Cerpen Lucu Cinta Anak-Anak: Pernikahan Rahasia di Bawah Pohon Mangga

Posted on

Cinta? Anak-anak ini belum ngerti apa itu cinta, tapi mereka udah berani nikah!  Dua anak kecil polos, Lalita dan Tegar, punya misi besar: menikah di bawah pohon mangga dengan kambing sebagai penghulu! Dari cilok, ayam galak, sampai pernikahan dadakan, kisah mereka bakal bikin kamu ngakak dan gemas dalam satu waktu. Siap-siap ketawa sampe perut kram, ya!

 

Cerpen Lucu Cinta Anak-Anak

Janji Dibawah Pohon Mangga

Pohon mangga besar di halaman rumah Lalita sudah berdiri di sana sejak sebelum mereka lahir. Rantingnya kokoh, daunnya rimbun, dan buahnya sering jatuh ke tanah tanpa permisi. Pohon itu adalah saksi bisu petualangan dua anak kecil yang nyaris tak terpisahkan—Tegar dan Lalita.

Siang itu, mereka duduk di bawah pohon, menghindari panas terik sambil menikmati permen kapas yang baru dibeli dari warung Bu Marmi. Lalita menggoyangkan kakinya ke depan dan ke belakang, sementara Tegar sibuk menjilati ujung jarinya yang belepotan gula merah muda.

“Tegar, aku mau nikah sama kamu kalau udah gede,” kata Lalita tiba-tiba, seolah itu adalah hal paling masuk akal di dunia.

Tegar menoleh dengan alis terangkat. “Nikah? Buat apa?”

Lalita menghela napas panjang, seperti orang yang harus menjelaskan sesuatu yang sangat mendasar. “Kalau nikah, kita bisa main seumur hidup tanpa dilarang tidur siang sama ibu.”

Tegar memasang ekspresi berpikir. Matanya melirik ke langit, lalu ke Lalita, lalu ke permen kapasnya. “Tapi kalau udah nikah, masih bisa main layangan, kan?” tanyanya penuh kekhawatiran.

Lalita mengangguk mantap. “Bisa. Tapi aku juga boleh pinjam layangan kamu.”

Tegar tampak ragu sejenak. Layangannya yang berwarna biru dengan gambar naga adalah harta paling berharga setelah koleksi kelerengnya. Tapi, kalau itu syarat menikah dengan Lalita…

“Yaudah, boleh,” katanya akhirnya, walaupun wajahnya masih terlihat sedikit sedih.

Lalita tersenyum puas. “Bagus. Terus, kalau kita nikah, kita harus punya rumah pohon! Biar nggak usah pulang ke rumah kalau ibu manggil tidur siang!”

Mata Tegar berbinar. “Wah, iya! Tapi rumah pohonnya harus tinggi biar nggak bisa dimasukin sama kakakku!”

“Kakak kamu emang nyebelin ya?”

“Banget! Dia suka ambil kelereng aku terus nggak balikin!”

Lalita menepuk pundak Tegar dengan wajah penuh simpati. “Tenang, kalau kita udah nikah, aku bakal beliin kamu kelereng yang lebih banyak.”

Tegar tersentuh. “Serius?”

“Serius lah. Tapi kamu juga harus beliin aku permen kapas tiap hari.”

Tegar berpikir sejenak sebelum akhirnya mengulurkan jari kelingkingnya. “Oke, janji!”

Lalita juga mengulurkan jari kelingkingnya dan mereka mengikat janji dengan wajah penuh keseriusan, seperti dua pengusaha kecil yang baru saja menandatangani kontrak bisnis besar.

Tiba-tiba, ada suara keras dari atas pohon. DUK! Sebuah mangga matang jatuh tepat di antara mereka.

“WAH!” Lalita melonjak kaget.

Tegar tertawa. “Itu tandanya pohon mangganya setuju kita nikah!”

Lalita terkikik geli. Mereka pun memungut mangga itu dan berlari ke dapur rumah Lalita untuk meminta ibunya mengupaskan. Saat mereka pergi, angin bertiup lembut, menggoyangkan dedaunan pohon mangga yang telah menjadi saksi janji kecil mereka.

Mereka belum tahu apa-apa soal cinta, tapi yang pasti, mereka tahu satu hal: bersama itu menyenangkan. Dan mereka ingin itu selamanya.

 

Cilok, Layangan, Dan Rencana Pernikahan

Setelah puas makan mangga, Tegar dan Lalita kembali duduk di bawah pohon, tapi kali ini dengan tujuan yang lebih serius. Mereka baru saja membuat janji besar—pernikahan!—dan tentu saja, sebuah rencana matang harus dibuat.

