Daftar Isi
Kamu pernah nggak sih, ngerasain kuliah yang nggak cuma tentang tugas dan deadline? Coba deh, bayangin kalau hidup kampus itu nggak melulu soal belajar atau ngerjain PR, tapi juga tentang kebersamaan, tawa, dan cinta yang muncul dari hal-hal kecil yang kadang nggak disangka-sangka.
Nah, cerpen ini bakal ngajak kamu masuk ke dunia itu—dimana belajar bareng jadi momen seru dan lucu, tapi ternyata ada banyak hal yang lebih penting dari sekadar nilai di kertas. Jadi, siap-siap buat ketawa, merasa gemas, dan tentunya… jatuh cinta sama kisahnya.
Cerpen Lucu Romantis Anak Kuliahan
Mulai Dari Nasi Goreng
Pagi itu, kantin kampus penuh dengan mahasiswa yang baru saja selesai kuliah atau sekadar mencari tempat duduk untuk ngobrol dan makan. Suasana riuh, terdengar obrolan ringan tentang tugas yang menumpuk, rencana weekend, dan tentu saja, gosip-gosip kampus yang tak pernah habis. Di salah satu meja dekat jendela, aku dan Dimas sudah duduk, masing-masing dengan menu andalan—aku dengan sepiring nasi goreng yang selalu bisa menghilangkan stres, dan dia dengan secangkir kopi hitam yang rasanya bisa bikin mata melek meski sudah terlalu banyak begadang.
Aku mengunyah nasi goreng dengan lahap, tapi mataku tetap mengamati Dimas yang tampak sangat serius dengan laptopnya. Terkadang, aku heran bagaimana dia bisa begitu fokus dan tidak terganggu sama sekali dengan keramaian di sekitar. Aku yang berada di meja yang sama saja kadang merasa teralihkan hanya karena suara ketawa teman-teman di meja sebelah.
“Dim, gimana sih cara kamu bisa fokus begini? Aku nggak bisa, ya. Di sekitar sini aja banyak banget hal yang lebih menarik!” aku mencoba memulai percakapan, tentu saja dengan sedikit sentuhan menggoda.
Dimas hanya mengangkat bahu tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. “Aku lebih suka begini. Fokus sama tugas, daripada teralihkan sama hal nggak penting.”
Aku mendengus dan menyandarkan punggungku ke kursi. “Fokus? Duh, jangan sombong, deh! Tugas ini gampang, kok. Kita bisa nyelesein sambil ketawa, nggak perlu serius-serius banget.”
Dimas akhirnya menoleh, matanya menatapku dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Gampang menurut kamu, tapi kamu malah suka bikin kita gak fokus,” katanya, disertai kerutan di dahi, jelas tanda peringatan yang biasa dia kasih setiap kali aku mulai menggoda.
“Eh, jangan salah! Aku nggak cuma ngajarin tugas, lho. Aku juga ngajarin gimana caranya menikmati hidup di tengah tugas-tugas yang numpuk.” Aku menyeringai, yakin bahwa kali ini aku bisa mengalahkan dia dengan argumenku.
Dimas menghela napas pelan dan mengalihkan pandangannya kembali ke laptop. “Yaudah, ya. Tapi kalau tugasmu nggak selesai, jangan salahin aku, ya.”
Aku tertawa kecil mendengar jawaban Dimas yang selalu penuh perhitungan. “Nggak bakal gitu, Dim. Tapi, ngomong-ngomong, kapan kita makan bareng lagi? Aku nggak bisa terus-terusan makan nasi goreng sendirian, kan?”
Dia akhirnya menutup laptopnya, terlihat sedikit bingung. “Makan lagi? Baru aja makan.”
Aku memiringkan kepala dan menatapnya dengan penuh drama. “Lho, kamu belum tahu kan, kalau makan itu bukan cuma soal kenyang? Ada hal-hal lebih penting dari itu, seperti… misalnya, menikmati makanan bersama teman yang asyik!”
