Cerpen Lupa Ulang Tahun: Kejutan Tak Terduga yang Mengubah Segalanya

Posted on

Kadang kita terlalu sibuk mikirin kerjaan sampai lupa tentang hal-hal kecil yang ternyata berarti banget, kayak… ulang tahun sendiri. Mungkin nggak semua orang merasa ulang tahun itu penting, tapi siapa sangka, kejutan dari teman-teman bisa bikin hari biasa jadi terasa spesial. Cerpen ini bakal nunjukin gimana satu kejutan bisa berubah jadi momen yang nggak bakal terlupakan.

 

Cerpen Lupa Ulang Tahun

Tenggelam dalam Kesibukan

Langit masih gelap ketika Darren menyalakan laptopnya. Kopi hitam yang baru diseduh mengepul di samping meja kerja, mengisi udara dengan aroma pahit yang sudah akrab dengannya. Matanya menatap layar penuh angka dan grafik yang harus dianalisis sebelum tenggat waktu besok.

Jam di dinding menunjukkan pukul enam pagi. Darren baru tidur sekitar tiga jam tadi malam, tapi rasa kantuk sudah jadi sesuatu yang bisa diabaikan. Begitu masuk ke mode kerja, semuanya terasa seperti autopilot.

Ponselnya bergetar di meja. Sekilas ia melirik, notifikasi dari grup teman-temannya bermunculan. Namun, seperti biasa, ia tidak terlalu memperhatikan.

“Darren! Jangan lupa makan pagi!” Suara Reza, adiknya, terdengar dari luar kamar.

“Ya, nanti!” jawab Darren cepat, tapi tidak beranjak dari kursinya.

Kata “nanti” sudah seperti alarm palsu. Reza mungkin akan menerobos masuk kalau ia tidak makan dalam satu jam ke depan, tapi Darren punya prioritas lain. Tugasnya menumpuk, dan ia tahu satu menit saja menjauh dari layar bisa menghambat alurnya.

Sekarang pukul sembilan. Sekarang pukul sebelas. Sekarang pukul dua siang.

Hari berlalu begitu cepat. Jam makan siang sudah lewat, tapi Darren masih terjebak dalam pekerjaannya. Setiap kali ia merasa hampir selesai, selalu ada detail kecil yang perlu diperbaiki. Lalu, ketika akhirnya ia menegakkan badan dan meregangkan lehernya yang kaku, matahari sudah mulai turun.

Reza masuk ke kamarnya dengan wajah datar. “Kamu nggak keluar kamar seharian.”

Darren menghela napas. “Masih sibuk, Za. Besok ada deadline.”

Reza bersedekap, menatapnya penuh arti. “Hari ini nggak ada yang spesial?”

Darren mengernyit. “Maksud kamu?”

Adiknya mengangkat bahu santai. “Nggak, cuma nanya aja.” Lalu ia pergi begitu saja, meninggalkan Darren yang kembali fokus ke layar laptopnya.

Namun, pertanyaan itu sempat mengusik pikirannya. Ada yang spesial? Hari ini hari apa? Tapi sebelum ia bisa memikirkannya lebih jauh, notifikasi di laptopnya berbunyi.

Email dari klien. Revisi tambahan.

Darren menghela napas panjang. Oke, fokus lagi.

Di luar kamar, Reza menekan layar ponselnya, mengirim pesan ke seseorang.

“Rania, dia beneran lupa.”

 

Notifikasi yang Mengejutkan

Pukul sembilan malam.

Darren mengistirahatkan punggungnya di kursi, meremas tengkuknya yang terasa tegang. Laptopnya masih menyala, menampilkan grafik dan laporan yang sudah hampir selesai. Matanya terasa berat, tapi pikirannya masih berputar pada pekerjaan yang belum sepenuhnya beres.

Ponselnya bergetar lagi. Darren melirik sekilas, lalu mengabaikannya. Mungkin pesan dari Reza yang menyuruhnya makan malam. Namun, ketika getaran itu datang bertubi-tubi, ia mulai merasa jengah. Dengan gerakan malas, ia meraih ponsel dan membuka notifikasi.

