Daftar Isi
Pernah nggak sih ngerasa kayak hidup kamu tuh nggak punya arah? Kayak, kamu jalan di tengah malam tanpa tahu bakal kemana? Ya, cerpen ini bakal ngebahas tentang itu, sih.
Tentang takdir yang datang tanpa permisi, dunia yang nggak selalu bisa kamu pahami, dan keputusan yang nggak bisa kamu mundurin. Jadi, kalau kamu udah siap buat terjun ke dalam dunia yang gelap dan penuh misteri ini, baca terus cerpen maut yang satu ini. Siapa tahu, kamu bakal menemukan sesuatu yang nggak kamu duga.
Cerpen Maut
Persimpangan Tanpa Jalan Pulang
Malam itu, langit menggantung pekat seperti beludru hitam yang melahap cahaya. Jalanan basah setelah hujan deras yang turun tadi sore, menyisakan genangan yang memantulkan redup lampu jalan. Di persimpangan sepi itu, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah gesekan dedaunan yang ditiup angin.
Raksa berdiri di trotoar, tangan dimasukkan ke dalam saku jaket. Matanya menatap lurus ke jalanan, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Dia baru saja pulang dari tempat kerja—terlambat lagi. Jam di layar ponselnya menunjukkan pukul sebelas malam.
“Harusnya tadi gue naik ojek aja,” gumamnya pelan, menendang kerikil kecil ke aspal.
Di seberang jalan, lampu merah masih menyala. Raksa menghela napas, menunggu dengan sabar. Tak ada satu pun kendaraan yang melintas, tapi dia tetap berdiri di tempatnya. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, perasaan aneh yang membuat bulu kuduknya meremang.
Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah bercampur sesuatu yang… asing. Bau yang samar, tapi cukup menusuk. Seperti besi yang berkarat.
Dari kejauhan, suara langkah kaki terdengar. Pelan dan ritmis.
Raksa menoleh.
Seorang pria tinggi berjas hitam berdiri di ujung persimpangan. Wajahnya tertutup bayangan, tapi tubuhnya tegak, seolah sudah lama berdiri di sana. Raksa menelan ludah, entah kenapa melihat pria itu membuat punggungnya merinding.
Lampu hijau menyala.
Raksa menarik napas dalam, bersiap menyeberang. Namun sebelum kakinya melangkah, sesuatu menarik perhatiannya.
Di tengah jalan, tak jauh dari tempatnya berdiri, sebuah mobil remuk dengan asap masih mengepul dari kap mesinnya. Cahaya lampu jalan memantulkan warna merah tua yang menggenang di aspal.
Darah.
Raksa membeku.
Di balik kaca depan mobil yang pecah, ada seseorang di kursi pengemudi. Kepalanya bersandar ke setir, tubuhnya lunglai. Darah menetes dari pelipisnya, mengalir di sepanjang wajah.
Raksa menatap lebih lama, mencoba memastikan…
Dadanya seketika mencelos.
Itu dirinya sendiri.
Mata Raksa membelalak, tubuhnya bergetar hebat. Tidak, ini tidak mungkin. Dia masih di sini, berdiri dengan kaki yang nyata, bernapas dengan paru-paru yang masih bekerja. Tapi yang dia lihat… tubuhnya sendiri, tak bernyawa di dalam mobil itu.
“Enggak… ini pasti mimpi,” suaranya nyaris tak keluar.
Dari kejauhan, pria berjas hitam masih berdiri, tak bergerak sedikit pun. Seolah sedang menonton sesuatu yang sudah ia ketahui sejak awal.
Raksa mundur selangkah. Lututnya lemas.
Suara langkah kaki kembali terdengar. Kali ini lebih dekat.
“Siapa… kamu?” Raksa berusaha tetap tegak, tapi suaranya gemetar.
Pria itu tidak langsung menjawab. Dia berhenti beberapa langkah di depan Raksa, tubuhnya tegak, berwibawa, dan mengintimidasi. Wajahnya masih tertutup bayangan.