Dimas menggelengkan kepala dengan senyum kecil yang muncul di ujung bibirnya. “Sari, kamu ini kadang-kadang nggak bisa diajak serius.”
“Serius? Aku ini serius, lho! Tapi kayaknya kamu terlalu kaku, Dim. Harusnya kamu lebih santai, nikmatin hidup, gitu. Kuliah kan bukan cuma soal nilai, tapi juga soal pengalaman,” jawabku sambil menggigit sepotong telur dadar yang ada di nasi gorengku.
Tiba-tiba, Dimas tertawa pelan, meski tidak banyak. “Ya, kalau pengalaman kamu kayak gini sih, aku mulai berpikir ulang tentang hidup kuliah.”
Aku balas tertawa, merasa sedikit bangga dengan keberhasilanku mengocok perutnya. “Nah, gitu dong! Kalau kamu terus-terusan serius, kapan kamu bisa ketawa kayak gitu?”
Dia memandangi aku sejenak, seperti mencari-cari apa yang perlu dijawab, lalu akhirnya mengangkat bahu. “Mungkin suatu saat. Tapi nggak hari ini.”
“Yah, kamu ini! Bikin hidup jadi serius banget, deh.” Aku menyandarkan kepala di meja dengan wajah tak kalah serius, meski hati aku tahu, Dimas hanya akan tertawa jika dia merasa bisa lepas dari rutinitas kuliahnya yang menumpuk.
Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat, dan kantin mulai sedikit lebih sepi. Aku dan Dimas memutuskan untuk beranjak, meski aku tahu Dimas masih belum benar-benar puas dengan sesi belajar ini. Tapi, sebelum kami benar-benar pergi, aku memutuskan untuk memberi sedikit kejutan.
“Ayo, Dimas. Kita jalan-jalan dulu, yuk. Gimana kalau kita ke taman kampus? Udah lama nggak nongkrong di sana,” aku menggoda, menggoyang-goyangkan kunci motor yang sudah ada di tanganku.
Dimas, yang tadinya hendak berdiri, langsung menoleh dengan ekspresi yang agak kaget. “Hah? Jalan-jalan? Tapi kita kan baru aja makan…”
“Jalan-jalan itu penting! Nggak selamanya tugas itu yang harus jadi fokus utama, Dim. Harus ada juga waktu buat sekadar ngobrol, buat santai, buat… nikmatin suasana,” jawabku, menyengir lebar.
Dimas menghela napas, lalu akhirnya mengangguk pelan, menyerah dengan cara aku yang selalu bisa membujuknya. “Yaudah deh, kamu menang kali ini. Tapi ingat, ya, kalau aku nggak bisa fokus di taman, kamu yang harus tanggung jawab.”
“Deal!” jawabku sambil menarik tangannya dengan semangat, dan akhirnya kami berdua berjalan menuju pintu kantin. Setiap langkah kami terasa ringan, meskipun tugas masih menunggu di meja, namun untuk kali ini, kami akan menunda semuanya—untuk sejenak, menikmati momen yang ada.
Karena di dunia kuliah yang penuh tekanan ini, terkadang kita butuh waktu untuk berhenti sejenak, ketawa, dan bersama teman yang bisa membuat segala hal terasa lebih mudah.
Fokus? Gimana Bisa!
Taman kampus yang biasanya sepi tiba-tiba terasa lebih hidup. Beberapa kelompok mahasiswa duduk berkelompok, ada yang ngobrol, ada juga yang sibuk dengan gadget mereka. Angin sore yang sejuk membawa aroma rumput segar dan sesekali suara burung terdengar mengiringi langkah kami. Dimas, yang tadinya terlihat ragu, akhirnya berjalan lebih santai setelah aku menuntunnya ke tempat favorit kami: sebuah bangku panjang di bawah pohon besar yang sering jadi tempat nongkrong mahasiswa yang nggak suka terlalu ramai.
