Daftar Isi
Dulu, kalau disuruh sekolah, rasanya tuh kayak dihukum. Tiap pagi bangun, terus harus mikirin tugas-tugas yang ga ada habisnya, ketemu orang-orang yang kayaknya nggak ngerti banget sama diri kita.
Belum lagi soal pelajaran yang rasanya nggak ada hubungannya sama hidup kita sehari-hari. Tapi, ada satu hal yang selalu bisa nyelametin—game. Dunia yang jauh lebih seru, jauh lebih bebas, dan nggak pernah bikin pusing. Penasaran kan gimana ceritanya? Yuk, simak cerpen ini.
Cerpen Malas Belajar di Sekolah
Sekolah, Tempat yang Tidak Aku Inginkan
Langit masih abu-abu ketika Elric berjalan menyusuri trotoar menuju sekolah. Udara pagi yang seharusnya sejuk malah terasa dingin menusuk, seperti suasana hatinya yang berat. Tasnya menggantung di satu bahu, nyaris jatuh karena isinya yang berantakan. Setiap langkah terasa seperti hukuman.
Di gerbang sekolah, anak-anak lain datang berombongan, berbicara riang seolah mereka benar-benar ingin berada di tempat ini. Ada yang tertawa, ada yang bercanda, ada yang saling mengeluh soal PR yang lupa dikerjakan—tapi mereka tetap terlihat santai, tidak seperti Elric yang berjalan sendirian, menghindari kontak mata, berharap bisa jadi angin.
“Hei, PR Matematika udah kelar?” suara seorang anak dari kelompok di dekat pintu masuk.
“Halah, belum. Nanti nyontek aja di kelas.”
Elric mendengar tapi tidak menanggapi. Dia memang tidak mengerjakan PR, tapi bukan karena ingin mencontek atau lupa. Dia memang tidak peduli. Matematika, IPA, IPS—semuanya terasa tidak penting.
Sampai di kelas, dia duduk di bangku paling belakang, di dekat jendela. Tempat yang tidak terlalu menarik perhatian, tempat di mana dia bisa melamun sepuasnya tanpa harus berurusan dengan siapa pun.
Tak lama, seorang anak laki-laki dengan kemeja tidak dikancing rapat masuk ke kelas dan langsung menabrak meja Elric. Buku-buku di atas meja bergeser, nyaris jatuh.
“Eh, sorry, bro,” katanya tanpa niat membantu merapikan.
Elric diam. Bukan hanya karena malas menanggapi, tapi karena dia sudah terbiasa. Di kelas ini, dia seperti bayangan. Tidak ada yang peduli apakah dia ada atau tidak.
Saat pelajaran pertama dimulai, suasana kelas berubah. Guru masuk dengan membawa setumpuk buku tebal. Anak-anak mulai mengeluh pelan.
“Oke, anak-anak, hari ini kita lanjut materi yang kemarin. Siapa yang bisa menjawab soal nomor satu?”
Tidak ada yang mengangkat tangan.
Elric bersandar di kursinya, menatap papan tulis yang penuh angka dan simbol yang tidak ia pahami—atau lebih tepatnya, tidak ingin ia pahami.
Guru menghela napas. “Baiklah, Elric. Coba kamu yang jawab.”
Seisi kelas langsung menoleh ke arahnya. Beberapa anak tampak menahan senyum, tahu bahwa Elric pasti tidak akan bisa menjawab.
Elric menatap buku di mejanya. Masih tertutup. Bahkan ia tidak ingat halaman berapa yang sedang mereka bahas.
“Halo? Elric?”
Dia tetap diam. Entah pura-pura tidak dengar atau memang tidak mau peduli.
Guru menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. “Kalau kamu terus kayak gini, mau jadi apa nanti?”
Elric tidak menjawab. Sejujurnya, dia juga tidak tahu mau jadi apa nanti.
Saat bel istirahat berbunyi, anak-anak langsung berhamburan keluar kelas. Ada yang ke kantin, ada yang ke lapangan, ada yang duduk-duduk di lorong. Elric tetap di tempatnya, memandang keluar jendela.
Di luar, sekelompok anak laki-laki sedang bermain bola di lapangan. Mereka tampak bersemangat, meneriakkan nama satu sama lain, merayakan setiap gol yang tercipta.
Elric menghela napas. Dunia mereka terasa begitu jauh dari dunia yang ia jalani.
Tiba-tiba, seseorang masuk ke kelas. Seorang anak perempuan dengan rambut dikuncir dua dan wajah ceria.
“Eh, kamu gak ke kantin?” tanyanya sambil membuka kotak makan siangnya.
Elric menoleh sebentar lalu kembali menatap ke luar.
“Aku bawa bekal, mau gak?”
Dia menggeleng.
