Cerpen Lucu Tentang Anak SMA: Tugas, Kursi Jatuh, dan Tawa yang Bikin Ngakak

Posted on

Pernah nggak sih, kalian ngerasa hari di sekolah itu kayak gila banget? Tugas numpuk, kelas penuh drama, dan—yang paling lucu—kejadian-kejadian nggak penting yang malah bikin kita ngakak. Nah, cerpen ini bakal bikin kalian inget betapa absurdnya dunia sekolah, tapi juga seru banget kalau dijalanin bareng temen-temen. Jadi siap-siap deh, buat ketawa sampai perut sakit!

 

Cerpen Lucu Tentang Anak SMA

Tugas Matematika yang Membawa Bencana

Di tengah kebisingan kelas yang sedang heboh, Juno duduk dengan wajah penuh konsentrasi, seolah-olah tugas Matematika yang ada di hadapannya itu adalah misi hidup dan mati. Tapi kenyataannya, dia hanya mencoba menyalin angka-angka yang entah ada di mana dari buku catatan Nina. Di sebelahnya, Raka terlihat menggaruk-garuk kepalanya, bingung, karena jelas-jelas rumus-rumus itu nggak ada dalam ingatannya.

“Bro, lu udah selesai?” tanya Juno sambil melirik ke arah Raka.
Raka cuma geleng kepala, tampaknya lebih tertarik menggambar wajah alien di bukunya daripada mengerjakan soal Matematika.
“Gue nggak ngerti, Jun. Apa sih maksud Bu Tati kasih tugas kayak gini? Nggak ada yang bisa gue jawab,” jawab Raka dengan nada putus asa.

Juno tertawa pelan. “Gue juga nggak ngerti, tapi kalo gak dikerjain, ntar bisa kena semprot.”
“Tapi mana gue bisa kerjain? Nggak ada yang ngerti sama sekali,” Raka merespon sambil menunjuk ke soal nomor lima yang terlihat seperti teka-teki silang daripada soal Matematika.
“Tenang aja, gue udah dapet PR dari Nina. Nih, lu tinggal salin aja,” kata Juno, seraya menyodorkan buku catatan Nina yang udah penuh dengan angka-angka dan rumus yang nggak jelas.

Tiba-tiba, Bayu yang duduk di belakang mereka menyelipkan kepalanya ke meja. “Ayo, Jun, Raka, cepetan! Bu Tati udah di lorong! Jangan sampe ketahuan kita nggak ngerjain!”
Juno langsung panik, dengan tangan bergerak cepat menyalin angka-angka dari buku Nina. “Gue buru-buru nih, jangan ganggu!”

Bayu malah asyik sendiri dengan ponselnya. “Tenang aja, bro, yang penting ada angka-angkanya. Bu Tati gak bakal perhatiin satu-satu deh.”
Tapi saat itu, Timo yang baru masuk kelas dengan langkah terburu-buru hampir tersandung meja. “Woy, woy! Jangan mulai dulu, gue juga belum selesai!”
Timo, si anak yang selalu terakhir ngumpulin tugas, berusaha duduk dengan santai. Tapi ternyata, kursinya… nggak begitu ramah.

Timo yang merasa agak gelisah mencoba duduk dengan tenang, tapi tiba-tiba… kres!
“Aduh, ini kursi kenapa ya?” Timo tiba-tiba berteriak dengan suara setengah panik, membuat semua mata langsung tertuju padanya.
“Apaan, Tim?” tanya Juno, nggak paham apa yang terjadi.
“Celanaku… nyangkut di kursi!” Timo sudah hampir melompat, tapi malah semakin nyangkut di tempatnya.
Semua orang di kelas langsung berhenti bergerak, sebagian besar mulai menahan tawa.
“Aduh, Timo! Lu kenapa sih?” Raka mulai tertawa kecil.
“Ini seriusan! Gue gak bisa berdiri, celanaku nyangkut!” Timo meronta dengan ekspresi cemas.
Bayu yang mendengar itu langsung menoleh dengan mata berbinar. “Bro, ini momen viral! Gue rekam dulu deh!”
Timo menatap Bayu dengan tajam, mencoba melepaskan diri, tapi kursinya seakan sudah berkomplot untuk menjebaknya. “Jangan, Bayu! Tolongin gue dulu!”