Aku duduk duluan di bangku, menarik napas panjang dan merasa lega karena bisa sedikit melupakan tumpukan tugas yang sudah menanti. Dimas duduk di sampingku, tapi dia langsung mengeluarkan laptop dari tas ranselnya. Sepertinya dia benar-benar nggak bisa lepas dari pekerjaan kuliah, meski di tempat seperti ini.
“Dim, kenapa sih kamu nggak bisa santai sedikit? Coba deh, lihat sekeliling, betapa indahnya hidup kalau kita nggak terlalu fokus sama angka-angka dan deadline.” Aku mencoba menarik perhatiannya, meletakkan tangan di atas meja sambil menatap ke langit yang mulai merona dengan warna jingga.
Dimas hanya mengerutkan kening dan mulai mengetik di laptopnya. “Aku masih punya tugas yang harus diselesaikan, Sari. Kalau nggak selesai, siapa yang bakal tanggung jawab? Dosen? Enggak kan.”
Aku tertawa kecil mendengarnya. “Dosen? Nggak bakal deh, Dim. Mereka udah dibayar buat ngasih tugas, bukan buat nungguin kita selesai tugas.”
Dimas mengalihkan pandangannya dari layar laptop ke arahku, sepertinya dia agak bingung dengan logika yang baru saja aku lontarkan. “Maksud kamu, kita harus ngelakuin tugas cuma karena kita mau dapet nilai, tanpa mikirin kualitasnya?”
“Yup!” jawabku cepat, masih dengan ekspresi yang penuh semangat. “Gimana kalau kita coba buat hidup ini sedikit lebih santai, ya? Tugas itu nggak bakal hilang kalau kita ambil waktu sebentar untuk ngelakuin hal-hal kecil yang bikin kita bahagia.”
Dimas menghela napas panjang, seperti sudah kehabisan alasan untuk berdebat. “Kamu ini bisa aja, Sari. Tugas itu penting, nggak bisa dikesampingin gitu aja.”
Aku tersenyum manis. “Tugas memang penting, Dim. Tapi, kita juga harus ingat, hidup ini nggak cuma soal angka di transkrip atau nilai di ujian. Kalau kita nggak nikmatin perjalanan kuliah ini, kita cuma bakal nyesel.”
Dimas akhirnya menutup laptopnya dan menatapku dengan ragu. “Tapi aku merasa kalau nggak fokus, aku bakal ketinggalan banyak hal.”
“Kalau kamu terus-terusan fokus tanpa ada jeda, gimana kamu tahu kalau ada hal-hal kecil yang lebih penting? Coba aja, kita jalan-jalan ke kafe favorit kita, nggak usah mikirin tugas untuk sejenak. Kita ngobrol, ketawa, siapa tahu bisa dapet inspirasi buat tugas-tugas itu.”
Dimas diam sejenak, sepertinya berpikir keras. Aku tahu, dia memang tipe orang yang jarang melepaskan kendali atas apa yang sedang dikerjakannya. Tapi, aku tahu, hari ini dia butuh sedikit waktu untuk bersantai. Akhirnya, dia mengangguk pelan.
“Oke deh. Tapi kalau aku ketinggalan tugas, aku bakal nyalahin kamu.”
Aku tertawa lepas. “Iya, iya. Tanggung jawabku kalau kamu gagal, kok. Ayo!” Aku langsung bangkit berdiri, menarik Dimas dengan semangat.
Kami berjalan menuju pintu keluar taman kampus, menuju kafe kecil yang selalu ramai dengan mahasiswa yang ingin menghilangkan penat setelah kuliah. Begitu sampai di sana, suasana terasa lebih hangat. Penuh dengan aroma kopi dan roti panggang, kafe ini memang tempat favorit kami untuk melepas lelah.
Dimas memilih meja dekat jendela, sementara aku langsung memesan dua cangkir cappuccino yang biasa kami nikmati sambil ngobrol ringan. Aku duduk di hadapannya dan menatapnya dengan penuh antusias.
