Daftar Isi
Jadi gini, pernah nggak sih kamu ngerasain diri kamu hancur banget karena masa lalu? Kayak, kamu udah berusaha banget buat bangkit, tapi ada aja yang ngingetin kamu sama luka lama yang susah banget sembuhnya.
Nah, cerpen ini bakal ngomongin soal itu—soal gimana rasanya ditinggal, disakitin, dan akhirnya belajar buat nerima kenyataan yang pahit. Siap-siap, cerita ini bakal bawa kamu ke dalam dunia penuh luka dan harapan yang akhirnya muncul, meski nggak mudah.
Menerima Kehilangan dan Melangkah Maju
Jejak yang Tertinggal
Ada hal yang aneh tentang cara aku melihat dunia. Mungkin karena aku sering merasa seperti orang luar, seperti penonton dalam sebuah cerita yang tak pernah benar-benar aku pilih untuk dimainkan. Tapi, Tia… Tia adalah satu-satunya yang membuatku merasa, untuk sesaat, bahwa dunia ini milikku dan miliknya. Kami bukan orang-orang yang bisa dipisahkan, setidaknya itu yang aku pikirkan dulu. Sampai akhirnya kenyataan menunjukkan sebaliknya.
Hari itu, seperti biasa, aku duduk di bangku taman dekat kafe kecil yang selalu jadi tempat kami bertemu. Dari sini, aku bisa melihat langit yang perlahan berubah warna, senja yang selalu memberi rasa nyaman. Tia datang terlambat, dengan senyum cerah yang selalu dia bawa, meskipun aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Rambutnya yang panjang tergerai begitu indah, berkilau di bawah sinar matahari sore. Tapi, di matanya, aku melihat sesuatu yang berbeda—sesuatu yang tidak aku mengerti.
“Arian,” Tia menyapa, suara manisnya seperti biasa, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar sapaannya. “Maaf aku telat.”
Aku hanya mengangguk, tak terlalu memperhatikan jam, karena kehadirannya selalu membuat aku merasa waktu berhenti. Tapi ada sesuatu dalam sikapnya yang terasa aneh. Dia duduk lebih jauh dari biasanya, tidak seperti biasanya yang duduk tepat di sebelahku, berbicara tentang segala hal dengan penuh semangat.
“Ada yang ingin kamu ceritakan?” tanyaku sambil memandang ke arahnya, berharap bisa menangkap sesuatu dari ekspresinya.
Tia menghela napas, matanya menatap langit seolah mencari kata-kata yang tepat. Aku tahu, kalau dia sedang mencari cara untuk mengatakan sesuatu yang besar. Sesuatu yang akan mengubah segalanya.
“Arian, aku… aku butuh waktu sendiri. Aku rasa kita butuh jarak,” katanya pelan, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya seolah menyayat langsung ke hatiku. Jarang sekali dia berbicara seperti itu, jarang sekali dia menyebut kata “waktu sendiri.” Biasanya, dia selalu penuh semangat dan penuh dengan janji-janji kecil tentang masa depan kami berdua.
Aku menatapnya, mencoba memahami maksudnya. “Waktu sendiri? Kamu merasa… kita terlalu dekat, begitu?”
Tia diam sejenak, seolah berpikir keras sebelum menjawab. “Tidak. Bukan begitu. Aku hanya merasa, aku butuh ruang. Untuk diriku sendiri. Aku rasa, aku sedang mencari sesuatu yang berbeda.”
Perasaan aneh itu semakin menguat. Aku merasa seperti ada tembok yang tiba-tiba dibangun di antara kami, sesuatu yang tak bisa aku jebol meskipun aku mencoba dengan segala cara. Aku tahu, ada yang tak beres, tapi aku tak ingin mengakui kenyataan itu.
“Kamu ingin berpisah, Tia?” tanyaku, suaraku bergetar meski aku berusaha keras untuk tetap tenang. Aku berusaha menyembunyikan betapa rapuhnya hatiku saat itu.
Tia memalingkan wajah, tidak sanggup menatapku lagi. “Aku tidak tahu. Aku hanya butuh waktu untuk berpikir.”
