Cerpen Madrid Merah: Kisah Debat, Arena, dan Nyawa di Las Ventas

Posted on

Madrid itu merah, bukan cuma karena senja yang mewarnai langitnya atau sangria yang mengisi gelas-gelas di bar. Tapi merah yang lebih dalam—merah yang berdebat di jalanan, merah yang berkibar di arena, merah yang memercik di atas pasir saat nyali dipertaruhkan. Ini bukan soal menang atau kalah, tapi soal siapa yang tetap berdiri setelah semuanya selesai. Dan di kota ini, semua orang punya merahnya sendiri.

 

Cerpen Madrid Merah

Flare di Langit Madrid

Langit Madrid sore itu tampak seperti lukisan yang baru saja dibuat oleh seorang seniman yang tak sabaran—goresan jingga dan merah menyala bercampur dengan biru tua yang mulai merayap dari sisi langit. Di tengah hiruk-pikuk kota, kafe kecil di dekat Plaza Mayor menjadi tempat perlindungan bagi mereka yang ingin melarikan diri sejenak dari kebisingan ibu kota.

Di pojok kafe itu, di dekat jendela besar yang menghadap ke jalan berbatu, duduk dua orang dengan segelas kopi di depan mereka. Rafael, pria berkacamata dengan jas abu-abu yang rapi, duduk dengan tangan terlipat di atas meja. Di seberangnya, Lucía, wanita berambut merah menyala yang lebih suka mengenakan jaket kulit meskipun cuaca cukup hangat, tersenyum tipis sambil memainkan sendok di dalam cangkir kopinya.

“Jadi, kamu beneran percaya Madrid itu merah?” Rafael membuka pembicaraan dengan nada skeptis.

Lucía menyesap kopinya perlahan sebelum menjawab. “Bukan cuma percaya. Aku tahu Madrid itu merah.”

Rafael mengangkat alisnya. “Madrid lebih keemasan. Lihat saja bangunan-bangunannya saat matahari kena. Atau biru, pas malam datang dan lampu kota mulai menyala.”

Lucía tertawa pelan, matanya berbinar penuh tantangan. “Kamu terlalu teknis, Raf. Madrid bukan cuma tentang bangunan atau lampu-lampu. Madrid itu darah, gairah, dan perlawanan. Kamu tahu warna apa yang menggambarkan semua itu?”

Rafael mendesah, mengambil cangkirnya, lalu menyesap kopinya sebelum menjawab, “Merah.”

“Persis!” Lucía mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, matanya berbinar seperti baru saja memenangkan sesuatu. “Coba pikir. Matador dan kain merahnya. Real Madrid, meskipun pakai seragam putih, tapi saat menang, flare merah meledak di stadion. Puerta del Sol saat tahun baru? Lampu merah di mana-mana. Madrid itu pesta, amarah, dan cinta. Warna-warna yang mewakili Madrid selalu merah.”

Sebelum Rafael sempat membalas, seorang pria tua yang duduk di meja sebelah mereka menaruh korannya dan tertawa kecil. “Aku nggak sengaja dengar obrolan kalian. Dan aku setuju sama nona muda di sini.”

Lucía tersenyum penuh kemenangan sementara Rafael menoleh ke pria tua itu. “Jadi menurutmu Madrid juga merah?”

Pria itu mengangguk, menyilangkan tangannya di dada. “Nak, aku sudah tinggal di Madrid hampir enam puluh tahun. Dan kalau ada satu warna yang selalu aku lihat dalam peristiwa besar di kota ini, itu merah. Kamu tahu tentang Dos de Mayo?”

Rafael mengangguk. Itu hari peringatan pemberontakan rakyat Madrid melawan pasukan Napoleon.

“Revolusi penuh darah. Banyak yang mati di jalanan. Bendera yang mereka kibarkan? Merah,” pria tua itu melanjutkan. “Lalu lihat saja ketika Atlético Madrid main, atau fans Real Madrid yang marah. Apa warna yang paling sering muncul? Flare merah. Madrid nggak pernah putih bersih, nak. Kota ini selalu punya jejak merah di dalamnya.”

Rafael terdiam sejenak. Ia tahu sejarah Madrid memang penuh gejolak, tapi entah kenapa, ia tetap enggan mengakui kalau warna merah mendominasi kota ini.

“Kalau kita bicara soal darah dan revolusi, harusnya hitam yang lebih cocok buat Madrid,” gumamnya, menolak kalah.

