Cerpen Masa Kecil Nakal: Petualangan Seru dan Lucu Tiga Sekawan Superhero Kecil

Posted on

Pernah nggak sih, waktu kecil kamu iseng banget sama temen-temen, nggak peduli mau jadi superhero atau cuma lari-lari aja? Nah, cerpen kali ini bakal bawa kamu ke masa kecil yang penuh kekonyolan dan kenakalan bareng tiga sekawan yang nggak pernah lelah cari masalah. Siap-siap tertawa, karena petualangan seru mereka bakal bikin kamu nggak bisa berhenti senyum!

 

Cerpen Masa Kecil Nakal

Hantu Pasar Gagal Total

Pasar sore di desa itu selalu ramai. Pedagang berteriak menawarkan dagangan, ibu-ibu menawar harga seolah nyawa mereka bergantung pada diskon seribu perak, dan anak-anak kecil berlarian, mencuri kesempatan mencicipi jajanan gratis dari pedagang yang lengah.

Di balik warung sayur Bu Mirah, tiga bocah berjongkok dengan wajah penuh rencana licik.

“Jadi gini, kita pura-pura jadi hantu, terus nakut-nakutin orang!” kata Benu dengan suara penuh semangat.

Kibo mengangguk cepat. “Iya! Apalagi kalau yang lewat anak kecil, pasti langsung lari!”

Jaya menatap mereka dengan dahi berkerut. “Tapi kalau yang lewat bapak-bapak gimana? Gimana kalau malah kita yang kena pentung?”

Benu mendecak. “Makanya kita pilih korban yang lemah. Misalnya, anak kecil, ibu-ibu, atau yang jalannya pelan.”

Tanpa menunggu lebih lama, mereka mengeluarkan kain putih yang tadi dicuri dari jemuran rumah Kibo. Dengan gesit, mereka melubangi bagian mata dan mengenakannya seperti jubah.

“Widih, kita beneran mirip hantu!” seru Kibo sambil melihat ke arah bayangan mereka di tanah.

Benu terkekeh. “Udah, siap-siap. Nanti pas ada orang lewat, kita langsung keluar!”

Mereka berjongkok di balik tumpukan karung beras, menunggu korban pertama. Tak lama kemudian, seorang ibu-ibu lewat sambil menggendong anak kecil. Tiga sekawan itu saling pandang.

“Gas, sekarang!” bisik Benu.

Mereka melompat keluar dengan gerakan teatrikal.

“WOOOO… AKUUU HANTUUUU!!”

Si ibu menoleh, menatap mereka selama tiga detik, lalu—

“Hadeh, bocah-bocah kampung!” katanya datar, lalu lanjut berjalan seolah tak terjadi apa-apa.

Tiga sekawan itu saling melirik, kecewa.

“Lah? Kok gak takut?” tanya Jaya dengan wajah bingung.

Benu menggeleng. “Salah target, kayaknya.”

Mereka kembali ke persembunyian, menunggu korban berikutnya. Tak lama, datanglah seorang anak kecil berusia sekitar enam tahun, berjalan sendirian sambil membawa seplastik jajanan.

“Ini dia! Sikat!” seru Kibo.

Mereka kembali melompat keluar.

“WOOOO!! AKU HANTUUU!!”

Anak kecil itu langsung menjerit. Plastik jajanannya terlepas dan ia lari terbirit-birit sambil menangis.

Kibo, Benu, dan Jaya langsung jatuh ke tanah sambil menahan tawa.

“HAHAHAHA! LIAT TUH, KABUR BENERAN!” ujar Kibo sambil memegangi perutnya.

“Kayak bocah baru lahir, dikit-dikit nangis!” ejek Benu.

Namun, tawa mereka mendadak berhenti saat mendengar suara berat dari belakang.

“Heh. Ngapain kalian?”

Tiga sekawan itu langsung menoleh. Di hadapan mereka berdiri seorang pria berotot, dengan wajah serius dan tatapan seperti macan kelaparan. Itu Pak Darto, tukang kayu yang sering membawa golok kemana-mana.

“Anu… anu…” Benu mencoba mencari alasan.

Tapi Pak Darto sudah melipat tangan di dada. “Tadi kalian yang nakut-nakutin anak kecil, ya?”

Jaya mencoba nyengir. “Enggak, Pak, kami cuma… eeehh… latihan teater!”