Aku terdiam. Kata-kata itu mengendap di udara, membuatnya semakin tebal. Semua yang aku pikirkan selama ini tentang kami, tentang masa depan, tiba-tiba runtuh begitu saja. Aku ingin mengatakan sesuatu, menghalangi keputusan yang sudah ada di depan mata, tapi aku tahu, jika aku melakukannya, itu hanya akan semakin membuatnya tertekan. Aku tidak ingin menjadi beban baginya, walaupun di dalam hati, aku merasa seolah aku sudah menjadi beban yang terlalu besar.
“Arian, maafkan aku. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara menjelaskan ini,” suara Tia terdengar kecil, hampir tak terdengar, tapi aku mendengarnya jelas.
Aku mengangguk pelan, meskipun hatiku dipenuhi rasa sakit yang tak bisa aku ungkapkan. Aku hanya bisa duduk di sana, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya, meski semuanya seperti suara latar yang semakin jauh. Saat itu, aku tahu, sesuatu telah berubah, dan aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.
“Kamu tidak perlu minta maaf,” kataku pelan, meskipun dalam hati aku merasa begitu kecewa. “Aku hanya ingin kamu bahagia, Tia. Jika itu yang kamu butuhkan, aku akan memberi ruang.”
Tia mengangguk dan memberikan senyuman yang menurutku terpaksa. Senyuman yang tidak seperti biasanya. Itu senyuman seorang perempuan yang tahu dia sedang menghancurkan hati seseorang, tapi tetap melakukannya dengan alasan yang dia pikir benar.
Aku tak tahu berapa lama kami duduk di sana setelah itu. Waktu seakan berjalan sangat lambat, dan setiap detik terasa seperti seratus tahun. Tia akhirnya bangkit dari tempat duduknya, bersiap untuk pergi.
“Aku harus pergi sekarang,” katanya, berbalik dengan langkah perlahan, seperti sedang berusaha menghindari tatapanku.
Aku hanya mengangguk, tanpa kata. Tak ada yang bisa aku katakan lagi. Aku tahu, ini adalah akhir. Kami berdua tahu itu. Tapi tidak ada satu pun dari kami yang ingin menghadapinya secara langsung. Tia pergi, meninggalkan aku di bangku taman itu, sendirian, dengan hati yang hancur.
Aku menatap langit senja yang perlahan mulai gelap. Semua yang kami rencanakan, semua harapan yang aku bangun, seolah lenyap begitu saja. Di antara cahaya redup matahari yang mulai tenggelam, aku merasa sesuatu yang dalam, yang kosong. Itu bukan hanya tentang Tia, itu lebih tentang aku yang tidak tahu bagaimana cara menjaga hatiku tetap utuh. Aku terlalu mencintainya, sampai akhirnya aku lupa mencintai diriku sendiri.
Aku duduk lama di sana, merenung, mencoba mengumpulkan bagian-bagian diriku yang tercecer, tetapi semakin aku mencoba, semakin aku merasa semakin jauh dari diriku yang sebenarnya.
Kepergian Tanpa Kata
Setelah Tia pergi, dunia terasa sunyi. Seluruh kota yang dulu penuh dengan suara tawa kami, kini hanya berisi desah angin dan kesendirian yang mencekam. Aku merasa seperti berada di dalam ruang kosong yang berputar, dan setiap langkahku hanya semakin membawa aku lebih jauh dari apa yang dulu aku kenal.
Aku kembali ke apartemen kecilku, tempat di mana segala kenangan tentang kami berdua masih melekat kuat. Di sana, aku merasa seolah-olah aku dikelilingi oleh bayangannya, meskipun dia sudah pergi. Buku-buku yang sering kami baca bersama masih tergeletak di meja, cangkir-cangkir kopi yang kami gunakan untuk mengobrol, semuanya masih ada di tempatnya. Semua benda itu tampak seperti potongan puzzle dari kisah yang tak lengkap.
Pekerjaan, yang dulu bisa mengalihkan pikiranku dari segala rasa sakit, kini hanya terasa seperti rutinitas yang kosong. Setiap kali aku masuk ke kantor, aku merasa seperti orang asing yang mencoba menyesuaikan diri dengan dunia yang tidak pernah aku pahami. Rekan-rekan kerja berbicara tentang hal-hal biasa, sementara aku hanya bisa mendengarkan tanpa benar-benar mendengarkan. Tidak ada yang tahu bagaimana rasanya merasakan hati yang terbelah, atau betapa kosongnya hidup tanpa seseorang yang pernah begitu berarti.
