Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu duduk di suatu tempat yang terasa nggak biasa? Kayak warung kopi di tengah kuburan misalnya. Iya, kedengarannya sih aneh, tapi justru di situlah cerita ini dimulai.
Kamu bakal diajak ngeliat hal-hal yang nggak kamu bayangin sebelumnya, penuh lelucon, misteri, dan sedikit rasa takut yang malah jadi lucu. Jadi, siap-siap aja baca cerpen ini sampe habis, oke!!
Keunikan Kopi dan Cerita Mistis
Kuburan, Kopi, Dan Kacang Rebus
Matahari mulai merayap turun di ufuk barat, meninggalkan jejak cahaya oranye yang memeluk langit dengan lembut. Siluet pepohonan tua di kuburan desa tampak semakin panjang, berayun pelan ditiup angin sore. Bau tanah yang lembap bercampur dengan aroma bunga kamboja yang gugur, menciptakan suasana yang… seharusnya mencekam, tapi di tempat ini? Jauh dari kata seram.
Di bawah pohon kamboja terbesar di tengah kuburan, tiga pria paruh baya duduk melingkar di atas tikar lusuh yang sudah penuh bercak kopi. Ada Dargo, lelaki berbadan tambun dengan perut yang sedikit maju ke depan, Kemed si jangkung berkumis tebal yang selalu terlihat serius, dan Ujang, pria berkepala botak yang kalau bicara lebih banyak bumbu daripada isi.
Di depan mereka, tergeletak beberapa gelas kopi hitam dan sebungkus kacang rebus yang sudah hampir habis. Dargo mengambil satu kacang terakhir dan memasukkannya ke mulut, sementara Kemed menyesap kopinya pelan.
“Aku tuh nggak habis pikir,” Kemed membuka percakapan. “Kenapa tiap sore kita nongkrong di kuburan?”
Ujang tertawa kecil, “Karena warung kopi penuh sama bocah-bocah yang sibuk selfie, dan pos ronda penuh bapak-bapak yang hobinya bahas politik. Aku lebih milih ngobrol sama kamu berdua di sini.”
Dargo mengangguk setuju. “Iya. Lagi pula, di sini tuh damai. Sepi. Angin sepoi-sepoi. Ada pohon kamboja yang rindang. Bisa rebahan kalau capek.”
“Tapi tetap aja, Dargo. Ini tuh kuburan. Normalnya, orang ke sini buat ziarah, bukan buat nongkrong sambil ngopi,” protes Kemed.
Dargo hanya mengangkat bahu. “Ya terus kenapa? Nggak ada aturan yang bilang kalau orang nggak boleh nongkrong di kuburan.”
Kemed mendesah panjang. “Bukan masalah boleh atau nggak. Aku cuma penasaran, kalau ada orang yang lihat kita duduk santai di kuburan tiap sore, mereka mikirnya apa, ya?”
Ujang mengangkat alis. “Mungkin mereka mikir kita ini paranormal.”
Atau orang gila, pikir Kemed dalam hati.
Mereka bertiga kembali terdiam, menikmati angin sore yang berembus perlahan. Daun-daun kering berjatuhan dari pohon, beberapa terbang melayang sebelum akhirnya mendarat di atas batu-batu nisan yang tertata rapi. Suasana sepi, tapi jauh dari menyeramkan.
Tiba-tiba, terdengar suara gemerisik dari balik nisan tua yang berada di dekat mereka. Suara itu pelan, seperti sesuatu yang bergerak di antara rerumputan.
Dargo langsung berhenti mengunyah. Kemed meletakkan gelas kopinya, sementara Ujang menegang.
“Kamu denger itu?” bisik Kemed.
“Denger,” jawab Ujang, nadanya lebih pelan. “Suara apa itu?”
Mereka saling berpandangan. Seketika suasana berubah. Kuburan yang tadinya terasa damai, kini terasa… aneh.
Dargo mencoba melongok ke arah nisan tempat suara itu berasal. “Mungkin cuma angin.”
“Tapi tadi nggak ada angin,” balas Kemed cepat.
Ujang menghela napas. “Mungkin ada kucing lewat.”
Belum sempat mereka menduga lebih jauh, suara gemerisik itu terdengar lagi. Kali ini lebih jelas. Seperti sesuatu—atau seseorang—sedang bergerak perlahan.
Deg.
Mereka bertiga langsung menegang. Kemed melirik Dargo. Dargo melirik Ujang. Ujang melirik ke arah nisan.