Pak Darto menatap mereka tanpa ekspresi. Lalu, tanpa peringatan, tangannya terangkat dan—

PLAK!

Ia menepuk kepala Benu pelan, tapi cukup membuat bocah itu terhuyung.

“Hantu kok pendek!” katanya sambil tertawa.

Kibo dan Jaya langsung ngakak. Tapi Benu, yang harga dirinya hancur seketika, hanya bisa diam sambil menahan kesal.

Pak Darto menggeleng sambil berjalan pergi. “Dasar bocah-bocah aneh,” gumamnya.

Tiga sekawan itu masih terdiam. Setelah beberapa detik, Jaya menepuk bahu Benu.

“Udahlah, Benu… meskipun gagal, setidaknya kita udah coba.”

Benu mendengus. “Gak mau tau! Besok kita harus bikin yang lebih serem!”

Kibo mengangkat alis. “Maksud kamu?”

Senyum licik terulas di wajah Benu. “Kita harus buat rencana yang lebih gila. Kita bakal jadi hantu yang gak akan bisa diketawain lagi!”

Dan begitu saja, tiga sekawan itu merencanakan kenakalan berikutnya… yang tentu saja, akan semakin kacau.

 

Eksperimen Pedas Kibo

Keesokan harinya, tiga sekawan kembali berkumpul di bawah pohon jambu dekat pasar. Setelah rencana hantu kemarin gagal total, mereka tahu harus mencari cara lain untuk menghibur diri. Dan seperti biasa, ide-ide gila selalu muncul dari kepala mereka.

“Oke, dengerin, kita harus bikin sesuatu yang bikin orang kaget, tapi gak ketahuan kalau kita pelakunya,” kata Benu dengan wajah penuh semangat.

Jaya mengangguk setuju. “Tapi jangan sampai kita kena masalah lagi. Kemarin aja hampir kena gampar Pak Darto.”

Kibo yang sedari tadi mengunyah pisang goreng tiba-tiba berseru, “Aku punya ide! Gimana kalau kita kasih orang makanan pedas, terus kita lihat reaksinya?”

Benu dan Jaya saling pandang.

“Maksudnya?” tanya Jaya.

Kibo tertawa kecil. “Gini, kan banyak orang di pasar yang suka nyicipin jajanan gratis. Nah, kita tinggal ganti isinya sama yang super pedas! Gak ada yang bakal tahu kita yang bikin!”

Benu langsung bersorak. “Wah, keren tuh! Tapi kita butuh cabai yang pedasnya nendang banget!”

Mereka pun pergi ke warung Bu Mirah, tempat di mana segalanya bisa ditemukan—termasuk cabai merah keriting yang terkenal pedasnya seperti neraka.

“Bu Mirah, cabai yang paling pedas yang ada di sini apa?” tanya Kibo dengan wajah polos.

Bu Mirah menyipitkan mata. “Heh, buat apa kalian? Mau masak rendang?”

Benu cepat-cepat menyahut. “Iya, Bu! Masak rendang buat… buat bapak kami di rumah!”

Bu Mirah terkekeh sambil menyerahkan segenggam cabai merah. “Hati-hati, ini pedas banget, lho. Jangan sampe nangis nanti!”

Setelah mendapatkan cabai, mereka pun mencari mangsa pertama.

Di tengah pasar, ada seorang bapak tua yang selalu suka nyicipin makanan gratis di lapak gorengan Pak Joni.

“Nah, ini dia korbannya!” bisik Jaya.

Mereka segera membeli beberapa tahu goreng dan dengan hati-hati menyelipkan cabai yang sudah mereka tumbuk halus ke dalamnya.

Setelah semuanya siap, mereka pura-pura menjadi pelanggan biasa di dekat lapak Pak Joni, menunggu saat yang tepat.

Tak butuh waktu lama, si bapak tua datang. Seperti biasa, tanpa ragu, ia mengambil sepotong tahu goreng dari samping wajan dan menggigitnya.

Detik pertama, tak ada reaksi.

Detik kedua, wajahnya mulai berubah.

Detik ketiga…

“GAAAHHH!!” bapak tua itu berteriak sambil melompat-lompat.

“PANAS!! PANAS!!” Ia berlari ke arah ember air, menyedoknya dengan tangan kosong, dan menyiram wajahnya sendiri.

