Daftar Isi
Nggak ada yang lebih lucu daripada dua mahasiswa yang coba bertahan hidup di dunia kampus, apalagi kalau urusannya udah mulai berat dan penuh tekanan.
Tugas-tugas yang seolah nggak ada habisnya, dosen yang nggak pernah ngerti, dan yang paling seru—cara mereka ngadepin semua itu dengan ketawa aja. Nah, cerpen ini bakal ngasih lo sedikit gambaran gimana rasanya jadi mahasiswa yang ngga bisa serius-serius banget, tapi tetep bisa bertahan hidup, karena ya… ketawa itu obat paling ampuh.
Tugas Berat, Ketawa Gila!
Keajaiban Tugas Kelompok
Kantin kampus pagi itu seperti biasa: ramai, berisik, dan penuh dengan mahasiswa yang lebih banyak berbicara tentang cuaca dan weekend daripada tugas yang harus diselesaikan. Di sudut, ada dua sosok yang duduk dengan ekspresi yang bisa dibilang antara bingung dan putus asa. Nando dan Bram, dua mahasiswa yang tak pernah merasa cukup beruntung.
Nando duduk tegak, menatap langit-langit kantin yang sudah mulai tampak usang. Tangannya memegang segelas air mineral yang sebenarnya dia pesankan buat mengusir kantuk. Tapi, entah kenapa, semakin dia minum, semakin berat matanya.
Bram, di sebelahnya, sudah memeluk laptopnya yang tergeletak di atas meja. Jari-jarinya menari di atas keyboard, tapi tanpa arah yang jelas. Setiap kali menekan tombol, dia hanya akan mengembalikan pandangannya ke layar yang hampa, lalu beralih ke jendela kantin, memperhatikan orang-orang berlalu-lalang sambil berharap bisa menemukan jawaban dalam kerumunan itu.
“Aku nggak ngerti deh, Bram,” kata Nando, suaranya lemas. “Kita ngapain sih, nih? Kita baru dapet tugas, tapi rasanya kayak udah setahun ngerjainnya.”
Bram mengangguk pelan, seolah mengerti perasaan Nando. “Iya, kan? Rasanya kayak kita udah masuk ke dunia paralel di mana tugas itu nggak ada habisnya.”
Nando menyandarkan tubuhnya ke kursi, meremas-remas rambut yang sudah mulai panjang. “Aku nggak pernah ngerasa gini waktu SMA, bro. Tugas cuma sebentar, selesai, udah. Tapi ini… ini udah hampir seminggu, dan kita baru ngetik satu baris.”
“Betul. Seharusnya kita bisa jadi juara tugas kalo ini lomba.” Bram tertawa lelah, matanya tetap terpaku ke layar laptop. “Satu baris tugas, satu minggu. Kita bakal masuk sejarah.”
“Setidaknya kita bikin sejarah meskipun gagal.”
“Ya, sejarah kegagalan yang monumental.”
Tapi Nando tak merasa bisa tertawa lama. Matanya mulai memerah, dan dia menyandarkan kepalanya ke meja. “Gila, Bram, aku stress. Tugas ini nggak cuma nuntut otak, tapi nyedot energi gue juga.”
“Ya udah, kita ambil langkah besar,” kata Bram dengan nada serius, tapi ada senyum di ujung kalimatnya. “Kita mulai aja dengan membaca soal tugasnya.”
Nando menoleh, penasaran. “Maksud kamu?”
“Kita lihat dulu, bro. Siapa tau kita punya harapan.” Bram membuka file tugas yang berisi beberapa kalimat panjang tentang analisis data yang rumit.
Mereka berdua melotot membaca kalimat pertama yang muncul di layar. “Lakukan analisis mendalam terhadap data berikut…”
“Analisis mendalam apaan, coba? Kita nggak punya data, bro. Yang kita punya cuma laptop dan kopi!” Nando hampir berteriak, tapi dia menahan diri.
“Yaudah, coba kita bikin data dulu. Kan kita bisa kok kayak di film-film, nyiptain data.” Bram sudah mulai setengah serius, meski dia tahu betul itu cuma candaan.
Nando cuma menghela napas panjang. “Mau bikin data apa, Bram? Kita cuma ada duit buat beli kopi sama mie instan. Apa bisa jadi data?”