Suatu pagi, aku mendapat pesan singkat dari Tia. Hanya satu kalimat, tanpa ekspresi, tanpa penjelasan lebih lanjut.
“Aku rasa kita memang tidak cocok. Aku butuh waktu jauh dari semuanya.”
Kalimat itu, meskipun singkat, meremukkan seluruh harapanku. Tidak ada alasan, tidak ada penjelasan tentang apa yang terjadi. Hanya sebuah keputusan yang diambil dengan begitu mudahnya, seolah semuanya telah selesai. Dan aku, yang hanya bisa mengingat masa-masa indah itu, merasa seperti barang yang sudah tidak dibutuhkan lagi.
Aku menatap pesan itu lama. Menggenggam ponselku seolah aku bisa merasakannya melalui layar. Tapi tak ada yang bisa aku lakukan. Tia sudah membuat pilihannya. Aku tahu dia sudah lama tidak merasa seperti yang aku rasakan. Aku tahu dia tidak akan pernah kembali. Tapi kenapa rasanya aku tak bisa melepaskan?
Hari-hari berikutnya menjadi blur. Pagi dan malam terasa seperti dua dunia yang terpisah, dan aku terjebak di tengahnya. Tak ada yang benar-benar bisa aku rasakan, selain dingin yang mulai meresap dalam setiap inci diriku. Mungkin itu adalah cara tubuhku untuk bertahan hidup—dengan membekukan hati dan pikiran. Aku mulai membangun tembok, dan semakin tinggi, semakin rapat. Tidak ada ruang untuk siapa pun. Tidak ada ruang untuk kelemahan.
Suatu malam, setelah pulang kerja, aku pergi ke bar yang sering kami kunjungi. Tempat itu tidak pernah berubah—musik keras, lampu yang redup, dan hiruk-pikuk orang-orang yang seakan tak peduli dengan apapun selain diri mereka sendiri. Aku duduk di sudut, menunggu sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa. Mungkin hanya untuk mengisi kekosongan yang semakin besar.
Seorang bartender yang baru datang mendekat, meletakkan gelas di depanku. “Malam, bro. Apa yang bisa saya buat untuk kamu?”
Aku memandang gelas itu tanpa tertarik. “Beri aku sesuatu yang keras. Aku butuh sesuatu untuk melupakan.”
Bartender itu mengangguk dan pergi ke belakang bar, sementara aku melamun, menatap keramaian di sekitarku. Semua orang terlihat bahagia, sementara aku hanya merasa semakin tenggelam dalam kesendirian. Aku tidak tahu bagaimana cara keluar dari perasaan ini. Aku sudah terlalu lelah mencoba memahami segala sesuatu yang terjadi.
Lalu tiba-tiba, seseorang duduk di sebelahku. Aku tidak mengalihkan pandangan, karena aku sudah terbiasa dengan kehadiran orang asing di bar. Mereka datang dan pergi begitu saja, seperti riak air yang tak pernah bertahan lama. Tapi kali ini, suara orang itu terdengar familiar.
“Arian, kamu lagi-lagi di sini?” suara itu terdengar kering, tanpa kehangatan yang biasa aku dengar. Aku menoleh dan melihat seorang pria yang kukenal. Dia adalah Reza, teman lama yang pernah aku ajak berbicara tentang segala hal. Seorang pria yang selalu bisa membuatku tertawa, bahkan saat dunia seolah memutuskan untuk mengabaikanku.
Aku mengangguk pelan. “Iya, cuma butuh waktu sendiri.”
Reza duduk lebih dekat, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Kamu tahu, Tia sudah move on, kan? Kenapa kamu masih di sini, berpikir dia akan kembali?”
Aku menatapnya tajam, merasa hatiku seperti disayat. “Jangan bicara seperti itu. Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan.”
Reza terdiam sejenak, menatapku dengan pandangan yang sulit aku baca. “Aku tahu kamu kecewa, Arian. Tapi kalau kamu terus-menerus begini, kamu hanya akan semakin terluka. Kau bisa berhenti berharap dan melanjutkan hidup. Tidak ada gunanya terus memegang masa lalu.”
Aku mengalihkan pandanganku, merasa perasaan itu semakin sulit untuk aku bendung. Tidak ada yang mengerti, tidak ada yang bisa merasakan bagaimana rasanya dihancurkan begitu dalam. Tapi aku tidak ingin menangis di depan Reza, atau siapa pun. Aku sudah terlalu lama menjadi orang yang tegar, yang tak pernah menunjukkan kelemahan.
“Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan,” kataku pelan, namun suara itu penuh amarah yang terpendam. “Dia meninggalkan aku tanpa alasan. Tanpa penjelasan. Hanya pergi begitu saja.”
Reza diam, seolah dia tahu aku tidak butuh nasehat, hanya butuh didengar. Mungkin dia benar, mungkin aku memang harus berhenti berharap. Tapi sejujurnya, aku tak tahu bagaimana caranya. Semua yang aku tahu adalah aku masih mencintainya, meskipun dia tak lagi ada.
Aku mengangkat gelas yang bartender beri tadi, meneguknya dengan cepat. Rasa pahitnya menyebar di tenggorokanku, tetapi itu tidak cukup untuk menghapus semua perasaan yang ada di dalam diriku. Aku ingin merasakan apapun selain sakit ini. Namun, semakin aku mencoba, semakin aku merasa terperangkap dalam kepedihan yang tidak bisa aku lepaskan.
“Aku hanya ingin lupa,” kataku pada Reza, suara aku hampir tenggelam dalam suara musik dan keramaian.
Reza memandangku untuk beberapa detik, lalu mengangguk pelan. “Kadang-kadang, kita harus berhenti berlari mengejar sesuatu yang sudah pergi, Arian.”
Aku terdiam. Sebuah kalimat yang sederhana, tetapi begitu sulit untuk diterima.
Dunia yang Tak Lagi Sama
Hari-hari terus berjalan, meskipun terasa lebih berat dari sebelumnya. Setiap pagi, aku bangun dengan perasaan kosong, seolah-olah ada bagian dari diriku yang hilang. Entah kenapa, aku mulai merasa seperti hidup dalam bayang-bayang—ada, namun tak pernah benar-benar hadir. Aku datang ke kantor dengan wajah yang sudah biasa dipenuhi kebosanan. Rekan-rekan kerja berbicara tentang deadline dan proyek baru, tetapi pikiranku masih jauh, melayang dalam kenangan yang tak pernah berakhir.
Di luar sana, dunia berjalan seperti biasa, dengan semua orang tampak sibuk dengan hidup mereka masing-masing. Sementara aku, terperangkap dalam rasa sakit yang aku ciptakan sendiri. Aku tahu aku harus move on, seperti yang Reza katakan. Tapi bagaimana caranya jika hati ini tak pernah mau ikut berjalan?
Beberapa hari setelah percakapan itu, aku mulai sering mengunjungi bar yang sama. Aku tidak pergi untuk mencari hiburan atau pelarian. Aku hanya ingin merasakan sesuatu yang lebih nyata. Mungkin kebisingan itu bisa mengalihkan pikiranku, meskipun sejujurnya, tidak ada yang bisa menghilangkan rasa hampa itu.
Aku duduk di tempat yang sama, di sudut bar, menatap keramaian tanpa melihat siapapun. Suasana yang dulunya terasa penuh hidup kini terasa asing, bahkan mengganggu. Semua orang datang dan pergi, seolah-olah mereka tahu betul apa yang mereka inginkan, sementara aku hanya terdiam, tak tahu apa yang harus kulakukan.
Di tengah keheningan yang mulai menyelimuti diriku, seorang wanita datang duduk di sebelahku. Aku tak peduli siapa dia, atau mengapa dia memilih tempat itu. Aku hanya menunduk pada gelasku, mencoba menghindari kenyataan bahwa aku merasa semakin jauh dari diri sendiri.
“Lama tak terlihat, Arian,” suara itu menarik perhatianku. Aku menoleh dan melihat wanita itu. Wajahnya asing, namun matanya mengingatkanku pada seseorang—seseorang yang pernah berperan besar dalam hidupku, meski bukan Tia. Ini Mia, seorang teman lama dari masa kuliah.
Mia tersenyum kecil, sedikit canggung. “Aku mendengar tentang Tia. Aku tahu kamu pasti sedang berjuang dengan perasaanmu, kan?”
Aku mengangkat bahu, mencoba terlihat seolah aku tak peduli. “Sepertinya semua orang tahu apa yang terjadi,” jawabku dengan suara datar, lebih kepada diri sendiri daripada kepada Mia.
