Daftar Isi
Siapa sih yang nggak suka cerita kocak yang bikin ngakak? Cerita ini bakal ngebahas tentang Sodik, si pemuda yang penuh trik konyol dan keberanian dadakan. Jangan kaget kalau kamu ketawa terbahak-bahak karena jalan ceritanya yang absurd tapi seru banget!
Cerpen Lucu Bikin Ngakak
Celana Dalam yang Menempel di Muka
Pagi itu, Sodik baru selesai jemur pakaian di kosannya yang sempit, dengan matahari terik yang bikin langit biru cerah tanpa awan. Seperti biasa, suasana sepi, cuma suara burung yang riuh sedikit mengisi udara. Angin semilir bikin hari itu terasa adem, sampai Sodik merasa dunia ini cukup indah—sampai hal yang sangat mengganggu terjadi.
Seketika itu juga, angin kencang datang, membawa benda asing yang melayang entah dari mana. Sebelum Sodik bisa menyadari, benda itu plak! menempel di wajahnya.
“Sial, apa ini?!” Sodik terkejut, sambil memegangi benda yang baru saja menempel di muka. Benda itu berbentuk kotak kecil, ringan, dan terasa… berbahan kain? Begitu dia buka sedikit, PLAK!—ternyata benda itu adalah celana dalam berwarna ungu dengan gambar Hello Kitty yang tersemat di atasnya.
“CELANA DALAM?! GILA!” Sodik berteriak, sambil coba melepaskannya, tapi celana dalam itu malah makin melilit erat di kepalanya.
Tepat saat itu, Riyan—tetangga sebelah yang juga satu kos—keluar dari kamarnya. Dia melihat Sodik yang berusaha melepas celana dalam dengan cara yang bisa dibilang sangat canggung.
Riyan tertawa keras. “HAHAHA! DODIK, CELANA DALAM LO NEMPEL DI KEPALA! LO GILA, SIH?!”
Sodik cuma bisa bengong. Dia melotot ke arah Riyan dengan wajah penuh penderitaan. “RIYAN, LO NGAPAIN DI SITU? LO TAU INI?! GUE KENA SIAL NIH!”
Riyan tertawa lagi, berjalan mendekat. “HAH, GUE BILANG SIH, LO KENA KUTUKAN CELANA DALAM UNGU ITU!”
Sodik makin bingung. “Apa?! Kutukan apaan?”
Riyan langsung ngejelasin dengan santai, kayak lagi ngobrol soal cuaca. “Jadi gini, gue beli itu di online shop diskonan, ya biasa lah. Pas sampe, ada tulisan aneh di labelnya: ‘Celana Dalam Ungu Kutukan Cinta Sejati’. Awalnya gue kira cuma bercanda, ya kan, siapa yang nyangka lo bakal jadi korban kutukan ini?”
Sodik cemberut, kesal banget. “Gue? GUE KENA KUTUKAN CELANA DALAM UNGU?!”
Riyan ngelus dada, kayak merasain betapa sialnya nasib Sodik. “Gue udah bilang dari dulu, jangan coba-coba pake barang diskonan dari tempat gak jelas.”
Sodik masih berusaha menurunkan celana dalam itu, tapi semakin dia coba, semakin celana dalam itu kenceng nempel di kepala. “Nggak bisa begini, Ri! Gue bakal ketahuan orang satu kos nih!”
Riyan menyandarkan tubuh di pintu dan melirik Sodik dengan raut muka yang setengah prihatin, setengah ketawa. “Yaudah, lo coba deh cari cara buat ngelepasnya, atau bisa-bisa lo seharian begini. Gue liat sih lo cocok banget pake topi itu.”
“Jangan becanda, Ri! Ini serius!” Sodik teriak, sambil lagi-lagi coba tarik celana dalam itu dengan cara yang nggak jelas.
Riyan tersenyum lebar, meski jelas keliatan dia enjoy banget liat Sodik menderita. “Lo coba aja kencan sama cewek. Bisa jadi, kalau lo ketemu cinta sejati, celana dalam itu bakal lepas sendiri!”
Sodik menatap Riyan dengan pandangan kosong. “Cinta sejati? Ngomong-ngomong, cewek mana yang mau liat cowok pake celana dalam di kepala? Itu nggak masuk akal!”
