Cerpen Lucu Hari Kemerdekaan: Perlombaan Kocak yang Berakhir Tak Terduga!

Posted on

Hari kemerdekaan tuh selalu identik sama lomba-lomba seru, mulai dari makan kerupuk sampe panjat pinang yang bikin orang ketawa sambil deg-degan. Tapi, pernah kepikiran nggak kalau lomba-lomba ini bisa berujung kocak, absurd, dan nggak sesuai ekspektasi?

Nah, di kampung ini, setiap tahun perayaan 17 Agustus selalu penuh kejutan. Dari orang yang kena oli sampai hadiah yang ternyata… ah, pokoknya baca aja deh! Siap-siap ngakak dan tepuk jidat bareng!

 

Cerpen Lucu Hari Kemerdekaan

Kerupuk Terbang dan Harapan yang Kandas

Di bawah langit biru yang dihiasi bendera merah putih berkibar, warga Kampung Banyu Asin sudah berkumpul di lapangan. Hari ini spesial, bukan hanya karena ini perayaan kemerdekaan, tapi juga karena semua orang mengincar hadiah misterius yang konon katanya “sangat berharga.”

Pak RT Joyo, dengan suara khasnya yang lantang, berdiri di tengah lapangan sambil memegang megafon.

“Baik, warga-warga sekalian! Kita mulai perlombaan pertama! Lomba makan kerupuk!” teriaknya.

Sorak-sorai langsung menggema. Kerupuk-kerupuk sudah digantung dengan tali rafia di sepanjang lapangan. Angin sepoi-sepoi sesekali membuatnya bergoyang, seolah-olah menantang para peserta yang sudah berdiri dengan tangan di belakang, wajah siap tempur.

Di barisan depan, Gogon, yang terkenal dengan rekor makan terbanyak saat pengajian, tampak memanaskan rahangnya. Di sebelahnya, Mbak Yati berdiri dengan penuh percaya diri, sementara Mas Beben, suaminya, sibuk menguap.

“Tenang aja, aku udah latihan di rumah,” ujar Mbak Yati dengan nada sombong.

“Lah, makan kerupuk doang kok latihan?” Mas Beben melirik istrinya heran.

“Kulkas itu milik kita, Mas. Aku gak mau dapur kita bau amis lagi karena ikan dibiarkan di udara terbuka,” kata Mbak Yati penuh tekad.

Peluit dibunyikan!

Peserta langsung bergerak maju, menjulurkan leher mereka ke arah kerupuk. Tapi di detik pertama, masalah sudah muncul: angin datang dengan semangat juang 45.

Kerupuk-kerupuk itu bergoyang liar seperti pocong kedinginan.

Gogon mencoba mengimbangi gerakan kerupuk dengan kepalanya. “Sini, kerupuk! Jangan kabur!” teriaknya, mengatup-ngatupkan giginya ke udara kosong.

Di sebelahnya, Mbak Yati mengembangkan strategi lain. Ia berdiri diam, membiarkan angin meniup kerupuk ke arahnya. Awalnya, ini terlihat seperti taktik yang cerdas, sampai angin mendadak bertiup ke arah berlawanan, dan kerupuk malah nyangsang di kepala Mas Beben.

“Aduh, apa-apaan ini!” Mas Beben mengibaskan kepalanya, panik.

Gogon, yang melihat peluang, langsung maju dengan ekspresi lapar. “Beben, diem! Itu targetku!”

Belum sempat Gogon menggigit, Mas Beben refleks menampar kepalanya sendiri, membuat kerupuk itu mental jauh… ke dalam jurang kecil di tepi lapangan.

Seketika, suasana hening.

Mbak Yati melongo. “KERUPUKKU! ITU TIKET KITA BUAT DAPET KULKAS!”

Gogon menghela napas panjang, menatap kosong ke arah jurang. “Ya Allah, kenapa rezeki harus seberat ini?”

Di sisi lain, Ucup, yang baru saja menyelesaikan gigitannya dengan sukses, bersorak kegirangan. “Menang! Aku menang!”

Pak RT mengangkat tangan. “Juara pertama, Ucup!”

Mbak Yati langsung lemas. “Ya ampun, Mas… dapur kita bakal bau amis selamanya.”

Mas Beben hanya bisa menepuk bahu istrinya. Sementara itu, Gogon masih menatap kosong ke arah jurang, merenungi nasibnya.