Lucía mendengus, lalu menunjuk ke luar jendela. “Hitam? Serius? Lihat ke luar, Raf. Langit mulai merah.”

Rafael menoleh. Sore semakin larut, dan langit Madrid berubah warna menjadi merah keemasan yang menyala di antara gedung-gedung tua kota.

Lucía tersenyum miring. “Madrid nggak akan pernah hitam. Kota ini terlalu penuh gairah buat warna itu. Dan kalau kamu masih belum percaya, aku bakal kasih bukti yang lebih jelas.”

Mata Rafael menyipit. “Bukti apa?”

Lucía menyeringai. “Tunggu saja.”

Dan Rafael tahu, perdebatan mereka baru saja dimulai.

 

Meja Pojok di Plaza Mayor

Sehari setelah perdebatan sengit di kafe itu, Rafael seharusnya bisa melanjutkan hidupnya seperti biasa—bekerja di firma arsitektur, membaca koran di pagi hari, atau sekadar menghindari Lucía yang selalu punya cara untuk memancingnya ke dalam perdebatan yang melelahkan. Tapi tidak.

Sejak pulang dari kafe kemarin, satu hal terus mengganggu pikirannya: apa bukti yang dimaksud Lucía?

Madrid merah.

Itu masih terasa seperti omong kosong baginya. Tapi entah bagaimana, Lucía selalu punya cara untuk membuatnya berpikir ulang.

Hari itu, Rafael sengaja menghindari pesan Lucía yang masuk ke ponselnya—dua, tiga, sampai akhirnya lima pesan beruntun muncul dengan nada yang semakin provokatif.

Lucía: Raf, sudah siap mengakui kebenaran?

Lucía: Atau kamu masih mau pura-pura buta?

Lucía: Kalau kamu nggak jawab, aku anggap kamu kalah.

Lucía: Dan kalau kamu kalah, kamu tahu aku nggak akan membiarkanmu hidup tenang kan?

Rafael mendesah, lalu akhirnya membalas.

Rafael: Aku sibuk, Lu.

Balasannya hanya bertahan beberapa detik sebelum ponselnya bergetar lagi.

Lucía: Aku di Plaza Mayor. Lima belas menit. Datang kalau kamu punya nyali.

Rafael mengerang frustasi, tapi entah kenapa, kakinya sudah bergerak ke luar kantor sebelum otaknya sempat protes.

Saat Rafael tiba di Plaza Mayor, ia melihat Lucía sudah duduk di salah satu meja kafe outdoor, mengenakan jaket kulit yang sama seperti kemarin. Rambut merahnya dibiarkan terurai, kontras dengan warna langit yang mulai berubah jingga.

“Aku nggak ada waktu buat debat nggak penting,” Rafael duduk dengan malas, menyilangkan tangan di dadanya. “Jadi mana bukti yang mau kamu tunjukin?”

Lucía tersenyum tipis, lalu mengangkat dagunya ke arah tengah alun-alun. “Lihat sendiri.”

Rafael mengikuti arah pandangnya. Di tengah Plaza Mayor, sekelompok anak-anak sedang berlarian, bola sepak melayang di udara, suara mereka bercampur dengan keramaian sore. Mereka bermain di bawah patung Felipe III yang berdiri megah, dan tepat di belakang mereka, seorang pelukis jalanan sedang menyelesaikan sebuah lukisan besar.

Rafael mengernyit. Lukisan itu menggambarkan Madrid saat malam festival—jalanan dipenuhi lampu-lampu merah, flare yang meledak di antara kerumunan orang-orang yang bersorak, dan refleksi warna merah di jendela-jendela tua.

“Festival San Isidro,” kata Lucía santai. “Kamu tahu apa yang selalu mendominasi festival itu? Lampion merah, kain matador, anggur merah yang tumpah di gelas-gelas semua orang. Madrid nggak pernah lepas dari warna itu.”

Rafael menatap lukisan itu lama, sebelum menghela napas. “Oke, aku akui, itu… cukup meyakinkan.”

Lucía terkekeh. “Belum selesai.”

Ia mengambil sesuatu dari tasnya—sebuah kartu tiket kecil berwarna merah. Rafael menatapnya curiga.

“Apa ini?”

Lucía menyeringai. “Tiket pertunjukan matador di Las Ventas. Kalau kamu masih ragu Madrid itu merah, aku akan kasih kamu pengalaman langsung.”

Rafael mendengus. “Aku nggak tertarik nonton orang main-main sama banteng.”

