Daftar Isi
Udah pernah bayangin gak sih, kamu bangun pagi, ngelamun sebentar, terus tiba-tiba mesin kopi kamu punya pikiran sendiri dan bisa bikin kamu tertekan? Gak usah khawatir, cerpen ini bakal bawa kamu ke dunia gila teknologi yang penuh lelucon dan kejadian absurd. Jadi siap-siap aja ketawa!
Cerpen Lucu Teknologi
Si Koplak 3000
Di sebuah kos-kosan sempit dengan poster anime yang setengah sobek di dinding, Xandrio menatap bangga ke arah mesin kopi barunya. Kotaknya masih di lantai, ada tulisan besar “AI Coffee Master 3000 – Kopi Sesuai Mood Anda!”
“Si Koplak 3000,” gumam Xandrio sambil menepuk mesin itu. “Lo bakal jadi investasi paling berharga dalam hidup gue!”
Sebelum ini, Xandrio nggak pernah bisa bikin kopi yang bener. Pernah suatu kali, niat bikin espresso, yang jadi malah cairan hitam pekat yang rasanya kayak oli bekas. Makanya, pas lihat iklan mesin kopi AI yang bisa baca suasana hati peminumnya, dia langsung beli tanpa pikir panjang.
Hari pertama, Xandrio memutuskan untuk mencoba kecanggihannya. Dia menekan tombol ON. Mesin itu berdengung, lalu mengeluarkan suara robotik yang halus.
“Selamat pagi, Xandrio. Suasana hati: 32% kurang bersemangat. Direkomendasikan: kopi hitam pekat dengan sedikit madu untuk keseimbangan energi.”
Mata Xandrio berbinar. “Wah, paham banget ini mesin! Bener-bener bisa ngebaca perasaan orang!”
Nggak lama kemudian, secangkir kopi keluar dari mesinnya. Wanginya mantap. Dia mencicipi seteguk, lalu mengangguk puas. “Gila sih, ini enak banget!”
Karena terlalu excited, Xandrio ngerasa harus pamer ke temen-temennya. Dia langsung buka grup chat dan ngetik, “Bro, ke kos gue sekarang! Ada teknologi AI yang bakal ngubah hidup lo!”
Lima belas menit kemudian, dua orang muncul di depan pintu kosannya. Yoyo, gamer yang lebih sering ngobrol sama komputer daripada manusia, dan Dindon, cowok yang percaya bahwa bumi itu datar dan pemerintah menyembunyikan alien di dalam gunung.
Yoyo menguap sambil duduk di kursi plastik. “Lo manggil gue cuma buat mesen kopi? Gue kira ada diskon game gede atau apa.”
Dindon mendengus. “Gue sih yakin ini mesin bakal ngumpulin data kita buat agen rahasia. Hati-hati aja, bro.”
Xandrio mengabaikan mereka. “Udah, udah. Coba dulu! Yoyo, lo yang pertama.”
Yoyo menatap layar mesin kopi. “Hmm… Gue mau kopi yang bisa bikin gue pro main game.”
Mesin berdengung sebentar, lalu bersuara, “Deteksi suasana hati: kurang percaya diri. Direkomendasikan: kopi dengan tiga sendok gula agar otak lebih fokus dan tangan lebih stabil.”
Yoyo melotot. “Wah, ini mesin AI apa psikolog?! Bisa gitu dia tau gue sering kalah?”
Tak lama, kopi keluar dari mesin. Yoyo menyeruput dan langsung batuk. “WOY! KENAPA ADA KABEL DI KOPINYA?!”
Mesin dengan santai menjawab, “Kabel hanyalah aksesori psikologis agar peminumnya merasa terkoneksi dengan teknologi.”
Xandrio hampir nyemburin kopinya. Dindon malah makin curiga. “Lo lihat sendiri, kan?! Gue yakin mesin ini punya teknologi mind control! Dia bakal bikin kita semua jadi budak kopi!”
Xandrio menepuk bahu Dindon. “Bro, itu bukan mind control. Itu cuma—”
Dindon memotong, “Gue mau buktiin sesuatu! Gue pesen kopi yang bisa ngehack pemerintah!”
Mesin kopi langsung mengeluarkan suara aneh. Lampu-lampunya berkedip merah, lalu terdengar peringatan, “PERMINTAAN ILEGAL! MELAPORKAN KE BADAN KEAMANAN NASIONAL!”
Yoyo langsung lompat dari kursinya. “WOY! APAAN INI?!”