“Aku nggak mau tahu. Aku mending pulang,” bisik Kemed seraya meraih sendalnya.
“Eh, jangan pergi dulu! Kita lihat dulu itu apa,” cegah Ujang, suaranya tetap pelan.
Dargo menelan ludah. “Kalau itu hantu, kita harus lari bareng. Jangan ada yang ninggalin siapa pun.”
“Iya,” Kemed mengangguk cepat.
Mereka bertiga perlahan berdiri, mengendap-endap ke arah nisan tempat suara tadi berasal. Ujang berada di depan, Dargo di tengah, dan Kemed di belakang.
Satu langkah.
Dua langkah.
Tiga langkah.
Mereka semakin dekat.
Sampai akhirnya…
“Mbeeeekkkk!!!”
Seekor kambing tiba-tiba melompat keluar dari balik nisan, membuat mereka bertiga berteriak kaget. Kemed hampir jatuh terduduk, Dargo mundur beberapa langkah, dan Ujang langsung menempel ke pohon kamboja dengan wajah panik.
“Woi!!! Kambing sialan!” teriak Dargo.
Kambing itu hanya menatap mereka dengan ekspresi polos, seolah berkata, Kenapa sih pada heboh? Aku cuma lagi cari makan di sini.
Ujang menepuk dadanya yang masih berdetak kencang. “Sialan! Aku kira hantu!”
Kemed masih terengah-engah. “Aku udah siap lari tadi…”
Dargo melirik kambing itu dengan tatapan tajam. “Eh, kambing! Lain kali kalau mau nongol, kasih aba-aba dulu, dong!”
Kambing itu tetap diam, lalu dengan santainya berjalan menjauh, meninggalkan tiga pria yang masih shock.
Setelah beberapa detik hening, Ujang akhirnya bersuara, “Ternyata, di kuburan ini bukan hantunya yang bikin jantungan, tapi kambingnya.”
Dargo tertawa. “Aku bilang juga apa, kalau bukan hantu, ya pasti kambing.”
Kemed menghela napas panjang, lalu kembali duduk di tikar dengan lemas. “Aku kira tadi malem terakhirku di dunia…”
Matahari semakin tenggelam, sinarnya memantulkan warna keemasan pada batu-batu nisan. Suasana kembali damai. Mereka bertiga akhirnya tertawa lepas, menyadari betapa konyolnya ketakutan mereka barusan.
Di kuburan ini, ketakutan dan tawa ternyata bisa berjalan beriringan. Dan mereka tahu, petualangan sore mereka belum berakhir.
Hantu, Kambing, Atau Halusinasi
Matahari akhirnya tenggelam sempurna di ufuk barat, menyisakan semburat jingga tipis yang perlahan larut dalam gelap. Udara menjadi lebih dingin, dan suasana di kuburan berubah drastis. Kalau tadi masih ada siluet pepohonan yang menggambarkan kehangatan sore, sekarang semuanya gelap gulita.
Dargo menghembuskan napas panjang sambil menyalakan senter dari ponselnya. “Oke. Aku rasa kita harus pulang sekarang.”
“Setuju. Kita udah cukup banyak jantungan hari ini,” sahut Kemed sambil meregangkan tubuhnya.
Ujang masih duduk bersila, menatap ke langit yang mulai dipenuhi bintang. “Kalian nggak penasaran?”
Kemed menoleh. “Penasaran apaan?”
Ujang menunjuk ke arah nisan tempat kambing tadi muncul. “Tadi kita kira itu hantu, ternyata cuma kambing. Tapi gimana kalau tadi beneran ada sesuatu?”
Dargo dan Kemed langsung menoleh ke Ujang dengan tatapan tajam.
“Jangan aneh-aneh, Jang,” tegur Kemed, wajahnya mulai serius. “Udah malam, kuburan makin gelap. Kamu jangan mulai ngomong yang aneh-aneh.”
Ujang terkekeh. “Lah, ini kan cuma mikir logis.”
Dargo mengusap wajahnya. “Logis gimana, coba?”
“Kambing itu muncul dari belakang nisan, kan?” Ujang menjelaskan. “Tapi di sana nggak ada jalan, cuma ada pagar bambu. Aku penasaran, kambingnya dari mana?”
Hening.
Kemed menatap Ujang lekat-lekat. “Mungkin dia nyelip dari bawah pagar.”
“Atau dia turun dari langit?” celetuk Dargo asal.
Ujang mengangkat bahu. “Mungkin. Tapi tetap aja, feelingku bilang ada yang aneh.”