“Kita nikahnya kapan?” tanya Tegar sambil mencabut sehelai rumput dan menggulungnya di jarinya.

Lalita menopang dagu, berpikir keras. “Hmm… kalau terlalu lama nanti keburu lupa.”

Tegar mengangguk setuju. “Iya. Kalau gitu, pas kita udah bisa beli cilok sendiri aja!”

Lalita menepuk tangan. “Setuju! Kalau kita udah bisa beli cilok sendiri, berarti kita udah gede!”

Mereka saling menatap dengan penuh keyakinan, seolah baru saja menemukan rumus ajaib yang tak terbantahkan.

“Tapi ciloknya berapa dulu?” tanya Lalita lagi.

Tegar berpikir. “Kalau satu tusuk doang, masih kurang gede. Lima tusuk kali, ya?”

Lalita mengerutkan dahi. “Lima terlalu sedikit. Sepuluh tusuk!”

Tegar menelan ludah. “Sepuluh? Banyak banget! Kamu mau beli buat satu kampung?”

“Kan buat kita berdua.”

Tegar terdiam sebentar, lalu mengangguk. “Oke, sepuluh tusuk! Kalau kita udah bisa beli cilok sepuluh tusuk tanpa minta uang ibu, kita langsung nikah!”

Mereka kembali melakukan jari kelingking sebagai tanda kesepakatan. Tapi sebelum mereka bisa merayakan keberhasilan rencana ini, suara teriakan terdengar dari belakang.

“Lalitaaa! Masuk dulu! Tidur siang!”

Lalita langsung panik. Ia menoleh ke Tegar dengan ekspresi ketakutan. “Tegar! Aku belum siap tidur siang! Aku baru aja bikin rencana nikah!”

Tegar ikut panik. “Sama! Kita belum bikin daftar tamu!”

Lalita menoleh ke kanan dan kiri, lalu menarik tangan Tegar. “Ayo lari ke kebun belakang! Kita bisa sembunyi di balik pohon pisang!”

Tanpa pikir panjang, mereka berdua berlari sekencang mungkin. Mereka menembus kebun kecil di belakang rumah, bersembunyi di balik pohon pisang yang daunnya lebar seperti payung.

“Fiuuh… selamat,” kata Lalita sambil mengelap keringat.

Tegar duduk di tanah dan mendesah lega. “Aku nggak ngerti kenapa ibu-ibu suka banget maksa anak kecil tidur siang.”

“Padahal kita belum ngantuk.”

“Iya! Lagian kalau tidur siang, waktu main kita berkurang!”

Mereka berdua saling mengangguk penuh kesepahaman. Lalu, Lalita tiba-tiba menarik tangan Tegar. “Eh, soal nikah… kita juga harus punya rumah layangan!”

Tegar mengerutkan dahi. “Hah? Rumah layangan?”

“Iya! Kan kamu suka banget sama layangan. Kalau kita punya rumah layangan, kita bisa tinggal di atas, terus tiap hari bisa main layangan sambil lihat pemandangan!”

Tegar terdiam, lalu matanya membesar penuh kekaguman. “Kamu jenius, Lalita! Itu ide paling keren yang pernah aku denger!”

Lalita menyeringai bangga. “Iya dong. Jadi, nanti rumah kita harus tinggi, terus di atasnya ada tiang buat main layangan.”

Tegar mengangguk semangat. “Terus nanti aku bakal bikin layangan yang gede banget! Namanya Layangan Raja, warnanya merah sama biru, biar semua orang tahu kalau aku yang punya!”

Lalita tertawa. “Keren banget! Aku bakal bantu bikin!”

Tegar tersenyum puas. “Oke, berarti rencana kita sekarang ada tiga. Satu, bisa beli cilok sepuluh tusuk. Dua, punya rumah pohon. Tiga, punya rumah layangan!”

Lalita mengangguk. “Jangan lupa daftar tamu nikahan kita.”

“Oh iya! Siapa aja yang diundang?”

“Bu Marmi pasti kita undang, biar nanti bisa makan cilok gratis di nikahan kita.”

Tegar manggut-manggut. “Terus Pak Guru juga harus diundang. Biar lihat kalau muridnya sukses.”

Lalita tertawa. “Iya! Terus kita undang kucing aku juga!”

Tegar mengangkat tangan. “Eit, tunggu dulu! Kucing kamu tuh suka mencuri ikan goreng di meja! Nanti dia nyolong makanan tamu kita!”

Lalita memasang ekspresi serius. “Nggak apa-apa. Nanti aku janjiin ikan goreng khusus buat dia.”