Tapi Riyan terus nyemangatin. “Gue rasa lo harus mencoba. Siapa tau lo bisa nyari cinta sejati di sini. Siapa tau juga si Mbak Tini warung sebelah mau.”
Sodik ngelus wajahnya, merasa kehilangan harapan. “Jangan bercanda, Ri. Gue nggak ada waktu buat hal konyol kayak gini.”
Riyan ngakak banget, ngakunya itu adalah waktu yang tepat buat memulai petualangan. “Yah, lo harus coba, Dodik. Cinta sejati nggak akan datang begitu aja.”
Sodik mulai merasa, kalau ini bukan lagi sekadar masalah celana dalam. Ini sudah masuk ke level lain: masalah hidup dan mati—atau setidaknya masalah malu seumur hidup.
Dengan sedikit rasa frustasi, Sodik mencoba berpikir positif. “Oke, gue bakal coba… nyari cinta sejati. Tapi kalau celana ini nggak lepas juga, gue beneran laporin lo ke pengurus kos, Ri.”
Riyan cuma ketawa. “Yaudah, gue dukung lo, Dodik. Tapi jangan harap gue yang nyariin cewek buat lo.”
Sodik, dengan wajah penuh tekad, melangkah keluar kamar, berpikir keras. “Cinta sejati, ya? Yaudah, siapa takut.”
Tapi sebelum Sodik melangkah jauh, Riyan menambahkan, “Inget, Dodik! Kutukan ini bisa dipecahin cuma kalau lo ketemu cinta sejati. Jadi jangan sampe gagal.”
Dengan satu tekad, Sodik keluar dari kosannya, siap mencari cinta sejati—tanpa peduli bahwa di kepalanya, celana dalam ungu Hello Kitty masih berputar-putar dengan kekuatan misterius.
Kutukan Cinta Sejati dan Percobaan Gagal
Sodik berjalan menyusuri jalanan, dengan langkah berat. Di atas kepalanya, celana dalam ungu dengan gambar Hello Kitty tetap menempel dengan erat, seperti sebuah tanda kehormatan—atau mungkin kutukan. Setiap orang yang lewat memandangi dia dengan tatapan heran, tapi Sodik tidak peduli. Cinta sejati, pikirnya, itu yang dia butuhkan untuk mengakhiri penderitaan ini.
Pikirannya melayang ke Mbak Tini, si pemilik warung nasi di pojokan.
“Kalau ada yang bisa gue andalkan, ya dia,” gumam Sodik dalam hati. Mbak Tini itu memang cantik—pada standar warung makan. Kulitnya sedikit cokelat, dengan senyum yang selalu cerah, dan rambut panjang yang selalu dibiarkan tergerai. Setiap kali Sodik beli nasi, Mbak Tini selalu ramah. Tapi, apakah itu cukup untuk memecahkan kutukan ini?
Sodik tiba di warung Mbak Tini dengan penuh percaya diri. Begitu masuk, suasana warung langsung terasa akrab. Mbak Tini sedang menyusun piring-piring di meja. Begitu Sodik mendekat, dia langsung mengangkat wajahnya dan memberi senyuman yang seperti sudah dia latih berulang-ulang.
“Hei, Dodik. Mau pesen apa?”
Sodik, yang biasanya canggung kalau bicara sama perempuan, kali ini mencoba lebih santai. Dia menarik napas, dan dengan segenap keberanian yang tersisa, berkata, “Mbak Tini, gue… gue suka sama kamu.”
Mbak Tini menatapnya, agak bingung, seakan-akan mendengar kalimat itu datang dari orang yang baru pertama kali belajar bicara. “Apa?”
Sodik ngulang lagi, kali ini lebih mantap. “Iya, gue suka sama kamu. Mau nggak jadi pacar gue?”
Mbak Tini terdiam beberapa detik, lalu…
“Hah? Kamu serius?”
Sodik mengangguk dengan penuh keyakinan. “Serius banget, Mbak. Lo cantik, baik, dan… gue udah lama suka sama lo.”
Mbak Tini tertawa kecil, sambil memegangi perutnya. “Dodik, kamu lucu banget deh. Tapi, lo liat muka lo nggak sih? Kenapa lo pake celana dalam ungu di kepala?”
Sodik tersentak. “Wah, iya… itu, emang gue kena kutukan… gue harus nemuin cinta sejati biar bisa lepasin ini.”