“Sudah waktunya.”
Suara itu bergema, meski bibir pria itu tidak bergerak. Raksa merasakan udara di sekelilingnya semakin dingin.
“Apa maksudnya?” Raksa mundur lagi, kali ini lebih jauh. “Aku masih hidup! Ini pasti kesalahan!”
Pria itu tetap diam.
Raksa memalingkan wajahnya kembali ke mobil itu. Tubuhnya yang lain masih ada di sana, terkulai tanpa nyawa. Tapi sesuatu berubah.
Mata mayat itu kini terbuka.
Dan menatapnya balik.
Raksa membeku. Jantungnya berdentam liar. Tubuhnya bergetar hebat, keringat dingin membasahi punggungnya. Dia ingin lari, ingin berteriak, tapi kedua kakinya seolah tertancap di tanah.
Kemudian, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi.
Mulut mayat itu bergerak.
Suara lirih, seperti bisikan angin, tapi Raksa bisa mendengarnya dengan jelas.
“Kamu… sudah mati.”
Raksa tersentak mundur, napasnya memburu.
“Tidak… TIDAK! Aku masih di sini!”
Dia berbalik, hendak berlari meninggalkan tempat itu. Namun sebelum sempat melangkah, tangan dingin mencengkeram bahunya.
Dia menoleh—pria berjas hitam berdiri tepat di belakangnya, begitu dekat hingga Raksa bisa merasakan hawa kematian yang menguar dari tubuhnya.
“Kamu berada di persimpangan,” kata pria itu pelan, suara yang nyaris seperti desisan. “Tapi kamu tidak bisa kembali.”
Raksa ingin memberontak, tapi tubuhnya tak lagi terasa miliknya. Udara semakin berat, seolah menyedot oksigen dari paru-parunya.
Di belakangnya, suara sirene ambulans mulai terdengar, samar-samar, seperti dari dunia lain.
Tapi Raksa tahu… suara itu bukan untuknya lagi.
Bayangan di Balik Jendela Retak
Suara sirene memudar, menjauh seperti gema yang tertelan kegelapan. Raksa berdiri kaku, napasnya putus-putus, pikirannya porak-poranda. Tubuhnya sendiri tergeletak di dalam mobil, mata mayat itu masih terbuka, menatapnya kosong. Namun, pria berjas hitam yang berdiri di belakangnya menarik perhatian lebih besar.
“Aku enggak mau mati,” suara Raksa nyaris tak terdengar.
Angin dingin berembus, membawa aroma besi yang menusuk. Pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit, cukup dekat hingga Raksa bisa melihat mata hitam legamnya—tak ada cahaya, tak ada kehidupan di dalamnya.
“Semua orang mengatakan itu,” suaranya datar, tenang, tapi menggema seperti berasal dari tempat yang jauh. “Tapi takdir tidak bertanya pendapatmu.”
Raksa mundur selangkah, kakinya hampir terpeleset di aspal basah. Pikirannya berkecamuk. Tidak mungkin. Ini semua tidak mungkin nyata. Dia masih bisa merasakan jantungnya berdetak—atau setidaknya… dia pikir begitu.
Tapi kalau benar dia masih hidup… kenapa dunia di sekelilingnya terasa begitu jauh?
Jalanan yang biasanya ramai kini kosong melompong. Lampu-lampu jalan berpendar redup, seperti kehilangan tenaga. Bangunan-bangunan di sekitarnya tampak buram, seolah ditutupi kabut tipis.
Dan yang paling mengerikan—tak ada seorang pun di sana.
Hanya dia.
Dan pria berjas hitam itu.
“Ini… ini tempat apa?” Raksa bertanya, suaranya serak.
“Persimpangan,” jawab pria itu singkat. “Tempat di mana jiwa-jiwa tersesat sebelum menemukan jalannya.”
Raksa menggeleng cepat, matanya membelalak. “Tidak! Aku belum mati! Aku masih di sini!”
Pria itu hanya diam, memandangnya tanpa ekspresi.
