Daftar Isi
Coba deh bayangin, kamu lagi di tengah-tengah pernikahan yang seharusnya jadi momen super serius, tapi malah jadi kekacauan lucu yang bikin semua orang ketawa nggak berhenti.
Yup, ini cerita tentang Dodo, si pengantin pria yang bisa dibilang nggak pernah serius dari awal sampai akhir. Tapi, siapa sangka, pernikahan bisa jadi lebih seru kalaukamu nggak terlalu mikirin semuanya harus sempurna? Kalau kamu lagi butuh tawa, cerita ini bakal jadi pelipur lara banget!
Cerpen Lucu Bikin Ngakak Abis
Konspirasi Sepatu Hilang
Pagi itu, Dodo terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Matanya masih terpejam, namun kepalanya sudah dipenuhi dengan bayangan wajah Melly, sang calon istri. Tentu saja, ini adalah hari besar mereka, pernikahan yang sudah mereka impikan selama bertahun-tahun. Semua persiapan sudah selesai, undangan sudah tersebar, bahkan dekorasi pernikahan sudah terlihat cantik di gedung yang akan dipakai.
Namun, ada satu masalah besar yang Dodo tak perhitungkan sama sekali: sepatunya hilang.
“Aduh, mana sepatu gue?!” Dodo berlari mondar-mandir di dalam kamar, dengan tangan yang terbuka lebar seakan mencari sepatu yang menghilang seperti hantu. “Gue tadi taruh di sini kan ya?”
Ibunya yang sedang duduk santai di luar kamar hanya mendengarkan suara Dodo yang mulai panik. “Kamu kenapa, Dod?” tanya Ibunya dengan santai.
“Ibu, sepatu gue hilang! Nggak tahu lagi taruh di mana!”
Ibunya menoleh tanpa ekspresi. “Yaudah, kamu cari aja di dalam kamar. Jangan bikin ribut, nanti kamu telat.”
Dodo merasa kalau dia sudah hampir gila. Bagaimana bisa di hari yang paling penting dalam hidupnya, sepatunya hilang? Apalagi, ini sepatu yang sudah dia pilih dengan sangat teliti, yang memancarkan kesan elegan dan pantas untuk dipakai di hari pernikahannya.
“Sial! Kenapa mesti kejadian begini!” Dodo merutuki nasibnya sambil terus mencari sepatu hitam itu di seluruh sudut kamar. Matanya mulai melotot, dan keringat dingin mulai keluar dari dahi.
“Kenapa sih, bisa-bisanya sepatu gue hilang?” Dodo berbicara pada dirinya sendiri, terdengar semakin kesal.
Omat, sahabatnya yang sudah menjadi bagian penting dari hidupnya sejak SMA, tiba-tiba mengirim pesan melalui WhatsApp.
Omat: “Bro, lo udah siap belum? Jangan sampe telat, Melly udah di sana!”
Dodo: “Gue lagi cari sepatu gue, Omat. Seperti yang lo denger, sepatu gue hilang!”
Omat: “Coba periksa lagi di bawah tempat tidur lo. Gue nggak tahu sih, tapi mungkin aja ada di sana.”
Dodo: “Gue udah cek semuanya, Omat. Nggak ada!”
Akhirnya, Omat pun menelepon Dodo. “Lo serius, bro? Sepatu hilang? Di hari pernikahan lo?”
“Lo bayangin sendiri, Omat! Gue mau nikah nyeker?” Dodo hampir menangis.
“Tunggu, jangan panik dulu. Lo ingat gak semalam lo taruh sepatu itu di luar?” Omat bertanya dengan nada serius, seakan-akan dia adalah detektif yang sedang menyelidiki kasus besar.
“Semalam? Oh, nggak! Gue taruh di dalam kamar, kayaknya di sebelah tempat tidur deh!” Dodo semakin bingung.
Omat menarik napas panjang. “Oke, coba lo keluar dulu. Gue datang bawa sepatu lo, tenang aja!”
“Lo serius? Pake sepatu gue? Lo gila?” Dodo langsung panik. “Lo kan punya sepatu sendiri!”
“Udah, lo tenang dulu, gue bawa sepatu lo. Gue nggak mau liat lo telat,” kata Omat dengan nada yang sangat meyakinkan.