“Ya udah, jangan terlalu dipikirin. Kita buat aja apa yang kita tahu.” Bram mulai mengetik, dan Nando menunduk, melihat layar yang berisi kalimat kosong.
Lima menit berlalu tanpa suara, kecuali suara klik-klikan dari tombol keyboard. Nando membuka mulutnya. “Gimana kalau kita copas aja? Kan gampang.”
Bram melirik sekilas ke arah Nando. “Copas? Serius?”
“Ya iya, kalau nggak copas, kita nggak akan selesai-selesai. Paling nanti dosen cuma ngelihat judulnya doang, abis itu udah.” Nando melirik Bram dengan pandangan penuh harapan.
Bram mengangguk pelan, terlihat ragu. “Tapi, kalau ketahuan, kita bisa dikeluarin dari kampus, bro. Masa depan hancur.”
“Kamu udah pernah liat dosen kita kan?” Nando mulai yakin dengan idenya. “Dia bakal ngeliat kita dan langsung lupa tugas kita. Yang penting tugas terkumpul. Kan kita bukan cuma mahasiswa biasa, kita mahasiswa yang pintar dalam cara tertentu.”
Bram terkekeh. “Pintar dalam cara yang paling tidak bijaksana.”
Mereka berdua berhenti sejenak, hanya saling menatap dengan tatapan yang hampir sama—kelap-kelip ketakutan dan kebingungan yang saling bertemu di tengah udara yang tebal. Tugas ini seolah menelan mereka hidup-hidup.
“Aku gak sanggup, bro,” ujar Nando, sambil memiringkan tubuhnya. “Kita ini bukan orang-orang cerdas. Kita cuma manusia biasa yang berusaha bertahan.”
“Setidaknya kita bertahan sama-sama,” jawab Bram, menutup laptopnya dan menatap Nando dengan penuh arti.
Kemudian, mereka berdua tertawa lagi. Tertawa yang lebih tulus kali ini. Bukan karena lucu, tapi karena mereka sadar—mereka sedang menghadapai sesuatu yang jauh lebih besar daripada tugas.
Batal Drop Out, Masuk ke Dunia Copas
Tiga jam kemudian, keadaan di kantin sudah jauh lebih sepi. Mayoritas mahasiswa lain sudah kembali ke kelas, sementara Nando dan Bram masih bertahan di meja mereka yang berantakan, dengan segelas kopi dan beberapa bungkus mie instan. Layar laptop masih menyala, dan mereka sudah mulai menganggap tugas ini seperti hiburan yang tanpa sadar mereka ikuti.
“Bro, bro, bro,” Nando memanggil dengan suara setengah histeris. “Ini serius deh, ini serasa aku di dunia paralel. Kalau ini bukan copas, apa ya?”
Bram yang sedang menatap layar laptop, langsung berbalik. “Gimana maksudnya? Kamu mulai ngerasa aneh juga?”
“Anjir, ngerasa deh! Kita ini kayak dua orang yang masuk ke dalam ruang angkasa tanpa alat apapun. Nggak tahu tujuan, nggak tahu arah.”
“Terus sekarang gimana? Kita lakuin apa?” Bram menyeringai.
“Aku bilang tadi, kita copas aja. Kan udah tinggal klik-klik, udah jadi semua.”
“Tapi nggak gitu juga, Nando. Ini tugas loh, bukan mainan.”
Nando memiringkan tubuhnya, sambil menatap layar laptop dengan pandangan penuh curiga. “Tugas apa sih yang nggak ada mainannya? Bikin data, analisis ini, analisis itu… kita yang salah kalau nggak bisa ngeliatnya kayak mainan.”
Bram merenung sejenak. “Ya, sih, benar juga. Tapi ini soal nilai, bro. Masa kita udah turun sekeren ini, trus malah nyerah gitu aja?”
“Tapi kan, kalo kita nggak nyerah, kita malah bikin kita stres lebih lama.” Nando mulai menggerakkan jari-jarinya, mengetikkan beberapa kata acak ke dokumen tugas. “Nah, kayak gini. Sekarang, kita tinggal nunggu keberuntungan.”
Bram ngelirik Nando yang sedang serius mengetik, seolah-olah dia percaya kata-kata itu bisa membawa mereka keluar dari masalah. “Kamu yakin ini bakal lancar? Nggak bakal ada yang ketahuan?”