Raksa melangkah mundur, lalu berbalik, berniat lari dari tempat itu. Tapi ketika dia menoleh, sesuatu membuatnya terhenti.
Jendela-jendela bangunan di sekelilingnya, yang sebelumnya gelap dan kosong, kini dipenuhi wajah-wajah pucat.
Mereka menatapnya.
Mata mereka kosong. Mulut mereka bergerak, tapi tak ada suara yang keluar. Beberapa dari mereka menempelkan telapak tangan ke kaca, meninggalkan bekas buram seperti kabut dingin.
Raksa membeku. Jantungnya—entah masih berdetak atau tidak—terasa mencelos ke perut.
Siapa mereka?
Salah satu wajah di jendela bergerak lebih dekat, nyaris menembus kaca. Wajah seorang wanita muda dengan rambut panjang tergerai, matanya hitam pekat tanpa bola mata. Bibirnya bergetar, membentuk kata-kata tanpa suara.
Raksa membaca gerakan bibirnya.
“Mereka akan mengambilmu.”
Raksa tersentak mundur, nyaris jatuh. Matanya kembali ke pria berjas hitam yang masih berdiri tenang, seperti tahu apa yang akan terjadi berikutnya.
“Apa maksudnya?” suara Raksa bergetar. “Siapa mereka?”
Pria itu tak menjawab.
Tapi Raksa tak perlu menunggu lama.
Dari dalam bangunan, terdengar suara retakan—seperti kaca yang pecah perlahan.
Suara itu makin lama makin keras.
Jendela-jendela mulai retak, garis-garis halus menjalar seperti jaring laba-laba.
Dan tiba-tiba…
KRAAAAK!
Kaca jendela meledak bersamaan.
Wajah-wajah di dalamnya menghilang, digantikan oleh bayangan gelap yang merayap keluar dari puing-puing kaca, menjulur seperti kabut hitam hidup.
Raksa tak sempat berpikir. Tubuhnya bereaksi lebih cepat dari otaknya. Dia berbalik dan berlari secepat mungkin.
Tapi jalanan yang seharusnya lurus kini berubah. Bangunan-bangunan di sisi jalan bergeser, menutup dan membuka diri, menciptakan labirin yang tak ada sebelumnya.
Raksa tersesat dalam hitungan detik.
Langkahnya terhenti di sebuah gang buntu. Napasnya tersengal, dadanya naik turun. Dia menoleh ke belakang—bayangan-bayangan itu mendekat, bergerak dengan kecepatan yang tak wajar, seperti asap yang dipercepat oleh angin.
Raksa mundur, punggungnya membentur tembok dingin. Matanya liar mencari jalan keluar.
Tidak ada.
Bayangan itu semakin dekat, mengepungnya dari segala arah.
Kemudian, suara itu kembali terdengar.
Suara yang berasal dari dalam kepalanya, bukan dari luar.
“Kamu sudah mati.”
Raksa menutup telinganya, berusaha mengusir suara itu. “Enggak! Aku masih di sini!”
Bayangan itu hampir menyentuhnya.
Lalu, tepat saat semuanya terasa hancur…
Sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya.
Raksa terkejut. Sentuhan itu hangat, nyata, berbeda dari semua yang ada di sekelilingnya.
Dia menoleh, dan untuk pertama kalinya… dia melihat seseorang selain pria berjas hitam dan bayangan-bayangan itu.
Seorang gadis.
Dengan mata cokelat gelap yang menatapnya penuh ketegasan.
“Kamu harus ikut aku,” katanya cepat.
Raksa tak punya waktu untuk bertanya. Tangan gadis itu menariknya, dan dalam sekejap, mereka berdua menghilang dalam kabut.
Pintu yang Tidak Seharusnya Dibuka
Raksa terjatuh.
Seketika, hawa di sekelilingnya berubah. Tidak lagi dingin dan menyeramkan seperti sebelumnya. Tidak ada jalanan kosong, tidak ada bangunan berkabut, tidak ada bayangan hitam yang mengejarnya.