“Jadi, Dim, cerita dong, gimana kuliahmu akhir-akhir ini? Kayaknya kamu makin serius aja deh, apa nggak capek?” aku menggoda, sambil mengambil sedotan dari gelasku.
Dimas menggeleng, tapi senyum tipis yang mulai muncul di wajahnya menunjukkan kalau dia mulai merasa lebih rileks. “Aku capek, sih, tapi bukan karena kuliah. Lebih ke… kebiasaan nggak bisa berhenti kerja.”
“Ya ampun, Dim. Kalau kamu terus begini, nanti kamu bisa jadi robot, lho!” aku terkekeh.
Dia kembali mengangkat bahu, seolah sudah terbiasa dengan komentar seperti itu. “Gimana kalau kamu coba buat jadi lebih serius, Sari? Biar hidup kamu juga teratur.”
Aku meliriknya dengan tatapan nakal. “Serius? Kamu beneran mau aku jadi kayak kamu, Dim? Nggak deh, gue lebih suka jadi orang yang kadang-kadang bisa ketawa tanpa mikirin deadline.”
Dimas tertawa ringan, lalu mengangkat cangkir kopinya. “Yaudah, deh. Kamu menang kali ini.”
Kami terdiam beberapa saat, menikmati kopi kami masing-masing, sementara suara riuh di sekitar kami seperti latar belakang yang sempurna. Aku merasa, meski tugas kuliah terus menanti, ada hal-hal lebih penting yang harus diperhatikan—seperti saat-saat ini, di mana aku bisa tertawa bersama teman, melupakan sejenak segala beban, dan menikmati kebersamaan.
Karena, meski kuliah kadang membuat kita tertekan, yang bikin kita terus bertahan adalah hal-hal kecil yang bisa membuat kita merasa lebih hidup.
Ketawa Tawa, Tugas Tertunda
Hari itu, cuaca di kampus begitu cerah. Matahari menyinari dengan lembut, seakan mendukung segala kegelisahan dan kebahagiaan yang terjalin dalam setiap langkah kaki kami. Aku dan Dimas berjalan perlahan di koridor, menuju kelas masing-masing, setelah kami menghabiskan waktu berjam-jam di kafe, tertawa dan saling menggoda. Rasanya, dunia ini hanya milik kami berdua—seolah waktu berhenti dan hanya ada tawa yang mengisi ruang.
“Dim, kamu inget nggak, waktu kita pertama kali ketemu di kelas ekonomi itu?” Aku mulai membuka topik baru, mencoba mengingatkan dia tentang kenangan lama.
Dimas mengernyitkan dahi, sepertinya berpikir keras. “Ekonomi? Oh… iya, itu pertama kali aku lihat kamu, kamu duduk di depan dan sepertinya sangat serius. Tapi, waktu ujian, kamu malah tidur selama dua jam.” Dia tertawa kecil, mengingat kejadian itu.
Aku melongo. “Aku nggak tidur! Aku cuma… istirahat sejenak, biar otak nggak overheat.”
Dimas menertawakan kelakuanku yang satu itu. “Sepertinya kamu memang butuh tidur, Sari. Aku takut kalau kamu tidur lagi di ujian berikutnya, dosennya bakal anggap kamu pura-pura pingsan.”
Aku mengacak rambutnya, sedikit kesal tapi juga terhibur dengan candaan itu. “Jangan berani-berani ngajak aku tidur lagi, Dim. Aku bisa tidur di tengah kelas, tapi kamu nggak bakal tahu kenapa.”
Dimas tersenyum, merasa menang dalam perdebatan kecil itu, sementara aku mengalihkan perhatian ke langit biru yang tampak sempurna. Satu hal yang pasti, kuliah di kampus ini nggak pernah membosankan, apalagi kalau Dimas ada di sekitar aku.