Beberapa menit kemudian, Omat tiba di rumah Dodo dengan ekspresi serius yang malah membuat Dodo semakin bingung. “Nah, ini sepatu lo,” kata Omat sambil mengangkat sebuah sepatu hitam. “Tapi… ada yang aneh.”
“Aneh? Apa yang aneh?” Dodo menatap sepatu itu dengan penuh kecurigaan.
“Sepatu ini cuma sebelah, bro. Cuma satu. Yang satunya nggak ada,” jawab Omat sambil menunjuk ke arah sepatu sebelah yang ada di tangannya.
Dodo terdiam beberapa detik, mencoba mencerna apa yang terjadi. “Maksud lo, sepatu gue ilang dan cuma ada sebelahnya? Ini konspirasi apa?”
Omat mengangguk pelan, wajahnya serius meskipun dalam hati dia sudah tak bisa menahan tawa. “Bro, sepatu lo bukan hilang, tapi mungkin diculik kucing.”
Dodo menatap Omat dengan kebingungan. “Apa? Kucing? Kucing mana?!”
“Lo tahu kan di halaman rumah lo itu banyak kucing liar? Gue baru aja ngeliat ada kucing bawa sepatu lo, tapi ya… cuma satu. Yang satunya hilang entah ke mana,” jawab Omat sambil mengangkat bahu.
“SEPATU GUE DICURI KUCING?!” Dodo berteriak kaget.
“Ya, pokoknya sepatu lo ada di luar. Lo nggak bisa nikah tanpa sepatu,” kata Omat sambil tersenyum lebar.
Dodo mulai berpikir, dan tiba-tiba dia merasakan sebuah gelombang ketegangan. Dia tak tahu harus berbuat apa, dan sekarang, dia harus menemukan sepatu yang hilang sebelum semuanya berantakan.
Ibunya yang mendengar keributan dari luar kamar akhirnya masuk dan melihat wajah Dodo yang bingung. “Ada apa, Dod? Udah siap?”
Dodo memandang Ibunya dengan wajah penuh stres. “Ibu… sepatu gue hilang. Dan kayaknya kucing yang ngambil.”
Ibunya hanya bisa menatap Dodo dengan ekspresi bingung, lalu tertawa terbahak-bahak. “Ya ampun, anakku ini… Sepatu hilang aja, kok malah jadi ribet banget.”
Namun, tak ada waktu untuk merenung. Dodo harus segera menemukan sepatu itu sebelum terlambat. Di luar sana, hari pernikahan menunggu, dan kucing pencuri sepatu masih belum menyerahkan sepatu yang hilang.
Tentu saja, Dodo tidak tahu kalau petualangan untuk mendapatkan sepatu itu baru saja dimulai.
Kucing Pencuri di Hari Sakral
Dodo berdiri di depan pintu, matanya menatap Omat dengan tatapan yang campur aduk antara bingung dan marah. Omat yang sudah menahan tawa sejak tadi, hanya bisa tersenyum kikuk.
“Jadi, lo mau gue kejar kucingnya?” tanya Dodo, suaranya terdengar seperti orang yang baru saja kehilangan arah hidup.
“Ya… kalau lo mau sepatu lo kembali, iya, bro,” jawab Omat dengan santai.
Dodo mengerutkan dahi, lalu memandang ke sekeliling. Rumahnya sepi, ibunya masih tertawa terbahak-bahak di ruang tamu, dan ayahnya malah sibuk ngecek TV. Di luar, hari pernikahan sudah menanti. Namun sepatu Dodo—sepasang sepatu hitam yang dia pilih dengan cermat—masih terjebak dalam genggaman kucing liar.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Dodo melangkah keluar dengan pakaian pengantin yang masih tersisa di tubuhnya. Jas pengantin hitam itu sedikit terganggu oleh kaki Dodo yang berusaha menghindari tanah yang mulai lembap setelah hujan semalam.
“Omat, lo bawa sepatu gue yang satunya?” tanya Dodo sambil berjalan menuju halaman depan.
“Tenang aja, bro. Gue bawa. Lo udah kelihatan kayak orang gila aja pake sepatu satu doang,” jawab Omat sambil menggoyangkan sepatu yang satu lagi, yang sekarang sepertinya makin tampak tak berharga dibandingkan drama yang terjadi.