Tiga sekawan itu langsung terjatuh ke tanah sambil tertawa terpingkal-pingkal.

“HAHAHAHA! LIHAT MUKANYA! KAYAK KEBAKARAN!” teriak Kibo.

Benu memegangi perutnya. “Aku… aku gak kuat… ini lebih sukses dari rencana hantu kemarin!”

Tapi di tengah tawa mereka, tiba-tiba suara berat terdengar dari belakang.

“HEH! KALIAN LAGI, YA?!

Mereka menoleh dan langsung membeku.

Pak Joni menatap mereka dengan tangan bertolak pinggang. Sementara di belakangnya, bapak tua yang jadi korban masih kepanasan sambil mengipas-ngipas mulutnya dengan tangan.

“Kalian yang bikin ini, ya?!?” bentak Pak Joni.

Jaya buru-buru geleng-geleng. “Bukan, Pak! Kami cuma… cuma…”

Kibo, yang biasanya jago mencari alasan, malah panik dan spontan berkata: “Bukan kami! Itu… itu tahu emang udah terkutuk dari sananya!”

Benu langsung menepuk jidatnya.

Pak Joni mendengus, lalu menunjuk ke arah mereka. “Udah, kalian semua lari sebelum aku kejar!”

Tanpa pikir panjang, mereka langsung kabur secepat kilat, berlari zig-zag di antara orang-orang pasar.

Sementara di belakang mereka, suara Pak Joni masih terdengar.

“KALIAN NGGAK BOLEH BELI GORENGAN DI SINI LAGI SEUMUR HIDUP!!”

Tiga sekawan itu terus berlari, tertawa terbahak-bahak.

Mereka tahu mereka bakal dicap sebagai bocah paling nakal sepasar, tapi bagi mereka, ini adalah kemenangan besar.

Namun, tanpa mereka sadari, petualangan mereka belum selesai. Karena di rumah, ada satu masalah besar yang menunggu Kibo…

 

Jubah Super Hero Yang Berujung Petaka

Setelah pelarian di pasar, tiga sekawan itu berhasil bersembunyi di rumah Kibo, di mana mereka akhirnya berhenti berlari dan mulai kembali ke “rencana besar” mereka.

Mereka duduk di ruang tamu rumah Kibo yang sederhana, dengan jendela yang terbuka lebar dan kipas angin yang berputar pelan. Kibo, yang masih kepanasan akibat dikejar Pak Joni, akhirnya mengambil napas panjang dan memutuskan untuk berbicara.

“Aku punya ide baru, guys! Tapi kali ini, kita harus lebih hati-hati.”

Benu dan Jaya menoleh dengan penuh minat.

“Apa tuh?” tanya Benu.

Kibo menunjuk ke lemari pakaian di sudut ruangan. “Kita bakal jadi superhero! Tapi, bukan superhero biasa. Kita pakai kostum, tapi bukan kostum yang sembarangan.”

Mata Benu dan Jaya bersinar. “Wah, superhero! Itu ide yang gokil!”

Kibo berdiri dan membuka lemari pakaian, mengeluarkan selembar kain merah yang sudah usang. Itu adalah kain bekas taplak meja yang digunakan oleh nenek Kibo untuk menutupi meja makan.

“Kita bakal jadi superhero dengan jubah merah! Kita terbang keliling kampung dan menolong orang-orang yang butuh bantuan!” seru Kibo.

Jaya tertawa. “Eh, tapi… kalau kita gak bisa terbang gimana?”

Kibo menyeringai. “Bodo amat! Yang penting, kita keliatan keren dulu!”

Mereka pun segera mengenakan jubah merah itu dengan penuh semangat. Benu dan Jaya terlihat konyol dengan kain besar yang melilit di tubuh mereka, sementara Kibo memakai jubahnya dengan penuh gaya, berusaha berjalan seolah-olah dia benar-benar superhero.

“Jadi, apa yang kita lakukan pertama?” tanya Benu, yang tampaknya sudah siap untuk beraksi.

Kibo berpikir sejenak. “Kita bisa bantu orang yang nyasar! Atau kita cari orang yang butuh bantuan, dan kita selamatkan!”

Jaya mengangkat tangan. “Aku ada ide! Gimana kalau kita tolongin Pak Darto? Kan dia udah marah-marah sama kita terus. Kita bantuin dia potong kayu atau angkat barang!”