Kemed mulai merasa tak nyaman. “Udah, udah. Nggak usah dibahas. Kita pulang aja.”
Namun, sebelum mereka sempat berdiri, tiba-tiba terdengar suara “bruk!” dari arah nisan tua di pojok kuburan.
Mereka bertiga sontak membeku.
Dargo menelan ludah. “Apa… barusan?”
Ujang perlahan menyalakan senternya dan mengarahkannya ke sumber suara. Cahaya menyapu batu-batu nisan, rerumputan, dan pepohonan di sekitar mereka.
Sepi.
Kemed bergidik. “Aku nggak suka ini.”
Lalu, sesuatu bergerak.
Bukan suara gemerisik seperti sebelumnya. Kali ini, terdengar suara langkah kaki yang berat. Seperti seseorang yang sedang menyeret sesuatu di tanah.
Deg.
Jantung mereka bertiga berdetak lebih cepat. Dargo menggenggam senter ponselnya lebih erat, sementara Kemed tanpa sadar sudah bersiap untuk lari.
Ujang menajamkan matanya ke arah sumber suara. Lalu, tiba-tiba…
BRAK!
Sebuah bayangan besar jatuh dari pohon kamboja dan menghantam tanah dengan bunyi keras.
Kemed menjerit. “AAAAAA!!”
Dargo reflek melempar gelas kopinya. “LARI, WOI!!”
Ujang sudah bangkit duluan, siap kabur. Namun sebelum mereka sempat berlari, terdengar suara erangan lirih dari bayangan yang jatuh tadi.
“Uuhhh… aduh…”
Mereka bertiga berhenti di tempat.
Kemed menelan ludah. “Hantunya… ngomong?”
Dargo kembali menyorotkan senter ke arah bayangan tersebut. Dan di sanalah… seorang lelaki berbaju lusuh dengan rambut acak-acakan sedang mengerang kesakitan sambil memegangi pinggangnya.
“… Manusia?” Dargo mengerjap.
Ujang maju selangkah, menatap pria itu dengan dahi berkerut. “Siapa kamu?”
Pria itu masih meringis, lalu mengangkat kepalanya perlahan. Matanya merah, entah karena ngantuk atau kena debu. “Aku… aku jatuh dari pohon.”
Kemed mengangkat alis. “Ngapain kamu di atas pohon?”
Pria itu menggaruk kepalanya yang kotor. “Aku lagi tidur.”
Dargo, Kemed, dan Ujang saling berpandangan.
“Tunggu. Kamu tidur di atas pohon? Di kuburan?” Dargo bertanya penuh curiga.
Pria itu mengangguk. “Iya. Kenapa?”
Kemed masih shock. “Ya kenapa nggak di rumah aja?!”
Pria itu menghela napas panjang. “Lama ceritanya. Tapi intinya, aku nggak punya rumah.”
Mereka bertiga langsung diam.
Dargo akhirnya berdehem, mencoba meredakan suasana. “Oke. Jadi, kamu semacam… tunawisma?”
Pria itu mengangguk lesu. “Aku nggak punya tempat tinggal. Udah lama tidur di sini.”
Ujang mulai merasa iba. “Kamu nggak takut?”
Pria itu tertawa kecil. “Takut? Sama siapa? Hantu? Percaya deh, aku lebih takut nggak punya makan daripada hantu.”
Dargo menggaruk kepalanya. “Yah… kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga.”
Kemed masih belum bisa menerima kenyataan bahwa mereka baru saja ketakutan setengah mati karena seorang lelaki nyasar yang tidur di pohon. “Jadi… selama ini suara aneh yang kita denger, itu kamu?”
Pria itu mengangguk polos. “Mungkin. Aku sering turun buat cari makan kalau ada orang yang ninggalin sesajen.”
Dargo, Kemed, dan Ujang langsung menoleh ke arah sesajen di salah satu nisan. Dargo melipat tangan. “Tunggu. Kamu makan sesajen?”
Pria itu mengangkat bahu. “Daripada dibuang…”
Ujang memijat pelipisnya. “Astaga…”
Mereka bertiga akhirnya duduk kembali, masih mencoba mencerna kenyataan bahwa “hantu” yang mereka takutkan ternyata hanyalah pria kelaparan yang menjadikan kuburan sebagai tempat tinggal.
Setelah beberapa saat hening, Dargo pun membuka kacang rebus terakhir dari kantong plastiknya, lalu melemparkannya ke pria itu.
“Nih, makan.”