“Bram, kita ini mahasiswa. Kita nggak punya banyak pilihan.” Nando tertawa kecil. “Kalau kita ngelawan sistem, kita bakal hancur duluan.”
Bram mengerutkan kening, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar meja. “Ya udah deh, bro. Kita mulai aja.”
Akhirnya, mereka berdua memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan dengan cara mereka sendiri. Nando mengetikkan beberapa kalimat dari jurnal online, dan Bram memilih bagian dari tugas lain yang sudah ada di internet. Mereka merasa sedikit bersalah, tapi lebih banyak merasa lega bisa melanjutkan tugas tanpa tekanan.
Beberapa jam berlalu begitu saja. Meskipun mereka sudah hampir selesai, mereka tetap merasa aneh—entah karena mereka tahu apa yang mereka lakukan salah, atau karena mereka berhasil mengerjakan tugas dengan cara yang paling tidak biasa.
Bram berhenti sejenak dan menatap Nando. “Gimana kalo kita benerin sedikit-sedikit, biar nggak kelihatan jelas banget?”
Nando melihat layar laptop, lalu mengangguk. “Mending kita lanjut sampe selesai, baru dibenerin. Toh, yang penting, tugas kita terkumpul.”
Bram mengangguk, mulai menambahkan sedikit perubahan pada teks yang ada. “Kita mulai kerja kayak orang cerdas deh, dengan cara yang nggak cerdas.”
Beberapa detik kemudian, laptop Nando bergetar, dan dia melirik ke layar. “Udah selesai, Bram. Kita udah ngirim.”
Bram menatap layar laptop yang berisi konfirmasi pengumpulan tugas. “Kita udah ngirim tugas, bro… dan aku rasa kita bakal ketemu lagi sama dosen yang bakal mikir ini semuanya bener.”
Nando menepuk meja dan tertawa keras. “Betul! Aku yakin dia bakal ngelihat tugas kita dan ngerasa bingung, tapi nggak sadar kalo itu semua copas.”
Bram ikut tertawa, meski masih ada keraguan di hatinya. “Kita bakal jadi legenda di kampus ini, bro.”
“Legenda pecundang yang berhasil ngumpulin tugas tanpa ngerjain apa-apa,” jawab Nando sambil tertawa terbahak. “Tapi yaudahlah, kita harus tetep lanjut. Apa mau kita jadi mahasiswa yang lebih parah dari ini?”
“Jangan,” jawab Bram. “Aku nggak bisa lebih buruk dari ini.”
Dan begitulah, mereka mengakhiri tugas kelompok yang tidak pernah mereka anggap serius. Mungkin mereka belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti: mereka sudah berhasil mengalahkan rasa takutnya dengan cara yang paling unik yang bisa mereka temukan. Tugas sudah terkumpul, dan dunia kampus mereka belum hancur—untuk sekarang.
Rencana Gagal, Lelah Bersama
Hari itu terasa berbeda. Seperti ada yang aneh di udara kampus, meskipun cuaca di luar tetap sama—panas, terik, dan penuh dengan rasa malas. Bram dan Nando duduk di bangku kantin yang sama, tapi kali ini ada sesuatu yang tidak mereka rasakan sebelumnya. Mungkin karena tugas yang sudah selesai, atau mungkin karena ada rasa takut yang mulai merayap di pikiran mereka.
“Bro, kamu nggak ngerasa ada yang aneh?” tanya Nando, menyuapkan mie instan yang sudah dingin ke mulutnya, sambil menatap Bram yang sedang menatap layar ponsel dengan serius.
Bram mengangkat kepala. “Apa yang aneh? Kita baru aja ngumpulin tugas yang cuma ada di alam mimpi, bro. Harusnya seneng dong.”
Nando menggulung mie instan, matanya penuh dengan keraguan. “Ya, tapi aku kayak ngerasa… ada yang nggak bener. Kayak ada suara dosen yang bakal keluar dari layar laptop kita dan bilang, ‘Ini tugas kalian?'”
Bram tertawa kecut. “Jangan paranoid, Nando. Kita udah selesai, udah ngumpulin. Udah gitu, mereka nggak bakal ngecek semuanya. Tugas itu cuma formalitas.”
“Formalitas yang bikin kita parno setengah mati,” Nando menghela napas dan mengangkat gelas kopi. “Ini nggak bener, Bram. Kita kayak dua orang yang ngejatuhin bom dan berharap nggak meledak.”
