Daftar Isi
Kamu pernah gak sih, lagi ngerasa siap banget buat tampil keren, eh malah jadi bahan tertawaan sekelas? Nah, cerpen ini bakal bikin kamu ngakak abis deh. Gak ada yang lebih kocak dari presentasi yang berakhir konyol karena prank teman sendiri.
Siapa sangka, Toni malah jadi pusat perhatian—tapi bukan karena presentasinya, malah karena hal-hal gak terduga yang malah bikin semuanya ketawa. Penasaran? Cek cerpen lucu ini dan siap-siap ketawa lepas!
Cerpen Lucu Penuh Kejutan
Bab 1: Strategi Mager Seorang Toni
Hari itu, seperti biasa, Toni terlihat santai. Begitu santai seolah dunia ini miliknya, dengan rambut acak-acakan dan mata yang hampir terpejam di meja. Dia sudah menyelesaikan semua tugas kuliah—tapi bukan dengan cara yang normal. Tidak ada catatan yang berceceran di meja, tidak ada buku yang terbuka, dan yang paling mencurigakan adalah laptopnya yang terlihat terlalu bersih untuk ukuran seorang mahasiswa tingkat akhir.
“Aku nggak paham deh, Toni. Kok lo bisa semudah itu selesaiin tugas?” ucap Fina, sahabatnya yang duduk di sebelah, sambil memerhatikan Toni yang lagi tenggelam dalam suasana mager-nya. Fina udah geleng-geleng kepala dari tadi.
Toni cuma nyengir malas, lirik ke arah Fina yang keliatan sibuk banget sama catatan dan buku di meja. “Bro, ini semua sih hasil karya Jarwo.”
Fina nyengir. “Jarwo? Lagi-lagi dia? Lo tahu kan, itu bukan cara yang bener.”
Toni menatapnya sejenak, menenangkan Fina dengan tatapan penuh keyakinan. “Tenang aja, Fin. Gue udah kasih dia tugas yang gampang. Paling cuma 10 halaman makalah, apa sih yang susah?”
Fina tampak tidak yakin. “Kamu serius? Kalau besok lo harus presentasi gimana?”
Toni mengangkat bahu dengan santai, menatap Fina seperti dia orang paling paham di dunia ini. “Gue tinggal baca makalahnya, terus jawab aja yang penting. Bisa lah, ya kan? Selama Jarwo yang ngerjain, semua beres.”
Fina mendesah, sepertinya dia udah nyerah ngasih nasihat. “Ya udah deh, kalau lo nggak takut dosa.”
Pagi harinya, Toni dengan santainya melangkah menuju kelas sambil memikirkan bagaimana dia bakal nge-handle tugas presentasi itu. Jarwo memang jago banget, apalagi kalau udah ngomongin ngerjain tugas orang. Toni nggak pernah khawatir, karena yakin banget hasil dari makalah Jarwo nggak bakal ngecewain.
Toni duduk di kursi paling belakang, ngerasa puas dengan dirinya sendiri. “Gue keren banget,” gumamnya pelan.
Geng teman-temannya yang lainnya udah pada kumpul di depan kelas, nunggu dosen datang. Fina masih keliatan sibuk sama buku dan catatan yang dipersiapkan buat presentasi. “Lo serius, Toni? Lo bener-bener nggak ada rasa takut sama sekali?” tanya Fina.
Toni cuma ngangkat tangan, “Relax, Fin. Lo aja yang ribet. Ini mah cuma presentasi, gue bisa kok.”
Belum sempat mereka ngobrol lebih lama, Pak Guntur masuk ke kelas. Semua langsung pada duduk rapi, dan suasana kelas berubah jadi serius. Pak Guntur dengan gaya khasnya yang tegas langsung menyapa mahasiswa. “Selamat pagi, kelas. Tugas makalah kalian sudah saya baca dan saya harap semuanya siap untuk presentasi.”
Toni meresap dalam ketenangan, seolah tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Dia menatap makalah yang dia bawa, tanpa membaca satu kata pun. Nggak perlu, soalnya makalah itu pasti udah lengkap banget, ditulis oleh tangan ahli—Jarwo.
Pak Guntur mulai memanggil satu per satu mahasiswa untuk maju, dan saat giliran Toni tiba, dia dengan santainya berdiri dan melangkah ke depan. “Oke, teman-teman, gue bakal ngejelasin tentang topik ini,” katanya sambil mulai membuka makalahnya.