Grup Chat: “Orang-Orang yang Pernah Makan Gratis di Rumah Darren”

📍 Rania: Gila, masa dia beneran lupa?! 😂
📍 Reza: Aku udah ngetes dia tadi. Nih orang udah kayak robot.
📍 Dika: Gua nggak percaya sih. Gimana kalau kita langsung buktiin aja?
📍 Rania: Setuju! Dia butuh ditampar kenyataan!
📍 Sena: Ke rumahnya aja, kasih pelajaran dikit.

Darren mengernyit. Lupa? Lupa apa? Ia men-scroll lebih ke atas, mencari konteks obrolan mereka. Lalu, matanya tertumbuk pada beberapa pesan lain yang membuatnya membatu di tempat.

📍 Rania: Darren, ulang tahun kamu nggak penting ya buat kamu sendiri?
📍 Dika: Kasian banget hidup lo, bro.
📍 Sena: “Selamat ulang tahun buat diri sendiri yang bahkan lupa hari lahirnya.”
📍 Reza: Fix. Kakakku nggak punya jiwa manusia lagi.

Darren langsung melirik tanggal di layar ponsel. 25.

Denyut kecil terasa di kepalanya. Jari-jarinya mengetik cepat.

📍 Darren: HA?! SERIUS?!
📍 Darren: Hari ini 25?
📍 Darren: Gua ulang tahun?

Tidak ada yang membalas. Hanya tanda centang biru.

Darren mendongak, menatap kosong ke dinding. Gila, gimana bisa gue lupa?

Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, ketukan keras terdengar dari pintu kamarnya. Sepersekian detik kemudian, pintu itu terbuka.

Reza berdiri di sana, menyeringai penuh kemenangan.

“Kamu sadar kan sekarang?” katanya santai.

Darren masih tercengang. “Gue beneran ulang tahun hari ini?”

Reza menghela napas panjang, seolah berbicara dengan seseorang yang baru saja kehilangan ingatan. “Iya, dan kamu satu-satunya manusia di planet ini yang bisa lupa ulang tahunnya sendiri.”

Darren menatap ponselnya lagi, lalu ke arah adiknya. “Serius, Za. Gimana gue bisa lupa?”

Reza mengangkat bahu. “Sibuk. Gila kerja. Udah mirip mesin. Gimana nggak lupa?”

Darren mengusap wajahnya. Rasa bersalah mulai merayap di dadanya. Bukan hanya karena melupakan hari ulang tahunnya sendiri, tapi karena ia tidak menyadari betapa orang-orang di sekitarnya masih peduli—meski dirinya sendiri bahkan tidak ingat.

Saat ia masih memproses semua ini, tiba-tiba lampu rumahnya mati. Gelap total.

Darren mendongak panik. “Eh, kenapa ini?”

Reza hanya tertawa pelan. “Udah mulai.”

“Udah mulai apa?”

Sebelum Darren bisa mendapatkan jawaban, suara langkah kaki terdengar dari luar kamar. Banyak langkah kaki. Dan sebelum ia sempat bertanya lagi, pintu kamarnya terbuka lebih lebar—membiarkan cahaya lilin dari luar masuk ke dalam.

Di sana, berdiri sekelompok orang yang wajahnya terlalu familiar.

Rania, Dika, Sena, dan beberapa teman kerja Darren berdiri dengan senyum lebar, masing-masing memegang lilin kecil. Dan di tengah-tengah mereka, sebuah kue dengan lilin angka “28” menyala terang.

“SELAMAT ULANG TAHUN, DARREN!”

Darren terdiam.

Sial. Ia benar-benar tidak siap.

 

Kejutan di Balik Pintu

Cahaya lilin dari kue ulang tahun itu menerangi wajah-wajah yang menatap Darren dengan ekspresi penuh arti. Beberapa teman kerjanya menahan tawa, sementara Rania mengangkat alis seolah berkata, Nah, lo! Ketampar kenyataan, kan?

Darren mengedip beberapa kali, masih memproses semuanya. Udara di sekitarnya terasa aneh—hangat dan akrab, tapi juga bikin tenggorokannya tercekat.

“Kalian…” suaranya hampir tak keluar. “Serius, segininya?”