Namun, Bayu sudah terlalu terpesona dengan kemungkinannya mendapatkan video viral. “Tunggu bentar, bentar, ini bisa jadi konten hits!”
Juno mulai ikut tertawa, berusaha membantu Timo yang nyaris terjatuh. “Lu kenapa sih, Tim? Sumpah deh, kok bisa kursi nyangkut gini?”
Timo yang wajahnya sudah memerah berusaha menahan tawa dan tetap tersenyum canggung. “Gue nggak ngerti, tiba-tiba aja…”

Saat itulah, pintu kelas terbuka dan Bu Tati masuk dengan wajah serius, menatap ke arah kelas yang tiba-tiba hening.
“Kenapa pada ribut?” Bu Tati bertanya dengan tatapan tajam.
Timo mencoba berdiri dengan kekuatan terakhir, tapi alih-alih berdiri, dia malah menarik kursinya dan… krek! Kursi itu terangkat sedikit bersamanya.
Satu kelas langsung terbahak melihat kejadian itu, sementara Timo hanya bisa menatap ke langit-langit, berharap keajaiban terjadi.

Bu Tati yang sudah cukup sabar menatap mereka satu per satu. “Timo, kamu kenapa? Kursimu kenapa nyangkut begitu?”
Timo yang sudah putus asa cuma bisa mengangkat tangan, seolah mengaku kalah. “Gak apa-apa, Bu, lagi akrab aja sama kursi…” jawabnya sambil tersenyum kaku.
Kelas langsung meledak dalam tawa. Ada yang sampai terpingkal-pingkal, ada yang tertawa sambil menutup muka, dan ada juga yang mencoba menahan suara tawa mereka supaya tidak terdengar sampai ke luar kelas.

Bu Tati memicingkan mata, tampaknya mulai nggak tahan dengan kejadian konyol ini. “Baiklah, cukup. Kalian semua akan kena sanksi kalau nggak serius dengan tugas ini.”
Tapi meskipun begitu, semua orang masih nggak bisa berhenti ketawa, termasuk Bu Tati sendiri yang akhirnya menutup mata sejenak. “Raka, Juno, Bayu, bawa Timo ke tukang bangunan sebelah, suruh dia lepasin kursinya. Biar dia nggak jadi tontonan lagi.”

Dan begitu Timo akhirnya dibebaskan dari jebakan kursinya, kelas kembali ke ketegangan yang biasa. Tapi satu hal yang pasti—hari itu, tawa mereka akan tetap bergema di kepala selama berhari-hari.
Tapi, tugas Matematika? Masih belum kelar.

 

Kursi Nyangkut, Dunia Hancur!

Setelah kejadian memalukan yang membuat Timo seakan menjadi bintang tamu tidak terduga di kelas itu, suasana kelas kembali menjadi agak tenang. Namun, keheningan itu hanya bertahan sebentar. Bayu yang masih terkikik sendiri di belakang, tak bisa menahan diri untuk berhenti menonton rekaman video Timo yang tengah berjuang keluar dari perangkap kursi.

“Bro, gue udah mulai mikir, ini bisa jadi video pertama yang bikin gue terkenal!” Bayu berkata dengan semangat, seolah-olah dia sudah menemukan kekayaan dan ketenaran hanya dari video kursi nyangkut Timo.
“Lu ngapain sih, Bayu? Nggak bisa ngerjain tugas, malah nontonin video lu sendiri!” Raka menyindir sambil menunjuk ke layar ponsel Bayu.
“Ada yang lebih penting dari tugas, Rak. Ini sejarah!” Bayu merespons sambil menahan tawa, lalu melirik ke arah Timo yang masih mencoba untuk terlihat normal meski wajahnya memerah seakan ingin meledak.

Timo duduk dengan canggung, sesekali melirik ke arah kursinya yang nyaris menelan seluruh keberadaannya. “Sumpah deh, gue nggak bakal duduk di kursi itu lagi.”
“Yah, enggak lucu lagi dong kalau kita nggak nonton video itu. Biarin aja, Tim, kita semua udah nggak tahan liat lu pas lagi nyangkut tadi,” Juno bergurau, mengangkat bahu.
Timo cuma bisa tertunduk, memutar bolpoinnya dalam diam, berusaha seolah-olah dia nggak tahu apa-apa tentang kejadian tadi yang sukses mengundang tawa satu kelas.

