Cerpen Masa Kecil: Belajar Naik Sepeda, Jatuh, dan Bangkit Kembali

Posted on

Jadi, pernah nggak sih kamu ngerasain jatuh dari sepeda pas lagi belajar naik sepeda waktu kecil? Rasanya pasti campur aduk antara malu, sakit, tapi juga jadi kenangan manis yang nggak bisa dilupain.

Nah, cerita ini bakal ngebawa kamu ke masa kecil yang penuh tawa, jatuh, dan akhirnya bangkit lagi. Yuk, ikutin perjalanan seru belajar naik sepeda bareng si Lira, yang ternyata lebih dari sekadar belajar keseimbangan—tapi juga tentang hidup, usaha, dan nggak pernah menyerah!

 

Cerpen Masa Kecil

Langkah Pertama yang Canggung

Sore itu, langit di atas rumah terasa begitu cerah. Matahari yang hampir tenggelam memancarkan cahaya keemasan yang menyapu halaman rumah, menyentuh setiap sudut dengan lembut. Suara jangkrik terdengar samar, seolah-olah ikut merayakan kebahagiaan yang terhimpun di udara. Di halaman, ada sebuah sepeda biru baru yang terparkir rapi, terlihat begitu mengundang.

Aku duduk di atas rumput, memandangi sepeda itu dengan campuran rasa penasaran dan cemas. Sepeda itu memang tampak menggemaskan dengan roda kecilnya yang berkilau. Tetapi aku tahu, untuk bisa menungganginya, aku harus bisa. Aku harus belajar.

Ibuku datang mendekat, wajahnya penuh semangat. “Yuk, coba naiki sepeda itu, Lira. Ibu yakin kamu bisa!” katanya dengan nada menggembirakan, mencoba memberiku semangat.

Aku memandangnya sejenak, lalu kembali menatap sepeda itu. Rasanya, kaki ini seperti tak mau bergerak. “Tapi, Bu… aku takut jatuh,” jawabku pelan, sambil menggaruk kepala. Sungguh, ada rasa cemas yang menggelayuti. Bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika aku jatuh dan tidak bisa bangun?

Ibu hanya tersenyum, kemudian mendekat dan merapikan rambutku yang terurai. “Jatuh itu bagian dari proses. Semua orang pasti melewatinya. Yang penting, kamu tidak menyerah, oke?”

Aku hanya mengangguk pelan, meskipun hati masih penuh dengan ketakutan. Sepeda itu terlihat begitu tinggi, dan aku tidak yakin bisa menyeimbangkan tubuhku di atasnya. Namun, setelah beberapa detik ragu, aku mencoba berdiri dan mendekati sepeda itu. Menggenggam stang dengan tangan kanan, sedikit canggung, seolah-olah sepeda itu adalah benda yang asing.

Dengan langkah ragu, aku memanjat sepeda. Kaki kiri terulur ke pedal, sementara kaki kanan mencoba mengayuh sedikit demi sedikit. Sepeda itu bergerak sedikit, tapi sangat pelan—terlalu pelan. Aku merasa hampir terjatuh, tetapi aku mencoba bertahan. Angin yang berhembus di sekitar terasa begitu kencang, seolah ingin mengguncang tubuhku. Aku menggigit bibir, berusaha menyeimbangkan badan.

Tiba-tiba, sepeda itu terhuyung. Aku terjatuh, bukan sekali, tapi dua kali dalam beberapa detik. Dengan suara ‘plak!’ yang keras, aku tercebur ke tanah, dan sepeda itu ikut tergeletak di sampingku. Rasanya, tubuh ini bagaikan terlempar ke tanah begitu saja, tanpa bisa dikendalikan.

“Aduh!” aku mengerang, merasakan luka kecil di lutut, meskipun tak parah. Sejenak, aku terdiam, menatap tanah dan sepeda yang tergeletak begitu saja. Wajahku memerah karena malu, tetapi aku tidak bisa menahan tawa yang mulai menggema di dalam dada.

Ibu datang menghampiri, dan meskipun aku terjatuh, dia tetap tersenyum penuh kasih. “Lira, kamu baik-baik saja?” tanyanya sambil menolongku berdiri.