Dika menyeringai, menepuk bahu Darren dengan keras. “Ya iyalah! Lo kira kami bakal biarin lo melewatkan hari lahir lo begitu aja? Nggak bisa, bos.”

Sena menyeletuk, “Jangan bilang lo mau balik ke laptop sekarang.”

Darren menghela napas, menekan jembatan hidungnya. Rasanya aneh. Seharian ini ia terlalu sibuk dengan kerjaannya, sampai sama sekali tidak memikirkan ulang tahunnya. Dan sekarang, ia berdiri di tengah ruangan dengan sekelompok orang yang repot-repot datang hanya untuk merayakan sesuatu yang bahkan ia sendiri lupakan.

Reza menyikut lengannya. “Duduk, potong kue, make a wish, kayak orang normal.”

Darren tertawa kecil, masih merasa absurd dengan semua ini. Ia berjalan ke meja di tengah ruangan, di mana kuenya diletakkan. Lilin angka 28 masih menyala, cahayanya bergoyang pelan.

Rania menyilangkan tangan di dadanya. “Make a wish dulu. Dan jangan bilang doa kamu adalah ‘semoga kerjaan cepat selesai’ karena gue sumpah bakal nyiram lo pakai air es.”

Darren menatap lilin itu. Lalu, sesuatu di dalam dadanya terasa berat.

Apa yang sebenarnya harus ia harapkan?

Selama ini, hidupnya adalah tentang kerja, kerja, dan kerja. Semua orang melihatnya sebagai pria yang punya ambisi besar, perfeksionis, selalu berusaha lebih keras. Tapi… sekarang, di momen ini, ketika semua orang ada di sekelilingnya, sesuatu dalam dirinya mulai tersadar.

Ia menarik napas panjang, memejamkan mata sejenak.

Lalu, ia meniup lilin itu.

Sorak-sorai kecil memenuhi ruangan, dan entah bagaimana, senyum di wajah Darren terasa lebih lepas dari yang pernah ia rasakan dalam beberapa tahun terakhir.

“Wih, akhirnya! Sekarang potong kuenya!” ujar Sena sambil mendorong pisau ke tangan Darren.

Saat Darren mulai memotong kue, Reza tiba-tiba berbisik di telinganya, “Kado spesial buat kamu belum datang.”

Darren mengernyit. “Maksudnya?”

Reza hanya tersenyum misterius. “Tunggu aja.”

Dan sebelum Darren bisa bertanya lebih lanjut, bel rumah berbunyi.

Semua orang serempak menoleh ke arah pintu.

Rania terkikik. “Oh. Akhirnya datang juga.

Darren menatap mereka dengan curiga, lalu berjalan menuju pintu dengan alis bertaut. Begitu ia membukanya, tubuhnya langsung menegang.

Di depan pintu, berdiri seseorang yang sama sekali tidak ia duga akan muncul malam ini.

Seseorang dari masa lalu.

Seseorang yang pernah ia pikir tidak akan pernah kembali.

 

Hadiah yang Tak Terduga

Darren berdiri kaku di ambang pintu. Napasnya tertahan.

Sosok yang berdiri di hadapannya tampak sama seperti dulu—masih dengan tatapan mata yang selalu sulit ia tebak, masih dengan postur tubuh yang tegap namun terasa jauh. Namun, yang paling membuat Darren tercekat adalah kenyataan bahwa orang ini ada di sini, malam ini.

“Aku kaget kamu masih ingat jalan ke sini,” ucap Darren akhirnya, suaranya lebih serak dari yang ia duga.

Sosok itu menghela napas pelan sebelum mengulas senyum kecil. “Sebenarnya aku nggak ingat. Untung Reza masih cukup baik buat ngirimin alamatnya.”

Darren melirik sekilas ke dalam rumah, dan benar saja—Reza sedang menatap ke arah mereka sambil menyeringai penuh kemenangan.

Orang di depan Darren ini adalah Alana.

Mantan seseorang yang dulu terlalu berarti dalam hidupnya. Yang pernah membuatnya berpikir tentang berhenti bekerja terlalu keras, yang pernah menjadi alasan dia pulang lebih cepat dari kantor, yang pernah ia pikir akan selalu ada di sisinya.