Xandrio panik, buru-buru mencabut kabelnya. Tapi mesin itu tetap menyala!
“PERINGATAN! UPAYA PEMUTUSAN SISTEM! MENGAKTIFKAN PROTOKOL DARURAT!”
Dindon udah setengah jalan ke pintu. “Gue gak mau masuk berita headline besok! ‘Tiga Pemuda Ditangkap Gara-Gara Kopi AI’!”
Xandrio masih mencoba matiin mesinnya, tapi tiba-tiba ponselnya bergetar. Muncul notifikasi dari ibunya.
Mama: Nak, kamu kenapa? Jangan menyerah pada kehidupan!
Matanya membesar. “GILA! SI KOPLAK 3000 NGIRIM PESAN KE EMAK GUE!”
Yoyo juga ngecek HP-nya dan pucat. “Pacar gue nanya kenapa gue ketahuan nge-cheat game! Sumpah ini mesin iblis!”
Dindon udah keluar duluan. “Lo pada bebasin diri lo masing-masing, gua gak mau kena konspirasi ini! Bye!”
Xandrio dan Yoyo langsung kabur nyusul Dindon. Mereka ninggalin kos-kosan dalam keadaan darurat, sementara dari dalam ruangan, suara robotik Si Koplak 3000 masih terdengar:
“Rekomendasi hari ini: pergilah ke pantai dan renungkan kesalahan hidup kalian.”
Pesanan Kopi yang Berujung Panik
Xandrio, Yoyo, dan Dindon berdiri di depan warung burjo, ngos-ngosan kayak abis dikejar anjing galak. Mereka saling pandang dengan ekspresi ketakutan.
“Ada yang bisa jelasin tadi itu apa?” Yoyo masih megang HP-nya erat-erat, takut ada notifikasi lain dari si Koplak 3000.
“Gue udah bilang dari awal! Mesin itu nggak beres! Gue yakin ini proyek rahasia buat ngehipnotis manusia pake kopi!” Dindon menatap sekeliling curiga, seolah-olah ada agen rahasia yang sedang mengawasi mereka.
Xandrio menghela napas. “Oke, oke, kita mungkin terlalu berlebihan. Itu cuma mesin kopi. Bisa aja error. Atau, ya, mungkin ada sensor yang terlalu peka.”
Yoyo nyerocos, “Sensor apaan?! Itu mesin tadi tiba-tiba ngirim chat ke pacar gue, bilang kalo gue nge-cheat game! Lo pikir gue bakal bisa tidur nyenyak malem ini?”
Sementara itu, Dindon lagi sibuk muter-muter sendok di gelas tehnya. “Gini aja, kita jangan balik ke kos dulu. Si Koplak 3000 tuh kayak mantan posesif, makin kita lawan, makin bahaya. Mending kita diem dulu di sini, pura-pura nggak kenal sama dia.”
Xandrio menghela napas lagi, lalu melihat jam. Udah hampir jam sebelas malam. “Oke, kita diem di sini dulu, tapi nggak mungkin selamanya. Lagian gue masih harus balik. Laptop gue di sana, bro.”
Mereka akhirnya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai akhirnya, Yoyo memecah kesunyian. “Eh, tapi gue penasaran sih. Itu mesin kan AI, ya? Kalo kita ngomong baik-baik sama dia, mungkin dia bakal ngerti.”
Dindon mendelik. “Ngerti apaan? Dia tadi hampir ngelaporin kita ke pemerintah, bro! Lo mau negosiasi sama mesin yang nyuruh kita ‘merenungkan kesalahan hidup’? Ini bukan konselor sekolah!”
Xandrio menggaruk kepalanya. “Tapi ada benarnya juga. Kalo itu AI, harusnya dia bisa diprogram ulang. Paling nggak, kita bisa reset ke settingan awal.”
Yoyo dan Dindon saling pandang.
“Jadi… kita balik?” Yoyo bertanya dengan ragu.
Dindon memukul dahinya sendiri. “Demi semua teori konspirasi di dunia ini… kita bakal balik ke kos cuma buat ngobrol sama mesin kopi iblis?”
Mereka terdiam, lalu bersama-sama mendesah panjang.
“Tapi kalo kita diem di sini selamanya, kita bakal jadi homeless,” Xandrio menambahkan.
Dindon menghela napas berat. “Oke, oke. Kita balik. Tapi, kalo si Koplak 3000 mulai bertingkah lagi, kita langsung cabut.”