Yang ada hanya…
Sebuah ruangan sempit.
Dindingnya terbuat dari kayu tua yang berderit setiap kali angin lewat. Cahaya redup berasal dari lampu minyak di sudut ruangan, memancarkan aroma terbakar yang samar. Di tengah ruangan itu, ada sebuah meja kayu panjang, berantakan dengan tumpukan buku dan lembaran kertas penuh coretan tangan.
Raksa duduk di lantai, napasnya masih tersengal.
Seseorang berdiri di hadapannya.
Gadis itu.
Ia menatap Raksa dengan mata tajam, ekspresinya tegas. Rambutnya sebahu, sedikit berantakan. Pakaiannya sederhana—kaus hitam dengan celana jeans usang.
“Kamu siapa?” suara Raksa parau.
Gadis itu tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke arah jendela, mengintip dari celah tirai. Napasnya terdengar lega, seolah memastikan bahwa sesuatu tidak mengikutinya.
“Kamu seharusnya tidak ada di sini,” katanya akhirnya, tanpa menoleh ke Raksa.
Raksa mengerutkan dahi. “Apa maksudmu? Kamu yang menarikku ke sini!”
Gadis itu menghela napas, lalu berbalik. “Aku menyelamatkan kamu.”
“Nyelametin dari apa?”
Gadis itu menatapnya sejenak sebelum berkata pelan, “Dari mereka.”
Raksa merinding. Ia tidak perlu bertanya siapa yang dimaksud “mereka.” Bayangan-bayangan yang mengejarnya tadi masih terukir jelas dalam benaknya.
“Kamu siapa?” Raksa mengulang pertanyaannya.
Gadis itu diam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Namaku Raya.”
Raya. Nama itu terdengar asing, tapi ada sesuatu di dalamnya yang terasa familiar. Seolah-olah Raksa pernah mendengarnya di suatu tempat, tapi ia tidak tahu di mana.
Raksa mengusap wajahnya. “Aku enggak ngerti. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku—”
“Kamu sudah mati.”
Jawaban itu membuat Raksa membeku.
Raya menatapnya tanpa ekspresi, seperti ingin memastikan bahwa Raksa memahami kenyataan itu.
“Tidak!” Raksa menggeleng. “Aku masih hidup! Aku masih bisa bicara! Bisa merasakan semuanya!”
Raya berjalan mendekat, lalu berjongkok di hadapannya. “Itu hanya karena kamu belum menerima kenyataan.”
Raksa terdiam.
Belum menerima kenyataan? Apa maksudnya?
Raya melanjutkan, “Orang yang mati tapi menolak pergi akan terjebak di persimpangan. Tempat antara dunia kita dan… sesuatu yang lebih gelap.”
Raksa mengingat kata-kata pria berjas hitam tadi. Persimpangan.
“Aku enggak bisa mati begitu aja,” Raksa bersikeras. “Aku masih punya kehidupan, masih punya masa depan.”
Raya tersenyum miris. “Pernahkah kamu bertanya… kenapa tidak ada seorang pun yang bisa melihatmu? Kenapa dunia ini terasa berbeda dari yang kamu kenal?”
Raksa tercekat.
Ia tidak bisa menyangkal fakta itu. Sejak kecelakaan itu terjadi, semua terasa aneh. Dunia di sekelilingnya sepi, berubah, seperti sesuatu yang bukan miliknya.
“Ada sesuatu yang harus kamu ingat, Raksa,” kata Raya pelan. “Sesuatu yang belum kamu sadari.”
Raksa menggeleng, bingung. “Maksud kamu apa?”
Raya berdiri, berjalan menuju meja kayu, lalu mengambil sesuatu dari atasnya. Sebuah buku tua.
“Di dalam buku ini, ada nama-nama mereka yang pernah tersesat di persimpangan,” katanya, sambil membuka lembaran halaman.
Raksa mendekat, menatap tulisan-tulisan yang tertulis di sana. Banyak nama-nama asing.