Tegar berpikir sejenak lalu menghela napas. “Oke deh. Tapi kalau dia mulai nyolong, aku bakal usir dia.”

Lalita tertawa sambil menepuk bahu Tegar. “Setuju! Kita bakal punya pesta nikahan paling keren di dunia!”

Mereka tertawa bersama, tanpa menyadari bahwa rencana-rencana mereka adalah kebodohan polos khas anak-anak. Tapi bagi mereka, ini adalah keseriusan tingkat tinggi.

Saat mereka masih tertawa, suara teriakan ibu Lalita kembali terdengar.

“Lalita! Jangan ngumpet di kebun! Aku tahu kamu di situ!”

Mereka langsung terdiam. Tegar menoleh ke Lalita. “Sekarang gimana?”

Lalita menelan ludah. “Kita harus bikin rencana lain buat kabur!”

Dan seperti biasa, dua bocah itu berlari lagi. Karena bagi mereka, tidur siang adalah musuh utama petualangan.

 

Tegar, Suamiku Harus Berani!

Hari sudah sore ketika Lalita dan Tegar akhirnya keluar dari persembunyian mereka. Setelah sukses menghindari tidur siang, mereka duduk di tepi sungai kecil dekat kebun belakang. Sepanjang jalan, mereka terus membicarakan pernikahan hebat mereka, rumah layangan, dan cilok sepuluh tusuk. Namun, tiba-tiba Lalita punya satu pemikiran penting.

“Tegar,” katanya serius, “kalau kita nikah, berarti kamu bakal jadi suamiku, kan?”

Tegar yang sedang sibuk melempar batu ke sungai mengangguk santai. “Ya iya lah.”

Lalita menyipitkan mata. “Berarti kamu harus jadi laki-laki pemberani!”

Tegar menoleh cepat. “Emangnya aku belum cukup berani?”

Lalita menghela napas seperti orang dewasa. “Tadi aja kita kabur dari ibu aku. Suami yang baik itu nggak boleh kabur dari masalah!”

Tegar berpikir sebentar. “Tapi itu bukan masalah, itu perintah tidur siang. Itu beda.”

Lalita mendengus. “Sama aja. Pokoknya mulai sekarang kamu harus latihan jadi laki-laki pemberani!”

Tegar menyilangkan tangan di dada. “Terus caranya gimana?”

Lalita tersenyum licik dan menunjuk sesuatu di kejauhan. “Kamu harus ambilin itu.”

Tegar mengikuti arah jari Lalita dan langsung meneguk ludah. Di seberang sungai, ada sebatang kayu besar yang sepertinya hanyut dari hulu. Kayu itu tergeletak begitu saja, tapi masalahnya adalah… ada seekor ayam jantan besar yang berdiri gagah di atasnya.

Tegar menelan ludah lagi. “Lalita… aku boleh milih tantangan lain nggak?”

“Nggak bisa!” Lalita berdiri dan mengangkat tangan seperti bos besar. “Kalau kamu beneran calon suamiku, kamu harus bisa hadapin ayam itu! Masa nanti kalau ada maling di rumah kita, kamu malah sembunyi di belakang aku?”

Tegar langsung tegak. Harga dirinya sebagai calon suami dipertaruhkan. Dia melirik ayam jantan yang tampak tak terpengaruh oleh drama mereka. Matanya hitam dan tajam. Paruhnya kokoh. Kakinya kokoh dan siap mencakar.

Tegar menelan ludah untuk ketiga kalinya.

“Ayo, Tegar! Tunjukkan kalau kamu pemberani!” seru Lalita dengan semangat.

Tegar mengembuskan napas panjang dan menepuk dadanya sendiri. “Oke. Aku bakal ambil kayunya. Aku nggak takut ayam.”

Lalita tersenyum puas. “Gitu dong! Ayo pergi ke seberang sungai.”

Mereka mencari batu-batu besar yang bisa dipijak untuk menyeberang. Pelan-pelan, Tegar dan Lalita berhasil mencapai sisi lain sungai. Kini mereka berdiri hanya beberapa meter dari ayam jantan yang masih bertengger di atas kayu, seperti raja yang menjaga harta karunnya.

Tegar menegakkan tubuh, menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan perlahan.

“Pelan-pelan, Tegar. Jangan bikin dia curiga,” bisik Lalita.

Tegar mengangguk. Satu langkah… dua langkah… tiga langkah… hampir sampai!

Tapi tiba-tiba, ayam jantan itu menoleh. Mata mereka bertemu.

Lalita menahan napas. Tegar menahan napas.