Begitu mereka sampai di halaman, Dodo terhenti. Ada sesuatu yang mencuri perhatian—kucing itu. Kucing hitam dengan bulu yang halus, sedang bermain-main dengan sepatu Dodo yang hilang. Dengan lincah, kucing itu menggigit sepatu dan berlari ke arah pohon besar yang ada di sudut halaman.
“Eh, itu dia!” Dodo langsung menunjuk sambil terengah-engah.
Omat mendekat, mencoba untuk tenang. “Oke, lo coba tenang dulu. Kita harus pake strategi yang bener,” kata Omat, seperti seorang ahli militer yang mempersiapkan serangan.
“Strategi apaan? Ini bukan perang, Omat!” Dodo sudah mulai kehilangan sabar.
Tapi Omat tetap tenang. Dia mengambil napas dalam-dalam dan mulai berjalan pelan menuju kucing itu. “Gini aja, gue dekati pelan-pelan. Lo harus siap lari kalau kucing itu kabur.”
Dodo mengangguk, meski dia tidak yakin rencananya akan berhasil. “Gue nggak mau kucing itu kabur lagi. Kalau sampe dia hilang, pernikahan gue bakal batal, Omat!”
Dengan langkah hati-hati, Omat mendekati kucing itu, mencoba membuat dirinya seolah tak mengancam. Kucing itu tampak asyik menggigit sepatu, tak peduli dengan kedatangan mereka.
Omat mengulurkan tangannya, mencoba untuk meraih sepatu dari mulut kucing. Namun, si kucing malah mendesis keras dan menatap mereka dengan tatapan penuh kecurigaan.
“Omat, jangan deket-deket, dia marah!” teriak Dodo panik.
“Udah, tenang! Cuma tinggal tarik dikit, selesai!” jawab Omat dengan nada yang sangat percaya diri.
Tiba-tiba, kucing itu melompat ke atas pagar, dan dalam sekejap sudah berada di atap rumah. “AH, GUE BILANG JANGAN DEKET-DEKET!” Dodo teriak, matanya melotot melihat kucing itu menghilang begitu cepat.
“Astaga, lo tuh! Gue bilang juga apa. Lo pikir kucing bisa diatur?” Omat mulai mengeluh, tapi dia juga merasa lucu melihat reaksi Dodo yang berlebihan.
Dodo tampak kelelahan, wajahnya merah dan penuh keringat. “Jadi… apa sekarang kita kejar kucing itu sampe ke atap?”
“Ya, lo mau langsung nikah pake sandal?” Omat menjawab sambil menahan tawa. “Udah, kita balik. Pasti ada cara lain.”
“Lo bilang cara lain? Lo cuma mau ninggalin gue sama kucing itu!” Dodo hampir menangis karena frustrasi.
Melihat Dodo yang tampak hampir menyerah, Omat tiba-tiba mendapat ide brilian. “Gue punya ide. Lo tau kan, si kucing itu pasti bakal turun lagi. Kita tungguin dia di bawah.”
“Lo yakin? Gue nggak mau jadi tontonan. Ntar malah jadi viral gue kejar kucing pake jas pengantin!”
“Bro, kalau lo terus panik gitu, gue yang malu,” kata Omat sambil memeluk Dodo yang masih kesal. “Lo harus sabar. Ini cuma masalah sepatu. Nanti kalau udah kelar, lo bakal ketawa ingat ini.”
Mereka berdua akhirnya duduk di bangku taman dengan tangan Dodo yang masih erat menggenggam sepatu sebelah yang satunya. Matahari mulai meninggi, dan panas mulai terasa, tapi sepertinya kucing itu masih belum berniat turun.
Beberapa saat berlalu, tanpa ada tanda-tanda si kucing yang misterius akan muncul. Dodo mulai berpikir ulang. “Omat, kalau kita gagal gimana? Perempuan gue nggak bakal mau nikah sama gue tanpa sepatu lengkap.”
“Tenang aja, bro. Lo pake sepatu gue aja dulu,” jawab Omat dengan santai. “Nanti kita cari cara buat bales kucing itu.”
Dodo hanya menggelengkan kepala. “Gue yang seharusnya jadi pengantin, bukan lo!”
Namun, tanpa diduga, kucing itu tiba-tiba muncul di atas pohon, tepat di depan mereka, dengan sepatu Dodo yang satu lagi di mulutnya.
