.

Ranisa mengangguk, menatap ke langit yang mulai gelap. Ia merasa damai. Tak ada lagi rasa bingung yang menggelayuti hati. Di balik segala perbedaan, ia menyadari satu hal yang tak terucapkan: di keluarga ini, kasih sayang adalah benang merah yang menghubungkan mereka, dan tak ada yang bisa merubah itu.

Malam semakin larut, dan mereka berjalan kembali ke rumah, tangan Iman di genggaman Ranisa. Ibu mereka sedang menunggu di dapur, menyiapkan segelas susu hangat, seperti yang selalu dilakukan setiap malam.

Ranisa berhenti sejenak di pintu, menatap keluarga kecilnya dengan rasa syukur yang mendalam. Kehidupan ini, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, ternyata cukup. Karena mereka punya satu sama lain.

Dengan senyum kecil, Ranisa berjalan masuk, diikuti oleh Iman, dan mereka duduk bersama. Tak perlu kata-kata yang berlebihan, karena dalam keheningan itu, mereka tahu betul—keluarga adalah tempat di mana hati bisa pulang, tak peduli apa pun yang membedakan mereka.

Akhirnya, di antara secangkir susu hangat dan tawa ringan, Ranisa merasa bahwa ia tak pernah benar-benar sendirian.

 

Gimana? Seru kan? Kadang yang kita pikirkan sebagai perbedaan itu justru jadi alasan buat makin sayang satu sama lain. Jadi, kalau kamu lagi merasa gak punya tempat, coba deh inget lagi keluarga kamu. Mereka selalu ada kok, apapun yang terjadi. Semoga cerita ini bisa jadi pengingat buat kita semua, bahwa kasih sayang itu bisa ngerubah segalanya!

Leave a Reply