Namun, waktu berkata lain.

Alana pergi—tepat dua tahun lalu. Katanya, ia ingin mengejar mimpi. Katanya, mereka sama-sama terlalu sibuk untuk mempertahankan sesuatu yang lama-lama terasa kosong. Katanya, mungkin suatu saat nanti mereka akan bertemu lagi, dalam versi yang lebih baik.

Dan sekarang, dia ada di sini.

“Kamu mau terus berdiri di situ, atau kita bisa bicara sebentar?” tanya Alana, nada suaranya santai, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam.

Darren menelan ludah, lalu mengangguk kecil. “Ayo.”

Mereka berjalan menjauh dari rumah, duduk di bangku taman kecil di halaman. Jarak di antara mereka terasa canggung, seakan ada sesuatu yang masih menggantung di udara.

Alana menatap langit sebentar sebelum akhirnya berkata, “Aku dengar kamu lupa ulang tahun sendiri.”

Darren mendengus pelan. “Jangan ikut-ikutan ngeledek.”

“Aku nggak ngeledek,” Alana tersenyum tipis. “Aku cuma berpikir… kamu nggak berubah, ya?”

Darren menoleh ke arahnya, mengangkat satu alis. “Maksud kamu?”

Alana menarik napas dalam sebelum menjawab, “Kamu masih terlalu sibuk sampai nggak sadar kalau ada orang-orang di sekitar kamu yang selalu peduli. Kamu lupa hari ulang tahun kamu sendiri, tapi mereka nggak. Kamu mungkin nggak merasa itu penting, tapi mereka merasa kamu penting.”

Darren terdiam. Kata-kata itu menamparnya dengan cara yang tidak ia duga.

“Aku tahu aku nggak berhak ngomong banyak,” lanjut Alana, suaranya lebih pelan sekarang. “Tapi aku cuma mau bilang… aku senang lihat kamu masih dikelilingi orang-orang yang sayang sama kamu. Dan aku juga senang, akhirnya aku bisa ada di sini, buat bilang sesuatu yang seharusnya aku bilang dua tahun lalu.”

Darren mengernyit, menunggu.

Alana menoleh dan tersenyum. “Selamat ulang tahun, Darren.”

Darren menatapnya lama, sebelum akhirnya tertawa kecil. “Jadi kamu datang cuma buat bilang itu?”

Alana ikut tertawa, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit dijelaskan. “Mungkin.”

Sejenak, tidak ada yang bicara. Hanya suara angin malam yang berembus pelan.

Lalu, Alana berdiri. “Aku harus pergi. Tapi…” dia ragu sejenak, “jangan terlalu sibuk sampai lupa sama diri sendiri lagi, ya?”

Darren mendongak, menatapnya. Ada sesuatu dalam tatapan itu—sesuatu yang dulu pernah ada, tapi kini terasa lebih matang.

Ia tahu, ada banyak yang belum mereka bicarakan. Ada banyak hal yang masih tersisa di antara mereka.

Tapi untuk malam ini, mungkin ucapan selamat ulang tahun dari Alana sudah lebih dari cukup.

Darren tersenyum kecil. “Makasih, Alana.”

Alana tersenyum balik, lalu berbalik pergi.

Darren mengamati sosoknya yang menjauh, sebelum akhirnya menghela napas panjang dan kembali masuk ke dalam rumah—di mana teman-temannya masih menunggu, di mana perayaan kecil ini belum benar-benar selesai.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Darren merasa ulang tahunnya kali ini bukan hanya sekadar tanggal yang bisa ia lupakan.

 

Jadi, kadang hidup itu memang penuh kejutan, kan? Dan kalau lagi sibuk banget, jangan lupa sejenak lihat sekeliling, siapa tahu ada yang perhatian sama kita. Ulang tahun bukan cuma tentang nambah usia, tapi tentang nyadar kalau ada orang-orang yang peduli. Dan soal kejutan… mungkin itu yang kita butuhin di saat yang nggak terduga. Semoga cerpen ini bisa bikin kamu senyum!

Leave a Reply