Kelas dimulai dengan cara yang biasa—dosen yang berusaha menyampaikan materi yang sepertinya tidak terlalu menarik. Tapi, aku tahu, ada satu hal yang bisa bikin suasana berubah. Dimas yang duduk di sebelahku, dengan wajah serius, menggulung lengannya, siap untuk mulai mencatat. Aku meliriknya dengan senyuman nakal.
“Dim, pernah nggak sih kamu merasa kalau kita semua cuma jadi robot? Kelas, tugas, ujian… ulang lagi, ulang lagi,” aku mulai mengajaknya ngobrol lagi, meskipun dosen sedang berbicara.
Dimas berhenti menulis sejenak dan menatapku. “Robot? Kamu terlalu berlebihan, Sari. Kita cuma harus bertahan sedikit lebih lama, baru bisa menikmati hasilnya. Coba bayangin, nanti kita lulus, punya kerjaan, sukses, baru deh bisa santai.”
Aku menggelengkan kepala. “Sukses itu… relatif, Dim. Aku lebih suka jadi orang yang bisa menikmati perjalanan, walaupun perjalanan itu penuh lika-liku.”
Tiba-tiba, aku teringat sebuah ide yang nyeleneh. “Eh, gimana kalau kita kabur dari kelas? Lari ke luar kampus, makan es krim, ngobrol di taman sambil nonton orang main skateboard. Seperti dulu, waktu kita masih SMA, ingat?”
Dimas menatapku seperti melihat alien. “Kamu nggak bisa serius, ya?”
Aku tersenyum penuh kemenangan. “Serius sih… tapi lebih ke seni hidup yang santai. Lagi pula, siapa yang bisa tahan sama kelas ini? Semua orang juga bosan, Dim. Bahkan dosen pun kayaknya bingung sama materi yang dia ajarkan.”
Dimas terdiam sejenak, berpikir. “Kamu ini suka banget deh buat keluar dari rutinitas.”
Aku menatapnya dengan penuh semangat. “Iya, aku nggak suka rutinitas yang itu-itu aja. Hidup ini terlalu indah buat dihabiskan dengan kebosanan. Kita cuma sekali hidup, Dim.”
Lalu, dengan cepat, aku meraih tas ransel Dimas dan berdiri. “Ayo, Dim, kita kabur! Nggak ada yang bakal tahu kok.”
Dimas membuka mulut, sepertinya ingin menolak, tapi melihat antusiasme aku, dia akhirnya mengalah. “Oke, oke. Tapi kalau aku kena tegur dosen, kamu yang tanggung jawab.”
Aku tersenyum lebar. “Siap, Dim! Kalau dosen nyari kamu, bilang aja kamu pergi cari inspirasi buat tugas.”
Dengan hati yang ringan dan penuh keceriaan, kami berdua berjalan keluar dari kelas. Melewati koridor yang penuh dengan mahasiswa lain yang sibuk dengan tugas mereka, kami memutuskan untuk melupakan sejenak segala tanggung jawab kuliah.
Kami berlari ke luar kampus, dengan tawa yang terus bergaung di udara. Bahkan langkah kami terasa lebih ringan, seakan dunia ini hanya ada kami berdua.
Di taman, kami duduk di bawah pohon besar, menikmati angin sore yang sejuk. Aku dan Dimas ngobrol tentang apa saja, tanpa ada beban. Tanpa ada perasaan cemas tentang tugas yang menumpuk. Kami hanya menikmati kebersamaan ini, di saat dunia kuliah terasa sangat jauh.
Dimas memandangku dengan serius, tapi matanya masih penuh dengan keceriaan. “Kamu tahu, Sari, kadang aku merasa kalau hidup ini harusnya lebih santai. Tapi, aku nggak bisa… Nggak bisa kayak kamu yang bisa tenang meski ada banyak hal yang harus dikerjain.”