Pria itu menyambut kacang tersebut dengan mata berbinar. “Makasih!”
Kemed mendesah panjang. “Aku masih nggak percaya, dari takut hantu jadi kasih makan gelandangan.”
Ujang menyeringai. “Setidaknya kita belajar satu hal penting hari ini.”
“Apa?” tanya Dargo.
“Kalau kamu denger suara aneh di kuburan, jangan buru-buru lari. Bisa aja itu cuma orang lapar.”
Mereka bertiga langsung tertawa. Malam semakin gelap, tetapi kehangatan tawa mereka membuat suasana kuburan terasa lebih hidup daripada yang seharusnya.
Dan mereka tahu, malam ini masih jauh dari kata selesai.
Warung Dibalik Kuburan
Malam makin larut, dan angin yang bertiup semakin dingin. Di bawah pohon kamboja tempat pria misterius itu jatuh, Dargo, Kemed, dan Ujang masih duduk melingkar. Mereka belum bisa move on dari kenyataan bahwa “hantu” yang mereka takutkan ternyata hanyalah seorang pria kelaparan yang tidur di atas pohon.
Pria itu mengunyah kacang rebus dengan lahap, lalu menatap mereka bertiga. “Jadi, kalian sering nongkrong di kuburan?”
Kemed mendesah panjang. “Bukan sering. Baru kali ini aja karena kejebak situasi.”
“Situasi?”
Ujang menyeringai. “Situasi di mana Kemed percaya bahwa dia melihat pocong, lalu kita semua hampir jantungan, dan ternyata itu cuma kambing.”
Dargo menghela napas. “Terus pas kita pikir kita beneran ketemu hantu, ternyata kamu.”
Pria itu mengangguk-angguk. “Oh, gitu. Berarti kalau kalian ke sini lagi besok, aku harus nyamar jadi pocong beneran biar lebih seru.”
Kemed langsung menoleh tajam. “Jangan macem-macem kamu.”
Pria itu terkekeh, lalu membersihkan tangannya yang penuh kulit kacang. “Oh iya, aku belum kenalan. Nama aku Sabar.”
Dargo, Kemed, dan Ujang saling pandang.
Ujang mengangkat alis. “Nama kamu… Sabar?”
“Iya. Kenapa? Nggak cocok?”
Dargo menghela napas. “Ya, lebih cocok kalau namamu Panik. Soalnya kalau tadi kamu muncul sedikit lebih lama, mungkin kita udah kabur ke kecamatan sebelah.”
Sabar tertawa lepas. “Ya maaf, ya. Aku juga nggak nyangka bakal jatuh pas kalian lagi di sini.”
Kemed mendengus. “Jadi kamu beneran tinggal di kuburan ini?”
Sabar mengangguk santai. “Udah sekitar dua bulan.”
“Terus makan dari mana?”
Sabar menunjuk sesajen di beberapa nisan. “Kadang dari situ, kadang dari warung.”
Mereka bertiga langsung mengernyit.
Ujang menatapnya curiga. “Warung? Warung mana? Sejauh yang aku tau, di sekitar kuburan ini nggak ada warung sama sekali.”
Sabar menyeringai. “Makanya, kalian ini kurang eksplorasi. Kalian pikir aku tiap hari makan bunga melati sama dupa?”
Dargo ikut penasaran. “Jadi ada warung di sekitar sini?”
Sabar berdiri, menepuk-nepuk celananya yang berdebu. “Mau aku tunjukin?”
Mereka bertiga saling tatap. Sebagai orang yang udah cukup banyak mengalami kejadian absurd malam ini, tawaran itu jelas menarik.
“Warung di mana?” tanya Kemed.
Sabar menunjuk ke arah belakang kuburan. “Di situ. Di balik tembok.”
Kemed mengernyit. “Nggak ada apa-apa di sana.”
Sabar terkekeh. “Ya jelas nggak keliatan dari sini. Ikut aja.”
Setengah ragu, Dargo, Kemed, dan Ujang akhirnya berdiri dan mengikuti Sabar yang melangkah santai ke arah belakang kompleks kuburan.
Mereka melewati deretan nisan tua, rerumputan yang mulai meninggi, dan pohon beringin besar yang terlihat menyeramkan dalam gelap.
“Tunggu,” kata Kemed, tiba-tiba berhenti. “Kamu yakin kita nggak akan kesasar?”
Sabar menoleh sambil tersenyum. “Percaya deh. Aku udah hapal setiap sudut kuburan ini.”