“Udah, Gon,” kata Ucup, menyenggol bahunya. “Masih ada balap karung. Mungkin rezekimu di sana.”

Gogon menarik napas panjang, mengumpulkan semangatnya kembali. “Iya… kali ini aku harus menang!”

Dan dengan itu, mereka bersiap menghadapi lomba berikutnya… yang ternyata jauh lebih kacau daripada yang mereka duga.

 

Balap Karung dan Helm Keberuntungan

Setelah kegagalan epik di lomba makan kerupuk, Gogon tidak mau menyerah. Ia bertekad untuk menang di balap karung. Matanya menatap lurus ke depan, penuh ambisi. Mbak Yati yang masih kecewa dengan kehilangan kulkas hanya bisa mengelus dada, sementara Mas Beben sudah pasrah dengan nasib dapurnya.

“Baik, warga sekalian! Sekarang kita masuk ke lomba kedua! Balap karung!” teriak Pak RT Joyo dengan megafonnya.

Para peserta mulai masuk ke dalam karung mereka masing-masing. Gogon, Ucup, Mas Beben, dan beberapa warga lain sudah siap di garis start. Tapi tiba-tiba, dari kejauhan, datang sosok yang tidak diduga-duga: Mbah Surip, kakek paling semangat di kampung, ikut mendaftar.

“Aku masih kuat! Jangan remehkan lansia!” serunya sambil menarik celana kolornya yang kedodoran.

Gogon melirik Ucup. “Eh, ini aman nggak sih? Jangan sampai nanti ada yang malah minta dipanggil ambulans.”

Ucup mengangkat bahu. “Bodo amat. Yang penting menang.”

Pak RT meniup peluit. “Siap… Satu, dua, tigaa—MULAI!”

Semua peserta langsung melompat-lompat dengan karungnya. Gogon melesat cepat, tapi baru tiga kali loncatan, ia langsung salah mendarat.

“BRAK!”

Gogon jatuh dengan pose sempurna seperti ikan lele dilempar ke lantai.

Ucup melewatinya sambil tertawa. “Woi, hati-hati!”

Sementara itu, Mbah Surip mengejutkan semua orang. Ia melompat dengan teknik aneh, seperti katak bertenaga jet. Bahkan Mas Beben yang tadinya malas-malasan mulai merasa terancam.

“Apa-apaan ini?!” teriak Mas Beben, berusaha mengejar.

Sayangnya, nasib buruk menimpanya. Saat hendak melompat lebih tinggi, celana kolornya tersangkut di karung. Ia kehilangan keseimbangan dan jatuh berguling-guling seperti donat menggelinding.

“ADUHHH!”

Mbak Yati yang menonton dari pinggir lapangan menutup mata. “Ya Allah, Mas… kok bikin malu keluarga terus sih?”

Gogon yang baru saja bangkit, melihat kejadian itu, langsung tertawa keras. Tapi tawa itu tidak berlangsung lama karena Ucup sudah mendekati garis finis.

“ASTAGA! AKU HARUS MENANG!”

Dengan semangat juang yang tersisa, Gogon mengeluarkan strategi terhebatnya: Lompat Superman.

Ia mengayunkan tubuhnya ke depan dan melompat sekuat tenaga—tetapi sayangnya, karena terlalu bersemangat, ia malah jatuh berguling-guling lebih cepat dari Mas Beben. Karungnya melilit tubuhnya seperti kepompong, dan ia terus berguling sampai akhirnya…

DUG!

Ia mendarat tepat di depan garis finis!

Pak RT terdiam sejenak, lalu berteriak, “Pemenangnya… GOGON!”

Sorak-sorai menggema di seluruh lapangan. Gogon masih bingung, kepalanya pusing karena kebanyakan muter.

“AKU MENANG?!”

Ucup protes. “Eh, curang! Dia jatuh, bukan melompat!”

Pak RT hanya mengangkat bahu. “Lomba balap karung, bukan cara balap karung yang penting!”

Gogon melonjak kegirangan. “Yes! Aku menang!”

Tapi kebahagiaannya langsung buyar saat melihat hadiahnya: helm motor warna pink dengan gambar kelinci.

Mbak Yati menahan tawa. “Gogon, kamu menang… buat jadi anggota geng motor Barbie?”

Gogon mengelus wajahnya. Ia ingin protes, tapi melihat Ucup yang cemberut karena kalah, ia memilih menerima takdirnya.