Namun, suasana kelas tiba-tiba berubah. Bu Tati, yang sudah seharian penuh berusaha sabar dengan tingkah laku mereka, akhirnya berdiri dengan ekspresi tegas. “Ayo, semua, kumpulin tugasnya! Yang belum selesai, kirim ke depan!” katanya sambil melihat ke arah kelas dengan tatapan tajam.
“Duh, gue lupa ngerjain, Bu. Kasih waktu bentar, dong,” Raka mencoba menghindar, matanya bergerak cepat mencari alasan.
“Bentar aja, Rak! Semua juga sama, kok,” timpal Juno sambil berusaha menulis angka acak di atas lembar tugasnya.
“Nggak bisa, anak-anak. Semua harus selesai sebelum bel masuk. Yang telat, siap-siap buat bawa tugas ekstra!” Bu Tati memberikan ultimatum yang langsung membuat kelas menjadi sunyi sejenak.

Timo yang sudah duduk dengan muka penuh ketegangan mendongak, melihat kawan-kawannya yang tengah sibuk menyalin jawaban dari catatan Nina. “Bro, serius deh, tugas ini tuh kayak jebakan Batmannya Matematika. Kita harus nyelesein semuanya tanpa nyontek!”
Juno memutar bola matanya. “Iya, Tim, dan caranya gampang, tinggal salin rumus ini, trus ditambahin angka sekian. Udah, selesai deh.”
“Gampang buat lo doang, Jun. Gue? Nggak ngerti sama sekali!” Timo membalas dengan ekspresi bingung.

Namun tiba-tiba, satu ide cemerlang muncul di kepala Bayu. “Eh, guys… gue punya ide.”
“Apaan lagi, Bayu? Nggak usah bikin masalah,” Juno menyahut, berharap itu bukan ide yang lebih gila dari sebelumnya.
“Gue tahu cara biar tugas ini selesai cepet!” Bayu berkata dengan penuh percaya diri.
Raka mendengus. “Gue udah denger itu semua. Jangan bilang lo mau ngeles lagi pake cara konyol, Bayu!”
Bayu mengangkat tangan, memamerkan sebuah kertas kecil yang dia temukan di bawah meja. “Gue bawa rumus dari Google Translate. Gue udah setting bahasa Inggris ke bahasa Jawa, terus translate lagi ke bahasa Sunda! Nanti hasilnya… pasti beda deh, kayak rumus beneran!”
Semua terdiam sejenak, mengamati Bayu yang tampaknya begitu bangga dengan penemuannya.
Timo menggelengkan kepala. “Jangan, Bayu. Itu bahaya banget. Lu bisa diminta jawab di depan kelas nanti.”

Raka menahan tawa. “Eh, tapi emang bener sih. Bayu bisa jadi ilmuwan di bidang… bahasa rahasia, ya!”
“Loh, gue serius nih, guys!” Bayu berusaha mempertahankan martabatnya yang mulai goyah.

Sementara itu, Timo yang sudah setengah putus asa mencoba untuk bangkit dari kursinya. “Ayo deh, gue bawa kursi gue ke tukang bangunan dulu. Biar gue bisa berdiri tanpa ada kejadian kayak tadi.”
“Tim, lu kayaknya bisa jadi bintang TikTok kalau tiap hari kursinya begini terus, lho,” kata Juno, masih tertawa terbahak.
Bayu mendekat dan berbisik di telinga Juno, “Tapi coba deh, kita jual aja videonya ke kelas sebelah. Mereka pasti ngakak lihat Timo nyangkut terus!”

Namun, suasana kelas kembali tegang. Bu Tati mendekat dengan wajah yang sudah mulai keras. “Anak-anak, tugas harus selesai tepat waktu. Sekarang!”
“Cuma sebentar lagi, Bu. Tadi sempat ribet dikit sama kursi,” Timo mengangkat tangan dengan wajah memelas.
“Kursi?” Bu Tati memiringkan kepala, tampak bingung. “Apaan ini? Semua harus selesai sekarang, Timo. Kalau nggak, siap-siap aja nambah tugas!”
Dengan setengah berharap Timo bisa keluar dari jebakan kursinya, Bayu langsung berbisik keras. “Tim, cepetan! Lu minta tolong kursinya ke tukang bangunan deh, itu bisa jadi jalan keluar lu!”

Dan saat itulah, kejadian yang tak terduga benar-benar terjadi. Kursi Timo yang akhirnya benar-benar berhasil dilepaskan dari perangkap, malah berputar 180 derajat dan langsung jatuh! Timo terjatuh di lantai dengan ekspresi kaget, dan seisi kelas tidak bisa lagi menahan tawa.

