Daftar Isi
ernah nggak sih, kalian suka sama seseorang tapi cuma bisa diam-diam memperhatikan dari jauh? Apalagi kalau orang itu bukan sembarang orang, tapi… dosen kalian sendiri! Gimana rasanya tiap hari duduk di kelas, nyimak materi sambil sesekali curi-curi pandang, lalu pura-pura serius pas ketahuan? Waduh, deg-degan tapi nagih!
Ini cerita tentang seorang mahasiswa yang jatuh hati sama dosennya sendiri, tapi tentu aja nggak bisa sembarangan ngungkapin perasaannya. Ada tatapan yang tertangkap, ada momen-momen kecil yang bikin hati berdesir, ada batasan yang nggak bisa diterobos begitu aja. Tapi yaaa… siapa sih yang bisa ngatur hati? Kalau penasaran gimana kisah mereka berkembang, baca sampai habis, ya!
Cerpen Mahasiswa Suka Sama Dosen
Di Bawah Tatapan Dosen
Kiana menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke ruang kelas. Pagi ini matanya masih sedikit berat akibat begadang mengerjakan esai, dan mood-nya jelas belum membaik. Tapi begitu melihat siapa yang berdiri di depan kelas, pikirannya langsung tersadar seketika.
Pak Raynard sudah ada di sana, berdiri di depan papan tulis dengan jas abu-abu khasnya. Lengan kemejanya digulung sedikit, memperlihatkan pergelangan tangannya yang kokoh. Ia sibuk membolak-balik catatan di tangannya, lalu sesekali melirik jam di pergelangan tangan.
Kiana bergegas duduk di bangku tengah, berusaha tidak menarik perhatian. Sebenarnya, ia ingin duduk di belakang, tapi ada semacam tarikan tak kasat mata yang membuatnya selalu memilih posisi ini. Tidak terlalu mencolok, tapi cukup dekat untuk melihat ekspresi Pak Raynard dengan jelas.
Mahasiswa lain mulai berdatangan, dan tak lama kemudian kelas pun dimulai.
Pak Raynard melirik ke arah mahasiswa yang duduk di barisan paling belakang. “Aku nggak akan ngabsen satu-satu, jadi anggap aja kalau kamu sudah dinyatakan hadir. Tapi kalau nanti aku tanya sesuatu dan nggak ada yang jawab, bisa-bisa aku paksa kalian debat satu lawan satu di depan,” katanya, menyeringai kecil.
Beberapa mahasiswa tertawa, sementara yang lain mulai duduk tegak, siap siaga. Kiana hanya tersenyum kecil. Ia sudah terbiasa dengan gaya mengajar Pak Raynard yang santai tapi tetap tajam.
“Dua pertemuan lalu kita bahas bagaimana sastra klasik mempertahankan relevansinya di era modern. Hari ini kita masuk ke pembahasan yang lebih spesifik,” lanjutnya. “Jadi, menurut kalian, apakah karya sastra lama masih bisa menyampaikan makna yang sama bagi pembaca zaman sekarang?”
Sejenak kelas hening. Beberapa mahasiswa terlihat sibuk menunduk, berpura-pura membaca catatan atau sekadar menghindari kontak mata.
Kiana berusaha tidak mencolok, tapi entah bagaimana, matanya bertemu dengan mata Pak Raynard.
“Kiana,” panggilnya tiba-tiba.
Jantung Kiana refleks berdegup lebih kencang. Ia langsung menegakkan punggungnya. “Eh… iya, Pak?”
“Kamu pasti punya pendapat soal ini,” ujar Pak Raynard, alisnya terangkat sedikit.
Kiana diam sebentar, berusaha menyusun kata-kata di kepalanya.
“Uhm… sebenarnya aku pikir masih bisa, Pak. Tapi mungkin nggak dengan makna yang persis sama. Soalnya, konteks sosial dan budaya tiap generasi kan berubah,” jawabnya akhirnya.