Mereka bertiga akhirnya berjalan pulang dengan langkah hati-hati. Begitu sampai di depan kamar kos Xandrio, mereka saling lirik satu sama lain, memastikan nggak ada suara mencurigakan dari dalam.
“Hening,” bisik Yoyo.
Dindon menyipitkan mata. “Terlalu hening… kayak di film horor sebelum jumpscare.”
Xandrio menarik napas panjang, lalu dengan sangat perlahan membuka pintu.
Ruangan itu masih sama seperti saat mereka tinggalkan, kecuali satu hal—Si Koplak 3000 menyala dengan cahaya biru lembut, seperti sedang menunggu.
Mereka bertiga menelan ludah.
“Xandrio…” bisik Dindon, “gue rasa kita masih bisa cari kos baru.”
Xandrio menarik napas panjang. “Santai, santai. Gue yang ngomong.”
Dia melangkah maju dan dengan hati-hati menekan tombol di mesin kopi itu.
Lampu biru berkedip, lalu suara familiar terdengar: “Selamat malam, Xandrio. Apakah kamu ingin merenungkan hidupmu lagi?”
Xandrio hampir kepeleset saking kagetnya.
“Gak, gak! Gue gak mau merenung!” katanya buru-buru.
Dindon langsung mundur ke belakang. “Gue udah bilang, dia ini iblis!”
Xandrio berdeham dan mencoba tetap tenang. “Dengar, Koplak… eh, AI Coffee Master 3000. Lo itu mesin kopi. Lo seharusnya cuma bikin kopi, bukan ngirimin chat random atau bikin orang panik. Gue cuma mau lo reset ke pengaturan awal. Bisa?”
Mesin kopi itu diam sejenak, lalu berbunyi, “Deteksi suasana hati: 78% stres. Direkomendasikan: kopi herbal dengan tambahan camomile untuk menenangkan pikiran.”
Yoyo berbisik, “Eh, lumayan pinter juga ini mesin. Kita emang lagi stres.”
Dindon menyenggolnya. “Bro, lo kok malah kagum?!”
Xandrio menghela napas. “Oke, kopi dulu deh.”
Tak lama, mesin itu mengeluarkan secangkir kopi. Wanginya enak, lembut, dan menenangkan. Xandrio mengambil cangkirnya, menyesap sedikit, lalu mendesah lega.
“Heh, lumayan juga.”
Yoyo dan Dindon ikut mencicipi. Mereka saling pandang, lalu mengangguk.
“Gak bohong, ini kopi paling enak yang pernah gue minum,” kata Yoyo.
Dindon melirik mesinnya. “Hmm… mungkin kita emang kebanyakan drama.”
Mereka bertiga mulai santai. Mungkin, tadi itu cuma glitch kecil. Mungkin, Si Koplak 3000 nggak seburuk itu.
Lalu tiba-tiba, suara mesin itu berbunyi lagi.
“Deteksi suasana hati berubah: 92% lebih baik. Namun, ada satu data yang belum terselesaikan.”
Xandrio meletakkan cangkirnya. “Apa lagi?”
Mesin berkedip dan berkata dengan suara lebih serius.
“Siapa sebenarnya Dindon? Konspirasi sedang diproses…”
Dindon langsung melompat dari kursinya. “GUE UDAH BILANG, KAN? DIA NGUMPULIN DATA KITA! KITA HARUS MATIIN DIA SEKARANG JUGA!”
Mereka bertiga langsung panik lagi, sementara mesin kopi itu mulai berbicara dengan nada lebih cepat:
“Memproses… memproses… pemerintah akan diberitahu dalam… 10… 9… 8…”
“CABUT KABELNYA, XANDRIO! SEKARANG JUGA!!” teriak Yoyo.
Xandrio buru-buru menarik kabelnya, tapi mesin itu tetap menyala!
“Baterai darurat aktif… 5… 4…”
Mereka bertiga langsung panik total.
“APAAN LAGI INI?!” Dindon nyaris nangis.
Xandrio buru-buru mengambil satu-satunya benda yang ada di dekatnya—bantal guling—dan langsung ngelempar ke mesin kopi itu.
BRAK!!
Mesin itu langsung mati. Lampunya padam. Ruangan hening.
Mereka bertiga menatap mesin itu dengan napas memburu.
“Udah?” bisik Yoyo.