“YES! SEPATU GUE!” Dodo langsung melonjak berdiri, seolah baru memenangkan pertandingan besar.
“Tenang, tenang, bro. Lo udah menang, tapi jangan lupa ini bisa jadi cerita buat anak cucu lo nanti,” Omat tertawa melihat ekspresi Dodo yang mengarah pada ekstasi.
Dan begitulah, perjuangan untuk sepatu berakhir dengan kegembiraan dan rasa lega yang bisa dibayangkan hanya oleh pengantin pria yang hampir telat.
Drama Sepatu dan Rencana Gagal
Setelah sepatu Dodo akhirnya kembali ke tangan yang benar, hari yang penuh kekacauan itu terasa mulai mereda. Namun, bukan berarti segala sesuatunya menjadi mudah. Ketika Dodo dan Omat akhirnya kembali ke rumah, mereka disambut oleh pandangan penuh pertanyaan dari ibunya yang duduk di ruang tamu.
“Jadi, kenapa lama banget? Kok cuma balik berdua aja, nggak bawa kucingnya?” tanya ibu Dodo dengan senyum lebar, seolah tahu betul bahwa ada yang nggak beres.
“Ya… kita sempat kehilangan jejak,” Dodo menjawab sambil menggaruk kepala, tampak seperti orang yang baru saja kehilangan segalanya.
“Ngomong-ngomong, sepatu gue udah kembali, kok!” Dodo menunjukkan sepatu yang satu lagi yang kini dia kenakan dengan bangga, meskipun hanya satu yang sempurna.
Omat, yang masih merasa canggung, cuma tersenyum dan membungkukkan kepala. “Iya, bro, sukses besar.” Tapi dia tak bisa menahan tawa kecil.
Ibu Dodo mengerutkan kening. “Lo, Omat, jangan bikin Dodo kelabakan terus ya. Kalian harusnya bersiap, bukan malah bikin kekacauan.”
Dodo yang mulai merasa kesal, mencoba untuk tidak emosi. “Iya, Bu, kita udah siap kok… cuma kucing itu yang nggak siap.”
Omat yang duduk di samping Dodo hanya bisa menahan diri agar tidak meledak karena tawa yang sudah hampir tak terbendung.
“Ayo, cepat siap-siap. Kalian harus siap di altar dalam 15 menit lagi!” ujar ibu Dodo dengan nada serius.
Dengan setengah hati, Dodo mencoba mengenakan jas pengantinnya kembali. Tapi dia merasa sesuatu yang aneh. Sepatu kiri yang dia pakai terasa agak sempit, dan bukannya merasa lega, dia malah makin cemas. “Omat, sepatu gue ketat banget!”
Omat melihat Dodo yang tampak panik, dan hampir saja dia ingin menghibur, tapi ternyata sebuah ide jenius muncul di kepalanya.
“Dodo, lo coba deh, lo ambil sepatu gue dulu. Sepatu gue lebih lega kok.”
Dodo, yang benar-benar bingung, menatap Omat dengan tatapan kosong. “Lo serius? Sepatu lo sama sekali nggak matching sama jas gue.”
“Percaya deh, bro, style itu soal percaya diri!” jawab Omat dengan serius, seperti seorang ahli mode.
“Lo ini udah gila ya?” Dodo akhirnya menyentuh dahi. Tapi dengan keadaan yang semakin mendesak, dia tidak punya banyak pilihan. “Oke, coba aja.”
Jadi, Dodo pun memakai sepatu Omat yang kebetulan sedikit lebih besar dari sepatunya sendiri. Tapi anehnya, saat dia memandang dirinya di cermin, Dodo merasa ada sesuatu yang hilang dalam penampilannya. Sepatu besar Omat seolah membuat jas pengantinnya jadi aneh, dan mungkin lebih buruk lagi, dia merasa seolah dia baru saja merusak semua rencana yang sudah disiapkan.
“Ini nggak bener, Omat. Gue kayak badut di pesta.” Dodo mulai cemas lagi.
“Udah, udah, lo nggak perlu terlalu dipikirin. Yang penting lo udah siap, kan?” Omat mencoba meyakinkan.