Dengan gaya pede, dia mulai baca, suaranya mantap meskipun dalam hati dia sebenernya sudah mulai ragu. Sampai di halaman terakhir, ketika dia membalik lembaran itu, matanya tertuju pada tulisan yang membuat jantungnya seolah berhenti berdetak.
“Bro, kalau lo baca ini, berarti lo beneran nggak belajar sama sekali. Good luck, bro! HAHAHA!”
Toni membeku. Kepala rasanya pusing. Ini apaan, sih?! Apa maksud catatan yang ada di sana? Kenapa bisa ada kata “HAHHAHA!” yang bener-bener ngerusak ketenangannya?
Sekujur tubuh Toni terasa dingin. Di depan kelas, suasana berubah jadi heboh. Semua mulai tertawa keras, dan bahkan Pak Guntur yang biasanya tegas, kali ini nggak bisa nahan tawa.
“Apa ini, Toni?” Pak Guntur mencoba menahan tawa, meskipun senyumannya nggak bisa disembunyikan. “Lo baca sendiri ya, tulisan di halaman terakhir itu?”
Toni cuma bisa tersenyum kecut. Satu kelas mulai riuh, dan dia tahu, dia baru saja jadi bahan tertawaan sekelas—termasuk dosen. Saat itu, dia merasa seolah-olah dunia ini sedang memeluknya dengan tangan besar yang penuh cemoohan.
“Nah, Toni. Kalau mau nyerahin tugas ke orang lain, pastikan lo tahu apa yang mereka tulis!” Pak Guntur sambil tertawa.
Toni cuma bisa berdiri kaku, senyum tegang menempel di wajahnya. Fina yang duduk di belakang cuma bisa geleng-geleng kepala. “Duh, Toni… lo bener-bener deh.”
Di dalam hati, Toni berpikir, Kok bisa ya, gue sekelas dengan orang-orang yang selalu punya cara buat ngerjain gue sendiri? Tapi, ya udah lah. Sepertinya, pelajaran hidup yang berharga ini bakal nempel banget di otaknya.
Jarwo, Sang Penyelamat (Atau Penghancur?)
Toni duduk terdiam di bangkunya, merasakan atmosfer kelas yang penuh dengan gelak tawa dan bisikan. Semuanya masih bisa mendengar suara tawa Pak Guntur yang terus-menerus menggema, bahkan setelah presentasi berakhir. Toni nggak tahu harus kemana lagi. Rasanya kayak dipermalukan habis-habisan.
Setelah bel berbunyi, tanda bahwa kelas berakhir, Toni langsung buru-buru keluar tanpa berkata sepatah kata pun ke teman-temannya. Fina yang ngikutin di belakang cuma bisa ngelirik, nggak tahu harus ikut nyeselin Toni atau cuma tertawa di dalam hati.
Di luar, Toni berhenti sejenak, menatap langit dengan pandangan kosong. “Kapan ya gue bisa keluar dari neraka ini?” gumamnya. Semua yang terjadi pagi itu seolah jadi mimpi buruk yang nggak bisa dia bangun dari sana.
Tapi sebelum bisa melangkah lebih jauh, ponselnya bergetar. Di layar muncul nama yang sudah dikenalnya baik, “Jarwo.”
Tanpa pikir panjang, Toni langsung angkat telepon itu dengan nada setengah emosi. “Jarwo… lo ngerti nggak sih apa yang lo lakuin ke gue tadi pagi?!”
Dari ujung telepon, terdengar suara Jarwo yang santai banget, bahkan kayak nggak ada masalah besar. “Santai, bro. Semua tuh bagian dari proses belajar. Lo pasti jadi lebih kuat setelah ini.”
“Proses belajar? Lo gila ya? Lo bikin gue malu sekelas!” Toni mulai kesal. “Lo nulis catatan ‘HAHHAHA!’ di halaman terakhir! Lo bikin gue kelihatan goblok!”
Jarwo tertawa kecil. “Bro, gue cuma bercanda. Lo kan udah biasa bercanda juga, kan?”
Toni mendesah dalam kebingungannya. “Lo pikir gue bisa bercanda gitu di depan dosen? Semua orang di kelas pada ketawa, Jarwo! Bahkan Pak Guntur yang biasanya serius, malah ngakak! Lo harusnya bikin tugas gue bener, bukan malah nyusahin!”
Jarwo masih tenang, suaranya nggak terpengaruh sedikit pun. “Dengerin deh, bro. Gue bantuin lo buat nyelesein tugas yang lain juga. Ini cuma kebetulan aja. Lagian, kalo nggak ada gue, lo bakalan gimana? Lo nggak bakal bisa ngerjain tuh tugas.”