Mbak Tini malah makin ngakak, nggak bisa berhenti. “Hahaha! Sial banget hidup lo, Dodik. Cinta sejati? Itu cuma di cerita-cerita doang. Tapi kalau lo serius, gue bisa bantu kok.”
Sodik sempat bingung, “Bantu gimana?”
Mbak Tini ngelirik celana dalam ungu itu sambil berpikir keras. “Ya, lo coba deh, dulu gue pernah denger cerita tentang kutukan, katanya kalau ketemu orang yang… loh, gue nggak percaya sih, tapi coba aja.”
Sodik menatap Mbak Tini dengan penuh harap. “Coba apa?”
Mbak Tini menggaruk kepalanya. “Ya, coba deh nembak cewek yang bener-bener lo suka. Kalau bisa, lo jujur banget. Bukan cuma karena lo lagi terpaksa, tapi dari hati.”
Sodik mengernyit. “Jadi lo mau gue… jujur sama cewek lain?”
Mbak Tini senyum lebar. “Iya, siapa tau itu yang lo butuhin. Yang pasti, lo nggak bakal lepas dari kutukan ini kalau nggak bener-bener ikhlas.”
Sodik merasa agak pusing, tapi dia mengangguk pelan. “Oke, gue coba deh.”
Dengan penuh harapan, dia berjalan keluar warung. Langkahnya berat, tetapi kini ada sedikit keyakinan baru. Jika ini yang harus dia lakukan untuk mengakhiri kutukan ini, maka dia siap melakukannya.
Sodik mulai menyusuri jalanan lagi, menuju tempat yang lebih ramai. Mungkin ada cewek yang bisa jadi cinta sejatinya—tapi apakah dia bisa menemukannya dengan celana dalam ungu yang masih ada di kepalanya?
Di tengah jalan, Sodik melihat Viona, cewek yang baru saja dia kenal beberapa minggu lalu di café dekat kampus. Viona adalah tipe cewek yang Sodik kira—sejak pertama kali melihatnya—adalah tipe yang mandiri dan nggak mudah jatuh cinta. Sodik merasa jantungnya berdegup lebih cepat.
Tapi ada yang aneh. Viona sedang duduk di bangku taman, sambil bermain dengan ponselnya. Dia terlihat santai, tanpa beban. Sodik tahu, ini adalah saatnya.
Dia berjalan mendekat dengan hati-hati. “Viona,” sapanya pelan.
Viona menoleh. “Oh, Dodik. Ada apa?”
Sodik menarik napas panjang, mencoba menyusun kata-kata yang benar. “Gue mau ngomong sesuatu. Sebenarnya, gue… suka sama kamu. Gue nggak tau kenapa, tapi dari pertama kali ketemu, gue merasa ada sesuatu yang beda.”
Viona melirik Sodik, lalu senyum. “Gue nggak ngerti, Dodik. Lo kenapa sih? Itu… celana dalam ungu di kepala lo kenapa?”
Sodik cuma bisa tertawa kaku, meski dalam hatinya sudah merasa ada beban yang hilang. “Itu, emang ada cerita aneh sih, tapi intinya, gue serius sama lo, Viona.”
Viona mengangguk pelan, dan akhirnya menjawab, “Aku seneng, tapi lo harus tahu, nggak semudah itu. Aku nggak mau kalau kamu cuma mau sama aku karena lo ada di posisi susah.”
Sodik terdiam. Mungkin ini bukan cinta sejati. Atau mungkin, dia memang harus lebih berusaha lagi. Tapi satu hal yang pasti, dia merasa sedikit lega—meski kutukan itu belum berakhir.
Sodik berbalik dan pergi, dengan celana dalam ungu yang masih menempel erat di kepalanya. “Cinta sejati…” gumamnya. “Mungkin ini baru awal.”
Percakapan dengan Pahlawan Palsu
Hari itu terasa lebih berat bagi Sodik. Sambil berjalan pulang setelah pertemuannya dengan Viona, dia mulai merasa lelah dan putus asa. Cinta sejati, katanya. Pahlawan sejati, katanya. Tapi dari mana harus memulainya? Kalau bahkan Mbak Tini, orang yang selalu ngasih nasi goreng spesial buatnya, aja bilang dia harus belajar dari pengalaman—maksudnya apa, sih? Apa dia harus nembak cewek tiap hari sampai akhirnya dapat jawaban yang sesuai dengan harapan dunia?