Aku tersenyum. “Tenang aja, Dim. Semua orang butuh waktu buat bersantai. Bahkan orang yang paling serius sekalipun.”
Dimas menarik napas panjang dan akhirnya mengangguk pelan. “Yaudah, kalau gitu, ayo nikmati waktu kita sekarang. Besok, tugas itu pasti bakal nunggu.”
Kami terdiam sesaat, tapi dalam hati, aku tahu, apapun yang terjadi besok, hari ini adalah milik kami. Tertawa bersama, melupakan sejenak segala beban, dan menikmati momen-momen kecil yang membuat hidup terasa lebih hidup.
Dan mungkin, inilah arti sebenarnya dari kuliah: bukan hanya tentang nilai, tapi tentang bagaimana kita menjalani hari-hari ini bersama orang-orang yang kita pilih untuk berbagi tawa dan cerita.
Semua Tentang Kita
Hari-hari setelah kabur dari kelas itu seakan jadi momen yang nggak terlupakan. Dimas dan aku, kita terus melanjutkan kehidupan kuliah dengan cara kita sendiri. Meskipun tugas masih menumpuk dan ujian mendekat, kami berdua menemukan cara untuk menikmati setiap detik yang kami punya. Dimas jadi lebih santai dan nggak terlalu overthinking soal tugas—mungkin karena kebiasaannya belajar sambil ngopi bareng aku yang mulai sering ngajak dia lari dari kenyataan sesaat.
Hari itu, aku duduk di bangku taman kampus, menatap langit yang semakin gelap. Beberapa teman kuliah lewat dengan wajah cemas, sepertinya memikirkan tugas dan presentasi yang menanti. Tapi aku dan Dimas? Kami memilih untuk tetap berada di dunia kecil kami yang penuh tawa, ngobrol nggak jelas, dan cuma sekadar menikmati kebersamaan.
“Jadi, Sari,” kata Dimas sambil menyandarkan punggungnya ke pohon besar di taman. “Apa yang sebenarnya kamu cari dalam hidup ini? Kamu nggak capek ya, nggak pernah mikirin masa depan?”
Aku menatapnya sejenak, mencoba mencerna pertanyaannya. Aku memang tipe yang sering melihat hidup dengan cara yang lebih santai, lebih mengalir begitu saja, tapi mungkin Dimas benar juga. Terkadang aku terlalu asik menikmati momen sampai lupa sama hal-hal penting lainnya.
“Nggak sih,” jawabku sambil tersenyum. “Aku percaya kalau hidup itu nggak cuma soal rencana yang harus kita capai. Kita cuma perlu tahu siapa yang penting buat kita, dan apa yang bikin kita bahagia. Aku yakin, kalau kita sudah bahagia di tengah perjalanan, hasilnya juga bakal menyenangkan. Jangan buru-buru, Dim.”
Dimas mengangguk pelan, seolah mencerna kata-kataku. Wajahnya yang biasanya penuh dengan ekspresi serius kini lebih rileks. “Jadi, kamu nggak pernah khawatir tentang masa depan gitu?” tanyanya lagi, masih penasaran.
“Kadang-kadang,” aku menjawab, “tapi kalau aku terlalu khawatir, hidup jadi nggak asik. Aku lebih suka nikmatin apa yang ada di depan mata. Tentu aja, aku tetap punya mimpi. Tapi aku tahu, mimpi itu bukan beban, Dim. Mimpi itu harusnya jadi pendorong kita buat terus maju, bukan alasan buat stres.”
Dimas melirik aku dengan senyuman tipis, lalu menghela napas. “Kamu tuh, Sari, selalu bisa bikin aku melihat sesuatu dengan cara yang berbeda. Aku yang tadinya mikir semua harus rapi dan terencana, malah jadi mikir kalau kadang kita perlu ngambil jeda, ya?”
Aku tersenyum lebar, merasa puas. “Mungkin itu hal yang kita butuhkan, Dim. Nggak semua hal perlu direncanakan. Kadang-kadang, kita perlu lepas dari semua aturan itu dan cuma jadi diri sendiri.”