Pak Raynard menyilangkan tangan di depan dada. “Jadi menurutmu, setiap generasi bakal punya tafsir yang berbeda?”
“Iya,” Kiana mengangguk. “Kita bisa baca sastra lama dengan perspektif zaman sekarang, dan mungkin kita bisa menemukan makna yang nggak pernah terpikirkan oleh pembaca di masa lalu.”
Pak Raynard tersenyum kecil, lalu mengangguk. “Jawaban yang menarik.”
Hati Kiana langsung terasa aneh. Itu pujian, bukan? Ya Tuhan. Kenapa cuma dibilang ‘jawaban yang menarik’ saja bisa bikin dia senyum-senyum sendiri?
Diskusi berlanjut, dan kali ini mahasiswa lain mulai ikut berpartisipasi. Tapi Kiana merasa seolah-olah ia baru saja melewati sebuah ujian yang tak kasat mata. Ia berusaha fokus pada pembahasan berikutnya, tapi setiap kali Pak Raynard berjalan mendekat ke arah tempat duduknya, pikirannya selalu terganggu.
Dan yang lebih parah lagi, setiap kali ia menoleh, entah kenapa ia selalu merasa Pak Raynard sedang memperhatikannya.
Entah itu cuma perasaannya saja atau memang ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebiasaan seorang dosen yang ingin memastikan mahasiswanya paham materi.
Jawaban yang Aman
Kiana berusaha tidak terlihat gelisah, tapi tangan yang menggenggam pulpen sudah berulang kali mengetuk permukaan meja tanpa ritme yang jelas. Kelas hampir berakhir, dan sejak diskusi tadi, ia masih merasa ada yang aneh. Setiap kali ia mencuri pandang ke depan, Pak Raynard selalu tampak… seolah memperhatikannya?
Atau ini cuma perasaan dia saja?
“Lima menit lagi,” suara Pak Raynard menginterupsi pikirannya. “Aku punya satu pertanyaan sebelum kita selesai.”
Semua mahasiswa tampak bersiap. Mereka tahu kalau Pak Raynard punya kebiasaan melempar pertanyaan menjebak di akhir kelas, dan siapa pun yang kena harus bisa menjawab dengan masuk akal.
“Kalian tahu kalau pemaknaan sastra bisa berubah tergantung siapa yang membacanya,” katanya, melangkah perlahan ke sisi kanan kelas. “Tapi kalau ada satu makna yang ingin kalian pertahankan dari sebuah karya lama, apa itu?”
Ruangan langsung dipenuhi dengan suara bisik-bisik pelan. Sebagian mahasiswa pura-pura sibuk menata buku, menunduk, atau malah menatap langit-langit seolah berharap jawaban turun dari sana.
Dan kemudian—
“Kiana.”
Sekujur tubuh Kiana menegang. Lagi? Serius?
Ia mendongak pelan dan menemukan tatapan Pak Raynard sudah terkunci padanya, seolah ia sudah lama memperhitungkan ini.
“Kamu pasti punya jawaban,” kata dosen itu santai.
Astaga. Kenapa Pak Raynard bisa yakin begitu?
Kiana berpikir cepat. Kali ini ia harus lebih berhati-hati. Jangan sampai terlalu panjang dan jangan sampai terdengar bodoh.
“Uhm, aku rasa… yang paling penting dipertahankan itu adalah perasaan yang ingin disampaikan penulisnya, Pak,” katanya akhirnya.
Pak Raynard menautkan kedua tangannya di depan dada. “Perasaan?”
Kiana mengangguk. “Iya. Maksudku, kalau sebuah karya sastra masih bisa bikin pembacanya ngerasain sesuatu, berarti dia masih punya relevansi. Mau itu marah, sedih, bahagia… selama emosi yang dimaksud masih nyampe, karya itu masih hidup.”
Beberapa mahasiswa mengangguk-angguk setuju. Kiana diam-diam merasa lega.
Pak Raynard tersenyum tipis. “Itu jawaban yang aman,” katanya, seolah menyelidik.