Toni berhenti sejenak, berpikir. Ada benernya juga. Dia nggak pernah nyentuh buku atau catatan kalau bukan karena Jarwo yang ngerjain tugasnya. “Tapi kan, Jarwo… lo nggak bisa gitu juga. Gue kan harus siap presentasi. Lo bener-bener nggak bisa ngerjain tugas dengan lebih serius?”
Di ujung telepon, terdengar suara tawa ringan dari Jarwo. “Bro, serius? Lo mau serius-serius banget? Hidup ini kan harus santai. Gue ngerti sih, kadang gue bisa jadi penyelamat atau malah penghancur. Tapi lo jangan khawatir. Gue janji deh, tugas berikutnya akan gue kerjain lebih baik lagi.”
Toni merasa agak lega, tapi masih ada rasa cemas yang menggantung. “Gue masih nggak ngerti sih, kenapa lo bisa semenyenangkan itu buat nyusahin orang.”
Jarwo menjawab dengan tenang, “Karena hidup ini terlalu singkat untuk terlalu serius, bro. Dan lo pasti bisa ngerasain hal yang seru banget setelahnya. Lagian, siapa lagi yang bakal ngebantu lo? Jarwo kan cuma satu.”
Toni merasakan sedikit kelegaan. Jarwo memang sering bikin dia kesal, tapi juga sering jadi penyelamat saat dia benar-benar membutuhkan bantuan. Nggak ada orang lain di kampus yang lebih bisa bikin dia tertawa sekaligus frustasi.
“Ya udah deh, bro. Nanti kalo ada tugas lagi, kita atur waktu. Lo jangan salahin gue terus, ya?” kata Jarwo dengan nada nakal.
Toni nggak bisa menahan senyum kecil. “Oke, oke, gue ikhlas. Tapi lo harus lebih hati-hati lagi, Jarwo. Jangan bikin gue malu terus.”
Mereka berdua tertawa bareng di telepon, seakan-akan semua masalah yang tadi pagi terjadi hilang begitu saja.
Toni tahu, hidup nggak akan selalu mulus dan dia bakal terus dikejar tugas dan ujian. Tapi setidaknya, dengan Jarwo di sisi, dia nggak akan pernah kekurangan bahan tertawa. Bahkan kalau itu artinya dia harus sering kena prank dan malu sekelas.
Misi Presentasi Tanpa Persiapan
Minggu berikutnya datang dengan cepat, dan Toni mendapati dirinya kembali di ruang kelas yang sama. Kali ini, dia sudah sedikit lebih waspada setelah kejadian kemarin. Setidaknya, dia sudah belajar untuk lebih siap menghadapi tantangan yang ada, meskipun masih dengan sedikit rasa pesimis.
Jarwo sudah mengingatkan sekali lagi untuk presentasi minggu ini. “Bro, lo siap kan? Gue udah siap bantuin lo lagi, kok,” ujarnya dengan nada santai yang udah Toni kenal banget.
Toni menatap laptop di depannya dengan ragu, membuka file presentasi yang harus dia tampilkan. Hanya ada beberapa kalimat kunci di slide pertama, dan bahkan itu sudah cukup bikin jantungnya berdebar. Dia sudah mempersiapkan lebih banyak bahan yang diambil dari internet, yang tentu saja sudah dikirim oleh Jarwo beberapa hari sebelumnya. Tapi dia tahu, tanpa persiapan lebih dalam, dia bakal menghadapi ujian besar lagi.
Kali ini, Toni nggak mau lagi kayak kemarin. Dia nggak ingin jadi bahan tertawaan sekelas, bahkan dosennya. Setelah membaca beberapa kali dan mengingat-ingat topik yang ada, dia merasa sedikit lebih tenang. “Ya udah deh, kali ini gue bisa… Cuma kalau Jarwo nggak bikin gue malu lagi,” gumamnya pelan.
Sebelum Toni bisa lanjut berpikir lebih dalam, suara Fina tiba-tiba menyadarkannya. “Toni, kamu beneran nggak bakal latihan dulu buat presentasi?” tanya Fina dengan nada khawatir, terlihat dari ekspresi wajahnya yang sedikit cemas.
Toni cuma melirik sekilas. “Gue udah ngerti kok, Fin. Ini tugas terakhir sebelum libur semester. Nggak bakal lama-lama juga kok.”
Fina masih nggak yakin. “Kalau lo yakin, yaudah. Tapi, ya jangan sampe kejadian yang kemarin terulang, deh.”