“Tapi kamu tertarik buat membuktikan kalau aku salah, kan?” Lucía menantang.

Rafael mendecak, lalu mengambil tiket itu. “Sialan. Kamu tahu aku nggak tahan kalau tantangan kayak gini.”

Lucía hanya tersenyum puas. “Bagus. Besok malam. Jangan sampai nggak datang.”

Dan entah bagaimana, Rafael tahu—ini bukan sekadar pertunjukan. Ini adalah pertempuran lain yang harus ia hadapi.

 

Arena Las Ventas

Malam di Madrid terasa lebih hidup daripada siangnya. Lampu-lampu kota menyala, jalanan masih ramai oleh orang-orang yang enggan pulang, dan di antara lautan manusia itu, Rafael berdiri di depan arena matador Las Ventas dengan ekspresi setengah menyesal.

Dia seharusnya bisa menghabiskan malam ini dengan sesuatu yang lebih beradab—mungkin membaca buku di apartemennya atau menikmati segelas anggur di kafe favoritnya. Tapi tidak. Ia malah ada di sini, berdiri di depan arena adu banteng terbesar di Spanyol, memegang tiket yang diberikan Lucía dengan jari-jari yang gemetar oleh sesuatu yang ia benci akui: antisipasi.

“Demi Tuhan, aku nggak percaya aku ada di sini,” Rafael menggumam sambil menatap bangunan megah bergaya Moorish itu.

“Demi Tuhan, aku nggak percaya kamu datang,” suara Lucía terdengar dari belakangnya.

Rafael menoleh, mendapati Lucía yang datang dengan mengenakan blus merah tua dan celana jeans hitam. Rambut merahnya tampak menyala di bawah sorotan lampu arena.

“Kamu selalu nyebelin, tapi aku tahu kamu nggak bakal nolak tantangan,” lanjut Lucía sambil menyeringai.

Rafael mendecak. “Aku hanya datang buat membuktikan kalau kamu salah.”

Lucía mengangkat bahu, lalu menarik Rafael masuk ke dalam arena tanpa memberi kesempatan baginya untuk kabur.


Arena Las Ventas malam itu dipenuhi oleh suara riuh penonton. Orang-orang bersorak, bertepuk tangan, beberapa bahkan membawa bendera merah yang berkibar di udara. Rafael dan Lucía duduk di kursi batu yang menghadap langsung ke tengah arena.

Di bawah sana, seorang matador berdiri dengan gagah, mengenakan pakaian khas berwarna emas dengan jubah merah menyala. Di hadapannya, seekor banteng hitam besar menggeram, tanah di bawahnya berdebu karena hentakan kakinya yang kuat.

Rafael menelan ludah. Meski ia tak terlalu tertarik pada adu banteng, ada sesuatu yang primal dan menggetarkan di pemandangan itu.

Lucía menyenggol lengannya. “Lihat bagaimana matador itu bergerak.”

Rafael mengamati. Matador itu melangkah pelan, mengangkat jubah merahnya dengan anggun, lalu mengibaskannya di depan banteng. Hewan itu menyeruduk ke arah kain merah dengan kekuatan penuh, tapi si matador dengan mudah menghindar, membuat sorakan di tribun semakin membahana.

Rafael menghela napas panjang. “Jadi ini bagian dari pembuktianmu?”

Lucía tersenyum, lalu menunjuk ke bawah. “Perhatikan baik-baik. Apa yang bikin orang-orang berdiri dari kursinya? Apa yang bikin mereka menahan napas?”

Rafael terdiam. Matanya mengikuti gerakan jubah merah itu, bagaimana kain itu melambai di udara, bagaimana setiap kibasannya seperti magnet yang menarik perhatian semua orang di arena.

Merah.

Merah yang memancing amarah banteng.

Merah yang mengendalikan jalannya pertarungan.

Merah yang memenuhi tribun saat penonton bertepuk tangan, melambai-lambaikan bendera dan syal mereka.

Rafael terpaksa mengakui sesuatu.

Lucía benar.

Madrid memang merah.

Tapi sebelum ia sempat mengeluarkan sepatah kata pun, matador di bawah sana membuat satu langkah yang terlalu berani.

Ia mengayunkan jubahnya terlalu cepat, membuat banteng bereaksi dengan cara yang tak terduga. Hewan besar itu menyeruduk dengan kecepatan yang lebih brutal, menabrak tubuh matador dan melemparkannya ke tanah.

Seisi arena terdiam.

Rafael dan Lucía serentak berdiri.