Aku mengangguk pelan, mengusap tangan yang penuh debu. “Aku baik-baik saja, Bu. Tapi kenapa sepeda itu bisa begitu… licin?” jawabku dengan sedikit geli. Rasa malu perlahan menghilang digantikan oleh rasa lucu.

Ibu tertawa kecil, memelukku dengan penuh kasih sayang. “Itu wajar. Sepeda itu baru, jadi kamu memang harus terbiasa dulu. Sekarang, coba lagi, ya?”

Aku menatap sepeda itu sekali lagi. Wajahku mungkin masih memerah, tapi aku sudah merasa lebih ringan. Aku berdiri lagi, kali ini lebih hati-hati. Sepeda itu kembali kubawa, mencoba menaikinya lagi. Tangan kananku menggenggam stang dengan lebih mantap, dan kaki kiriku siap mengayuh pedal.

“Ini pasti bisa,” gumamku, meskipun suara itu lebih terdengar seperti meyakinkan diri sendiri.

Ibu memandangku dengan penuh semangat. “Itu dia! Coba pelan-pelan, ya, jangan buru-buru.”

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengayuh pedal perlahan. Sepeda itu bergerak, lebih stabil daripada sebelumnya. Angin berhembus di wajahku, dan aku merasa seperti bisa terbang—meskipun kecepatan sepeda itu masih sangat lambat. Setiap kali aku mencoba mengayuh lebih cepat, sepedanya tetap bergerak pelan, dan tubuhku terhuyung ke kiri. Aku hampir terjatuh lagi, tetapi kali ini aku bisa menahannya. Aku menatap ibu yang berdiri di sampingku, tersenyum penuh kebanggaan.

“Ayo, Lira, kamu hampir sampai!” serunya, menyemangati.

Namun, saat aku mulai merasa sedikit lebih percaya diri, sepeda itu meluncur terlalu cepat. Aku kehilangan keseimbangan, dan sebelum sempat mengerem, aku terjatuh lagi, kali ini lebih konyol. Sepeda itu terbalik, dan aku terlempar ke samping dengan cara yang sangat aneh, seperti ikan terlempar dari air.

Aku terdiam sesaat, kemudian tertawa terbahak-bahak. “Aku jatuh lagi!” kataku, masih tertawa-tawa, sambil mengusap pipi yang sudah kotor.

Ibu ikut tertawa, lalu duduk di sampingku, menepuk-nepuk bahuku. “Itulah yang namanya belajar. Jangan khawatir, Lira. Kamu sudah sangat hebat! Semangat, ya?” katanya, meskipun dia tahu aku merasa sedikit canggung.

Aku mengangguk dengan senyum lebar, lalu kembali berdiri dan memandangi sepeda itu. Meski tubuhku penuh debu dan lututku sedikit sakit, aku merasa lebih baik. Aku tahu aku akan berhasil. Sebuah perjalanan baru akan dimulai, dan aku siap untuk melanjutkannya.

Dengan sepeda biru yang tergeletak di sampingku, aku mengambil napas dalam-dalam dan berkata pada diriku sendiri, “Aku pasti bisa.”

Tidak tahu kenapa, meski sudah jatuh dua kali, aku merasa jauh lebih kuat daripada sebelumnya.

 

Jatuh, Tertawa, dan Bangkit Lagi

Pagi berikutnya datang dengan cahaya matahari yang lebih lembut, seolah-olah dunia mengerti bahwa aku membutuhkan lebih banyak waktu untuk menguasai sepeda biru itu. Di halaman rumah, sepeda itu sudah menunggu. Tapi kali ini, aku merasa sedikit lebih siap. Meskipun tubuhku masih merasakan bekas jatuh kemarin, ada tekad yang tumbuh dalam diriku.

Aku melangkah mendekati sepeda dengan rasa percaya diri yang lebih besar daripada kemarin. Angin pagi menyapu wajahku, membawa aroma segar tanah basah yang baru saja disiram oleh embun. Ibu terlihat sedang duduk di beranda, menyaksikan dari jauh, dengan senyum penuh harap di wajahnya.

“Sudah siap?” Ibu bertanya, suara lembut dan penuh semangat.

Aku mengangguk, memegangi stang sepeda dengan lebih mantap. “Iya, Bu. Aku bisa kali ini.”