Hingga ia menemukan satu yang membuat darahnya membeku.
“Raksa Ardianto”
Dadanya terasa sesak. Tangannya gemetar.
“Tidak… Ini pasti salah…” suaranya hampir tidak keluar.
Raya menutup buku itu perlahan. “Kamu bisa saja menyangkalnya. Tapi semakin lama kamu menolak kenyataan, semakin dalam kamu terperangkap di sini.”
Raksa mundur selangkah. Otaknya kacau. Tidak. Tidak mungkin.
“Aku bisa kembali, kan?” tanyanya penuh harap.
Raya menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab, “Mungkin.”
“Mungkin?” Raksa nyaris berteriak. “Apa maksudnya mungkin?!”
“Ada cara untuk kembali,” Raya akhirnya berkata. “Tapi itu tidak mudah. Dan aku tidak tahu apakah kamu siap melakukannya.”
Raksa mencengkeram kerah kausnya sendiri. “Apa pun itu, aku akan lakukan!”
Raya menatapnya tajam, lalu berjalan ke sudut ruangan. Di sana, ada sebuah pintu kayu tua dengan ukiran aneh di permukaannya.
“Pintu ini,” kata Raya. “Ini adalah satu-satunya jalan keluar.”
Raksa menatapnya ragu. Ada sesuatu dari pintu itu yang terasa… salah.
“Kenapa aku merasa ini seperti jebakan?” gumamnya.
Raya menatap pintu itu dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Karena ini bukan jalan kembali yang biasa.”
Raksa menelan ludah. “Apa maksudmu?”
“Apa yang ada di balik pintu ini bukan sekadar dunia nyata,” Raya berkata pelan. “Di sana, ada seseorang… atau sesuatu… yang menunggumu.”
Raksa merasa bulu kuduknya berdiri.
“Kamu harus menemukan bagian dirimu yang hilang,” Raya melanjutkan. “Atau… kamu tidak akan pernah bisa kembali.”
Raksa menatap pintu itu.
Dadanya berdebar kencang.
Di sisi lain dari pintu itu, ada jawabannya.
Tapi ada juga sesuatu yang lebih mengerikan dari yang pernah ia bayangkan.
Dan satu hal yang Raya tidak katakan padanya…
Begitu pintu itu dibuka, tidak ada jalan untuk kembali ke sini.
Terakhir Kali di Persimpangan
Pintu itu terasa berat, dan setiap detik yang berlalu membuat Raksa semakin ragu. Hawa yang menguar dari balik pintu seakan menghisap nyawanya, mengundangnya untuk masuk dalam kegelapan yang tak terkatakan. Dalam diam, ia merasa seperti ada sesuatu yang mengamati, menunggu untuk menyambut kedatangannya.
Raya berdiri di belakangnya, diam saja, tidak memberi petunjuk lebih. Hanya ada ketegangan yang semakin menebal di udara.
“Kamu harus memutuskan sekarang, Raksa.”
Suara Raya terdengar serak, nyaris hilang. Seperti sebuah peringatan yang datang terlambat.
Raksa menoleh ke belakang. Namun, matanya justru tak bisa melepaskan pandangannya dari pintu itu. Sebuah dunia yang tak bisa ia pahami, dan tak bisa ia duga, siap menanti.
“Raya,” katanya dengan suara serak. “Apa yang akan terjadi padaku setelah aku lewatkan pintu itu?”
Raya menghela napas panjang. “Aku tidak tahu. Semua itu bergantung padamu. Tapi satu hal yang pasti, kamu tidak akan bisa kembali lagi ke sini. Apa pun yang terjadi setelah ini, kamu tidak akan bisa kembali ke kehidupan yang kamu kenal.”
Raksa merasa hatinya berdebar lebih cepat. Dunia ini, dunia yang ia tinggalkan, tampaknya semakin jauh. Segala yang ia kenal, teman-temannya, momen-momen yang tak akan pernah ia alami lagi, terasa memudar.