“Ya udahlah. Helm ini bakal jadi simbol perjuanganku!”

Mereka pun bersiap untuk lomba berikutnya—yang lebih menantang, lebih mendebarkan, dan pastinya lebih konyol: Panjat Pinang!

 

Panjat Pinang dan Aksi Akrobat Si Udin

Di tengah lapangan, berdiri dengan gagahnya sebuah tiang setinggi lima meter, dilumuri oli licin mengkilap, dengan hadiah-hadiah menggantung di puncaknya. Ada berbagai macam barang: tas, kipas angin, uang tunai, bahkan misteri kotak hadiah super eksklusif.

“Baik, peserta panjat pinang sudah siap?!” teriak Pak RT.

Beberapa peserta termasuk Gogon, Ucup, Mas Beben, dan… Udin, si manusia setengah akrobat. Udin terkenal sebagai tukang parkir yang sering melakukan salto tanpa alasan jelas.

“Strateginya gampang,” kata Gogon serius. “Kita harus kerja sama. Yang paling berat di bawah, yang paling ringan di atas.”

Ucup langsung menunjuk Udin. “Berarti kamu di atas!”

Udin menyeringai. “Jangan khawatir. Aku sudah siap mental dan fisik.”

Mereka membentuk piramida manusia. Mas Beben di paling bawah, diikuti Ucup dan Gogon, lalu Udin di puncak. Perlahan, mereka mulai naik. Tapi tantangan sebenarnya baru dimulai…

“WOII LICIN AMAT!!” Gogon hampir terpeleset.

Mas Beben yang jadi pondasi juga mulai oleng. “Cepetan naik! Aku gak kuat lama-lama!”

Udin, yang sudah hampir mencapai puncak, melihat hadiahnya. Ia langsung membidik satu target: Kotak hadiah misterius.

“OKE, AKU AMBIL KOTAKNYA!”

Ia melompat…

Namun di saat yang bersamaan, Mas Beben kehilangan keseimbangan.

“ASTAGAAA!!!”

Piramida manusia itu ambruk.

Udin, yang sudah melayang di udara, malah refleks melakukan salto. Entah bagaimana caranya, ia mendarat dengan posisi sempurna—di atas kepala Pak RT.

BRAK!

Pak RT terdiam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Sementara itu, kotak hadiah misterius jatuh tepat ke tangan Ucup.

Ucup berteriak, “AKU DAPET KOTAKNYA!!”

Gogon langsung bangkit dengan cepat. “Cepet buka! Isinya apa?!”

Ucup membuka kotaknya dengan penuh harapan… dan menemukan…

SABUN BUAH-BUAHAN AROMA JERUK.

Semua peserta terdiam.

Gogon mengelus wajahnya. “Serius… kita bertarung mati-matian… buat sabun?”

Pak RT mengangkat tangan. “Baiklah, mari kita lanjutkan ke lomba terakhir! Hadiahnya paling besar!”

Semua peserta langsung bersemangat lagi. Lomba terakhir ini adalah puncak dari segalanya… dan mereka harus menang.

 

Kulkas Impian yang Menipu Harapan!

Lomba terakhir akhirnya tiba. Semua mata tertuju ke satu hadiah utama yang paling diidam-idamkan: kulkas dua pintu dengan fitur dispenser air dingin.

Mbak Yati sudah bersiap dengan muka penuh harap. “Mas, kalau kita menang, kita bisa simpen es batu buat es teh setiap hari!”

Mas Beben mengangguk penuh semangat. “Iya! Kita harus menang!”

Gogon, Ucup, dan Udin juga tidak mau kalah. Setelah perjuangan panjang, mereka tidak bisa membiarkan kesempatan ini hilang begitu saja.

Pak RT mengambil mikrofon. “Baik, warga sekalian! Lomba terakhir adalah… Tarik Tambang Berjuta Harapan!”

Sorak-sorai menggema di lapangan. Dua tim dibentuk. Tim pertama terdiri dari Gogon, Ucup, Mas Beben, dan Mbah Surip. Tim kedua adalah warga kampung seberang yang dikenal sebagai Tim Otot Kawat Tulang Besi.

Gogon menelan ludah. “Eh… kok lawannya serem semua?”

Di seberang, ada Kang Darman, tukang bangunan yang bisa angkat karung semen dengan satu tangan. Lalu ada Bang Ujang, mantan atlet gulat, dan Pak Broto, ketua RT kampung sebelah yang kalau marah suaranya kayak sirine ambulans.

