Daftar Isi
Pernah nggak sih, punya teman yang niatnya jenius, tapi eksekusinya malah bikin malu satu kelas? Nah, geng Meja Belakang ini contohnya! Mereka punya rencana nyontek yang katanya super canggih, sampai-sampai bisa bikin NASA minder.
Tapi, seperti yang bisa ditebak… semuanya berakhir dengan tragedi. Dari contekan canggih, drama ruang guru, sampai jadi pasukan bersih-bersih toilet sekolah—cerita ini dijamin bikin ngakak sampe perut kram! Siap ketawa? Yuk, baca sampai habis!
Cerpen Lucu Anak Sekolah
Operasi Penggaris Terbang
Suasana kelas pagi itu seperti biasa—riuh dengan obrolan nggak penting, bunyi sandal gesek-gesek di lantai, dan suara bangku yang diseret tanpa dosa. Di sudut paling belakang, geng Meja Belakang sudah berkumpul. Raka duduk selonjoran dengan muka ngantuk, Acong sibuk ngelipetin kertas jadi pesawat, Gilang pura-pura baca buku tapi sebenarnya halaman yang dibukanya cuma itu-itu aja, sementara Omen? Dia lagi ngemil roti dari kantong jaketnya, entah sejak kapan diselipin di situ.
Bel masuk berbunyi. Semua buru-buru masuk ke posisi seolah-olah sudah siap belajar dari tadi. Tapi begitu yang masuk ke kelas adalah Pak Supri, suasana langsung berubah drastis.
Pak Supri, guru matematika dengan wajah tanpa kompromi, maju ke depan kelas sambil ngetuk-ngetuk meja pakai penggaris kayu panjangnya. “Duduk yang rapi. Hari ini kita ujian mendadak.”
Seisi kelas langsung berantakan. Ada yang mengeluh pelan, ada yang langsung pingsan secara mental, dan ada juga yang (sok) pasrah. Tapi yang paling panik tentu saja geng Meja Belakang.
“Kamu dengar, Cong?” bisik Raka, nyikut Acong yang langsung berhenti main pesawat kertas.
“Jelas! Kuping aku bukan dekorasi!” Acong melotot.
“Duh, gawat ini,” gumam Gilang, “aku lupa baca materi tadi malam.”
“Kamu mah nggak pernah inget baca materi,” balas Omen sambil tetap ngunyah.
Pak Supri mulai membagikan kertas ujian. Satu per satu, lembaran itu mendarat di meja murid-murid yang mendadak merasa kayak narapidana baru dijatuhi vonis. Raka menerima kertasnya dengan pasrah, matanya langsung membesar begitu lihat soal pertama.
“Astagaaa… ini kan dari bab terakhir!” bisiknya panik.
“Jangan panik, jangan panik,” kata Acong, meski wajahnya sendiri udah sekusut kertas ujian.
Di saat genting itulah, Raka menoleh ke arah Gilang. “Plan B?”
Gilang mendongak, wajahnya yang biasanya tenang sekarang kelihatan sedikit cemas. “Kamu yakin?”
“Nggak yakin sih, tapi kita juga nggak bisa biarin nilai kita jeblok semua, kan?”
Acong dan Omen mengangguk. Mereka sudah terlalu sering mengalami kegagalan akademik bareng-bareng, tapi kali ini, mereka butuh solusi konkret.
“Baiklah, kita luncurkan Operasi Penggaris Terbang,” kata Omen pelan.
Mereka langsung bergerak sesuai rencana. Gilang mulai mengerjakan soal dengan cepat, lalu mencatat jawabannya di kertas kecil. Omen, yang punya tulisan paling kecil dan paling rapi, bertugas menyalinnya dengan ukuran mini supaya gampang ditempel. Raka mengambil penggaris panjang yang biasa dipakai buat ngukur di pelajaran matematika, lalu mempersiapkan teknik pelemparan terbaik.
“Kalau aku lempar ke Acong dulu, dari Acong ke kamu, terus kamu oper ke yang lain,” bisik Raka ke Gilang.
“Jangan kena kepala siapa pun ya,” Acong mengingatkan.
“Tenang, aku atlet voli!” Raka membusungkan dada.
“Tapi kan voli kamu cupu?” Omen nyelutuk.
“Udah, diem!” Raka mengatur napas, membidik meja Acong yang cuma beberapa bangku di depan. Dengan sekali ayun, ia melempar penggaris itu dengan teknik yang menurutnya sangat profesional.
Namun, tepat saat penggaris itu melayang dengan anggun di udara…
“BRAK!”
Alih-alih mendarat di meja Acong, penggaris itu malah menabrak kepala Pak Supri yang kebetulan sedang lewat di tengah kelas.
Hening.