Sodik berhenti sejenak di depan warung kopi. Dulu dia sering nongkrong di sini sama teman-temannya, bercanda dengan cangkir kopi yang hampir selalu tertinggal setengah. Tapi hari itu tidak ada siapa-siapa. Yang ada hanya dirinya dan pelayan yang lagi asyik main ponsel.
“Mas, satu kopi hitam dong,” Sodik meminta dengan lemah, berharap mungkin secangkir kopi bisa membantu otaknya yang makin buntu.
Setelah menunggu beberapa menit, kopi itu datang juga. Sodik meneguknya pelan, masih memikirkan apa yang Mbak Tini bilang—apakah benar dia harus jujur dan berani menembak cewek yang dia suka? Apakah itu akan jadi kunci untuk menghentikan kutukan ini? Tapi, yang lebih membuatnya pusing, apa jadinya kalau ternyata cinta sejati bukanlah tentang menemukan seseorang yang tepat, melainkan tentang menemukan keberanian untuk menghadapi segala kekonyolan dalam hidupnya?
Tiba-tiba, ada suara familiar dari belakang yang membuat Sodik hampir menumpahkan kopi dari cangkirnya.
“Dodik, lu lagi ngapain?”
Sodik langsung menoleh, dan tentu saja, yang muncul adalah Rudi, sahabatnya yang terkenal dengan segala teori konyolnya tentang hidup. Rudi adalah tipe teman yang selalu memberi saran dengan keyakinan tinggi—meski saran itu kadang nggak ada hubungannya sama kenyataan. Hari itu Rudi datang dengan senyum lebar dan jaket bercorak aneh yang kelihatannya baru dibeli sebulan yang lalu.
“Santai aja, gue lagi merenung, Rudi,” jawab Sodik sambil menyeruput kopi. “Pusing, deh.”
Rudi melangkah duduk di sebelahnya. “Pusing? Lu kenapa, sih? Udah seminggu gue nggak lihat lo nongkrong bareng.”
Sodik mendesah. “Ya gitu, Rudi. Lagi ada masalah… masalah hati.”
Rudi langsung mengerutkan alis. “Masalah hati? Duh, jangan bilang lo lagi galau gara-gara cewek!”
“Ya… bisa dibilang gitu sih,” jawab Sodik dengan nada lemah.
Rudi menggelengkan kepala, seolah menganggap Sodik ini lagi ngomong hal yang paling konyol yang pernah dia denger. “Dodik, lo jangan terlalu serius soal cinta deh. Gue udah bilang, lo harus berpikir logis. Cinta itu gak perlu drama, nggak perlu ribet. Yang penting, lo harus percaya diri!”
Sodik memandang Rudi yang sedang berbicara dengan penuh semangat itu. “Kok lo bisa yakin banget, sih?”
Rudi mengangkat bahu. “Yakin dong! Gue tuh udah lama tau trik cinta. Gue juga dulu pernah galau, tapi sekarang udah beda. Gue punya teknik khusus buat bikin cewek jatuh cinta.”
Sodik mengerutkan dahi. “Teknik? Teknik apa lagi itu?”
Rudi menyandarkan tubuhnya ke kursi, seolah-olah dia akan memulai ceramah panjang. “Gini, Dodik. Teknik pertama, lo harus berani jadi diri sendiri. Jangan jadi orang lain demi nyenengin cewek. Itu yang pertama. Kedua, lo harus punya sesuatu yang beda. Jangan jadi orang biasa yang cuma bisa ngomong ‘Hai, gimana kabarnya?’ Lo harus punya topik yang menarik.”
Sodik meringis. “Tapi kan gue bukan tipe orang yang pinter ngomong, Rudi. Gue tuh pendiam. Kalau ngomong malah kadang lebih banyak diem.”
Rudi tertawa. “Nah, itu dia yang bikin lo unik! Lo diem itu bukan kekurangan, itu kelebihan! Lo harus jadi misterius, Dodik. Cewek-cewek tuh suka banget sama cowok yang misterius.”
Sodik masih bingung. “Misterius? Nggak ngerti gue.”
“Pokoknya gini,” Rudi melanjutkan, “Lo jangan terlalu terbuka soal perasaan lo dulu. Justru itu bikin cewek penasaran. Misalnya, lo ngomong sama cewek, ‘Gue nggak tahu, deh, gue lagi mikirin hal aneh. Bisa nggak lo bantuin gue?’ Cewek pasti bakal penasaran dan akhirnya jadi mau lebih kenal lo.”