Mia mengangguk pelan. “Aku tahu kamu bukan tipe orang yang suka menunjukkan perasaan. Tapi aku juga tahu kamu sedang merasakannya. Dan aku tahu, Tia meninggalkanmu dengan alasan yang dia sendiri tak mampu jelaskan.”
Aku terdiam. Mendengar kalimat itu, aku merasa seperti diserang tanpa bisa melawan. Aku memang tahu Tia pergi tanpa memberi penjelasan. Tapi mendengar seseorang lain mengatakannya, itu seperti membuka luka yang belum sepenuhnya sembuh. Aku menatap Mia tajam, mencoba menahan emosi yang hampir meledak.
“Apa yang kamu tahu tentang aku?” kataku dengan nada yang lebih keras dari yang aku inginkan. “Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan, Mia. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya dibuang begitu saja.”
Mia hanya diam, menatapku dengan tatapan yang penuh pengertian. Tidak seperti orang-orang lain, dia tidak menjauhkan diri atau berusaha memberi nasihat kosong. Dia hanya duduk di sana, membiarkan aku merasakannya, mengizinkanku untuk berteriak tanpa takut dihukum.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan, sampai akhirnya aku meletakkan gelasku. “Aku hanya ingin dia kembali. Itu saja,” aku berkata pelan, hampir seperti bisikan.
Mia menatapku dengan mata yang penuh rasa iba, namun dia tidak mengatakannya. Aku tahu dia mengerti. Tidak perlu banyak kata. Semua orang tahu betapa besar rasa sakit yang aku bawa.
“Arian, kamu tidak bisa mengubah masa lalu,” katanya dengan suara lembut. “Kamu tidak bisa mengontrol apa yang orang lain pilih untuk lakukan. Tapi kamu bisa memilih untuk tidak membiarkan itu menghancurkan hidupmu.”
Aku menatapnya, tak tahu harus menjawab apa. Kata-katanya memang benar, tapi aku merasa seperti sudah terlalu jauh terperosok ke dalam kegelapan yang aku ciptakan. Aku sudah terlalu lelah untuk mencoba memperbaiki segala sesuatu yang sudah hancur.
“Aku tahu, Mia. Tapi itu tidak mudah. Setiap hal yang aku lakukan sekarang seolah mengingatkanku padanya. Dan aku tidak tahu bagaimana cara berhenti merasakannya,” jawabku dengan suara serak.
Mia tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya duduk di sana, memberikan aku ruang untuk meresapi semuanya. Tapi aku tahu, di dalam diriku, ada perasaan yang terus berkecamuk, yang tak bisa aku singkirkan. Aku merasa terjebak dalam perasaan ini, tidak tahu bagaimana cara keluar.
Hari-hari setelah pertemuan itu terasa lebih berat. Di kantor, aku merasa semakin terasing. Aku tidak lagi berbicara banyak dengan siapa pun. Aku hanya datang, bekerja, dan pulang. Setiap kali aku bertemu dengan orang lain, aku merasa seperti aku sedang berperan dalam dunia yang bukan milikku. Semua terasa palsu, kosong.
Di malam hari, aku kembali ke bar yang sama. Aku ingin merasakan sesuatu yang lebih nyata, meskipun aku tahu itu hanya pelarian sementara. Namun, semakin aku datang, semakin aku merasa kosong. Tia sudah pergi, dan aku tidak bisa mengembalikan waktu. Semua yang tersisa adalah kenangan—kenangan yang terus membayangiku tanpa henti.
Suatu malam, ketika aku sedang duduk di tempat yang biasa, seseorang datang dan duduk di sebelahku. Aku tak menoleh. Aku hanya menatap ke depan, membiarkan waktu berjalan tanpa aku peduli. Tapi kemudian, suara itu terdengar lagi.
“Arian, kamu tahu kan, ada banyak hal dalam hidup yang tak bisa kita kontrol?”
Aku menoleh, dan kali ini yang duduk di sebelahku bukan Mia, bukan Reza. Itu Tia.
Mata kami bertemu, dan aku merasa seluruh tubuhku membeku. Tidak ada kata yang bisa keluar dari mulutku. Tia hanya menatapku dalam diam, seolah menunggu sesuatu. Tapi aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Semua kata-kata yang aku simpan selama ini terasa sia-sia.
Tia menghela napas, dan perlahan berkata, “Aku datang hanya untuk memberitahumu, Arian, bahwa aku sudah memutuskan segalanya. Dan aku tak ingin kamu lagi menunggu sesuatu yang tidak akan pernah terjadi.”
