Cerpen Lucu: Kekacauan Pelajaran Bahasa Indonesia di Kelas 9B yang Bikin Ngakak!

Posted on

Pernah nggak sih, ngerasa pelajaran Bahasa Indonesia itu gampang tapi kadang malah bikin otak muter-muter nggak jelas? Nah, di kelas 9B ini, bukannya fokus belajar, murid-muridnya malah sibuk bikin teori sendiri yang bikin guru mereka, Pak Drajat, nyaris pensiun dini karena stres!

Dari bikin kamus absurd sampai debat nggak masuk akal, semua ada di sini. Dijamin ngakak, tapi siapa tahu, kalian malah jadi makin paham Bahasa Indonesia dengan cara yang nggak biasa!

 

Cerpen Lucu

Tanda Baca dan Tanda-Tanda Kebosanan

Suasana kelas VIII-B siang itu lebih mirip dengan kebun binatang yang kehilangan pengawasnya. Ada yang selonjoran di kursi, ada yang menggambar di meja pakai pensil warna, dan ada juga yang adu gulat dengan penghapus papan tulis.

Di depan kelas, Pak Drajat berdiri dengan wajah pasrah. Ia sudah mengajar di sekolah ini selama hampir sepuluh tahun, tapi entah kenapa, setiap kali masuk ke kelas VIII-B, ia merasa umurnya berkurang lima tahun lebih cepat dari seharusnya.

Ia mengetukkan penghapus ke papan tulis tiga kali. “Anak-anak, hari ini kita belajar tentang tanda baca.”

Reaksi pertama yang didapatnya adalah dengkuran kecil dari Riang yang tertidur dengan posisi kepala menyender di jendela. Lalu, ada Juno yang menatap ke depan dengan mata berbinar—bukan karena semangat belajar, tapi karena ia baru menemukan bekas permen karet di bawah mejanya.

Pak Drajat menarik napas panjang. “Dengar, tanda baca itu penting. Kalau nggak ada tanda baca, kalimat bisa berubah maknanya. Bisa bikin orang salah paham.”

Juno langsung mengangkat tangan. “Pak, kalau kita salah paham di ujian, nilai kita bisa dimaafkan, nggak?”

“Bisa,” jawab Pak Drajat singkat.

“Serius, Pak?”

“Nggak.”

Kelas langsung tertawa. Bahkan Riang, yang tadinya tertidur, bangun hanya untuk ikut tertawa meskipun dia nggak paham apa yang lucu.

Pak Drajat menghela napas, lalu menuliskan dua kalimat di papan tulis:

  1. Ayo makan, Ayah!
  2. Ayo makan Ayah!

Setelah menulis, ia menoleh ke murid-muridnya. “Nah, lihat. Dua kalimat ini beda.”

Damar, yang sejak tadi sibuk corat-coret bukunya, akhirnya menatap papan. “Loh, Pak, kok serem yang kedua?”

“Karena nggak ada koma!” kata Pak Drajat sambil menunjuk papan tulis. “Kalau yang pertama, kita ngajak ayah makan. Kalau yang kedua, kita ngajak makan ayah kita.”

Kelas langsung heboh. Riang, yang masih setengah sadar, memegang perutnya. “Pak, aku jadi nggak laper.”

“Kenapa?” tanya Pak Drajat, mulai merasa tidak baik-baik saja.

“Soalnya takut aku yang dimakan,” jawabnya dengan polos.

Tawa kembali meledak. Pak Drajat menutup wajahnya dengan buku. Ia benar-benar harus sabar dengan kelas ini.

Reno, si ketua kelas, mengangkat tangan. “Pak, boleh aku coba nulis contoh lain?”

“Silakan,” jawab Pak Drajat, berharap Reno setidaknya memberikan contoh yang lebih serius.

Reno maju ke depan dan menulis:

Jangan diejek, teman-teman!
Jangan, diejek teman-teman!

Ia menoleh ke kelas dengan ekspresi bangga. “Tuh, Pak. Kalau yang pertama, kita ngelarang orang buat ngejek. Tapi yang kedua, kita malah nyuruh orang buat diejek.”

Kelas langsung tertawa lagi. Juno menepuk bahu Reno. “Hebat! Kamu jenius.”