Toni cuma senyum tipis. “Udah, udah. Gue bakal lancar, kok.” Tapi dalam hatinya, dia masih ragu.
Kelas mulai terasa tegang saat dosen, Pak Guntur, masuk ke ruang kelas. Semuanya langsung pada duduk rapi. Semua orang kelihatan siap—kecuali Toni, yang entah kenapa malah merasakan perutnya mules. “Kenapa ya, gue malah ngerasa kayak ini ujian hidup?” pikirnya.
Pak Guntur memulai dengan sapaan singkat, “Selamat pagi, semua. Hari ini kita lanjutkan dengan presentasi. Siapa yang pertama?” Dia mengelilingi kelas dengan tatapannya yang tajam, dan Toni tahu saatnya akan tiba.
“Baiklah,” kata Pak Guntur sambil membuka daftar nama. “Toni, giliranmu.”
Toni berdiri dengan gontai, berusaha tidak kelihatan gugup. Dengan langkah berat, dia menuju ke depan kelas. Saat sampai di depan, dia menghela napas panjang dan menatap layar presentasi yang tiba-tiba terasa lebih terang dari sebelumnya. Dia membuka slide pertama, dan mulai membaca dengan penuh keyakinan.
“Saya akan membahas mengenai… eh,” Toni mulai, sambil melihat slide pertama yang kelihatannya kosong. Tiba-tiba, semua mata tertuju padanya, dan rasa panik mulai muncul.
Dia melanjutkan, “Tentang… topik ini yang berhubungan dengan… eh… ya, kalian bisa lihat sendiri di layar,” katanya sambil menunjuk ke layar dengan jari yang gemetar. Sementara, Pak Guntur mengamati dengan seksama, dan beberapa mahasiswa mulai berbisik.
Toni merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. “Oke, aku akan lanjut ke slide berikutnya,” ujarnya terburu-buru, mengklik mouse dan berharap bisa keluar dari momen ini secepatnya. Tapi saat dia melihat slide berikutnya, dia tahu ada sesuatu yang sangat salah.
Isi slide itu bukan materi yang ada di presentasinya, melainkan foto—foto jarak dekat dari wajahnya sendiri saat tertidur di kelas! Itu bukan cuma satu foto, melainkan deretan foto-foto yang diambil secara diam-diam oleh Jarwo saat mereka kuliah bareng.
Toni langsung merona, dan seluruh kelas langsung terpecah menjadi tawa keras. Pak Guntur, yang tadinya tampak serius, nggak bisa menahan diri dan tertawa terbahak-bahak. “Toni! Apa-apaan ini? Lo tuh ngapain ya sampai ada foto kayak gini?” tanya Pak Guntur sambil terus tertawa.
Toni terdiam, merasa terjebak. “Jarwo… lo emang gila!” bisiknya dalam hati. Dan di balik tawa-tawa itu, dia bisa dengar suara Jarwo dari barisan belakang yang terdengar sangat puas.
“Aduh, sorry, bro. Gue nggak bisa nahan, lo soalnya lucu banget,” teriak Jarwo sambil ngakak.
Toni hanya bisa menatap layar dengan lemas, perasaan malu semakin menggunung. Fina yang duduk di bangku depan hanya bisa geleng-geleng kepala. “Toni, lo bener-bener deh. Gimana sih lo?”
Tapi Toni, meskipun sangat malu, mencoba untuk bertahan. “Oke, oke. Jadi intinya adalah… foto itu bukan bagian dari presentasi. Gue yakin topik ini sangat penting dan harus kita pahami bersama…” katanya dengan nada yang makin ragu, berharap bisa mengalihkan perhatian.
Tapi suasana di kelas sudah kacau. Semua orang masih nggak berhenti tertawa, dan Pak Guntur meskipun sudah berhenti tertawa, tetap tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Ya, Toni, gue rasa lo sudah cukup memberikan kita hiburan pagi ini,” ujarnya, masih dengan senyum tipis.
Toni hanya bisa tersenyum kecut. Kelas itu berakhir dengan tawa yang masih menggema, dan Toni tahu, hari ini bukan hanya presentasi yang gagal, tapi juga harga dirinya. Tapi satu hal yang dia pelajari hari ini—dengan Jarwo, nggak ada yang bisa diprediksi. Dan kadang, hal yang nggak diprediksi itulah yang paling membuat hidup jadi seru… meski itu berarti jadi bahan tertawaan sekelas.
Tertawa Bersama, Maju Terus!