Dengan dorongan semangat itu, aku mulai menaiki sepeda. Tangan kiriku menyentuh pedal dengan hati-hati, mencoba mengingat langkah-langkah yang kemarin kulakukan. Tapi kali ini, sepedanya terasa lebih stabil. Aku mulai mengayuh dengan pelan, dan sepedaku bergerak dengan lebih lancar. Keseimbangan tubuhku terasa lebih mudah, seperti ada kekuatan yang menuntunku untuk tetap bertahan di atas sepeda.

“Wow, Lira! Kamu mulai bisa, ya?” Ibu berteriak gembira dari samping, senyumannya semakin lebar.

Aku tersenyum, meskipun sedikit malu mendengar pujiannya. “Aku rasa, aku sudah mulai terbiasa, Bu,” jawabku dengan suara ceria, meski aku tahu aku masih sangat berhati-hati.

Aku mulai mengayuh lebih cepat, merasakan angin yang semakin kencang menyentuh wajah. Rasanya, dunia ini hanya milikku dan sepeda biru itu. Tapi, tentu saja, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Dalam sekejap, sepedaku kembali terhuyung ke kiri, dan kali ini aku tidak sempat menahan tubuhku. Aku jatuh lagi—terjatuh lebih konyol dari yang pertama kali.

“Aduh!” Aku terjatuh dengan posisi terlentang, dan sepeda biru itu tergeletak di sampingku.

Ibu berlari mendekat, namun kali ini aku hanya tertawa terbahak-bahak. “Aku jatuh lagi, Bu! Tapi ini lebih konyol, kan?” Aku berkata, sambil memandang sepeda yang terbalik dan tubuhku yang tergeletak di tanah.

Ibu hanya tertawa bersama aku, tanpa sedikitpun tampak kecewa. “Tidak masalah, Lira. Jatuh itu bagian dari belajar. Kamu sudah melangkah lebih jauh daripada kemarin.”

Aku mengusap lututku yang kembali tergores, tetapi kali ini aku tidak merasa takut lagi. Malah, ada rasa semangat yang tumbuh di dalam hati. Ibu membantu aku bangun, lalu berkata dengan lembut, “Kamu tahu, Lira, orang-orang yang sukses itu bukan yang tidak pernah jatuh, tapi mereka yang selalu bangkit setelah jatuh.”

Aku memandang sepeda itu dengan penuh tekad. “Aku akan bangkit, Bu. Aku janji.”

Aku berdiri, memeriksa apakah ada luka serius, dan merasa sedikit malu karena aku jatuh lagi. Tapi saat aku melihat ibu yang selalu ada di sampingku, aku merasa tidak sendirian. Aku tahu aku bisa melakukannya, meskipun itu sulit.

Tak lama kemudian, aku kembali menaiki sepeda biru itu. Kali ini, aku tidak terlalu fokus pada rasa takut atau kemungkinan jatuh lagi. Aku hanya berusaha menikmati prosesnya. Sepeda itu terasa semakin nyaman. Aku mulai mengayuh dengan lebih mantap, bergerak lebih cepat, dan kali ini aku bisa menyeimbangkan tubuhku lebih baik.

“Yesss!” aku berteriak kegirangan, meskipun itu hanya suara kecil yang keluar dari mulutku. Sepeda itu melaju dengan lancar, dan aku merasa seolah-olah mengendalikan dunia. Angin semakin kencang menerpa wajahku, dan aku merasa seperti bisa terbang. Tanpa sadar, aku melaju lebih cepat, melepaskan semua ketakutanku, dan menikmati setiap gerakan pedal yang kuayuh.

“Ayo, Lira! Kamu pasti bisa!” suara ibu terdengar dari belakang, penuh semangat. Aku bisa mendengar kebanggaan di dalam suaranya, dan itu membuatku semakin bersemangat.

Saat itu, aku merasa sepeda itu bukan lagi sekadar benda yang menakutkan. Sepeda itu adalah teman yang membantuku belajar bagaimana menjadi lebih kuat, bagaimana mengatasi rasa takut, dan bagaimana bangkit setelah setiap jatuh.

Tapi, meskipun aku sudah bisa mengayuh lebih lancar, aku tahu perjalanan masih panjang. Aku belum sempurna, dan aku belum bisa menguasai sepeda sepenuhnya. Tapi satu hal yang pasti—setiap jatuh, setiap tawa, dan setiap kebangkitan itu akan selalu menjadi kenangan yang tak akan pernah hilang.