Pak Drajat menghela napas panjang. “Baiklah, ada yang lain mau coba?”

Tiba-tiba, Gendis—gadis paling pendiam di kelas—mengangkat tangan. Semua langsung menoleh dengan kaget, karena biasanya Gendis lebih memilih jadi pendengar daripada ikut meramaikan kelas.

Ia maju ke depan dan menulis di papan tulis:

Pak Drajat, pintar sekali!
Pak, Drajat pintar sekali!

Pak Drajat berkedip beberapa kali. “Jadi kalau yang pertama, saya yang pintar…”

Juno menyeringai. “Kalau yang kedua, Pak, ada Drajat lain yang lebih pintar dari kamu.”

Kelas VIII-B kembali meledak dalam tawa. Bahkan Reno sampai harus berpegangan meja karena terlalu ngakak.

Pak Drajat pura-pura memegangi dada. “Kalian ini benar-benar nggak ada hormatnya ke guru, ya?”

Belum selesai dengan tawa mereka, bel tanda istirahat tiba-tiba berbunyi. Murid-murid langsung mengemasi barang dengan kecepatan luar biasa.

“Tunggu!” Pak Drajat buru-buru bicara sebelum mereka bubar. “PR kalian, buat satu kalimat dengan tanda baca yang bisa mengubah makna!”

“PR-nya serius, Pak?” tanya Riang yang sudah separuh jalan menuju pintu.

“Tentu saja!” jawab Pak Drajat dengan senyum penuh kemenangan.

Juno berbisik ke Damar sebelum keluar kelas. “Gimana kalau kita tulis: Tidak ada PR, anak-anak! dan Tidak, ada PR anak-anak!”

Damar ternganga. “Juno, kamu jenius.”

Pak Drajat yang masih di dalam kelas mendadak merasakan firasat buruk. Ia menatap pintu kelas yang sudah kosong, lalu menghela napas panjang.

Sepertinya, pelajaran tanda baca ini masih jauh dari selesai.

 

Ayo Makan, Ayah! atau Ayo Makan Ayah?

Keesokan harinya, kelas VIII-B masih sama ricuhnya. Begitu Pak Drajat masuk, ia mendapati sebagian murid sibuk berdiskusi dengan semangat yang mencurigakan. Beberapa menahan tawa, sementara yang lain mencoret-coret buku dengan ekspresi penuh kebanggaan.

Pak Drajat tahu persis apa penyebabnya: PR tanda baca yang ia berikan kemarin.

Ia meletakkan buku di meja dan menatap mereka dengan pandangan yang sudah pasrah sejak awal. “Baik, siapa yang mau membacakan PR-nya dulu?”

Juno, yang sudah tidak sabar, langsung mengangkat tangan. “Pak, aku dulu!”

Pak Drajat mengangguk. “Silakan.”

Juno berdiri dan membaca tulisannya dengan suara lantang:

“Budi, sakit jangan ditertawakan.”
“Budi sakit, jangan ditertawakan.”

Seisi kelas langsung meledak dalam tawa. Pak Drajat memijat pelipis. “Jadi maksudmu, kalau yang pertama, kita disuruh sakit dulu baru nggak boleh ketawa?”

Juno mengangguk penuh kebanggaan. “Betul, Pak. Makanya tanda baca itu penting!”

Pak Drajat menatap langit-langit, berusaha mencari kesabaran yang sepertinya sedang cuti hari ini.

“Baik, siapa lagi?” tanyanya dengan sisa semangat yang masih ada.

Damar mengangkat tangan. “Aku, Pak!” Ia lalu membaca tulisannya:

“Ibu, pergi belanja!”
“Ibu pergi, belanja!”

Sekali lagi, kelas tertawa. Pak Drajat menatapnya dengan mata setengah menyipit. “Jadi kalau pakai tanda seru, ibunya disuruh belanja. Tapi kalau tanpa tanda seru, ibunya pergi dulu, baru kita belanja?”

“Benar, Pak! Berarti kalau ibu nggak ada, kita bisa borong jajan sesuka hati.”