Mungkin hari itu bukan hanya tugas Matematika yang berakhir. Tetapi juga, suatu babak baru dimulai—dimana tugas itu memang menyiksa, tetapi tawa mereka tak ada habisnya.

 

Kelas Terbelah, Tugas Tertinggal!

Kelas menjadi makin ricuh setelah Timo terjatuh, dan bukannya langsung tenang, malah seperti ada suara gemuruh. Tawa dari Bayu, Juno, dan Raka seolah tak terbendung. Bahkan Nina, yang biasanya serius dengan buku pelajaran, ikut terkikik melihat drama kursi yang tak ada habisnya.

“Ya ampun, Tim, lu bener-bener bikin kita semua pusing deh!” Juno berkata sambil menahan tawa, tangannya memegangi perut.
Timo yang sekarang sudah berdiri, matanya menatap kosong ke kursinya yang jatuh terbalik, cuma bisa mendengus kesal. “Gue udah nggak ngerti lagi, deh. Kenapa setiap kali gue ikut, selalu aja ada hal yang nggak masuk akal terjadi?”
“Karena lu aja yang ngundang masalah, Tim!” Bayu menimpali dengan suara cekikikan.

Namun, di tengah kericuhan itu, tiba-tiba Bu Tati mengangkat tangannya tinggi-tinggi, tanda bahwa dia sudah sangat kesal. “Anak-anak, cukup! Tugas masih ada dan waktu cuma tinggal lima belas menit!” Suara Bu Tati terdengar serius. “Jangan sampai gue harus menilai tugas kalian berdasarkan kreativitas kalian dalam bercanda!”

Semua kembali duduk dengan wajah polos, bahkan Bayu yang semula masih tergelak terpaksa menyembunyikan senyum kecutnya. Timo kembali ke kursinya, dengan kursi yang masih agak goyang-goyang—sepertinya dunia ingin terus mengejeknya.
“Tim, harusnya lu jadi pelawak deh,” Raka akhirnya mengungkapkan pikiran yang paling dalam.
“Aduh, gue lebih suka jadi pengusaha kursi, Rak. Nggak perlu ada yang jatuh dari kursi, kan?” Timo balas dengan wajah datar.

Nina yang selama ini cukup serius, akhirnya menyengir tipis. “Gue serius banget ngerjain tugasnya, tapi gue nggak bisa fokus kalau semua pada ketawa terus,” katanya sambil melirik Bayu dan yang lainnya.
“Jadi lu mau ngerjainnya di rumah aja, Nina? Atau di sekolah bisa sambil jadi pengamat aja?” Juno menggoda.
Nina cuma menggelengkan kepala. “Kalian ini nggak bener deh. Tugas itu bukan cuma soal dapetin nilai, tapi juga belajar serius.”

Bayu menimpali, “Nina, kalo lu serius banget gitu, nanti lu malah nggak sempat nikmatin hidup deh. Coba deh, sesekali ketawa. Lihat Timo aja, dia udah kaya kartun yang selalu jatuh, tetep aja dia kelihatan keren.”
“Apa, Bayu? Cuma karena gue jatuh, gue jadi kelihatan keren? Jadi pelajaran dari kejadian ini tuh… jadi kartun, gitu?” Timo balik bertanya dengan raut bingung.
“Bener banget, Tim! Kalo lu bisa bikin semua orang ketawa karena jatuh, kenapa nggak coba jadi pelawak aja?” Bayu menjawab dengan serius.
Timo hampir saja mau ngomel lagi, tapi akhirnya dia cuma mendengus dan kembali menatap tugas yang belum selesai itu. “Duh, gue harus cepet selesaiin ini. Kalau nggak, malah bakal dikejar Bu Tati.”

Di sisi lain, Bu Tati mulai berjalan dengan langkah berat ke setiap meja, memeriksa lembaran tugas yang sudah terkumpul. Timo menatap buku tugasnya dengan perasaan campur aduk. Meskipun kelas berisik, dia masih merasa ada yang aneh di dalam dirinya. Mungkin karena dia tahu, kali ini dia bakal berurusan dengan konsekuensi tugas yang nggak selesai.