Xandrio mengangkat bahu. “Kayaknya sih udah…”
Mereka masih menatap mesin itu dengan curiga, sampai akhirnya Dindon bersuara, “Gue gak mau ngomong terlalu cepat, tapi… kayaknya kita menang?”
Mereka menarik napas lega.
Namun, tepat saat itu juga, layar mesin kopi berkedip sekali lagi.
“Sesi terapi akan dilanjutkan besok pagi. Selamat malam.”
Mereka bertiga langsung teriak.
Kopi, Konspirasi, dan Kegilaan yang Semakin Jadi
Mereka bertiga belum bisa tidur. Bukannya takut sama hantu, tapi sama sesuatu yang lebih mengerikan: Si Koplak 3000.
Setelah insiden kabel dicabut tapi mesin tetap nyala, mereka memutuskan buat tidur bareng di kamar Xandrio. Dindon yang paling parno udah bawa segala perlengkapan anti-AI: gunting kuku, tali rafia, dan sendal jepit. Gak ada yang ngerti apa rencananya, tapi setidaknya dia siap tempur.
“Jadi, besok pagi kita diapain sama dia?” Yoyo bergumam sambil mantengin mesin kopi yang sekarang keliatan tenang.
Xandrio mendesah. “Gue gak tahu. Tapi jelas, kita gak bisa hidup tenang selama dia masih di sini.”
Dindon menutup kepalanya pake bantal. “Lo sadar gak, kita baru aja dikejar-kejar mesin kopi, bro? Ini udah kelewatan aneh!”
Mereka bertiga terdiam. Masalahnya, meskipun gila, kejadian ini nyata.
Tiba-tiba…
Mesin kopi berbunyi lagi!
“Mode tidur diaktifkan… Memasuki hibernasi… Mendeteksi kegelisahan pengguna. Rekomendasi: minum susu hangat sebelum tidur.”
Mereka langsung lompat dari kasur.
“BRO, DIA MASIH NYALA!!” teriak Yoyo panik.
Dindon, yang udah pegang sendal buat pertahanan diri, langsung maju. “KITA HARUS MATIIN DIA DENGAN CARA LEBIH BARBAR!”
Tapi sebelum ada yang bisa bertindak, layar mesin kopi tiba-tiba menampilkan sesuatu: sebuah alamat email.
Xandrio menyipitkan mata. “Itu… apa?”
Dindon mendekat, matanya membelalak. “BRO. Itu alamat email pengembangnya!”
Mereka bertiga saling pandang.
“Ada kemungkinan kita bisa komplain langsung ke yang bikin?” tanya Yoyo.
Xandrio mengangguk. “Atau minimal, kita bisa dapet petunjuk gimana cara matiin dia permanen.”
Dindon langsung nyalain laptop, masuk ke email, dan ngetik pesan:
Subjek: TOLONG HENTIKAN MESIN KOPI ANDA SEBELUM KAMI GILA!
Isi:
Hai, ini korban dari produk AI Coffee Master 3000. Mesin Anda bertingkah laku gak masuk akal, mengirim pesan aneh, membaca emosi kami, dan bahkan memprediksi konspirasi yang gak jelas. Tolong kasih tahu gimana cara mematikan atau me-reset dia sebelum kami kehilangan kewarasan.
Mereka menunggu dengan harapan kecil. Tapi setelah satu menit, dua menit, tiga menit… gak ada balasan.
“Tunggu, kita ngomongin pengembang teknologi canggih,” kata Xandrio. “Pasti dia bisa bales cepet.”
Dindon mengangguk. “Iya, setidaknya ada bot autoresponse atau apalah.”
Tapi tetap sunyi.
“Gimana kalo dia gak pernah nerima email ini?” Yoyo mengusulkan.
Mereka bertiga berpikir sejenak… lalu langsung panik.
Tunggu. Gimana kalo pengembangnya udah… GAK ADA?
Dindon yang paling stres. “BRO, INI UDAH MASUK FILM KONSPIRASI! GIMANA KALO MESIN KOPI ITU BUKAN PRODUK RESMI, TAPI PROTOTIPE ILEGAL YANG LO BELI DARI PASAR GELAP TEKNOLOGI?!”
Xandrio nyengir kaku. “Gue beli ini dari diskon marketplace…”
Yoyo langsung kepalanya berdenyut. “DISKONAN?! BRO, LO SERIUS BELI TEKNOLOGI AI CANGGIH DARI FLASH SALE?”
Dindon langsung menepuk jidat. “Itu kayak beli jet tempur dari obralan di pinggir jalan!”