Benu langsung mengernyit. “Itu ide jelek! Kalau kita bantu dia, kita malah bisa dimarahin lagi.”

Namun, Kibo justru setuju. “Eh, ide bagus tuh! Kita harus bikin dia kagum sama kita. Kita kan superhero, harus bisa bantu siapa aja!”

Akhirnya, mereka memutuskan untuk pergi ke rumah Pak Darto, yang kebetulan sedang memotong kayu di belakang rumahnya. Dengan penuh percaya diri, mereka berlari menuju ke sana, mengenakan jubah merah yang mengibaskan angin saat mereka berlari.

Sesampainya di sana, Pak Darto tengah asyik memotong kayu dengan golok besar. Begitu melihat tiga bocah aneh mengenakan jubah merah, Pak Darto mendengus.

“Bocah-bocah ini mau ngapain lagi?” katanya sambil menatap mereka dengan tatapan curiga.

Kibo langsung maju dan berpose seperti pahlawan. “Pak Darto, kami datang untuk menolongmu! Kami adalah Superhero Jagoan yang siap membantu!”

Pak Darto mengangkat alis. “Superhero? Jagoan? Hahah, kalian pikir kalian bisa bantu apa?”

Jaya yang paling gencar berbicara, menjawab, “Kita bisa bantu angkat kayu, potong ranting, atau apa aja deh! Kami punya kekuatan super!”

Pak Darto menyeringai. “Oke, kalau begitu, buktikan aja! Angkat kayu ini, kalau kalian bisa!” katanya, lalu menunjuk ke batang kayu besar yang hampir sebesar tubuh mereka.

Tiga sekawan itu saling pandang. Kibo yang merasa paling kuat langsung maju dan mencoba mengangkat kayu itu, tapi begitu batang kayu itu diangkat sedikit, dia langsung terjatuh karena terlalu berat.

Benu dan Jaya juga mencoba, tetapi hasilnya sama.

Pak Darto tertawa terbahak-bahak. “Hahaha! Kalian ngapain sih? Superhero kok gak bisa angkat kayu!”

Tapi Kibo yang tak mau kalah, malah berteriak, “Tunggu! Ada cara lain! Kita bakal buktikan kekuatan kita dengan cara lain!”

Tanpa berpikir panjang, Kibo melompat ke atas sebuah dahan pohon yang dekat, mengayunkan tubuhnya, dan mencoba menggapai sesuatu di atasnya. Namun, saat tangannya hampir sampai ke cabang teratas, tiba-tiba kain merah jubahnya tersangkut di cabang pohon.

“ERRR…!”

Kibo tergantung dengan jubah merah yang kini terjuntai. Semua orang, termasuk Pak Darto, hanya bisa menatapnya dengan mulut terbuka.

Tiba-tiba, jubah itu terlepas, dan Kibo jatuh ke tanah dengan suara yang keras.

“Aduh!” Kibo mengerang sambil memegang punggungnya.

Pak Darto, meskipun agak kesal, tak bisa menahan tawanya. “Hahaha! Ini baru namanya superhero!”

Tiga sekawan itu hanya bisa terdiam, lalu akhirnya ikut tertawa meskipun malu. Mereka sadar, petualangan mereka kali ini agak berlebihan, tapi setidaknya mereka masih bisa tertawa bersama.

Namun, mereka juga tahu, petualangan berikutnya pasti akan lebih seru… atau mungkin lebih berbahaya.

 

Penghujung Petualangan Super Hero

Hari itu, tiga sekawan merasa dunia mereka benar-benar berbeda. Setelah kegagalan di rumah Pak Darto, Kibo, Benu, dan Jaya hanya bisa tertawa terpingkal-pingkal. Mereka tahu mereka sudah berada di titik paling konyol dalam hidup mereka, tetapi itu adalah bagian dari petualangan yang tak akan terlupakan.

Namun, ada satu masalah yang kini menanti mereka. Mereka tiba-tiba diingatkan oleh suara keras yang datang dari arah rumah Kibo.

“KIBO!! BENNU!! JAYA!! KEMBALI KE RUMAH!! SEKARANG JUGA!!”

Suara itu milik Ibu Kibo, yang selalu punya cara tersendiri untuk memberi perintah tanpa bisa ditolak. Mereka bertiga saling pandang dengan ekspresi yang berubah panik.