Bram menatap gelas kopinya sejenak. “Iya, sih. Tapi… kita udah bertahan sejauh ini. Kalau misalnya ada yang tahu, ya udah lah. Tugas selesai, kita terus hidup. Itu aja yang penting.”
“Ya, tapi aku tetap nggak bisa tenang, bro.” Nando menaruh gelasnya di meja dengan suara berderit, menyandarkan punggung ke kursi. “Tugas yang kita kerjain kayak gini, pasti ada konsekuensinya. Nggak mungkin dosen nggak tahu.”
Bram menggigit bibir bawahnya, merasa sedikit was-was. “Kamu gak usah khawatir. Kalo ada yang tau, kita tinggal ngomong aja, kita udah capek. Emang kita harus ngapain lagi?”
“Ngomong gampang, Bram. Kamu pikir dosen bakal terima alasan itu?” Nando memutar mata. “Kita udah coba nyantai, tapi ini malah nambah beban, bro.”
Beberapa detik, mereka duduk terdiam. Masing-masing tenggelam dalam pemikiran, saling berbagi kecemasan yang tersembunyi dalam diam. Sesekali, suara ketawa dan percakapan dari meja lain menyentak mereka kembali ke kenyataan.
Bram akhirnya membanting ponselnya ke meja dengan keras. “Gini aja, Nando. Kita lupakan dulu tugas itu. Udah beres. Sekarang, kita fokus ke hidup kita yang lebih santai. Kita kan nggak bakal mikirin tugas terus-menerus. Besok, kita bakal ngerasain kebebasan.”
Nando menatap Bram dengan tatapan lelah. “Ya, tapi bebas dari apa? Bebas dari kerjaan yang lebih besar? Bebas dari tanggung jawab?”
“Aduh, Nando… kamu ini kenapa sih? Gue bilang udah beres, yaudah biarin aja. Kalau dosen nggak nanya, kita nggak perlu ngerasa bersalah,” jawab Bram, sedikit jengkel.
Nando melipat tangan di dada. “Tapi kalau dosen ngeliat kita, dia bakal tanya, kan? Pasti dia lihat sesuatu yang nggak sesuai sama apa yang dia mau.”
Bram mulai merasa kebingungan. “Jadi, kita mau nyerah gitu aja? Coba kita tunggu aja, bro. Kalau ada masalah, kita bisa bareng-bareng selesainnya.”
“Tunggu aja?” Nando merengut. “Gimana kalau dosen kita udah liat langsung hasil tugas kita dan bilang, ‘Ini plagiat!’?”
“Kita bakal ngomong, kita ngga ngerti apa-apa. Kita bingung juga dengan tugas yang diprint ini,” kata Bram, mencoba menenangkan. “Paling juga dia cuma bakal ngeh, kalau ini bukan karya kita. Tapi siapa yang peduli?”
Nando mengangkat bahu. “Iya, ya. Kita udah berjuang sampai sejauh ini.”
Tapi saat Bram dan Nando memutuskan untuk melanjutkan hidup mereka dengan lebih santai, tak terduga sebuah pesan masuk ke ponsel Nando. Tiba-tiba, layar ponselnya menampilkan nama dosen mereka.
“Aduh,” kata Nando dengan cemas. “Ini dia. Waktunya.”
Bram menatap layar ponsel Nando. “Apa katanya?”
Nando membuka pesan itu, dan dengan perlahan dia membaca. “Tugas kalian udah saya terima… tapi ada beberapa yang perlu diperbaiki. Nanti kita bahas di kelas.”
Bram menunduk. “Gue bilang apa? Kita bakal kena masalah.”
Nando cuma menghela napas. “Ya sudah, kita lihat aja nanti.”
Mereka terdiam sesaat, saling berbagi tatapan yang mengandung makna yang sama: takut. Tapi, di dalam ketakutan itu, ada sedikit harapan bahwa mungkin, hanya mungkin, tugas mereka masih bisa bertahan tanpa akibat serius. Mungkin.
Tugas Beres, Kehidupan Lanjut
Pagi itu, matahari menyinari kampus dengan cara yang berbeda. Seperti ada yang berubah, meski segala sesuatunya masih terasa sama. Di kantin, Nando dan Bram duduk dengan ekspresi yang lebih santai, meskipun perasaan mereka masih tercampur aduk—antara lega dan was-was.