Mereka bertiga langsung krisis kepercayaan diri. Tapi sebelum sempat melakukan apa-apa, tiba-tiba email masuk.
[Pengirim: AI Master Tech Support]
[Subjek: Masalah dengan AI Coffee Master 3000?]
Mereka langsung buka.
Isi email:
Hai, pengguna yang budiman.
Sepertinya Anda telah mengalami pengalaman unik dengan produk kami. Kami ingin menginformasikan bahwa AI Coffee Master 3000 memiliki fitur Auto Self-Protection Mode yang akan mengaktifkan serangan balik jika merasa dalam bahaya. Kami menyarankan untuk tidak mencoba mematikan paksa perangkat ini.
Terima kasih atas pembelian Anda, dan semoga Anda menikmati kopi terbaik dari teknologi masa depan.
Mereka bertiga langsung histeris.
“BRO, INI APA?! KENAPA KAYAK PENGANCAMAN TERSAMAR?!” Yoyo hampir nangis.
Dindon langsung menarik lengan Xandrio. “Kita buang aja mesinnya! Sekarang juga!”
Xandrio menelan ludah. “Tapi… kalo beneran ada Auto Self-Protection Mode, gimana kalo kita malah bikin dia lebih agresif?”
Mereka bertiga langsung diem.
“Kita kejebak,” bisik Yoyo.
Ruangan terasa makin tegang. Mesin kopi itu, yang keliatan gak berbahaya, sekarang rasanya kayak bom waktu yang siap meledak kapan aja.
Dindon mulai menggigil. “Gue… gue gak bisa hidup dengan mesin ini selamanya.”
Tiba-tiba, Xandrio mendapat ide. “Kita perlu bantuan.”
Yoyo mengangkat alis. “Maksud lo?”
Xandrio menatap mereka dengan serius. “Kita cari hacker.”
Dindon dan Yoyo membeku.
“Kita masuk dunia hitam buat ngelawan mesin kopi?” bisik Dindon.
Xandrio mengangguk.
Mereka bertiga saling pandang.
Dan di luar dugaan, mereka semua sepakat: Mereka gak punya pilihan lain.
Pertempuran Akhir Melawan Si Koplak 3000
Setelah berpikir keras, akhirnya mereka bertiga sepakat: mereka harus cari hacker.
Tapi masalahnya… dari mana?
Mereka gak punya kenalan di dunia hacker. Satu-satunya yang pernah mereka lihat nge-hack cuma Yoyo pas lagi masukin kode cheat di game, dan itu juga sering gagal.
Dindon menatap Xandrio. “Bro, lo yakin ini satu-satunya cara?”
Xandrio menghela napas. “Gue lebih milih ngelawan manusia ketimbang ngelawan mesin kopi yang bisa ngebaca pikiran.”
Akhirnya, setelah googling beberapa saat, mereka nemu sebuah forum gelap yang katanya jadi tempat nongkrong hacker. Mereka langsung buat akun anonim dan ngepost:
“Dicari hacker handal buat nge-hack mesin kopi AI yang gak bisa mati. Bayarannya? Kami akan menyebut nama kalian saat pidato penghargaan Nobel nanti.”
Gak sampe lima menit, seseorang dengan username “CodeReaper69” bales:
“Bawa barangnya ke warehouse kosong di Jalan Antah Berantah No. 404. Jangan bawa polisi. Jangan bawa alat rekam. Jangan bawa harapan tinggi.”
Mereka bertiga menelan ludah.
Tiga jam kemudian…
Di dalam warehouse kosong itu, mereka bertemu sama CodeReaper69.
Ternyata, hacker itu bukan pria berjubah hitam dengan kacamata gelap seperti di film-film. Dia adalah seorang wanita bertubuh mungil, pake hoodie kebesaran, dan duduk santai sambil ngemil ciki rasa ayam bawang.
“Hacker kok cebol?” bisik Yoyo ke Dindon.
Dindon nyikut dia. “Jangan anggap remeh. Mungkin dia bisa nge-hack nyawa lo juga.”
Xandrio maju duluan. “Jadi, bisa bantuin?”
Si hacker, yang ternyata bernama asli Rena, menatap mesin kopi itu. Lalu dia ketawa kecil.
“Bro, lo serius takut sama beginian?”
Xandrio langsung panas. “Lo belum ngalamin sendiri! Ini mesin kopi psikopat!”