Kali ini, Pak Drajat nyaris membenturkan kepalanya ke papan tulis. “Astaga, Damar…”

Di pojokan kelas, Gendis yang biasanya diam, tiba-tiba mengangkat tangan.

Pak Drajat langsung menatapnya dengan harapan besar. “Silakan, Gendis.”

Gendis maju dan menulis di papan tulis:

“Suami, istri yang baik harus saling mengerti.”
“Suami istri, yang baik harus saling mengerti.”

Seisi kelas sempat terdiam, lalu tiba-tiba tawa mereka pecah lagi. Reno sampai hampir jatuh dari kursinya.

Pak Drajat menutup wajahnya dengan buku. “Jadi yang pertama itu menyindir suami, dan yang kedua itu pernyataan umum?”

Gendis mengangguk pelan.

Pak Drajat menarik napas panjang. “Anak-anak, ini kelas Bahasa Indonesia, bukan kelas komedi…”

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba kepala sekolah, Pak Hardi, muncul di pintu dengan ekspresi bingung. “Ada apa ini? Saya dengar dari ruang guru, kelas ini ribut sekali.”

Kelas mendadak hening.

Pak Drajat tersenyum canggung. “Oh, kami sedang belajar tentang pentingnya tanda baca, Pak.”

Pak Hardi menatap ke papan tulis yang penuh dengan contoh kalimat absurd. Lalu, ia mengangguk pelan. “Baiklah… lanjutkan.”

Begitu kepala sekolah pergi, kelas langsung meledak lagi dalam tawa tertahan.

Pak Drajat menatap mereka dengan ekspresi lelah. “Baiklah… siapa yang berikutnya?”

Reno mengangkat tangan, masih cekikikan. “Aku, Pak. Tapi ini agak serem.”

Pak Drajat menghela napas. “Coba bacakan.”

Reno membacakan dengan suara dramatis:

“Kita bunuh, jangan dibiarkan!”
“Kita, bunuh jangan dibiarkan!”

Pak Drajat langsung menatapnya dengan horor. “Astaga, Reno! Kamu bikin kalimat macam apa ini?”

Reno mengangkat bahu. “Kan sesuai pelajaran, Pak. Coba lihat, kalau tanpa koma, kita jadi psikopat. Kalau pakai koma, kita justru menyuruh untuk tidak membunuh.”

Seisi kelas sudah tak bisa menahan tawa lagi. Bahkan Pak Drajat, yang tadinya ingin memarahi Reno, akhirnya ikut tertawa kecil.

“Baiklah, cukup untuk hari ini,” katanya, mencoba mengendalikan situasi. “Tapi ingat, tanda baca itu penting. Jangan sampai salah pakai dan bikin orang salah paham.”

“Siap, Pak!” sahut mereka serempak.

Saat bel istirahat berbunyi, semua murid buru-buru keluar kelas.

Pak Drajat menatap papan tulis yang penuh dengan contoh kalimat aneh. Lalu, ia menghela napas panjang. “Kenapa aku merasa pelajaran ini malah makin bikin mereka semangat bercanda…”

Ia menatap pintu kelas yang mulai sepi, lalu tersenyum kecil.

Setidaknya, mereka belajar sesuatu hari ini—meskipun dengan cara yang sedikit… berbeda.

 

Saat Bahasa Membuat Guru Kehilangan Akal

Pak Drajat sudah siap menghadapi hari baru dengan murid-muridnya yang semakin kreatif dalam mencari celah untuk mengubah pelajaran menjadi ajang hiburan. Ia menarik napas panjang sebelum memasuki kelas.

Namun, begitu ia membuka pintu, ia langsung merasakan sesuatu yang tidak beres. Murid-muridnya tampak terlalu bersemangat. Lebih bersemangat dari biasanya.

Ia menyipitkan mata curiga. “Apa yang kalian rencanakan sekarang?”

Reno, Juno, Damar, dan yang lainnya saling berpandangan sebelum akhirnya Gendis dengan polos menjawab, “Kami sudah menyiapkan kejutan untuk Bapak.”

Pak Drajat mengangkat alis. “Kejutan?”

Reno berdiri dan menyerahkan sebuah kertas yang sudah penuh dengan tulisan. “Kami menulis puisi untuk Bapak!”