“Jadi, apakah ini benar-benar akhir?” Raksa bertanya, nada suaranya hampir tak terdengar.
Raya tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangguk perlahan.
“Akhir adalah awal, Raksa. Hanya saja, kita tidak pernah tahu apa yang menunggu kita di ujung perjalanan.”
Itulah kalimat terakhir yang keluar dari bibir Raya sebelum ia menghilang begitu saja, tanpa jejak. Seakan diambil oleh dunia itu sendiri.
Raksa kembali menghadap pintu. Ia bisa merasakan panas yang menyengat dari balik sana. Mengingatkan pada sesuatu yang hilang.
Dengan napas yang terengah-engah, ia menyentuh gagang pintu.
“Ini keputusan terakhirku,” ia berbisik pada dirinya sendiri.
Tangan Raksa menggenggam gagang pintu itu erat-erat. Dengan sekali tarikan, pintu itu terbuka.
Kegelapan menyambutnya seperti pelukan yang dingin.
Raksa melangkah masuk.
Langkah demi langkah, ia merasakan bagaimana dunia berubah. Suara gemuruh ombak terdengar jauh di kejauhan, tetapi tidak ada laut yang tampak. Ia mendengar langkah-langkahnya sendiri yang memecah kesunyian, namun tidak ada bayangan yang mengikuti.
Semakin jauh ia melangkah, semakin ia merasa hilang. Namun, sesuatu di dalam dirinya memberi kekuatan. Raksa tahu bahwa ia tidak akan pernah bisa kembali, tetapi mungkin, hanya mungkin, ada alasan di balik semuanya.
Kenyataan ini—tempat ini—adalah pilihan yang harus ia ambil.
Dan ketika ia mencapai ujung jalan, di sana, di hadapannya, ada sebuah bayangan besar yang menunggu.
Ia tidak tahu siapa atau apa itu, tapi ia merasa bayangan itu tahu lebih banyak daripada dirinya sendiri.
“Saatnya tiba,” suara itu bergema, datang dari bayangan yang menyambutnya.
Raksa memejamkan matanya. Hati yang dulu penuh dengan keraguan kini dipenuhi ketenangan. Ada banyak hal yang belum ia pahami, namun ia sadar satu hal—dalam kegelapan ini, ia harus mencari jalan keluar, atau terus tenggelam dalam kepingan takdir yang tak pernah ia pilih.
Namun tak ada pilihan yang lebih mudah.
Ketika ia membuka matanya kembali, semuanya berubah.
Kehidupan yang telah ia tinggalkan, kenangan yang tak pernah ia ingin lepaskan, menghilang seketika. Raksa tidak tahu apakah ia berada di tempat yang benar atau terperangkap selamanya. Tetapi ia tahu, ini adalah jalan yang harus ia jalani.
Dan langkah pertamanya menuju ujung kegelapan itu adalah akhir dari segala pertanyaan yang pernah ia miliki.
Akhir yang… benar-benar hanya bisa ia temui di sini.
Semua yang terjadi, bahkan yang tampak tak terhitung, membawa Raksa pada satu titik di mana takdir tak lagi relevan. Karena setelah semua berakhir, hanya ada ketenangan yang menunggu di sana.
Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tidak ada yang tahu kapan akhir itu benar-benar datang.
Semua yang bisa dilakukan, hanya melangkah ke depan.
Untuk selamanya.
Jadi, gimana menurut kamu? Semua yang terjadi di sini pasti ngebuat kamu mikir, kan? Tentang apa yang terjadi setelah semuanya berakhir. Cerpen ini mungkin cuma fiksi, tapi siapa tahu kan, hidup ini kadang lebih aneh daripada yang kita bayangin.
Semoga setelah kamu baca ini, kamu bisa mikir lebih dalam tentang langkah yang kamu ambil. Takdir memang nggak pernah bisa diprediksi, tapi itu nggak berarti kamu nggak punya pilihan. Semoga kamu tetap jadi yang terbaik, ya!