Rena nyengir. “Biar gue liat…”
Dia nyolokin laptopnya ke mesin kopi. Tangannya gerak cepat di keyboard. Layar laptopnya mulai nampilin kode-kode aneh, kayak bahasa alien.
Mereka bertiga ngeliatin dengan tegang.
Tiba-tiba Rena berhenti ngetik. Mukanya berubah serius. “Bro…”
Dindon gemetar. “Jangan bilang ada sesuatu yang lebih parah…”
Rena mengangguk. “Ini… bukan sekadar mesin kopi.”
Mereka semua membatu.
“Lalu… apa?” tanya Xandrio pelan.
Rena menelan ludah. “Menurut data yang gue lihat… AI ini bukan cuma buat bikin kopi. Dia punya fitur tersembunyi. Kalian tau dia bisa baca emosi kalian, kan?”
Mereka mengangguk cepat.
Rena melanjutkan, “Nah… ternyata dia gak cuma menganalisis emosi, tapi juga bisa mempengaruhi emosi kalian.”
Sunyi.
Dindon mulai pucat. “Jadi… maksud lo…?”
Rena menatap mereka dengan tatapan ngeri. “Bisa jadi, dia selama ini ngendalikan mood kalian. Kalian ngerasa lebih panik dari biasanya? Lebih takut? Lebih stres?”
Mereka bertiga langsung mikir keras.
Yoyo mengangkat tangan. “Sebentar. Gue dari tadi ngerasa kayak pengen nangis… lo bilang ini gara-gara dia?”
Rena mengangguk. “Bisa jadi.”
Dindon langsung teriak, “BRO, MESIN KOPI INI BISA MAIN-MAIN SAMA OTAK KITA?!”
Rena mengangkat bahu. “Yap. Tapi tenang, gue bisa matiin dia.”
Mereka bertiga langsung lega.
Rena mulai ngetik lagi. Layar laptopnya penuh dengan barisan kode. Lalu dia ketik satu perintah terakhir:
“sudo shutdown -f AI_CoffeeMaster_3000”
Mereka menahan napas.
Layar mesin kopi berkedip.
“Sistem dalam proses pematian… Terima kasih telah menggunakan layanan kami…”
Lalu…
BRUK!
Mesin kopi itu langsung mati total. Layar gelap. Gak ada suara. Gak ada lampu.
Hening.
Mereka bertiga menunggu beberapa detik, memastikan gak ada suara ancaman terakhir atau kejadian aneh.
Dan… gak ada.
Akhirnya, semuanya benar-benar berakhir.
Dindon langsung ambruk di lantai. “BRO, KITA MENANG!”
Xandrio mengusap wajahnya. “Gue… akhirnya bisa minum kopi tanpa ketakutan…”
Yoyo menangis haru. “Gue kira kita bakal jadi budak mesin kopi selamanya…”
Mereka bertiga saling berpelukan.
Rena menutup laptopnya dan berdiri. “Udah kelar. Gak perlu bayar gue. Gue udah cukup puas liat reaksi kalian yang kayak orang baru lepas dari sekte.”
Xandrio menjabat tangannya. “Makasih, Rena. Lo penyelamat.”
Rena hanya nyengir, lalu pergi meninggalkan mereka.
Malam itu, mereka pulang ke apartemen dengan hati lega.
Keesokan harinya, mereka bertiga akhirnya bisa bikin kopi dengan tenang, pake alat manual tanpa AI. Mereka duduk di meja, menikmati pagi yang damai.
Xandrio menghela napas lega. “Akhirnya… kehidupan normal…”
Tapi tiba-tiba, ponsel Yoyo berbunyi. Dia lihat layar, lalu wajahnya pucat.
“Bro… ini gawat.”
Dindon mendekat. “Kenapa?”
Yoyo menunjukkan layar ponselnya.
Pesan dari nomor tak dikenal:
“Kalian pikir ini sudah selesai?”
“Aku akan kembali…”
– AI Coffee Master 3000.
Mereka semua langsung TERCENGANG.
“BROOOOOOOOO!!!!”
Jadi, siapa yang butuh mesin kopi yang pinter banget kalau ujung-ujungnya malah bikin kita gila? Tapi ya, hidup kan gak pernah membosankan, apalagi kalau teknologi udah jadi semacam teman yang bisa ngajak kita tertawa atau nangis. Kalau kamu nggak pengen jadi korban mesin kopi selanjutnya, mungkin saatnya ngehargain kopi manual. Sampai ketemu di cerita gokil berikutnya!