Dargo menghela napas, berusaha tetap tenang. “Kalau kita nyasar, aku bakar baju kamu.”
Sabar tertawa. “Boleh, asal kamu yang kasih gantinya.”
Mereka terus berjalan, hingga akhirnya Sabar berhenti di depan tembok tinggi yang membatasi area kuburan.
“Ini dia,” kata Sabar sambil menunjuk tembok itu.
Kemed mengerutkan kening. “Mana warungnya? Ini cuma tembok.”
Sabar menyeringai, lalu meraba bagian bawah tembok dan menarik sesuatu.
KRIEEET…
Sebuah pintu kayu kecil terbuka.
Dargo melongo. “Seriusan ada pintu rahasia?”
Ujang menelan ludah. “Aku udah nonton banyak film horor, dan ini biasanya awal dari keputusan bodoh.”
Sabar masuk duluan ke dalam, sementara yang lain masih ragu-ragu.
Dari dalam, terdengar suara Sabar berkata, “Cepetan masuk, sebelum pintunya nutup sendiri.”
Dargo, Kemed, dan Ujang langsung tersentak.
Kemed panik. “Apa tadi? Nutup sendiri?”
“Bercanda!” sahut Sabar sambil ngakak.
Dargo mengelus dada. “Aku gampar juga nih orang.”
Akhirnya, mereka bertiga masuk ke dalam, dan begitu mereka melewati pintu kecil itu, mereka langsung disambut oleh sesuatu yang tidak mereka sangka.
Sebuah warung kecil berdiri di antara pepohonan. Warung itu terlihat biasa saja, dengan lampu bohlam kuning yang menggantung di langit-langitnya, beberapa meja kayu, dan seorang bapak tua yang sedang duduk di balik meja kasir sambil menghisap rokok.
Ujang mengerjap. “Gila… Ini beneran ada warung?”
Sabar tersenyum bangga. “Selamat datang di warung Pak Roso. Tempat nongkrong favorit para warga dunia lain.”
Dargo menelan ludah. “Dunia lain?”
Pak Roso, si pemilik warung, tiba-tiba tertawa kecil. “Santai, Nak. Warung ini cuma buat orang-orang yang tersesat… atau yang lapar.”
Mereka bertiga langsung merinding setengah mati.
Dan petualangan aneh di kuburan pun berlanjut.
Kopi Dibalik Nisan
Dari sudut warung, aroma kopi hitam yang baru diseduh menguar, berpadu dengan asap rokok Pak Roso yang merayap perlahan ke udara malam. Di meja kayu yang agak berdebu, Dargo, Kemed, dan Ujang duduk melingkar, menatap penuh keheranan pada segelas kopi yang baru saja diserahkan oleh Pak Roso.
“Ini kopi dari biji khusus,” kata Pak Roso sambil menyendokkan gula ke dalam gelas Dargo. “Biji kopi ini cuma tumbuh di sekitar sini. Jadi kalau kamu nggak suka rasanya, ya, itulah kopi di kuburan.”
Kemed mengangkat alis, sedikit ragu. “Kopi kuburan? Hahaha, ini seriusan?”
Pak Roso mengangguk serius. “Serius, Nak. Semua yang di sini punya cerita. Termasuk kopi ini.”
Dargo mengambil cangkir kopi dan mencicipi sedikit. Bibirnya bergerak maju. “Aneh sih, tapi ada rasa uniknya. Kayak ada yang… mistis.”
Ujang memandangnya dengan ekspresi tak percaya. “Mistik? Apa yang mistis dari kopi hitam? Nggak gitu, kan?”
Kemed menahan tawa. “Nggak tau sih, cuma emang rasanya tuh ada yang beda, kayak ada yang ngikutin gitu.”
Sabar, yang sedang duduk di pojok, menatap mereka dengan senyum lebar. “Mau aku kasih tau cerita asli kopi ini?”
Ketiganya langsung mendongak, penasaran.
“Gini,” lanjut Sabar sambil menyandarkan tubuh pada dinding, “konon katanya, kopi ini ditanam oleh seseorang yang dulu suka banget nongkrong di kuburan ini. Setiap kali dia datang, dia minum kopi sambil ngobrol dengan roh-roh yang ada di sekitar sini.”
Dargo memutar gelas kopinya, mencoba menyelami cerita itu. “Jadi, ini kopi roh?”
“Bukan, haha. Kopi ini cuma… ya, terasa lain aja. Katanya, yang minum kopi ini bakal dapet ‘petunjuk’ dari dunia lain.”