Setelah kejadian memalukan itu, Toni memutuskan untuk nggak terlalu serius memikirkan semua yang terjadi. Walaupun dia masih merasa malu banget, terutama karena foto-foto dari masa lalu yang sekarang jadi bahan tertawaan sekelas, dia belajar satu hal penting: hidup itu memang penuh kejutan—dan kebanyakan, kejutan itu bisa bikin kita tertawa.
Malam setelah presentasi, dia masih nggak bisa tidur. Telepon dari Jarwo berdering lagi, dan dia tahu pasti ada yang lucu bakal terjadi. Dengan sedikit rasa malas, Toni akhirnya angkat telepon itu.
“Bro, lo masih hidup?” tanya Jarwo, terdengar nggak sabaran.
Toni mendesah. “Iya, gue masih hidup. Lo kira gue udah mati aja, ya?”
Jarwo tertawa di ujung telepon. “Bro, gue cuma mau bilang, presentasi lo tadi pagi tuh legendaris. Gokil! Semua orang pasti inget itu seumur hidup. Bahkan Pak Guntur masih nggak bisa berhenti ngomongin lo.”
Toni mencoba mengatur napasnya. “Iya, gue udah tahu. Udah cukup malu banget hari ini. Jangan tambah-tambahin lagi.”
Jarwo langsung menyahut, “Jangan gitu, bro. Lo harus bangga. Lo bikin hari mereka lebih hidup. Nggak ada yang pernah lupa sama lo. Malu? Itu cuma bagian dari proses. Lo malah bisa lebih terkenal sekarang!”
Toni tertawa lemah. “Terkenal karena apa? Foto tidur gue ada di layar kelas. Orang-orang pasti ngerasa malu liat gue.”
“Bro, itu tuh sebenarnya kemajuan. Lo nggak tahu betapa susahnya bikin orang ketawa. Lo udah jadi bahan tertawa yang paling seru, dan itu lebih berharga daripada apapun.”
Toni terdiam sejenak, merenung. Mungkin bener juga. Hari itu memang membuat dia malu, tapi dia juga sadar kalau hidup ini kadang memang nggak harus selalu serius. Tertawa bersama teman-teman dan menghadapi kekonyolan adalah bagian dari perjalanan.
“Yaudah deh,” kata Toni akhirnya. “Gue anggap aja gue lagi latihan jadi bahan tawa yang profesional.”
Jarwo tertawa keras. “Tuh kan! Itu dia, bro. Lo udah jadi lebih kuat. Gue yakin banget, mulai besok lo bakal lebih siap, lebih percaya diri, dan lebih santai lagi. Nggak ada yang bisa ngebuat lo takut lagi.”
Pagi harinya, Toni merasa agak lebih ringan saat masuk kelas. Meski masih ada bisikan dan tawa kecil saat dia lewat, kali ini dia nggak merasa begitu canggung. Malah, dia merasa cukup bangga karena bisa menghadapi semua itu. Siapa lagi yang bisa bikin orang ketawa segitunya?
Pak Guntur mengangkat topik lain di kelas, tapi kali ini, di balik tawa yang masih ada, Toni bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Semua orang mulai nyadar, bahkan dosen juga. Mereka menghargai keberanian dan keluwesan Toni, meskipun cara yang dia pilih memang nggak konvensional.
“Lo tahu, kan, bro,” kata Jarwo lewat pesan singkatnya. “Jangan takut dibilang konyol, selama lo bisa bikin orang tersenyum.”
Toni memandang layar ponselnya, lalu tersenyum sendiri. “Iya, gue tahu. Kadang, hidup itu nggak perlu terlalu dipikirin. Lebih baik tertawa dan nikmatin aja.”
Dan begitulah, Toni mulai menjalani hidup dengan lebih ringan. Meski nggak ada yang bisa menghapus kejadian memalukan itu, dia belajar untuk menerimanya dan melihat sisi lucu dari setiap kesalahan. Sekarang, dia nggak takut lagi menghadapi hal-hal yang nggak terduga, karena yang penting adalah—selama bisa tertawa, semuanya akan baik-baik saja.
Jadi, pelajaran dari cerpen ini, kadang hidup gak perlu terlalu serius. Tertawa itu penting, apalagi kalau kamu bisa bikin orang lain juga ketawa.
Gak ada yang lebih berharga dari bisa ngelewatin momen memalukan dan malah jadi lebih percaya diri. Kalau kamu bisa tertawa di tengah kekonyolan, itu artinya kamu udah menang. Jadi, jangan takut tampil aneh—kadang itu yang bikin kamu jadi yang paling keren di mata orang lain!