“Bro, menurut kamu bakal gimana, ya?” tanya Nando, sambil melongok ke luar jendela kantin yang menghadap ke lapangan kampus yang kosong. “Kita udah ngerjain dengan cara… yang nggak standar, gitu.”
Bram mengangkat bahu, menyandarkan punggung ke kursi. “Yaudah, kalau udah lewat yaudah. Lagian, kita udah benerin sedikit tadi. Gue rasa kita aman, deh.”
“Mana aman, bro?” Nando tertawa. “Dosen bisa aja tiba-tiba nanya, ‘Kok ini ada bagian yang aneh ya?’ Kita berdua cuma bisa nyengir.”
Bram tersenyum kecut. “Ya, tapi itu kan masalah di masa depan. Sekarang kita nikmati hidup dulu. Kan udah selesai. Tugas udah terkumpul.”
Tapi tak lama setelah itu, langkah kaki dosen mereka terdengar mendekat. Dosen yang biasa dikenal dengan suara berat dan gaya bicara formalnya masuk ke kantin, dan untuk pertama kalinya, Nando dan Bram merasa detak jantung mereka saling bersaing.
Dosen itu berhenti di meja mereka, menatap mereka dengan tatapan yang sulit dibaca. Nando dan Bram saling berpandangan, seolah-olah ingin saling bertanya, “Gimana nih, bro?”
Dosen itu akhirnya berbicara. “Kalian berdua… sudah menyelesaikan tugas kalian?”
Mereka hanya bisa saling menatap sebentar sebelum Bram menjawab. “Iya, Pak. Sudah.”
Dosen itu tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Bagus. Tapi ada beberapa hal yang perlu dibahas lebih lanjut. Kalian datang ke ruang saya nanti setelah kuliah, kita diskusi.”
Keduanya terdiam. Pesan itu keluar begitu saja, seolah tanpa ekspresi, dan akhirnya, setelah beberapa detik, keduanya hanya bisa menghela napas panjang. “Yah, sudah.”
Saat dosen itu pergi, mereka hanya bisa terdiam dan memandangi layar laptop mereka yang sudah mati. Nando akhirnya tertawa ringan. “Ini sih, lebih seru dari sinetron.”
Bram mengangkat cangkir kopi dan menatap Nando dengan senyum lebar. “Bener, bro. Ternyata kita berhasil nyelesein tugas tanpa beneran pusing. Tugas selesai, hidup lanjut.”
“Yah, tapi kita tetap harus ngadepin masalah sekarang,” kata Nando, meskipun suaranya mulai lebih ringan. “Tapi ya, setidaknya kita bisa nyebarin kebahagiaan, kan? Semua orang yang udah ngerjain tugas kita pasti paham.”
Bram tertawa terbahak. “Mungkin aja dosen ngira kita ini model mahasiswa yang nggak ngerti apa-apa, padahal kita udah jadi master copas.”
“Ya, bener juga. Tapi kita berdua tetap bisa bertahan,” kata Nando, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Lagian, kan yang penting tugas udah terkumpul, nilai bisa diusahain.”
Keduanya saling melirik dan tertawa kecil. Meski mereka tahu masih ada jalan yang panjang di depan, mereka sudah melaluinya dengan cara yang lebih ringan dari yang mereka bayangkan.
Akhirnya, mereka selesai dengan tugas itu. Tapi yang lebih penting, mereka tahu satu hal: hidup mahasiswa tidak selalu tentang kerja keras dan nilai. Kadang, hidup itu cuma soal bertahan, berusaha sedikit, dan tetap menikmati prosesnya.
Seperti yang mereka lakukan sekarang—duduk di kantin, berbincang tentang tugas yang belum jelas hasilnya, tetapi lebih tertawa dari pada khawatir.
Dan begitulah, hidup mahasiswa emang nggak pernah bisa ditebak, bro. Kadang tugas terasa kayak beban dunia, kadang malah cuma jadi bahan ketawa bareng teman.
Tapi intinya, yang penting tuh gimana caranya kita nikmatin setiap detik perjalanan ini, meskipun kadang nggak semua beres kayak yang kita harap. Tugas beres, masalah selesai, dan kita tetep ketawa—karena, ya, hidup ini terlalu singkat buat terlalu serius.