Namun, kegelisahan Dodo semakin membesar. Setiap kali dia melihat dirinya di cermin, dia merasa aneh. Semuanya terasa tidak pada tempatnya. Jasnya yang bagus kini terasa seperti perisai dari zaman prasejarah, dan sepatu Omat… oh, sepatu Omat itu jauh lebih besar daripada ukuran sepatunya.
Sementara itu, ibunya kembali muncul di pintu kamar dengan wajah yang sangat tidak sabar. “Dodo, kalau kamu nggak segera turun, gue bakal jemput kamu langsung ke altar!”
Dodo menarik napas panjang. “Ibu, ini bukan waktunya bercanda. Sepatu gue rusak, baju gue kebesaran, dan gue nggak yakin ini bakal jadi pernikahan yang mulus.”
Ibu Dodo memandangnya dengan tatapan penuh pengertian. “Ya ampun, anak ibu ini. Nggak usah dipikirin semua hal kecil kayak gitu. Lo itu pengantin pria! Lo harus kelihatan cool.”
Tapi di saat itu, Dodo tiba-tiba merasa, mungkin, ini memang saat yang paling tepat untuk menunjukkan sisi lain dari dirinya. Bukan soal sepatu atau jas, tapi tentang bagaimana menghadapi setiap kekacauan dalam hidup.
Sebelum Dodo sempat mengatakan apapun, Omat mendekat dan berbicara pelan di telinganya. “Lo inget nggak waktu kita dulu, pas kita pertama kali ketemu di kampus? Lo gak pernah khawatir soal penampilan, lo cuma fokus ke tujuan lo. Kenapa sekarang lo harus peduli banget dengan hal kecil kayak gini?”
Dodo menghela napas panjang. “Ya, lo benar. Aku cuma… cemas, Omat.”
“Ya udah, ayo! Kita hadapi ini. Jangan sampe kucing atau sepatu ngacauin pernikahan lo. Lo tuh punya lebih banyak hal buat dikhawatirin,” Omat menjawab dengan semangat yang mendukung.
Akhirnya, Dodo memutuskan untuk menanggalkan kecemasannya. Mungkin ini memang cara hidup yang harus diambil: santai, tapi tetap berani.
Dengan penuh semangat, Dodo berjalan keluar dari kamar, menuju ke altar yang sudah menanti. Meskipun sepatu Omat masih terpasang di kakinya dan jas pengantinnya sedikit kegedean, dia merasa lebih lega. Dia mulai menyadari bahwa mungkin saja kekacauan kecil ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang lebih besar—perjalanan menuju masa depan bersama orang yang dia cintai.
Dan tentu saja, Omat yang berjalan di belakangnya, sudah siap dengan lelucon-lelucon recehnya untuk menghibur Dodo. Karena di dunia yang penuh dengan drama, cuma satu yang pasti—tertawa itu jauh lebih baik daripada stress berlebihan.
“Lo pasti jadi pengantin paling memorable, bro,” kata Omat dengan tawa yang hampir tak terbendung.
Dodo hanya tersenyum, menganggap ini semua sebagai bagian dari petualangan pernikahan yang tak terlupakan.
Langkah Terakhir dan Kebahagiaan yang Tak Terduga
Pernikahan itu, akhirnya, berjalan dengan lancar—meskipun penuh dengan drama dan tawa. Dodo berdiri di altar, kini mengenakan jas pengantin yang sedikit lebih besar dari ukuran tubuhnya, dan sepatu Omat yang terlihat seperti sebuah proyek kerajinan tangan—tapi semuanya terasa sempurna. Semua orang yang hadir bisa merasakan aura kekacauan yang dipenuhi kebahagiaan. Bukan karena penampilannya yang luar biasa mewah atau sempurna, tetapi karena cinta yang ada di sana.
Sambil berdiri di sisi calon pengantinnya, Dodo merasa seperti berada di dunia yang berbeda. Di luar, hujan rintik-rintik mulai turun, tapi itu justru memberi sentuhan romantis pada hari yang seharusnya penuh dengan kekacauan itu. Rangkaian bunga di tangannya sedikit bergoyang terkena angin, dan Dodo mendapati dirinya tersenyum lebar, seperti tak bisa berhenti.
“Ini aneh banget, ya?” bisiknya pelan ke Omat yang berdiri di sampingnya.