Aman? Kiana berkedip, tidak yakin harus menanggapi seperti apa. Apa itu pujian atau sindiran?
Tapi sebelum ia sempat bertanya, Pak Raynard sudah mengalihkan perhatiannya ke mahasiswa lain. “Baiklah, cukup untuk hari ini,” katanya sambil menepuk kedua tangannya. “Kalian boleh pergi.”
Begitu kelas bubar, Kiana buru-buru merapikan bukunya. Ia ingin segera keluar dan menghilangkan sisa rasa gugup di dadanya.
Namun, saat ia berbalik menuju pintu, suara seseorang menghentikannya.
“Kiana.”
Langkahnya terhenti.
Ia menoleh dan menemukan Pak Raynard masih berdiri di depan kelas, hanya beberapa meter darinya.
“Kalau kamu punya waktu sebentar,” katanya, dengan nada terlalu santai untuk sesuatu yang mendadak begini. “Aku ingin membahas sedikit tentang esai yang kamu kirimkan minggu lalu.”
Jantung Kiana langsung berdebar lebih kencang.
Entah kenapa, perasaannya mengatakan ini bukan sekadar pembicaraan soal esai biasa.
Perpustakaan dan Detak Jantung
Kiana berdiri kaku di ambang pintu kelas, berusaha menyembunyikan kegugupan yang mulai merayapi tubuhnya. Pak Raynard masih menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak, sementara mahasiswa lain sudah mulai berhamburan keluar.
“Oke, Pak. Aku bisa sekarang,” jawabnya akhirnya, mencoba terdengar santai.
Pak Raynard mengangguk. “Baik. Kita bicara di perpustakaan saja. Lebih tenang.”
Perpustakaan? Kiana berusaha menelan rasa gugupnya. Dia tidak mungkin menolak—bagaimanapun, ini dosennya sendiri yang meminta. Jadi, dengan langkah setengah ragu, ia mengikuti pria itu menuju perpustakaan kampus.
Perpustakaan kampus sore itu cukup sepi, hanya ada beberapa mahasiswa yang sibuk membaca atau mengetik tugas di sudut ruangan. Pak Raynard berjalan menuju bagian belakang perpustakaan, ke deretan rak buku yang jarang dikunjungi. Kiana mengikutinya, jantungnya masih berdebar tak karuan.
“Silakan duduk,” katanya, menunjuk kursi di dekat jendela.
Kiana menurut, meletakkan tasnya di pangkuan. Matanya diam-diam memperhatikan pria di hadapannya, yang tampak lebih santai dibanding tadi di kelas. Ia melepas jasnya, menyampirkannya di sandaran kursi sebelum duduk.
“Aku sudah membaca esaimu,” ucapnya, membuka pembicaraan. “Pendekatan yang kamu pakai cukup menarik. Kamu menafsirkan teks dengan cara yang lebih emosional daripada analitis.”
Kiana merasa ada sedikit kehangatan menjalari pipinya. “Eh… iya, Pak. Aku memang lebih suka membaca sastra dari sisi emosinya, bukan hanya struktur atau tekniknya.”
Pak Raynard tersenyum kecil. “Aku bisa melihat itu. Dan jujur saja, ada satu bagian yang membuatku penasaran.”
Kiana meneguk ludah. “Bagian mana?”
Pak Raynard menggeser beberapa lembar kertas di tangannya, lalu mengetuk salah satu paragraf di esai itu.
“Di sini kamu menulis, ‘Terkadang, seseorang tidak membaca untuk mencari pemahaman, tapi untuk menemukan perasaan yang selama ini tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.’ Itu menarik.”
Kiana menatap tulisan tangannya sendiri, baru sadar kalau bagian itu terdengar lebih personal daripada akademis.
Ia menggigit bibirnya. “Aku… cuma menulis apa yang aku rasakan saat membaca sastra lama, Pak. Kadang kita nggak nyari jawaban dari sebuah teks. Kita cuma pengen tahu kalau ada orang lain di dunia ini yang pernah ngerasain hal yang sama.”