Aku merasa dunia seolah berhenti berputar. Kata-kata itu begitu sederhana, namun begitu memukul hati. Aku ingin berteriak, ingin menuntut penjelasan, tapi semuanya terasa sia-sia. Karena apa yang aku tahu adalah, Tia sudah membuat pilihannya. Dan aku harus belajar untuk menerima kenyataan itu, meski sangat berat.
“Aku tahu,” kataku, akhirnya. Suara aku terdengar lemah, namun penuh dengan beban yang tak bisa aku lepaskan.
Tia menatapku dengan tatapan yang sulit aku pahami. “Aku berharap kamu bisa lebih bahagia, Arian.”
Aku menundukkan kepala, merasa seluruh tubuhku begitu lelah. “Aku harap begitu,” jawabku pelan, meski aku tahu, itu tak akan pernah mudah.
Menerima Luka
Dua minggu berlalu sejak pertemuanku dengan Tia. Dua minggu yang terasa seperti dua tahun. Setiap hari aku bangun dengan rasa yang lebih berat, seolah-olah dunia ini bukan lagi tempat yang layak untukku. Tia pergi, meninggalkan jejak yang tak bisa aku hapus, dan aku masih mencoba untuk memahaminya. Tapi semakin aku mencoba, semakin aku sadar bahwa ada hal-hal yang memang tidak akan pernah bisa aku pahami.
Kehidupan seolah berjalan di luar kendaliku. Aku kembali ke rutinitas yang sama: kantor, bar, rumah, tidur, dan ulangi. Tidak ada lagi yang berarti. Semua yang aku lakukan terasa kosong, tidak ada gairah yang menyertainya. Setiap langkah yang aku ambil hanya membawa aku lebih jauh ke dalam kekosongan yang semakin menggerogoti. Semua kenangan tentang Tia masih ada, bertumpuk, menyesakkan dada, seolah aku tidak pernah bisa berlari dari masa lalu.
Tia pernah mengatakan bahwa aku harus belajar menerima kenyataan. Aku pikir, setelah aku mendengarnya, aku akan bisa menghadapinya dengan lebih baik. Tapi kenyataan tidak semudah itu untuk diterima. Terutama ketika kenyataan itu datang dengan begitu banyak rasa sakit, pengkhianatan, dan ketidakpastian.
Hari itu, aku memutuskan untuk pergi ke tempat yang jauh. Tempat yang sepi, tempat yang hanya akan memberiku ketenangan sejenak. Aku tahu, ini bukan pelarian, ini hanya cara untuk berhenti sejenak, untuk menarik napas panjang dan memberi diri aku kesempatan untuk berpikir.
Di sebuah taman kecil yang jarang dikunjungi orang, aku duduk di bangku yang terkadang terasa lebih nyaman daripada rumahku sendiri. Ada angin yang berhembus lembut, seperti mengusap-usap wajahku, memberiku sedikit ketenangan yang lama tak pernah ada. Di tempat ini, aku merasa seolah-olah aku tidak sedang berlari dari sesuatu, melainkan berlari ke arah sesuatu—meskipun aku sendiri tak tahu pasti ke arah mana.
Suasana yang tenang itu seakan mengingatkanku pada hal yang paling mendalam dalam diriku. Luka batin yang aku simpan begitu lama, yang tak pernah aku biarkan terbuka. Selama ini, aku mencoba untuk tampak kuat, untuk menunjukkan bahwa aku baik-baik saja. Tapi kenyataannya, aku jauh dari baik. Aku merasa seolah-olah aku tidak tahu siapa aku lagi. Setiap kali aku melihat cermin, yang terlihat hanyalah seseorang yang telah kehilangan dirinya sendiri.
Aku tahu, aku harus melepaskan Tia. Aku tahu aku tidak bisa terus menunggu sesuatu yang tak akan pernah kembali. Tetapi di sisi lain, melepaskan itu terasa seperti mengorbankan sesuatu yang sangat berharga. Aku mengingat betul bagaimana dulu aku bisa tertawa bersama Tia, bagaimana dia membuatku merasa hidup kembali setelah sekian lama. Tapi itu semua sudah berlalu. Semuanya telah berubah.
“Arian?”