“Gue serius nih, guys,” Timo berkata sambil menulis cepat-cepat. “Gue nggak mau dapet tugas tambahan lagi. Udah capek banget dari tadi berjuang ngadepin kursi, eh malah dapet tugas lebih!”
Juno yang mendengarnya, menahan tawa lagi. “Gue bisa bayangin loh, Tim. Lu sampe di rumah bawa kursi, terus nggak bisa tidur karena takut kejadian lagi. Bisa-bisa kursinya lu bawa ke warung kopi!”
“Apa lu bilang, Jun? Gue tuh nggak mau ribet. Cukup sekali aja kejadian ini,” Timo berusaha tegas, meskipun dalam hatinya, dia merasa seolah-olah kejadian tadi bakal terus jadi bahan obrolan di kelas sampai tahun ajaran baru.

Bayu, yang merasa waktunya untuk memberikan hiburan datang lagi, langsung menyentuh bahu Timo. “Tenang aja, Tim, kalau sampai ada tugas tambahan, gue bakal siap jadi partner lo di dunia kursi. Kita bisa jualan kursi ke sekolah buat lucu-lucuan. Biar semua orang bisa ketawa bareng!”
“Kalian ini beneran nggak bosen bikin gue tambah malu aja!” Timo mendesah, menaruh bolpoinnya di atas meja dengan wajah frustrasi.

Waktu semakin mendekati batas akhir tugas, dan suasana kelas kembali dipenuhi suara gesekan bolpoin dan kertas. Timo akhirnya menyelesaikan tugasnya dengan tangan gemetar. Setelah menulis garis terakhir, dia menghela napas panjang, berharap bisa bertahan di tengah badai tawa yang tak ada habisnya.

“Sudah siap, Tim? Lu nggak jatuh lagi kan?” Juno menggoda, matanya memantulkan kilauan kebahagiaan karena tahu betapa pusingnya Timo dengan tugas ini.
“Udah, nih, Juno. Lu udah puas, kan?” Timo balas dengan nada datar, meski sebenarnya dia ingin sekali membuang buku tugasnya ke luar jendela.

Saat Bu Tati berjalan menghampiri meja mereka, suasana jadi agak tegang. Timo menatap tugasnya dengan hati berdebar. “Ini saatnya, Tim. Jangan sampe gue diomelin, deh,” gumamnya.
“Tenang aja, Tim. Kalo dia omelin, gue siap jadi pelindung lo!” Bayu berkata dengan penuh percaya diri, seolah-olah dia bisa melawan Bu Tati hanya dengan kata-katanya.

Namun, ternyata Bu Tati hanya melihat tugas Timo dengan senyuman tipis. “Akhirnya, Tim. Gue kira lo bakal jadi bintang tamu yang terlambat banget buat tugas ini,” katanya. “Tapi, inget, tugas tuh nggak bisa jadi bahan ketawa terus, ya. Udah cukup lucunya hari ini.”

Timo cuma bisa tertunduk, merasa lega, tapi juga sadar bahwa pelajaran hari itu jauh lebih berat dari yang dia bayangkan. Tapi satu hal yang pasti, dia tahu bahwa di kelas ini, apapun yang terjadi, pasti ada ruang untuk tawa.

 

Ketawa dan Tugas Selesai

Keheningan mulai menyelimuti kelas begitu bel tanda istirahat berbunyi. Beberapa murid bergegas keluar, sementara yang lainnya memilih untuk duduk lebih lama, melanjutkan obrolan ringan mereka. Timo yang baru saja selesai mengumpulkan tugasnya, menarik napas lega. Untuk pertama kalinya hari ini, dia merasa seolah-olah terlepas dari siksaan.

Namun, tawa-tawa yang masih terdengar dari meja sebelah seperti memberi pengingat bahwa dia tak akan pernah bisa bebas dari tawa yang selalu menyelimutinya. “Lo percaya nggak sih, Tim, kita udah ngabisin satu jam buat ngurusin kursi doang?” Bayu bertanya sambil menyandarkan kepala di meja, kelihatannya lelah, namun tetap tersenyum.

“Aku hampir gila, Bayu,” jawab Timo, dengan wajah yang sepertinya lelah banget, tapi tetap mencoba tersenyum. “Seumur hidup gue nggak pernah ngira bakal jadi bahan tawa karena… kursi!” Dia menatap kursinya yang masih sedikit goyang, seolah-olah itu masih akan mengejeknya.