Aku melaju lebih jauh, dengan senyum lebar di wajah. Ini baru awal dari perjalanan yang panjang, dan aku siap untuk melanjutkannya.

 

Ketika Rasa Takut Menjadi Sahabat

Pagi hari yang cerah menyambutku dengan udara yang sejuk. Aku bisa merasakan kehangatan sinar matahari yang baru saja menyentuh tanah, membuat udara pagi terasa begitu segar. Aku sudah mengenakan sepatu kets favorit dan mengenakan celana pendek yang nyaman, siap untuk melanjutkan petualangan di atas sepeda biru itu. Kini, sepeda itu tak lagi tampak seperti barang asing yang menakutkan. Aku sudah mulai merasa familiar dengan setiap bagian sepeda, dan aku mulai percaya bahwa hari ini aku akan bisa melaju lebih jauh.

Di halaman rumah, Ibu sudah berdiri di dekat beranda, memandangi aku dengan senyum yang penuh harap. “Siap untuk petualangan hari ini?” tanyanya, suaranya ceria.

Aku mengangguk penuh semangat. “Siap, Bu! Aku sudah merasa lebih percaya diri,” jawabku, walau hati masih berdebar-debar sedikit. Tak bisa dipungkiri, rasa takut itu selalu ada, tapi kali ini aku merasa lebih kuat.

Aku menaiki sepeda dengan hati-hati, menggenggam stang dengan tangan yang lebih mantap. Perlahan, aku mulai mengayuh pedal. Suara roda yang bergesekan dengan tanah terdengar jelas, seolah-olah sepeda ini menyambutku kembali setelah sekian lama kami bertemu. Angin pagi menyentuh wajahku, memberi sensasi menyegarkan yang membuatku semakin merasa bebas.

Namun, setelah beberapa saat, tiba-tiba ada suara langkah kaki yang mendekat. Aku melihat seorang anak laki-laki seumuran denganku sedang berjalan di trotoar. Dia memandangi aku dengan tatapan penasaran. Aku merasa sedikit canggung, tetapi aku tetap berusaha menjaga ketenangan.

Anak laki-laki itu menyapa dengan senyum lebar. “Hei, kamu belajar naik sepeda?” tanyanya dengan suara yang ceria.

Aku berhenti sejenak, merasakan ketegangan dalam diri. “Iya, ini sepeda baru. Aku sedang berlatih,” jawabku sambil mencoba tersenyum, meskipun sedikit gugup.

Dia memandang sepeda itu dengan antusias. “Wah, keren banget! Aku juga belajar naik sepeda waktu kecil, tapi… lebih sering jatuh daripada berhasil,” katanya sambil tertawa kecil.

Aku tertawa, merasa lega karena dia tidak menertawakanku. “Ya, aku juga sering jatuh, kok. Tapi Ibu selalu bilang kalau jatuh itu bagian dari belajar.”

Anak laki-laki itu mengangguk. “Iya, itu benar. Waktu aku belajar, aku malah jatuh di tengah jalan. Bahkan sampai sepeda itu hampir hancur!” dia bercerita dengan penuh semangat, membuatku tertawa terbahak-bahak.

“Wah, sepeda itu pasti sudah sangat setia menemanimu,” balasku, sambil tertawa.

Kami tertawa bersama, dan aku merasa seolah-olah rasa takut yang biasa membelenggu kini sedikit hilang. Aku merasa tidak sendirian lagi. Dunia terasa lebih ringan, dan sepertinya aku bisa menghadapinya.

“Eh, aku harus pergi, ya,” kata anak laki-laki itu setelah beberapa saat, memberi isyarat dengan tangan. “Tapi semangat terus, ya! Kamu pasti bisa!” katanya sebelum melangkah pergi.

Aku tersenyum, merasa dihargai. “Terima kasih!” balasku dengan semangat. Setelah itu, aku kembali memandang sepeda biru di bawahku. Perasaan takut yang tadi mengikatku kini berubah menjadi rasa percaya diri yang lebih kuat. Aku bisa melanjutkan perjalanan ini dengan penuh keyakinan.