Matador itu masih tergeletak. Darah menggenang di pasir. Banteng itu berbalik, menggeram, siap menyerang lagi.

Lucía menutup mulutnya dengan tangan. “Ya Tuhan…”

Rafael tak bisa mengalihkan pandangannya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melihat Madrid bukan hanya sebagai kota yang penuh warna dan perdebatan…

Tapi juga sebagai kota yang tak kenal ampun.

 

Merah yang Tak Bisa Dilupakan

Teriakan penonton pecah di seluruh arena. Beberapa orang berdiri dengan wajah tegang, sementara yang lain menutup mata mereka, tak sanggup melihat pemandangan di tengah Las Ventas. Darah matador mengotori pasir arena, merahnya mencolok di bawah sorotan lampu. Banteng itu masih menggeram, siap menyerang lagi, tapi beberapa petugas mulai bergerak, melambaikan jubah merah untuk mengalihkan perhatian hewan itu.

Rafael mengepalkan tangannya. Dadanya terasa sesak. Ia mungkin bukan pecinta adu banteng, tapi pemandangan itu tetap menghantamnya dengan keras—lebih keras dari semua debatnya dengan Lucía tentang warna merah Madrid.

Lucía menggigit bibirnya, matanya tak lepas dari arena. “Dia… dia masih bisa bangun, kan?” suaranya bergetar.

Matador itu mencoba bergerak. Kepalanya terangkat sedikit sebelum tubuhnya kembali limbung. Beberapa asisten matador sudah berlari menghampirinya, berusaha menariknya keluar dari arena sebelum banteng menyerang lagi.

Rafael tak sadar kalau tangannya kini menggenggam lengan Lucía erat. Ia hanya tahu satu hal—bahwa merah malam ini bukan hanya warna jubah yang berkibar di udara, bukan hanya warna gairah yang mengalir dalam semangat kota ini.

Tapi merah yang juga berarti luka.

Merah yang berbau besi.

Merah yang menempel di ingatan, sulit dilupakan.

Setelah insiden itu, Rafael dan Lucía meninggalkan arena dalam diam. Mereka berjalan menyusuri trotoar Madrid yang kini terasa lebih sunyi, meskipun lampu-lampu jalan masih menyala terang.

Tak ada lagi nada menggoda di suara Lucía. Tak ada lagi adu mulut atau senyum penuh kemenangan di wajahnya. Hanya ada ekspresi kosong dan langkah pelan yang menyiratkan pikirannya masih tertinggal di dalam arena.

Mereka berhenti di sebuah bar kecil di sudut jalan. Tanpa banyak bicara, Lucía masuk lebih dulu, duduk di kursi dekat jendela. Rafael menyusul, duduk di seberangnya.

Seorang pelayan datang, menunggu pesanan mereka. Lucía hanya mengangkat tangan. “Sangria.”

Rafael berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Sama.”

Pelayan itu pergi, meninggalkan mereka dalam diam yang tak biasa.

Beberapa menit berlalu sebelum Lucía akhirnya membuka suara. “Aku nggak nyangka bakal kayak gitu.”

Rafael bersandar ke kursinya, menatap jalanan yang dipenuhi lampu-lampu neon. “Madrid memang nggak bisa ditebak.”

Lucía menghela napas. “Tapi kamu lihat, kan? Betapa merahnya malam ini?”

Rafael menatapnya. Di bawah cahaya lampu bar yang temaram, rambut Lucía yang merah tampak lebih gelap dari biasanya. Matanya, yang biasanya penuh gairah dan keyakinan, kini tampak bimbang.

Ia bisa saja membalas dengan sarkasme, seperti yang biasa ia lakukan. Tapi kali ini, Rafael hanya menyesap minumannya sebelum berkata pelan, “Aku lihat.”

Lucía tersenyum tipis, lalu menyesap sangria di tangannya.

Tak ada lagi debat. Tak ada lagi argumen.

Hanya Madrid yang tetap merah.

Dan mereka berdua yang akhirnya memahami apa arti warna itu.

 

Madrid tetap merah. Merahnya jalanan yang tak pernah tidur, merahnya gairah yang tak pernah padam, dan merahnya ingatan yang nggak bisa dihapus begitu saja. Entah di meja bar, di arena matador, atau di hati yang masih menyimpan perdebatan yang belum selesai—merahnya tetap ada. Dan bagi mereka yang pernah merasakannya, Madrid nggak akan pernah terlihat sama lagi.

Leave a Reply