Pak Drajat sedikit terharu. Meskipun sering membuatnya pusing, ternyata mereka cukup perhatian juga. Ia mengambil kertas itu dan membaca keras-keras:

“Guruku Drajat, hatinya kuat
Dihajar murid tetap semangat
Walau pusing setiap hari
Tetap datang dan tak lari!”

Seisi kelas langsung tertawa, sementara Pak Drajat hanya bisa menatap puisi itu dengan ekspresi tidak percaya.

“Jadi… menurut kalian, aku dihajar tiap hari?” tanyanya.

Damar mengangguk polos. “Iya, Pak. Dihajar lelucon.”

Pak Drajat menghela napas panjang. “Baiklah, siapa lagi yang ingin membacakan puisi?”

Gendis maju dan membacakan puisinya dengan penuh perasaan:

“Pak Drajat guru Bahasa
Tiap hari kami tertawa
Walau sering buat kecewa
Tapi tetap tak menyerah”

Pak Drajat memijat pelipisnya. “Jadi menurutmu, aku sering kecewa?”

Juno ikut menimpali, “Kan wajar, Pak. Bapak tiap hari ngajarin kami, tapi yang masuk cuma setengah.”

“Setengah?”

Reno menyeringai. “Iya, Pak. Setengah masuk telinga kanan, setengah keluar telinga kiri.”

Seisi kelas langsung tertawa lagi.

Pak Drajat menatap mereka satu per satu. Ia tahu murid-muridnya tidak bermaksud jahat. Mereka memang unik… dan sedikit tidak bisa dikendalikan.

Ia akhirnya menghela napas. “Baik, kita lanjut ke materi berikutnya. Hari ini kita belajar tentang homonim, homofon, dan homograf.”

Murid-murid langsung bereaksi.

“Pak, itu nama-nama Power Rangers baru, ya?” seru Damar.

Pak Drajat menatapnya dengan ekspresi datar. “Bukan.”

Juno mengangguk-angguk. “Aku tahu, Pak! Itu pasti nama kembar tiga.”

Pak Drajat menarik napas dalam-dalam. “Dengar baik-baik. Homonim adalah kata yang sama, tapi maknanya beda. Contohnya: ‘bisa’ yang artinya mampu, dan ‘bisa’ yang artinya racun ular.”

Reno langsung mengangkat tangan. “Oh, berarti kalau aku bilang, ‘Aku bisa berlari karena minum bisa ular,’ itu termasuk homonim?”

Pak Drajat hampir tersedak napasnya sendiri. “Bukan begitu maksudnya!”

Seisi kelas kembali tertawa.

Ia mencoba melanjutkan. “Homofon adalah kata yang pengucapannya sama, tapi tulisannya beda, seperti ‘bang’ yang artinya kakak laki-laki, dan ‘bank’ tempat menyimpan uang.”

Juno mengangguk penuh pemahaman. “Berarti kalau aku bilang, ‘Aku pergi ke bang untuk menabung,’ itu salah, ya, Pak?”

Pak Drajat menutup matanya sebentar. “Sangat salah.”

“Terus homograf apa, Pak?” tanya Damar.

“Homograf adalah kata yang tulisannya sama, tapi cara membacanya beda. Contohnya ‘apel’ yang bisa berarti buah dan juga upacara.”

Reno tiba-tiba terkekeh. “Oh, berarti kalau aku bilang, ‘Aku makan apel di lapangan sekolah,’ orang bakal bingung?”

Pak Drajat menatapnya. “Kalau benar-benar ada yang makan apel saat apel sekolah, ya, bisa jadi.”

Seisi kelas kembali tertawa.

Pak Drajat akhirnya menyerah. “Baiklah, kita akhiri dulu. PR untuk besok: buatlah lima kalimat menggunakan homonim, homofon, dan homograf.”

Murid-murid mengerang kesal. “Pak, PR lagi?”

“Tentu saja.”

Reno berseru, “Pak, aku mau bikin PR dengan tanda baca yang seru lagi!”

Pak Drajat langsung menatapnya tajam. “Tolong jangan.”

Kelas pun kembali ricuh dengan tawa.