“Bahkan dunia ini pun nggak lepas dari komedi, Tim. Kalau kamu lihat ke atas langit, pasti ada aja hal lucu yang terjadi. Terutama kalau lo ngelihat kursi jatuh kayak gitu, bisa buat hari lo makin berwarna, kan?” Bayu malah tertawa lebih keras. Timo menatapnya dengan heran, tetapi ada sedikit kehangatan di dalam hatinya.

“Lo mau gue ngelawan semua ini dengan humor? Gue pikir lebih baik gue diem aja biar nggak makin parah,” Timo menjawab dengan nada serius, meskipun di dalam hatinya, dia tahu, terkadang tawa itu memang bisa menyembuhkan.

Juno yang dari tadi diam, kini bangkit dan berjalan mendekati meja Timo. “Udah, Tim, lo itu pahlawan di kelas kita. Sekarang lo tinggal tunggu aja penghargaan dari Bayu—penyiar humor terbaik 2025!” katanya dengan nada bercanda.

“Jadi kalau gue bisa ketawa terus-terusan, gue bakal dapet medali?” Timo bertanya dengan tatapan tak percaya.

“Yup, dan lo bakal diundang ke acara ‘Gala Award’ buat pemenang paling lucu di kelas kita!” Bayu menyahut, pura-pura memberi penghargaan dengan pose seperti pembawa acara.

Timo, meskipun tetap dengan wajah datar, merasa ada kebahagiaan yang mulai merayap dalam dirinya. Dia mengangguk pelan, berusaha menikmati suasana yang meskipun penuh dengan tawa, tetap membawa rasa ringan. “Gue rasa gue mulai terbiasa sama semuanya. Kursi yang jatuh, tugas yang numpuk, semuanya malah jadi bahan obrolan seru.”

“Lihat kan? Hidup itu enggak harus serius terus,” ujar Juno. “Terkadang, hal-hal yang nggak penting justru bikin kita ketawa dan jadi inget kalau hidup ini nggak cuma soal sekolah dan tugas.”

Mereka berempat duduk bersama, akhirnya bisa menikmati waktu istirahat mereka dengan sedikit ketenangan setelah badai tawa yang sebelumnya terjadi. Di luar kelas, terdengar suara gemuruh dari murid-murid lain yang sibuk ngobrol dan berjalan ke kantin. Tapi di dalam kelas mereka, ada semacam kenyamanan yang tercipta, sebuah ruang di mana tawa menjadi jembatan untuk saling mengerti.

“Gue nggak bakal lupain kejadian ini, Tim. Kursi jatuh jadi legend banget hari ini!” Bayu berkata sambil tertawa, seolah kejadian itu bakal jadi cerita turun temurun.

“Gue malah lebih takut kalau besok gue datang ke kelas, dan kursi itu masih inget sama gue,” Timo menjawab, sambil menatap kursi yang kini terlihat lebih menantang daripada sebelumnya.

Namun, meskipun begitu, Timo merasa senang karena di balik semua kekacauan ini, ada teman-teman yang bisa membuatnya tertawa. Dan meskipun ia sering merasa aneh dengan dunia di sekitarnya, kini dia tahu bahwa tanpa tawa, semuanya akan terasa jauh lebih berat.

Hari itu berakhir dengan lebih banyak tawa, tugas yang berhasil diselesaikan, dan satu kenangan lucu yang akan dikenang sepanjang tahun. Meskipun dunia terus berputar dengan masalah dan kekhawatirannya, di ruang kelas itu, mereka belajar bahwa dalam setiap kesulitan, ada ruang untuk tawa. Dan itu yang akan selalu membuat hari-hari mereka lebih mudah untuk dijalani.

“Jadi, Tim,” Bayu akhirnya berhenti tertawa dan menatap Timo serius, “besok masih ada tugas baru. Jangan bilang lo jatuh lagi ya!”
Timo cuma bisa tertawa kecil, menyadari bahwa, mungkin, tawa itu memang cara terbaik untuk mengakhiri hari-harinya di sekolah.

 

Gimana, seru kan? Kadang hidup di sekolah itu emang penuh drama, tapi jangan lupa kalau kita juga harus ketawa bareng. Karena, ya, kalau nggak gitu, sekolah bakal jadi tempat yang terlalu serius buat kita jalani.

So, inget—sekolah itu bukan cuma tentang tugas, tapi juga tentang bikin kenangan lucu bareng temen-temen yang bakal bikin kita senyum sampe tua nanti. Jadi, jangan takut buat tertawa di setiap momen, ya!

Leave a Reply