Aku kembali mengayuh sepeda, kali ini dengan lebih percaya diri. Meskipun jalanan masih sedikit terjal dan penuh bebatuan, aku merasa aku bisa mengatasi segala rintangan yang ada. Aku melaju lebih cepat, merasa seolah-olah sepeda ini sudah menjadi bagian dari diriku. Namun, tidak ada yang sempurna. Tiba-tiba, aku melihat ada sebuah batu besar di tengah jalan, dan meskipun aku mencoba menghindarinya, sepeda itu terhuyung.

“Aduh!” Aku terjatuh lagi, kali ini dengan cara yang lebih dramatis. Sepeda biru itu meluncur ke samping, dan aku terjatuh dengan tubuh terpelintir aneh. Rasa sakit sedikit terasa di pergelangan tangan, tetapi segera aku menyadari bahwa luka itu bukanlah yang terburuk.

Ibu berlari mendekat lagi, kali ini dengan wajah yang sedikit cemas. “Lira! Kamu baik-baik saja?” tanyanya khawatir.

Aku mengusap pipi yang sedikit lecet dan tertawa pelan. “Aku baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit jatuh, kok,” jawabku, sambil mencoba bangkit dari tanah.

Ibu membantu aku berdiri, lalu berkata dengan senyum penuh kebanggaan. “Lihat, Lira, kamu sudah bisa bangkit lagi. Itu yang paling penting.”

Aku memandangnya dengan senyum lebar. “Aku akan lebih berhati-hati sekarang, Bu. Aku janji.”

Ibu menepuk bahuku dengan penuh kasih sayang. “Tidak masalah kalau kamu jatuh, yang penting kamu selalu bangkit dan terus mencoba.”

Dengan semangat yang baru, aku kembali menaiki sepeda biru itu. Kali ini, aku lebih berhati-hati dan tidak terburu-buru. Setiap kayuhan pedal terasa lebih mantap, lebih terarah, dan lebih stabil. Angin yang tadi terasa begitu menantang, kini terasa seperti teman yang menemani setiap langkahku.

Tiba-tiba, aku mendengar suara riuh di sekitar rumah. Ternyata, beberapa teman dari sekolah sedang bermain di taman tak jauh dari rumah. Mereka memandang aku dengan penasaran, dan salah satu dari mereka teriak dengan semangat. “Lira, kamu bisa! Ayo lebih cepat lagi!”

Aku tersenyum, merasa bangga. “Aku akan coba, kok!” balasku, lalu mulai mengayuh sepeda dengan lebih cepat. Angin semakin deras, membuatku merasa seperti meluncur di atas angin. Tawa dan sorakan dari teman-teman terdengar menggema di sekitar, membuat hari itu terasa sempurna.

Kini, aku tahu satu hal yang pasti—perjalanan ini belum selesai. Aku belum menjadi ahli dalam mengendarai sepeda, tapi setiap jatuh dan bangkit itu membawa pelajaran berharga. Dan aku siap untuk terus belajar, terus mencoba, dan terus menikmati setiap langkah di atas sepeda biru ini.

 

Perjalanan yang Tak Pernah Berakhir

Waktu terus berlalu, dan hari demi hari aku semakin mahir mengendalikan sepeda biru itu. Tak lagi ada rasa takut yang menghantui setiap langkahku. Aku mulai bisa mengayuh dengan cepat, menaklukkan jalanan berbatu yang dulu terasa menakutkan. Setiap perjalanan membawa perasaan bebas, seperti terbang di atas angin, menikmati setiap detik yang berlalu. Sepeda itu tak hanya menjadi alat untuk bergerak, tapi juga sahabat yang setia, menemani setiap petualangan yang kulalui.

Pada suatu sore yang cerah, Ibu dan aku duduk di beranda, menikmati angin sore yang menyegarkan. Aku baru saja kembali dari bersepeda keliling kampung, dan kini aku merasa sepeda biru itu bukan lagi tantangan, melainkan bagian dari diriku yang tak terpisahkan.

“Apa rasanya bersepeda jauh hari ini?” tanya Ibu, matanya menatapku dengan penuh kasih sayang.

Aku tersenyum lebar, mengingat betapa jauhnya aku pergi tadi. “Rasanya luar biasa, Bu. Aku merasa seperti bisa pergi ke mana saja tanpa ada yang menghalangi.”