Dan dalam waktu dua detik, ayam jantan itu mengepakkan sayapnya dengan suara “Braak! Braak! Braak!” yang mengejutkan!

Tegar membeku. Ayam itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, seperti banteng yang siap menyeruduk.

“T-Tegar… dia kayaknya siap nyerang…” bisik Lalita.

“Aku tahu,” bisik Tegar balik.

Ayam jantan itu melangkah maju.

Tegar melangkah mundur.

Ayam itu melangkah lagi.

Tegar mundur lagi.

Lalita sudah bersiap kabur, tapi sebelum ia bisa menarik tangan Tegar, ayam itu mengeluarkan suara keras “KOKOKOKOKOOOO!!!” dan langsung berlari ke arah mereka dengan kecepatan kilat!

“TEGAAAARRR LARIIII!!!”

Tegar langsung berbalik dan berlari seperti dikejar monster. Lalita juga ikut kabur sambil menjerit-jerit. Mereka melompati batu-batu di sungai dengan kecepatan yang bahkan atlet pun mungkin iri melihatnya.

Di belakang, ayam jantan itu masih mengejar dengan gagah berani.

Tegar berhasil menyeberang duluan, lalu menoleh ke belakang dan melihat Lalita hampir terpeleset di batu licin. Tanpa pikir panjang, ia langsung meraih tangan Lalita dan menariknya dengan sekuat tenaga.

Byuuurrrr!!!

Mereka jatuh ke sungai bersama-sama. Airnya dingin dan membuat mereka langsung menggigil.

Ayam jantan itu berhenti di tepi sungai, menatap mereka sebentar dengan mata penuh kemenangan, lalu berbalik dengan anggun dan kembali bertengger di atas kayunya.

Lalita dan Tegar saling menatap, basah kuyup dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Lalita terdiam beberapa detik, lalu menepuk pundak Tegar. “Kamu gagal.”

Tegar mengeluh. “Ya kali! Itu ayam bukan hewan biasa, Lalita! Dia kayak penjaga gerbang neraka!”

Lalita tertawa terpingkal-pingkal. “Tapi aku salut, sih. Kamu udah nyoba.”

Tegar mendengus dan menyandarkan punggungnya ke batu. “Kalau gini caranya, aku bakal butuh banyak latihan sebelum nikah.”

Lalita menyeringai. “Ya iyalah! Aku nggak mau punya suami yang takut ayam!”

Tegar mengacak rambutnya yang basah dan mendesah. “Aku jadi ragu mau nikah.”

Lalita menoleh cepat. “Hah? Kamu nggak boleh gitu!”

Tegar tertawa kecil dan mencipratkan air ke Lalita. “Bercanda, aku masih mau. Tapi nanti aku yang pilih tantangan buat kamu.”

Lalita mendelik. “Boleh, tapi jangan aneh-aneh!”

Tegar menyeringai. “Kita lihat nanti.”

Mereka akhirnya tertawa bersama, melupakan insiden ayam jantan yang hampir menggagalkan masa depan mereka. Sementara itu, di seberang sungai, sang ayam tetap bertengger dengan anggun—sebagai legenda yang akan selalu mereka ingat.

 

Pernikahan Rahasia Dibawah Pohon Mangga

Sore itu, setelah insiden ayam jantan yang hampir membubarkan pernikahan mereka, Tegar dan Lalita berjalan pulang dalam keadaan basah kuyup. Matahari mulai tenggelam, meninggalkan warna oranye keemasan di langit. Bajunya basah, rambutnya masih meneteskan air, tapi semangat mereka tidak luntur.

Di tengah perjalanan, Lalita tiba-tiba berhenti dan menatap Tegar dengan serius. “Kita harus tetap nikah.”

Tegar mengangkat alis. “Sekarang?”

Lalita mengangguk penuh tekad. “Iya. Soalnya kita udah kelewat banyak rintangan. Ini udah kayak ujian hidup. Harus selesai hari ini juga.”

Tegar mendesah pasrah. “Baiklah. Tapi nikahnya di mana?”

Lalita menoleh ke sekeliling, lalu matanya berbinar saat melihat pohon mangga besar di dekat kebun belakang rumahnya. “Di sana! Di bawah pohon mangga itu!”

Tegar mengamati pohon mangga yang dimaksud. Dahan-dahannya lebat, dan beberapa buah menggantung menggoda. Tempatnya cukup sepi, jauh dari mata orang dewasa. Tempat yang sempurna untuk pernikahan anak-anak yang polos.

Mereka berlari ke bawah pohon dan segera bersiap. Lalita merapikan rambutnya yang setengah kering dengan tangan, lalu memetik satu bunga liar dari rerumputan dan menyelipkannya di telinga. “Gini cukup cantik, kan?”