“Oh no, itu suara Ibu! Gimana nih, guys?!” Kibo berbisik dengan nada khawatir, tapi Benu dengan santainya malah menjawab.

“Ya udahlah, kita pergi aja. Kalau gak, kita bakal dicari sampai ke ujung dunia, tuh!”

Jaya yang lebih cemas langsung bergerak cepat. “Ayo, cepat! Gak ada waktu buat malu-malu lagi!”

Mereka berjalan tergesa-gesa pulang, melewati jalan setapak di antara sawah, dengan jubah merah mereka yang masih terpasang rapi, meskipun agak lusuh. Di tengah perjalanan, mereka bertiga berhenti sejenak di sebuah bangku kayu dekat jembatan, sambil mengatur napas.

“Jadi, ini beneran akhir dari petualangan kita?” tanya Benu, menatap Kibo.

Kibo mengangguk pelan. “Iya, kayaknya sih iya. Tapi gak apa-apa, yang penting kita udah seru-seruan bareng. Kita udah jadi superhero walaupun enggak beneran, kan?”

Jaya menyeringai. “Iya, sih, setidaknya kita bikin orang ketawa!”

Mereka bertiga tertawa bersama, dan untuk beberapa detik, semua yang terasa cemas dan penuh drama itu seakan hilang. Mereka tahu, meskipun hidup mereka kadang berantakan, mereka tetap punya satu sama lain. Itulah kekuatan sesungguhnya.

Setelah beberapa saat, mereka melanjutkan langkah mereka menuju rumah Kibo. Begitu sampai, Ibu Kibo sudah berdiri dengan tangan bersilang di depan pintu. Wajahnya tampak serius, tapi matanya menyiratkan rasa kesal yang sudah lama terkumpul.

“Kalian, ya! Berani banget keluar rumah pakai kostum aneh-aneh! Lihat apa yang kalian buat!” Ibu Kibo berkata, menunjuk ke jubah merah yang masih menempel di tubuh mereka.

Namun, yang mengejutkan adalah reaksi Ibu Kibo yang tidak seperti biasanya. Tanpa diduga, dia menghela napas panjang dan kemudian berkata, “Kalian anak-anak memang bandel, tapi setidaknya kalian bisa bikin orang tertawa.”

Tiga sekawan itu menatap Ibu Kibo dengan mata membulat. Mereka sempat terdiam, lalu akhirnya Kibo berani berbicara.

“Ibu… maaf, kita cuma…

Ibu Kibo tersenyum. “Udah, gak usah minta maaf. Cuma, lain kali jangan sampai jadi superhero yang bikin berantakan rumah orang, ya!”

Kibo, Benu, dan Jaya saling pandang, lalu tertawa lebar. Mereka tahu Ibu Kibo sedang menahan tawa, meskipun berusaha tampil serius.

Pagi itu, mereka akhirnya belajar satu hal penting: petualangan dan kenakalan mereka memang tak selalu sempurna, tetapi kebahagiaan yang mereka bawa selama itu adalah bagian yang tak ternilai.

Mereka bertiga lalu duduk di ruang tamu, jubah merah mereka yang lusuh tergantung di belakang kursi. Tertawa, berbicara, dan merencanakan petualangan lainnya. Meskipun mungkin petualangan kali ini sudah selesai, tapi mereka sadar, masih banyak kenakalan lain yang menunggu.

Dan bagi mereka, menjadi superhero tak selalu tentang punya kekuatan super. Terkadang, menjadi superhero berarti punya teman yang selalu siap menghadapi apapun bersama.

Tiga sekawan itu pun akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing, tetapi dengan satu hal yang pasti—mereka akan selalu mengenang masa kecil yang penuh tawa, kenakalan, dan persahabatan.

 

Jadi, gimana? Udah kebayang kan betapa serunya masa kecil yang penuh dengan kenakalan dan tawa? Tiga sekawan ini emang bener-bener bikin hari-hari mereka jadi penuh warna meskipun penuh kekonyolan.

Kadang, petualangan nggak perlu dimulai dengan rencana yang sempurna, yang penting kita punya temen yang selalu siap nemenin. Jangan lupa, walaupun ceritanya udah selesai, pasti ada lebih banyak petualangan seru yang nungguin kita di luar sana!

Leave a Reply