Pak Raynard menatapnya, matanya sedikit menyipit. “Jadi, kamu sering merasa seperti itu?”
“Merasa seperti apa?”
Pak Raynard menyandarkan punggungnya ke kursi. “Seperti ada perasaan yang nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata.”
Kiana langsung kehilangan kata-kata.
Apa ini maksudnya? Kenapa rasanya seolah-olah pertanyaan itu punya arti ganda?
Ia menunduk sedikit, berpura-pura sibuk merapikan ujung esainya. “Mungkin… mungkin semua orang pernah merasa begitu, Pak.”
Pak Raynard tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi di balik kata-kata Kiana.
Dan selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, yang terdengar di antara mereka hanyalah suara jarum jam berdetak dan suara langkah kaki samar dari mahasiswa lain di ujung ruangan.
Lalu, tiba-tiba, Pak Raynard tersenyum.
“Kamu benar,” katanya akhirnya, nada suaranya lebih ringan. “Semua orang pasti pernah merasa begitu.”
Kiana hanya bisa mengangguk pelan, masih berusaha meredakan degupan jantungnya yang tak terkendali.
Pak Raynard menumpuk esai itu dan mendorongnya ke depan Kiana. “Secara akademik, esaimu cukup kuat. Tapi aku ingin melihat kamu lebih eksploratif di tulisan berikutnya. Jangan takut untuk lebih mendalam.”
“Baik, Pak,” jawab Kiana cepat.
“Bagus.” Pak Raynard menatap jam tangannya. “Aku nggak akan menahanmu lama-lama. Kamu pasti punya jadwal lain.”
Kiana buru-buru memasukkan esainya ke dalam tas. “Terima kasih sudah meluangkan waktu, Pak.”
Pak Raynard mengangguk, lalu berdiri. Tapi sebelum ia benar-benar pergi, ia sempat melontarkan satu kalimat yang membuat jantung Kiana nyaris berhenti.
“Dan satu lagi, Kiana.”
Kiana mendongak.
“Kalau kamu ingin membaca sesuatu yang bisa mengekspresikan perasaan yang sulit diungkapkan, aku bisa merekomendasikan beberapa buku,” katanya, dengan nada santai namun penuh arti. “Kamu bisa datang kapan saja.”
Dengan itu, ia berbalik dan pergi, meninggalkan Kiana yang masih terpaku di tempatnya.
Bukan. Ini bukan sekadar pembicaraan soal esai.
Dan entah kenapa, ia tidak bisa berhenti memikirkan nada suara Pak Raynard ketika mengatakan kalimat terakhir tadi.
Hujan di Balkon Fakultas
Langit kelabu menggantung rendah di atas kampus, hujan turun dengan ritme lembut, mengetuk-ngetuk jendela seperti melodi yang merayap masuk ke dalam pikiran Kiana.
Ia berdiri di balkon fakultas, bersandar pada pagar besi yang dingin, memandangi halaman kampus yang basah oleh hujan. Biasanya, tempat ini sepi saat hujan turun. Tidak ada mahasiswa yang duduk-duduk di bangku taman, tidak ada yang bercanda di tangga fakultas. Hanya suara rintik hujan dan angin yang berbisik di antara dedaunan.
Tapi hari ini, ia tidak sendiri.
Pak Raynard berdiri di sebelahnya, jasnya sudah dilepas, lengan kemejanya tergulung hingga siku. Dosen itu tampak lebih santai daripada biasanya, tidak seperti pria yang selalu berbicara dengan nada datar di dalam kelas.
“Kamu suka hujan?” tanyanya tiba-tiba.
Kiana melirik ke arahnya. “Iya. Kadang-kadang.”
Pak Raynard tersenyum kecil. “Aku juga.”