“Yah, kita mati,” bisik Ucup.

Pak RT meniup peluit. “SIAP! SATU… DUA… TIGA… TARIIIIK!!!”

Pertandingan dimulai!

Tali tambang menegang. Kedua tim mulai menarik sekuat tenaga. Tim Gogon sudah mengeluarkan seluruh tenaga dalam yang tersisa, tapi tali tetap bergeser ke arah lawan.

“Kuatkan! Ayo! Tarik!” teriak Mas Beben.

Tapi Tim Otot Kawat Tulang Besi memang bukan lawan biasa. Mereka menarik dengan kekuatan super, sampai tim Gogon mulai kehilangan keseimbangan.

Tiba-tiba, di tengah perjuangan yang hampir mustahil, Mbah Surip berteriak, “AKU PUNYA IDE!”

Ia langsung mengeluarkan minyak kayu putih dari sakunya dan mengoleskannya ke tali tambang.

Seketika, lawan mulai terganggu.

“Aduh! Perih kena mata!” teriak Kang Darman.

“Hidung gue kepedesan!” Bang Ujang mulai bersin-bersin.

Tim Gogon melihat celah ini. “SEKARANG TARIK SEKUATNYA!”

Dengan kekuatan terakhir yang mereka punya, Gogon dan kawan-kawan menarik tambang sekuat tenaga…

DUAAARR!

Tim lawan jatuh bergelimpangan. Tambang berpihak ke tim Gogon!

Pak RT langsung meniup peluit. “Pemenangnya adalah… TIM GOGON!!”

Lapangan meledak dengan sorakan kemenangan. Gogon melompat kegirangan. Ucup hampir menangis. Mas Beben memeluk Mbak Yati.

“Kita menang! KITA MENANG!”

Hadiah utama pun diberikan: kulkas impian.

Mbak Yati segera memeriksa kulkasnya dengan wajah berbinar-binar. “Akhirnya kita punya kulkas baru!”

Tapi begitu pintu kulkas dibuka, semua langsung terdiam.

Isinya bukan rak-rak biasa. Tidak ada tempat buat menyimpan es batu atau dispenser air dingin.

Sebaliknya…

Isinya hanyalah rak sepatu.

Gogon membaca tulisan kecil di sudut kulkas: “MODEL REPLIKA UNTUK DISPLAY TOKO. TIDAK BISA DIGUNAKAN SEBAGAI KULKAS SEBENARNYA.”

Wajah Mas Beben langsung pucat. “INI KULKAS… ATAU LEMARI SEPATU?!”

Pak RT ikut membaca tulisan itu dan tertawa kecil. “Oh, iya. Ini kulkas display dari toko elektronik. Mungkin salah ambil hadiah.”

Semua warga langsung terdiam.

Gogon menarik napas dalam-dalam. “Jadi kita capek-capek, jatuh bangun, kena oli, diguyur tepung, kalah makan kerupuk, menang lomba tapi dapat helm pink, nyaris patah tulang di panjat pinang… buat dapet KULKAS BOHONGAN?!”

Semua mulai tertawa. Satu per satu, orang-orang di lapangan terpingkal-pingkal. Bahkan Mas Beben yang awalnya mau protes, akhirnya ikut ngakak.

Ucup mengelus dagunya. “Yah, setidaknya kita punya lemari sepatu paling mahal di kampung.”

Mbah Surip menepuk bahu Gogon. “Yang penting bukan hadiahnya, Nak. Tapi tawa dan kebahagiaan yang kita dapat hari ini!”

Gogon mendesah. “Iya sih… tapi kalau besok ada lomba lagi, aku mending jualan es teh aja.”

Tawa semakin pecah. Hari kemerdekaan itu mungkin tidak memberikan hadiah sesuai harapan, tapi mereka mendapatkan sesuatu yang lebih berharga: kenangan kocak yang akan dikenang seumur hidup.

 

Jadi, intinya bukan soal menang atau kalah, bukan juga soal hadiah yang bisa bikin orang auto tepuk jidat. Yang penting dari 17 Agustus itu adalah tawa, kebersamaan, dan cerita kocak yang bakal dikenang bertahun-tahun. Kulkas jadi lemari sepatu? Nggak masalah. Yang penting semua bisa ketawa bareng. Sampai ketemu di lomba tahun depan—siapa tahu hadiahnya beneran kulkas asli?

Leave a Reply