Anak itu mengangkat bahu lalu mulai makan sendiri. “Terserah, sih. Tapi kasian banget, sendirian terus. Aku aja kalau sendirian pasti bosen.”
Elric tidak merespons.
“Eh, tapi kalau kamu lebih suka sendiri, ya gak apa-apa. Aku cuma nanya doang,” tambahnya, sadar kalau tidak mendapat jawaban.
Suara lonceng kembali berbunyi, menandakan akhir istirahat. Anak perempuan itu bangkit, mengemasi makanannya.
“Ya udah, aku duluan.”
Elric tetap diam.
Begitu kelas mulai penuh lagi, suasana kembali seperti biasa. Elric kembali tenggelam dalam dunianya yang sunyi.
Sekolah tetaplah sekolah—tempat yang tidak ia inginkan.
Sendirian di Pojok Kelas
Elric kembali ke posisi favoritnya—bersandar di kursi dengan tatapan kosong ke papan tulis. Guru masih sibuk menjelaskan sesuatu, tapi suara itu terdengar seperti dengungan samar di telinganya. Tangan kanannya memegang pensil, tapi bukan untuk mencatat, hanya sekadar memutarnya di antara jari-jari.
Anak-anak lain sibuk mencatat, beberapa berbisik-bisik membahas hal yang jauh dari pelajaran. Ada yang sesekali tertawa kecil, ada yang saling bertukar catatan. Tapi tidak ada yang mengajak Elric berbicara.
“Jadi, kalau kita lihat di sini, rumus ini digunakan untuk mencari kecepatan…”
Suara guru masih berlanjut, tapi Elric sudah menyerah sejak sepuluh menit yang lalu. Kepalanya terasa berat, bukan karena kantuk, tapi karena tidak ada satu pun hal di ruangan ini yang menarik perhatiannya.
“Elric,” panggil guru itu tiba-tiba.
Kepalanya terangkat sedikit, tapi dia tidak merespons.
“Kamu perhatiin gak dari tadi?”
Seluruh kelas terdiam, beberapa anak menahan tawa, menunggu reaksi Elric.
Dia mengangkat bahu. “Gak,” jawabnya singkat.
Guru itu menekan pelipisnya, terlihat frustrasi. “Elric, kamu ini kenapa, sih? Kamu gak pernah ngerjain tugas, gak pernah ikut diskusi, terus di kelas cuma diam aja.”
Elric tidak menjawab. Dia tidak tahu harus menjelaskan bagaimana.
“Kamu pikir sekolah ini tempat buat duduk-duduk aja?”
Dia tidak menggeleng, tidak mengangguk, tidak mengatakan apa-apa.
Akhirnya, guru itu menghela napas. “Nanti setelah pelajaran ini, temui saya di ruang guru.”
Elric menunduk. Sial.
Setelah bel berbunyi, anak-anak mulai beranjak keluar. Tapi Elric tetap duduk. Dia tidak ingin ke ruang guru.
Dia melihat ke luar jendela. Langit masih mendung seperti pagi tadi. Mungkin hujan akan turun. Itu lebih baik, setidaknya lapangan kosong, anak-anak tidak bisa bermain bola dan tertawa-tawa di sana.
Ketukan di mejanya membuatnya menoleh. Anak perempuan yang tadi saat istirahat memberinya bekal kini berdiri di sampingnya.
“Kamu dipanggil ke ruang guru, kan?” tanyanya.
Elric tidak menjawab.
Dia menarik kursi dan duduk di bangku sebelah Elric. “Kenapa sih kamu selalu diem aja? Sekali-kali jawab, kek.”
Elric mendesah pelan. “Aku cuma gak mau ngomong.”
“Kenapa?”
Dia mengangkat bahu.
Anak itu menatapnya sebentar sebelum tertawa kecil. “Kamu kayak NPC di game. Ada, tapi gak ngapa-ngapain.”
Elric menatapnya sekilas, lalu kembali menatap ke luar jendela.
“Aku cuma pengen tahu, kamu beneran gak suka sekolah atau gimana?”
Dia menghela napas. “Aku gak suka.”
“Kenapa?”
Lama dia terdiam sebelum akhirnya menjawab, “Gak ada yang menarik di sini.”
Anak perempuan itu mengangguk pelan, seakan memahami. “Tapi kalau kamu diem aja terus, sekolah bakal terasa makin gak menarik, lho.”
Elric tidak tahu harus menjawab apa.
Gadis itu tersenyum tipis lalu berdiri. “Ya udah, aku duluan. Jangan lupa ke ruang guru.”
Elric tetap di tempatnya. Matanya menatap meja, tangannya menggenggam pensil yang kini hanya jadi benda tak berguna di tangannya.
Sekolah ini… memang bukan tempat untuknya.