Omat, yang tak bisa menahan tawa, melirik sekilas pada Dodo dan menjawab, “Nggak ada yang aneh, bro. Lo akhirnya nikah. Itu udah cukup buat bikin orang bingung.”
Dodo tertawa pelan, sambil menatap pengantin wanita di depannya—seorang perempuan cantik dengan gaun pengantin yang memukau, meskipun dia hanya tampak sedikit cemas. Calon istrinya, Vera, tersenyum padanya dengan tatapan yang penuh cinta.
“Kamu bisa, kan, pakai sepatu ini?” Vera bertanya dengan khawatir, sambil menatap sepatu Dodo yang terus mengeluarkan suara ‘ceklek-ceklek’ yang tak bisa dihindari.
“Iya, kok,” jawab Dodo, berusaha meyakinkan meskipun kenyataannya dia masih sedikit merasa canggung. “Aku yakin ini… ini malah jadi kenangan yang lucu, kan?”
Vera mengangguk, namun tetap tersenyum, tampaknya dia sudah tahu bahwa Dodo tidak akan pernah bisa terlihat sempurna dalam artian tradisional. Dan mungkin itu yang membuatnya semakin jatuh cinta.
Kedua keluarga mereka saling berbincang dengan hangat, sementara Dodo merasakan kedamaian yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Selama ini dia selalu khawatir akan apa yang orang lain pikirkan tentangnya, tetapi di hari ini, dia mulai menyadari bahwa hidup tidak selalu soal kesempurnaan. Kehidupan yang nyata ada dalam kebahagiaan yang sederhana, dalam tawa, dan dalam cara kita memandang orang lain.
Saat akad nikah selesai, Dodo melangkah keluar dengan Vera di sampingnya. Sepatu Omat yang sedikit kebesaran itu, jas yang agak longgar, semuanya terasa begitu tidak penting. Apa yang lebih penting adalah kebahagiaan yang mereka bawa bersama. Ada sesuatu dalam udara hari itu yang membuatnya merasa seperti bisa menghadapi apapun yang datang, apapun kekacauan yang ada, selama dia bersama orang yang tepat.
Omat yang berjalan di belakang mereka, berbisik ke Dodo dengan penuh semangat. “Tuh kan, lo akhirnya jadi pengantin yang nggak bakal pernah dilupakan!”
Dodo memandang Omat dengan senyum lebar, kali ini benar-benar merasa lega. “Iya, Omat, gue sadar… hidup itu lebih lucu kalau kita nggak terlalu serius.”
Di luar, hujan semakin deras turun, namun tak ada yang merasa terganggu. Hujan itu justru semakin memberi nuansa bahagia dalam suasana yang sudah cukup penuh dengan kejutan. Dodo dan Vera melangkah bersama menuju kehidupan baru mereka, penuh tawa, kekacauan, dan cinta. Karena yang paling penting dalam hidup ini adalah mampu melihat kebahagiaan dalam setiap kekacauan yang terjadi.
Dan dari sinilah, babak baru kehidupan mereka dimulai—penuh dengan rencana-rencana tak terduga, sepatu yang tidak sesuai ukuran, dan banyak tawa di sepanjang jalan yang masih panjang.
“Lo siap buat jadi orang tua, bro?” tanya Omat lagi dengan senyum nakal.
Dodo cuma menggelengkan kepala, tertawa. “Nggak tahu, yang pasti gue bakal siap buat terus ketawa sama lo.”
Dan dengan itu, kehidupan pernikahan Dodo dan Vera dimulai dengan canda tawa, kekacauan yang penuh kebahagiaan, dan yang terpenting—kesadaran bahwa segala hal yang terjadi di dunia ini, sejatinya adalah sebuah perjalanan yang tak selalu harus sempurna, tapi bisa jadi indah jika kita melihatnya dengan hati yang terbuka dan tawa yang tak pernah berhenti.
Jadi, gitu deh! Di akhirnya, hidup itu emang nggak harus selalu serius atau sempurna. Yang penting adalah kebahagiaan yang bisa kita ambil dari setiap kekacauan dan tawa yang nggak berhenti.
Dodo mungkin nggak bakal jadi pengantin ideal, tapi dia bakal jadi pengantin yang paling inget dan bikin semua orang ngakak sepanjang hidupnya! See youu guyss!!