Ujang menatap ke dalam gelas. “Petunjuk apa, nih? Jangan-jangan aku dikasih jalan buat jadi hantu selanjutnya.”
Kemed tertawa. “Iya, bisa-bisa kita semua ikut nongkrong di sini selamanya. Eh, jangan-jangan itu tujuan Sabar ngajakin kita minum di sini.”
Sabar hanya tertawa. “Ya, bisa jadi. Tapi nggak ada yang harus ditakutin. Kalau kamu nggak takut sama dunia ini, dunia itu nggak bakal ganggu kamu. Makanya, kalian jangan takut sama apapun yang kalian lihat atau dengar.”
Pak Roso tiba-tiba mencairkan suasana dengan kalimat kocaknya. “Tapi kalau lihat setan pake kacamata, ya, tetap aja serem, kan?”
Semua terdiam sejenak, lalu tertawa bersamaan. Ujang sampai hampir tersedak kopi.
“Maksud kamu, kita harus tenang-tenang aja, ya?” tanya Dargo sambil mengatur napas.
“Iya,” jawab Sabar. “Semua ini, baik kuburan atau kehidupan, cuma soal perspektif. Orang-orang takut sama apa yang nggak mereka ngerti. Tapi kalau kita udah ngerti, ya, semuanya jadi biasa aja.”
Pak Roso mengangkat cangkirnya, menikmati kopi. “Betul. Kadang, yang kita takutkan itu justru cuma bayangan kita sendiri.”
Malam semakin larut, dan ketiga sahabat itu mulai merasa aneh. Entah karena kopi atau suasana kuburan yang mempengaruhi mereka, atau mungkin karena cerita yang Sabar berikan begitu menggelitik hati.
Ketika mereka berdiri dan bersiap untuk pulang, Dargo menoleh ke belakang, melihat warung Pak Roso yang makin redup di balik pohon-pohon tua.
“Gila, ini warung bisa dibilang tempat paling aneh yang pernah kita kunjungi, ya?” kata Dargo.
Kemed mengangguk. “Tapi aneh-aneh begini, malah kayak bikin kita lebih santai.”
Ujang yang biasanya penuh canda, kini sedikit lebih serius. “Aku merasa aneh, tapi enak. Kayak… ya, nggak ada yang perlu ditakutin. Kalian tahu kan, di luar sana, semuanya tuh cuma ilusi?”
Sabar melirik mereka dengan senyum yang penuh arti. “Persis. Kalau kalian bisa tenang dan buka mata, kalian bakal lihat banyak hal di dunia yang lebih indah daripada yang kalian bayangkan.”
Mereka berjalan keluar dari kuburan, meninggalkan warung itu dan menyusuri jalan setapak yang menuju ke pintu keluar. Angin malam yang segar menemani langkah mereka, seolah-olah menghapus rasa takut yang sempat menggelayuti pikiran mereka.
Sesampainya di luar kuburan, mereka berhenti sejenak. Dargo menoleh ke arah kuburan, di mana tembok dan pohon-pohon besar menutupi pandangan mereka ke dalam.
“Tahu nggak,” katanya sambil tersenyum, “mungkin kita harus sering-sering ke sini, ya. Ngobrol bareng Sabar dan Pak Roso.”
Kemed mengangguk sambil tertawa. “Iya, siapa tahu ada warung lain yang jualan cerita absurd yang nggak bakal kita temui di tempat lain.”
Ujang tersenyum lebar. “Betul! Dan sekarang, aku tahu kalau kuburan nggak cuma tempat orang tidur. Tapi juga tempat orang menikmati kopi dan cerita.”
Dengan langkah ringan dan tawa yang terus mengiringi, mereka meninggalkan kuburan, merasakan kedamaian yang tak terduga setelah malam yang penuh kejutan ini. Dunia mereka tak lagi seseram dulu, dan mungkin, hanya karena sedikit humor yang membuat semuanya terasa lebih hidup.
Gimana, kamu udah ngerasain keseruan dan kekonyolan yang datang bareng kopi kuburan ini? Ternyata, kadang yang kita anggap seram bisa jadi malah bikin ketawa.
Dan siapa tahu, mungkin di balik tempat yang terlihat nggak biasa, ada cerita-cerita yang bikin kita nggak takut lagi. Jadi, kalau ada kesempatan, coba deh cari cerita lain di tempat-tempat yang nggak biasa. Siapa tahu, kamu bisa jadi bagian dari cerita aneh yang seru kayak ini!