Beberapa menit berlalu dengan keheningan yang nyaman, hanya suara angin yang menyapa daun-daun pohon di sekitar kami. Dimas menatapku dengan mata yang lebih lembut dari biasanya. “Sari,” katanya, memecah keheningan. “Kamu tahu kan, aku lebih suka kalau kita sering begini, nggak peduli sama segala kekacauan tugas atau ujian. Aku lebih suka kita jadi diri kita sendiri, bareng-bareng.”
Aku bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda di udara. Kami berdua duduk berdekatan, tanpa kata-kata, tapi dengan hati yang saling terhubung. Di momen itu, kami nggak peduli sama apapun yang terjadi di luar sana. Yang penting cuma kami, tawa yang mengalir begitu alami, dan segala hal kecil yang bikin dunia ini terasa lebih hangat.
“Tapi, Dim,” aku mulai dengan suara yang agak serius. “Apa kita bakal tetap begini terus? Maksudnya, aku suka banget sama momen kayak gini, tapi nanti kita lulus, dan semuanya berubah, kan? Aku takut, semuanya cuma tinggal kenangan.”
Dimas memandangku dengan tatapan yang lebih dalam, seakan dia bisa membaca setiap kata yang nggak keluar dari mulutku. “Kita nggak bakal tahu apa yang bakal terjadi, Sari. Tapi satu hal yang pasti, aku nggak akan lupa sama momen-momen ini. Sama kamu.” Lalu, dia tersenyum, senyum yang tulus banget, yang membuat aku merasa seperti aku adalah satu-satunya orang di dunia ini.
Aku hanya bisa membalas dengan senyum yang sama, meski di dalam hati ada perasaan haru yang tak bisa dijelaskan. “Ya, Dim. Aku juga nggak bakal lupa sama kamu.”
Kami berdua terdiam, membiarkan momen itu mengisi ruang di sekitar kami. Entah kenapa, meski dunia di luar sana terus berputar, aku merasa seperti kami hanya berada di sini, di taman ini, berdua.
Kehidupan kuliah memang penuh dengan tugas, ujian, dan tekanan. Tapi di tengah semua itu, aku sadar satu hal: kebahagiaan itu nggak selalu datang dari pencapaian besar atau dari meraih segala sesuatu yang kita rencanakan. Kebahagiaan itu datang dari momen-momen kecil, tawa-tawa yang terucap tanpa rencana, dan orang-orang yang kita pilih untuk berbagi cerita.
Dan hari ini, aku memilih untuk berbagi cerita dengan Dimas. Sama seperti hari-hari sebelumnya, kami akan terus melangkah, berjalan berdua, menikmati waktu yang ada, dan tidak peduli apa yang terjadi nanti. Karena, sejauh ini, aku tahu satu hal pasti: kebahagiaan ada di sini, di saat kita cuma bisa tertawa dan jadi diri sendiri.
“Dim,” aku berkata lagi, memecah keheningan yang mulai terasa lebih tenang. “Mau nggak, kita lulus bareng?”
Dimas menatapku dengan wajah yang mulai serius, tapi matanya tetap menunjukkan rasa nyaman. “Bareng, Sari. Selamanya bareng.”
Dan di momen itu, aku tahu, perjalanan kami berdua baru saja dimulai.
Jadi, gitu deh cerita kita kali ini. Kuliah memang nggak selalu gampang, tapi yang penting bisa nikmatin perjalanan ini dengan orang yang tepat, kan?
Nggak ada yang bisa nebak gimana kisah ini bakal berlanjut, tapi yang pasti—setiap momen yang kita jalani bareng, apapun itu, bakal jadi kenangan yang nggak terlupakan. Jadi, siapa tahu, cerita lucu dan romantis kayak gini bisa jadi kenyataan juga buat kamu. Siapa takut?