Dunia Game yang Lebih Menyenangkan
Setelah pelajaran berakhir, Elric berjalan dengan langkah malas menuju ruang guru. Kepalanya menunduk, tidak ada rasa ingin tahu atau bahkan rasa cemas. Sebuah kebiasaan—selalu merasa kosong saat harus berhadapan dengan hal-hal yang tidak ingin dia hadapi.
Ruangan guru itu sepi, hanya ada beberapa meja yang penuh dengan tumpukan dokumen dan buku yang tampak lebih berantakan daripada yang ada di kelas. Pintu terbuka, dan guru yang memanggilnya tadi, Pak Budi, duduk di kursi sambil memeriksa buku tugas.
“Masuk, Elric.”
Elric mengangguk pelan dan melangkah masuk.
“Jadi, kenapa kamu nggak pernah serius belajar, Elric?” Pak Budi bertanya tanpa mengangkat wajahnya dari buku yang sedang dia periksa.
“Karena nggak ada yang penting buat aku,” jawab Elric dengan suara rendah.
Pak Budi menatapnya dengan tatapan tajam, seolah mencoba mencari tahu lebih dalam, mencoba menggali alasan di balik sikap Elric yang cenderung menutup diri.
“Kamu tahu nggak, Elric, pendidikan itu penting. Kamu akan kesulitan nanti kalau terus kayak gini.”
Elric hanya mengangguk, tapi hatinya kosong. Kata-kata itu sudah terlalu sering dia dengar, bahkan sampai merasa lelah mendengarnya.
“Tapi aku nggak peduli,” kata Elric pelan.
Pak Budi menghela napas, seolah tidak tahu lagi harus berkata apa. “Lihat, kalau kamu mau berubah, ada satu hal yang perlu kamu ingat. Belajar itu bukan hanya buat orang lain, tapi untuk dirimu sendiri. Kalau nggak ada yang kamu peduliin di sini, coba cari sesuatu yang bisa bikin kamu semangat.”
Elric diam, matanya menatap ke bawah, ke sepatu yang sudah mulai kusam.
“Sudahlah,” Pak Budi akhirnya berkata, “Pulang aja dulu. Tapi ingat, kalau masih begini terus, bukan cuma pelajaran yang bakal kamu ketinggalan.”
Elric keluar dari ruang guru dengan perasaan kosong. Ia melangkah pelan menuju pintu gerbang sekolah, menyadari betapa sepinya hari ini. Semua orang sudah pulang, sementara ia masih terjebak di antara dinding-dinding sekolah yang terasa semakin menyesakkan.
Begitu sampai di rumah, Elric langsung menuju kamar dan menutup pintu dengan keras. Ia melepas sepatu dan melempar tas ke sudut ruangan. Lalu, tanpa ragu, ia duduk di depan komputer.
Game. Dunia yang tidak menuntut apa-apa dari dirinya. Dunia di mana ia bisa jadi apa pun, mengendalikan apa pun, tanpa ada aturan yang membatasi.
Tangan Elric dengan sigap menggerakkan mouse, memilih karakter, dan memulai permainan. Ia terbenam dalam dunia virtual, melupakan sejenak semua masalah yang mengganggu di dunia nyata. Karakter yang ia pilih melompat-lompat, berlari bebas, melawan musuh dengan kekuatan yang hampir tidak terbatas.
Dunia game selalu ada untuknya, tidak pernah menuntut lebih, tidak pernah mempermasalahkan seberapa buruk ia menjadi. Semua yang ia butuhkan ada di sana—dalam game, di balik layar komputer.
Setiap level yang dia selesaikan memberi sedikit kebanggaan, meskipun tahu itu hanya sementara. Tetapi itu lebih baik daripada merasakan kebosanan yang tak kunjung habis saat di sekolah.
Tiba-tiba, suara ponsel bergetar di meja. Elric menoleh, mengangkatnya dengan malas.
Teks pesan dari seseorang yang tak ia kenal.
“Elric, gimana kalau besok kita main bareng? Aku mau ngajak kamu buat tim di game baru yang aku mainin. Seru banget!”
Elric menatap pesan itu dengan sedikit bingung. Orang ini kenapa tiba-tiba ngajak main? Tapi di sisi lain, ada secercah rasa penasaran. Ia jarang berinteraksi dengan orang lain, apalagi yang ngajak main game.
Tapi untuk sesaat, Elric merasa sedikit senang. Seperti ada sesuatu yang bisa ia lakukan, sesuatu yang lebih menyenankan daripada harus berurusan dengan tugas atau pelajaran yang tidak berarti baginya.
Elric membalas pesan itu dengan singkat, “Oke, besok aja.”
Setidaknya besok, dia bisa melupakan sebentar dunia sekolah yang membosankan dan terjebak dalam dunia lain yang penuh tantangan. Dunia yang lebih nyata bagi Elric—dunia di mana dia bisa jadi siapa pun yang dia mau.