Suara itu memecah kesunyian, dan aku menoleh dengan cepat. Di depan mataku berdiri Mia, wanita yang beberapa minggu lalu memberi aku nasihat yang sulit aku terima. Wajahnya tampak lebih tenang dari yang aku ingat. Dia tersenyum, namun senyum itu tidak ada tawa. Aku tahu, dia juga merasakan luka yang sama, meskipun mungkin dalam bentuk yang berbeda.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” aku bertanya, mencoba untuk mengalihkan perhatian dari perasaan yang semakin menguras.
Mia duduk di sampingku, tanpa banyak bicara. Dia hanya duduk dengan tenang, membiarkan kami berdua menikmati keheningan. Lama kelamaan, aku bisa merasakan kehadirannya, yang hadir bukan untuk memberi nasihat, bukan untuk menuntut penjelasan, tetapi untuk mendengarkan.
“Arian, aku tahu ini tidak mudah. Aku tahu kamu merasa hancur, seperti dunia ini runtuh begitu saja,” kata Mia akhirnya, suaranya terdengar pelan namun penuh pengertian. “Tapi kamu harus tahu, kamu tidak harus menanggung semuanya sendiri.”
Aku menatapnya, merasa ada kenyamanan dalam kata-katanya, meskipun tak sepenuhnya bisa aku terima. Aku mengangguk pelan, lalu menunduk. “Aku merasa seolah-olah aku kehilangan segalanya. Dan meskipun aku tahu aku harus menerima kenyataan ini, rasanya sangat sulit.”
Mia menghela napas, kemudian berkata, “Kamu tidak akan pernah bisa mengubah apa yang sudah terjadi, Arian. Dan tidak ada yang bisa menghapus kenangan itu. Tapi bukan berarti kamu harus membiarkan kenangan itu yang menguasai hidupmu. Kamu berhak untuk bahagia lagi, meskipun itu akan memakan waktu.”
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata Mia menyentuh bagian yang paling dalam dalam diriku. Sebuah kenyataan yang lama aku coba hindari: Aku tidak akan pernah bisa mengubah apa yang telah terjadi, dan aku tidak akan pernah bisa memaksa Tia untuk kembali. Tetapi, apakah itu berarti aku harus terpuruk selamanya dalam kesedihan ini?
“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” jawabku akhirnya, dengan suara yang lebih rendah. “Tapi mungkin, aku bisa mencoba untuk melepaskan.”
Mia tersenyum dengan lembut, seolah mengerti betapa beratnya kata-kata yang baru saja aku ucapkan. “Itu langkah yang benar, Arian. Melepaskan bukan berarti melupakan, tetapi menerima dan memberi dirimu kesempatan untuk sembuh.”
Aku menunduk, menatap tangan yang terlipat di pangkuanku. Dalam hati, aku tahu Mia benar. Ini bukan akhir, ini hanyalah bagian dari perjalanan. Perjalanan untuk menemukan diri lagi, untuk memulai sesuatu yang baru meskipun aku tak tahu pasti apa itu.
Ketika aku menatap langit, aku merasa sesuatu yang berbeda. Mungkin, itu adalah awal dari perubahan, meskipun aku tak bisa melihat jelas ke mana arahnya. Tapi satu hal yang aku tahu—aku tidak akan terus terjebak dalam masa lalu. Aku berhak untuk maju, untuk menerima luka itu dan membiarkan diriku sembuh.
“Aku akan mencoba, Mia. Aku akan mencoba,” kataku pelan, dengan sedikit keyakinan yang mulai tumbuh.
Mia mengangguk dan tersenyum, lalu perlahan berdiri. “Kamu tidak sendiri, Arian. Kamu tidak pernah sendiri.”
Aku hanya menatapnya pergi, merasakan seberkas harapan yang mulai tumbuh. Tidak ada yang bisa menghapus masa lalu. Namun, ada satu hal yang pasti—aku masih memiliki masa depan, dan itu adalah hal yang harus aku perjuangkan.
Dan meskipun luka itu nggak akan pernah benar-benar hilang, aku mulai ngerti satu hal—kadang, melepaskan itu bukan berarti menyerah, tapi justru memberi diri kesempatan untuk sembuh.
Mungkin jalan itu nggak langsung mulus, tapi yang jelas, aku nggak lagi terjebak di masa lalu. Ada banyak hal di depan yang bisa aku hadapi, dan aku mulai belajar untuk percaya bahwa aku bisa lebih dari sekadar luka yang pernah ada.