Ibu tertawa lembut. “Kamu sudah jauh lebih baik. Dulu, kamu takut jatuh, sekarang kamu justru menikmati perjalanan.”

Aku mengangguk, merasakan kebanggaan yang mendalam di hatiku. “Iya, Bu. Aku sudah tahu kalau jatuh bukan akhir dari segalanya. Justru itu yang membuat aku lebih kuat.”

Ibu tersenyum bangga. “Itulah yang selalu aku ingin kamu pelajari. Kehidupan ini penuh dengan rintangan, dan kadang kita harus jatuh dulu sebelum bisa bangkit. Tapi yang penting, kita tidak pernah menyerah.”

Aku diam sejenak, merenung. Kata-kata Ibu mengingatkanku pada setiap jatuh yang aku alami selama belajar naik sepeda. Betapa banyak kali aku merasa takut dan ragu, tapi aku selalu bangkit lagi. Sepeda itu, meskipun dulu hanya sebuah tantangan, kini menjadi simbol dari semangat dan ketekunan.

“Bu,” kataku, suara agak pelan. “Aku rasa, sepeda ini mengajarkanku banyak hal. Tentang bagaimana kita harus tetap berusaha meski jatuh, tentang bagaimana kita harus menikmati setiap perjalanan, tak peduli seberapa sulitnya.”

Ibu menatapku dengan mata yang penuh kebanggaan. “Aku senang kamu mengerti, Lira. Setiap perjalanan, baik atau buruk, adalah bagian dari hidup kita. Yang penting adalah bagaimana kita menjalaninya.”

Aku mengangguk, merasakan betapa dalam arti sebuah perjalanan. Belajar naik sepeda ternyata bukan hanya tentang menguasai keseimbangan, tapi juga tentang menguasai diri sendiri, mengatasi ketakutan, dan belajar untuk tidak menyerah. Perjalanan ini mengajarkanku lebih banyak daripada yang aku bayangkan sebelumnya.

Saat senja mulai turun, aku kembali duduk di atas sepeda biru itu. Ibu tersenyum dan melambaikan tangan, memberi izin untuk pergi lebih jauh. “Hati-hati, ya. Jangan terlalu cepat,” katanya, mengingatkan.

Aku mengangguk dan mengayuh sepeda perlahan. Angin senja menyambutku, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang mulai menguning. Aku melaju di sepanjang jalan yang kini terasa lebih ringan, lebih mudah, seolah-olah jalanan ini sudah mengenalku dengan baik.

Matahari perlahan tenggelam di balik bukit, meninggalkan langit berwarna oranye keemasan. Aku berhenti sejenak di bawah pohon besar, menatap langit yang semakin gelap. Di sana, aku menyadari satu hal penting—perjalanan ini mungkin belum berakhir. Sepeda biru itu, meskipun sudah menjadi bagian dari diriku, masih menyimpan banyak petualangan yang belum kutemui.

Aku tersenyum sendiri, merasa bangga akan segala hal yang telah aku capai. Meskipun perjalanan hidup tak selalu mulus, aku tahu aku selalu bisa bangkit. Dan seiring berjalannya waktu, sepeda biru ini akan terus menjadi kenangan indah dalam hidupku—kenangan yang akan selalu mengingatkanku bahwa setiap perjalanan, sekecil apapun, adalah sebuah langkah menuju kedewasaan.

Aku mulai mengayuh sepeda lagi, kali ini lebih cepat, dengan semangat yang tak terbendung. Sore itu, aku merasa seperti dunia terbuka lebar, dan setiap tikungan jalan yang kulewati adalah bagian dari perjalanan yang tak akan pernah berakhir.

 

Jadi, sepeda biru itu nggak cuma ngajarin Lira cara seimbangin diri, tapi juga ngajarin kita semua kalau hidup itu penuh dengan jatuh bangun. Yang penting bukan seberapa sering kita jatuh, tapi seberapa cepat kita bangkit dan terus jalan.

Jadi, kalau lagi jatuh, jangan ragu buat bangkit lagi, karena perjalanan masih panjang dan penuh petualangan. Siapa tahu, sepeda biru itu bakal bawa kamu ke tempat-tempat seru yang nggak pernah kamu bayangin!

Leave a Reply