Di Dunia yang Tak Ada Aturannya
Pagi hari yang cerah di luar tidak terlalu berarti bagi Elric. Seperti biasa, ia lebih memilih untuk mengunci dirinya di dalam kamar, mengenakan headset, dan menyalakan komputer. Sesuatu yang lebih pasti, lebih menyenangkan daripada suara guru yang selalu mengganggu telinganya atau teman-teman yang tampaknya tidak pernah mengerti dirinya.
Ponselnya bergetar. Pesan dari orang yang mengajaknya bermain game tadi, Juno.
“Ayo mulai, Elric. Siap?”
Elric tersenyum tipis, lalu membalas pesan itu. “Siap.”
Permainan itu dimulai, dan seperti biasa, dunia virtual menjadi lebih nyata dari segala hal yang ada di sekitarnya. Dalam dunia itu, Elric tidak merasa sendirian. Tidak ada tekanan dari tugas sekolah, tidak ada rasa cemas akan penilaian atau pandangan orang lain. Di dunia game, ia adalah penguasa. Ia menggerakkan karakter dengan cepat, melewati setiap level, meraih kemenangan demi kemenangan, semuanya terasa lebih ringan.
Juno mengikuti dengan kecepatan yang sama, membuat Elric merasa sedikit dihargai. Setiap kali mereka berhasil menyelesaikan satu level, Juno akan mengirimkan pesan singkat.
“Keren, Elric. Kita tim yang solid.”
Elric hanya tertawa kecil. Dalam dunia itu, ia merasa ada sesuatu yang berarti. Sesuatu yang memberi tujuan tanpa harus menjelaskan banyak hal. Setiap permainan adalah pencapaian, setiap kemenangan adalah bukti bahwa dia bisa melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan hidup di dunia nyata.
Namun, saat permainan berlanjut, Elric merasa ada yang kurang. Permainan ini memang menyenangkan, tetapi rasanya kosong. Meskipun ia memenangkan satu level demi level, hatinya tetap tidak terisi penuh. Ada kekosongan yang tidak bisa diisi oleh sekadar klik mouse atau kalimat singkat dari teman virtualnya.
Ketika permainan selesai, Elric duduk diam, memandang layar monitor yang mulai redup. Juno mengirimkan pesan terakhir, kali ini lebih pribadi.
“Kamu pasti ngerasain kosong juga, kan? Kalau terus-terusan begini, kita bakal terjebak di sini selamanya.”
Elric terdiam. Tidak tahu harus membalas apa. Ia tidak ingin mengakuinya, tetapi ia tahu Juno benar. Permainan ini hanya sementara. Di dunia nyata, di luar kamar ini, ia tetap harus menghadapi kenyataan yang tidak bisa ia hindari—sekolah, tugas, perasaan yang seakan tidak ada yang peduli.
Elric membalas pesan itu setelah beberapa saat, dengan kata-kata yang lebih sederhana. “Aku tahu.”
Akhirnya, dia menutup komputer dan melemparkan headset ke meja. Sebentar, ia berjalan ke jendela dan menatap keluar. Langit biru yang luas dan jalanan yang penuh dengan orang-orang yang tampaknya punya arah. Mereka tahu apa yang harus dilakukan, mereka tahu ke mana mereka akan pergi.
Elric tidak tahu.
Namun, saat ia menatap ke luar jendela itu, ada sesuatu yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan. Dunia game mungkin memberinya pelarian, tetapi dunia nyata—dengan segala kebingungannya—masih memberinya kesempatan untuk memilih, untuk melakukan sesuatu yang lebih. Mungkin tidak sekarang, tetapi mungkin suatu hari nanti.
Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Elric merasa ada sedikit cahaya di ujung terowongan. Dunia nyata ini mungkin tidak seburuk yang dia bayangkan. Ada kesempatan untuk berubah, untuk menemukan sesuatu yang lebih bermakna. Mungkin saja, selama ia tidak terjebak dalam ketidakpedulian dan ketakutannya.
Dia menarik napas panjang dan menganggukkan kepala, seolah memberi tahu dirinya sendiri bahwa hari ini bisa menjadi awal yang baru.
Gimana? Nggak nyangka kan, kadang hidup itu nggak selalu hitam putih. Bisa jadi, dunia yang kita anggap membosankan sebenarnya punya kesempatan buat bikin kita berubah, asalkan kita mau keluar dari zona nyaman.
So, buat kalian yang ngerasa terjebak kayak Elric, mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar game atau malas belajar. Siapa tahu, di luar sana ada peluang buat nemuin hal yang lebih bermakna. Jadi, jangan buru-buru ngerasa ketinggalan ya.