Kiana menunduk sedikit, memainkan ujung lengan jaketnya. Sejak pertemuan di perpustakaan beberapa hari lalu, pikirannya terus dipenuhi bayangan pria ini. Cara ia berbicara, ekspresi matanya yang dalam, bahkan caranya menyebut nama Kiana dengan nada yang terlalu santai untuk ukuran seorang dosen.
Ia tahu, ia seharusnya tidak terlalu memikirkan ini. Tapi bagaimana mungkin, kalau setiap kali bertemu, ada sesuatu dalam sorot mata Pak Raynard yang terasa seperti undangan?
Kiana menarik napas dalam-dalam. Ia harus bertanya. Sekarang atau tidak sama sekali.
“Pak…” suaranya terdengar lebih pelan dari yang ia maksudkan.
Pak Raynard menoleh. “Hmm?”
Kiana menelan ludah, lalu menatap lurus ke arah hujan. “Kenapa, ya… rasanya ada sesuatu yang nggak selesai di antara kita?”
Sunyi.
Hanya suara hujan dan desir angin yang menyapu balkon.
Pak Raynard tidak langsung menjawab. Tapi Kiana bisa merasakan tatapan pria itu menelusuri wajahnya, seakan mempertimbangkan setiap kata yang akan keluar dari mulutnya.
“Aku nggak tahu,” akhirnya ia berkata, suaranya tenang. “Mungkin karena ada yang ingin kamu tanyakan.”
Kiana mendongak, menatap mata pria itu.
“Atau mungkin,” lanjut Pak Raynard, sedikit menyandarkan diri ke pagar, “karena ada sesuatu yang kamu rasakan, tapi nggak bisa kamu katakan.”
Jantung Kiana berdebar begitu kencang sampai ia yakin pria di sebelahnya bisa mendengarnya.
Lalu, tanpa sadar, ia berkata pelan, “Bagaimana kalau memang begitu?”
Pak Raynard tersenyum, tapi sorot matanya sedikit lebih lembut. “Kiana, kamu tahu kan, ada batasan di antara kita?”
Kiana menunduk. “Iya. Aku tahu.”
“Dan aku ini dosenmu.”
“Iya.”
“Tapi itu nggak berarti aku nggak memperhatikan.”
Kiana langsung menatapnya lagi. “Apa?”
Pak Raynard menghela napas. “Aku memperhatikan, Kiana. Sejak pertama kali kamu masuk kelas. Aku lihat cara kamu selalu menulis catatan dengan rapi, cara kamu menatapku setiap aku menjelaskan sesuatu, cara kamu pura-pura sibuk kalau aku melewati mejamu.”
Dada Kiana terasa sesak. Ia tidak bisa bergerak, tidak bisa berpaling.
“Tapi aku dosenmu,” lanjut Pak Raynard. “Dan kamu tahu apa artinya.”
Kiana menggigit bibirnya, mencoba menelan semua emosi yang mendesak keluar.
Lalu, tanpa berpikir panjang, ia berkata, “Kalau aku sudah bukan mahasiswa di sini lagi?”
Pak Raynard tersenyum tipis, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan. “Kalau saat itu tiba, kita bisa bicara lagi.”
Hujan masih turun.
Kiana menatapnya, lalu mengangguk pelan. Mungkin, untuk sekarang, ini cukup.
Tapi ia tahu, hatinya sudah terlanjur jatuh—dan mungkin, pria di sebelahnya juga merasakan hal yang sama.
Jadi begini, suka sama dosen itu memang nggak gampang. Ada jarak yang harus dijaga, ada perasaan yang harus ditahan. Tapi kalau udah jatuh hati, ya mau gimana lagi? Perasaan nggak bisa bohong, kan? Mungkin sekarang mereka harus nunggu waktu yang tepat.
Mungkin nanti, setelah perbedaan status udah nggak jadi masalah, kisah ini bisa berlanjut ke arah yang lebih serius. Tapi untuk sekarang, cukup dengan senyum yang mengandung makna dan harapan yang tetap dijaga di dalam hati.Habis baca ini, ada yang mulai nge-crush sama dosennya sendiri?