Tegar mengangguk mantap. “Udah kayak putri.”

Lalita tersipu-sipu, padahal biasanya dia yang paling jago meledek Tegar.

Tegar sendiri mengambil daun mangga dan menyelipkannya di atas telinga. “Nah, ini mahkota aku.”

Lalita tertawa. “Itu bukan mahkota, Tegar. Itu kayak hiasan telinga sapi.”

Tegar mendengus. “Ya udah, aku lepas.”

Mereka berdiri berhadapan.

“Teg, kita butuh penghulu,” kata Lalita tiba-tiba.

Tegar berpikir. “Siapa ya yang bisa?”

Lalita mengedarkan pandangan, lalu tersenyum lebar. “Itu aja!”

Tegar mengikuti arah telunjuknya dan langsung terdiam.

Seekor kambing cokelat berdiri di dekat mereka, mengunyah daun santai, tanpa peduli pada kehidupan manusia.

“Kamu mau kambing jadi penghulu kita?”

“Iya! Dia saksi yang netral, nggak bakal memihak siapa-siapa,” jawab Lalita dengan yakin.

Tegar mengusap wajahnya. “Ya ampun, Lalita.”

Tapi karena mereka tidak punya pilihan lain, akhirnya mereka berdiri di depan si kambing dengan khidmat.

Lalita berdeham. “Tegar, mulai sekarang aku adalah istri kamu. Kamu harus selalu baik sama aku, berbagi cilok, dan nggak boleh takut ayam lagi.”

Tegar mengangguk serius. “Oke. Lalita, kamu mulai sekarang adalah istriku. Kamu juga harus baik sama aku, nggak boleh bohong, dan harus berbagi ciki kalau kamu beli.”

Lalita berpikir sebentar, lalu mengangguk. “Baiklah. Aku setuju.”

Mereka saling menatap. Hening.

“Udah, nih?” tanya Tegar.

Lalita menoleh ke kambing. “Pak penghulu, ini sah, kan?”

Si kambing tetap mengunyah daunnya dengan santai, lalu mengeluarkan suara, “Mbeeeek.”

Tegar mengangguk mantap. “Sah.”

Lalita tersenyum puas. “Mulai sekarang kita resmi jadi suami istri.”

Mereka berdua tertawa senang. Angin sore bertiup lembut, menggoyangkan dedaunan pohon mangga di atas mereka.

Namun, kebahagiaan mereka tidak bertahan lama.

Tiba-tiba, terdengar suara keras dari kejauhan.

“LALITA! KAMU NGAPAIN DI SANA?!”

Mereka menoleh dan melihat Ibu Lalita berdiri di depan rumah, wajahnya penuh tanda tanya.

Tegar langsung panik. “Lalita, kita ketahuan!”

Lalita juga ikut panik, tapi kemudian dengan cepat menarik tangan Tegar. “Jangan takut! Aku istri, aku yang bakal lindungin kamu!”

Namun, sebelum Lalita bisa menyusun alasan yang masuk akal, tiba-tiba terdengar suara lain.

“TEGAAARRR! PULANG SEKARANG! KENAPA BAJUMU BASAH?!”

Tegar menoleh. Kali ini giliran ibunya sendiri yang meneriakinya dari kejauhan.

Mereka saling berpandangan.

Tegar menelan ludah. “Lalita, aku rasa kita harus cerai dulu.”

Lalita terkejut. “Hah? Kok gitu?”

Tegar melirik ke arah ibu mereka yang sudah siap membawa sapu. “Soalnya aku masih pengen hidup.”

Lalita akhirnya mengangguk pasrah. “Baiklah. Tapi kita bisa nikah lagi besok, kan?”

Tegar tersenyum. “Iya. Besok kita bakal nikah lagi.”

Mereka pun berpisah, masing-masing kembali ke rumah dengan langkah ragu. Dan tepat sebelum masuk rumah, Lalita sempat menoleh dan tersenyum kecil.

Tegar balas tersenyum.

Mungkin mereka hanya anak-anak yang belum paham banyak soal cinta, tapi satu hal yang mereka tahu pasti: besok masih ada hari baru, dan mereka bisa menikah lagi, lagi, dan lagi.

 

Pernikahan pertama mereka mungkin gagal total, tapi tenang aja, besok masih ada hari baru buat nikah lagi! Lalita dan Tegar mungkin belum ngerti arti cinta, tapi satu hal yang pasti: mereka udah bikin kita semua ketawa sampai nangis! Jadi, kapan kita dapat undangan pernikahan resmi dari mereka?

Leave a Reply