Sodik mencerna kata-kata Rudi. Sejujurnya, dia masih ragu. Tapi, mungkin ada benarnya juga. Terkadang dia terlalu terbuka dengan perasaannya, dan itu malah membuatnya kelihatan kebanyakan berharap.
“Jadi lo mau gue pura-pura misterius gitu?” tanya Sodik setengah ragu.
“Yes! Tapi inget, jangan terlalu lebay. Yang penting itu alami. Jadi, nanti lo ketemu cewek, lo bilang, ‘Gue punya masalah, dan gue nggak bisa ngasih tau lo sekarang, tapi kalau lo mau, gue bakal cerita.’ Itu bikin cewek penasaran.”
Sodik terdiam sejenak. Rasanya seperti dia baru saja mendengar teori cinta dari dunia yang jauh. Apa benar dengan begitu dia bisa lepas dari kutukan aneh ini? Atau mungkin, ini cuma cara Rudi untuk menghindari kenyataan kalau dirinya nggak bisa menemukan pacar juga?
“Ya udah, gue coba deh. Tapi kalau gagal, gue minta uang kopi gue kembali!” Sodik tertawa kecut.
Rudi mengacungkan jempol. “Oke, siap! Kalau berhasil, gue mau traktir lo sebulan penuh!”
Sodik tersenyum, walaupun dalam hatinya masih ada pertanyaan besar. “Oke, gue coba. Tapi kalau gagal, gue bakal nanya Mbak Tini soal selanjutnya.”
Dengan keberanian yang baru, Sodik bangkit dari kursinya. Di luar sana, ada banyak cewek yang bisa jadi jawabannya. Mungkin dia perlu sedikit misteri. Mungkin dia perlu sedikit keberanian. Tapi yang pasti, dia harus mencoba.
Hari itu, dunia terasa sedikit lebih cerah, meskipun dia masih membawa kutukan cinta yang entah kapan akan berakhir.
Mengakhiri Semua dengan Cara yang Gila
Sodik merasa semangatnya mulai pulih. Hari-hari setelah percakapan dengan Rudi, dia mulai mencoba cara-cara baru yang terdengar bodoh tapi anehnya bisa mengubah cara dia berinteraksi dengan orang lain. Kalau selama ini dia merasa canggung dan terus menerus takut terlihat bodoh, kini dia lebih santai. Dengan sedikit percaya diri yang baru ditemukan, dia mulai berbicara dengan cewek-cewek tanpa beban. Kadang, ia bilang hal-hal aneh—yang kadang terdengar lebih absurd daripada yang sebenarnya dia rasakan, tapi itu justru membuat suasana jadi lebih ringan.
Hari itu, Sodik kembali ke kampus setelah beberapa hari terlewat dengan perasaan yang lebih lega. Tapi, ada yang berbeda. Sejak kemarin, dia merasa ada yang mengamatinya, ada yang memperhatikannya. Dan, siapa lagi kalau bukan Viona?
Viona yang dulu cuma bisa dia pandangi diam-diam di kelas, sekarang tampaknya lebih sering menatapnya. Bukan cuma menatap, dia juga tersenyum ketika bertemu di koridor. Sodik yang awalnya tidak percaya, akhirnya sadar kalau semua trik bodoh yang diberitahukan Rudi ternyata benar-benar bekerja—meskipun dia nggak tahu kenapa.
“Eh, Sodik!” Suara Viona menginterupsi lamunannya saat dia berjalan menuju kantin.
Sodik yang masih agak canggung langsung menoleh. “Eh, Viona! Hei!” jawabnya, sambil berusaha tetap cool meskipun hatinya berdegup kencang.
Viona tersenyum lebar, senyum yang sudah sering membuat Sodik salah tingkah. “Gue nggak nyangka lo bakal ngikutin saran aneh itu,” katanya sambil berjalan mendekat.
Sodik sedikit bingung, tapi akhirnya dia mencoba untuk tetap tenang. “Saran aneh yang mana?”
“Yang ngomong soal jadi misterius itu, yang lo bilang lo lagi mikirin hal aneh—ternyata emang benar bikin gue penasaran!” jawab Viona dengan tertawa kecil. “Lo bener-bener bilang itu kemarin, kan?”