Di dalam hati, Pak Drajat sudah pasrah. Setidaknya, meskipun metode belajar mereka tidak biasa, murid-murid ini tetap belajar sesuatu.

 

Bahasa yang Menyatukan, Bukan Memisahkan

Hari itu, langit tampak mendung, seolah merasakan beban yang dipikul Pak Drajat dalam menghadapi murid-muridnya yang luar biasa kreatif dalam membuatnya kehilangan akal. Namun, ada sesuatu yang berbeda di kelas hari ini.

Saat Pak Drajat masuk ke ruangan, tidak ada suara riuh seperti biasanya. Murid-muridnya duduk dengan wajah serius, seperti sekelompok orang yang baru saja menerima wangsit dari langit.

Pak Drajat menyipitkan mata curiga. “Kenapa hening begini? Kalian habis nonton film sedih, ya?”

Reno menggeleng. “Bukan, Pak. Kami sadar sesuatu.”

Pak Drajat menaikkan alis. “Oh? Apa itu?”

Damar mengambil napas dalam-dalam. “Kami sadar kalau selama ini, kami terlalu sering bikin Bapak pusing. Kami sering bikin lelucon dari pelajaran Bapak, dan mungkin Bapak merasa tidak dihargai.”

Pak Drajat tercengang. Ini pertama kalinya ia melihat mereka begitu reflektif.

Juno mengangguk serius. “Jadi, Pak… kami mau memperbaikinya.”

Pak Drajat mulai tersentuh. “Wah, anak-anak… ternyata kalian—”

“Kami memutuskan untuk membuat kamus sendiri, Pak!” potong Reno dengan semangat.

Pak Drajat menatapnya bingung. “Kamus?”

Gendis mengangguk sambil mengangkat sebuah buku tebal. “Iya, Pak! Kami buat daftar kata-kata baru yang lebih gampang dipahami supaya belajar Bahasa Indonesia lebih seru!”

Pak Drajat mengambil buku itu dan membaca halaman pertama:

Kamus Bahasa Indonesia Ala Kelas 9B

  1. Homonim: Kata yang mukanya sama, hatinya beda.
  2. Homofon: Kata yang suaranya sama, gayanya beda.
  3. Homograf: Kata yang bajunya sama, cara pakainya beda.

Pak Drajat hampir jatuh dari kursinya.

“Anak-anak…” Ia memijat pelipisnya, menahan tawa dan pasrah dalam waktu bersamaan. “Ini… ini sangat kreatif.”

Damar berseru, “Jadi, Bapak setuju, kan?”

Pak Drajat menggeleng sambil tertawa. “Aku tidak bisa bilang ini benar secara akademis, tapi setidaknya kalian sudah belajar sesuatu dengan cara kalian sendiri.”

Gendis tersenyum bangga. “Berarti kamus ini boleh dipakai, ya, Pak?”

Pak Drajat menutup buku itu perlahan. “Kalau kalian menggunakannya untuk bercanda, silakan. Tapi kalau untuk ujian, jangan harap aku akan menerimanya.”

Seisi kelas tertawa puas.

Reno berseru, “Yes! Berarti misi kita berhasil!”

Pak Drajat tersenyum tipis. Meskipun kadang murid-murid ini membuatnya ingin menyerah, ia sadar satu hal: mereka mencintai Bahasa Indonesia dengan cara mereka sendiri. Dan mungkin, itulah yang terpenting.

Kelas hari itu berakhir dengan tawa, bukan sekadar sebagai pelajaran, tapi sebagai pengingat bahwa belajar bisa dilakukan dengan cara yang menyenangkan.

 

Dan begitulah, kelas 9B berhasil bikin sejarah baru dalam dunia pendidikan… atau lebih tepatnya, sejarah baru dalam bikin gurunya hampir menyerah. Tapi ya, setidaknya mereka belajar dengan caranya sendiri, kan?

Yang penting ilmunya masuk, walaupun lewat jalan yang belok-belok kayak tikungan tajam. Jadi, kalau besok ketemu pelajaran Bahasa Indonesia yang bikin bingung, ingatlah… mungkin kalian cuma butuh cara belajar yang lebih santai—asal jangan kayak 9B aja, nanti gurunya kasihan!

Leave a Reply