Sodik hampir tidak percaya. Sepertinya, trik yang Rudi ajarkan benar-benar berhasil. Tapi ada yang lebih aneh lagi—kenapa Viona malah tertarik? Kenapa sekarang dia datang?
“Gue… nggak tahu ya, cuma… rasanya, cewek memang suka yang sedikit… misterius,” jawab Sodik, sambil mencoba untuk tetap terlihat tidak terkejut.
Viona berhenti sejenak di depannya, menatapnya dengan serius. “Cuma sedikit?” katanya sambil menggoda. “Ayo deh, ngomong aja. Gue udah cukup lama nunggu lo akhirnya ngomong sesuatu selain ‘hai’ atau ‘apa kabar’.”
Jantung Sodik berdegup kencang. Rasanya seperti dia baru saja dilempar ke dunia yang benar-benar asing. Sodi merasa seperti karakter di film drama romantis, yang tiba-tiba ditemuin cewek cantik yang malah nanya hal-hal aneh.
“Sebenernya, gue juga sering mikirin lo, Vi.” Sodik merasakan mulutnya mulai ngomong lebih dari yang dia maksudkan. “Bukan soal lo jadi misterius atau gimana, cuma… gue pengen banget kenal lebih dekat.”
Viona menatapnya lebih dalam, seolah memikirkan apa yang baru saja Sodik katakan. “Maksud lo… lo mau kenal gue lebih baik?”
Sodik mengangguk, meskipun dia merasa seperti orang bodoh yang nggak bisa ngomong lebih keren dari ini. “Iya. Gue ingin banget.”
Beberapa detik berlalu tanpa suara, dan Sodik merasa seluruh dunia berhenti berputar. Lalu, Viona tersenyum lebar, lebih lebar dari senyum yang Sodik bayangkan. “Kalau gitu, kenapa nggak kita mulai dengan kopi setelah kuliah?”
Sodik hampir tidak bisa mempercayai kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Viona. Ini seperti mimpi yang sedang berlangsung.
“Hah? Beneran?”
“Iya,” jawab Viona, lalu dia tertawa kecil, “Gue pikir, lo nggak bakal mikir sejauh ini.”
Sodik mulai tersenyum lebar, meskipun sedikit canggung. “Gue pikir, nggak bakal berani coba kalau nggak ada Rudi yang ngasih trik-trik bodoh ini.”
Viona tertawa. “Rudi emang nyebelin, ya? Tapi kadang dia bener juga.”
Sodik hanya bisa tertawa ringan. “Yah, kadang konyol, kadang beresiko, tapi ini nggak terlalu buruk, kan?”
Viona mengangguk dengan senyum cerah. “Tapi lo harus tetap jadi diri lo sendiri, Sodik. Jangan hanya jadi misterius karena lo mau jadi misterius.”
Sodik terdiam sejenak, lalu tersenyum sambil mengangguk. “Iya, kok. Gue bakal coba jadi diri gue sendiri, tanpa trik-trik aneh itu.”
Mereka berdua melangkah bersama ke kantin, tanpa beban, tanpa rasa canggung lagi. Mungkin ini saatnya bagi Sodik untuk mulai mengakui—bahwa terkadang, hidup itu nggak harus terlalu rumit. Dan, kadang yang kamu butuhkan cuma sedikit keberanian dan trik bodoh yang ternyata bekerja.
Di tengah canda dan tawa, Sodik akhirnya merasa kalau hidupnya sudah mulai kembali ke jalurnya. Meski mungkin bukan cinta sejati yang tiba-tiba datang, setidaknya hari itu dia merasa seperti pahlawan—bukan karena dia punya kekuatan super, tapi karena dia berani mencoba hal-hal baru, meskipun itu gila dan konyol.
Sodik akhirnya belajar satu hal yang paling penting: kadang, untuk memulai sebuah perjalanan, kamu hanya butuh satu langkah kecil dan secangkir kopi.
Nah, itu dia ceritanya! Gimana? Ngakak nggak? Sodik emang bukannya tipe pahlawan super, tapi dengan segala trik aneh dan keberaniannya, dia berhasil bikin cewek-cewek melirik. Jadi, siapa bilang kehidupan nggak bisa seru dengan sedikit kegilaan? Semoga ceritanya bisa bawa senyum di wajah kamu, dan siapa tahu, setelah baca ini, kamu jadi berani coba trik konyol juga!