Satu kelas langsung membeku, bahkan napas pun kayaknya tertahan di tenggorokan masing-masing. Acong sudah siap pasang muka innocent, Gilang menunduk pura-pura ngerjain soal, Omen langsung menyembunyikan bekas gigitan rotinya, sementara Raka? Dia membeku di tempat, menatap Pak Supri yang kini sedang memegang penggaris itu dengan tatapan maut.
Pak Supri dengan sangat perlahan melepas kertas kecil yang tertempel di penggaris. Matanya menyipit membaca tulisan mini yang jelas-jelas adalah jawaban ujian.
“Ada yang mau jelasin ini?” suaranya terdengar seperti petir di siang bolong.
Satu kelas pura-pura sibuk nulis. Bahkan Nindi, yang biasanya pinter banget, mendadak jadi orang paling serius di dunia.
Pak Supri menatap tajam ke arah Meja Belakang. “Acong, ini penggaris dari meja kamu kan?”
Acong langsung berkeringat dingin. Otaknya yang biasanya lambat mendadak bekerja lebih cepat dari kalkulator.
“Ehe… itu… bukan punya aku, Pak,” katanya tergagap. “Itu… itu penggarisnya Pak Kepala Sekolah. Aku cuma bantuin buat eksperimen aerodinamika!”
Raka, Omen, dan Gilang langsung pengen ngakak, tapi mereka tahu kalau ketawa sekarang, tamat sudah riwayat mereka.
Pak Supri memandang mereka dengan ekspresi campuran antara bingung, kesal, dan nyaris putus asa menghadapi murid-murid seperti mereka. “Oh, jadi sekarang kamu ikut program NASA?” tanyanya dengan suara setenang lautan sebelum tsunami.
Acong mencoba tersenyum. “Ehe… lebih ke NGGASAA, Pak.”
“Ngga ngasah otak, maksudnya?”
Tawa yang tadi ditahan akhirnya pecah seisi kelas.
Pak Supri menghela napas panjang. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Karena kalian sangat berbakat dalam bidang penerbangan, mungkin kalian lebih cocok latihan dengan membersihkan ruang laboratorium fisika setelah sekolah.”
Raka, Acong, Gilang, dan Omen langsung lemas. Hukuman sudah jatuh, dan nasib mereka sudah dikunci.
Namun, ini belum selesai. Ini baru awal dari petualangan mereka di bawah pengawasan Pak Supri. Dan yang lebih menegangkan lagi, mereka masih harus menghadapi ujian yang sama sekali belum mereka kerjakan.
Misi Gagal Total
Setelah insiden penggaris terbang yang berujung pada hukuman membersihkan laboratorium fisika, geng Meja Belakang duduk dalam diam. Bukan karena insaf, tapi lebih karena otak mereka sedang berusaha mengolah bencana yang baru saja terjadi.
“Kita harus cari cara buat lolos dari hukuman ini,” bisik Raka, masih setengah syok.
“Udah, pasrah aja,” balas Omen sambil ngeluarin sisa roti dari kantong jaketnya. “Yang penting kita nggak dipanggil ke ruang BK.”
Acong merosot di kursinya, tangannya menopang kepala. “Ini gara-gara siapa sih yang asal lempar?”
“Hei! Itu kan bagian dari strategi!” protes Raka.
“Strategi dodol, iya.”
Sementara mereka masih berdebat, ujian tetap berjalan. Sialnya, Pak Supri terus mondar-mandir di sekitar mereka, jelas sekali mengawasi setiap gerakan sekecil apapun. Gilang bahkan nggak berani mengangkat kepalanya.
“Lah, kita gimana ngerjainnya?” bisik Acong panik.
“Kita? Kamu aja kali,” balas Raka ketus.
“Nggak bisa gitu! Kita harus tetep satu tim!”
Gilang yang sejak tadi diam akhirnya buka suara. “Aku ada ide. Tapi butuh kerja sama tingkat tinggi.”
Semua langsung mendekat, mata berbinar penuh harapan.
“Kita pakai strategi bisikan angin.”
Raka melotot. “Maksudnya?”
“Aku bakal pura-pura batuk, terus ngomongin jawaban dengan nada rendah. Omen duduk di belakang aku, nanti dia terusin ke kamu, Cong. Terakhir, kamu kasih kode ke Raka.”
Omen langsung angkat tangan. “Kenapa aku harus di tengah? Risiko kena tangkep tinggi!”
“Kamu paling jago niru suara orang. Kalau ketauan, tinggal pura-pura nyanyi aja,” jawab Gilang tenang.
Omen berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Bener juga.”
“Yaudah, ayo mulai!”
Gilang berdeham pelan, lalu batuk kecil sambil berbisik, “Jawaban satu… A.”
Omen menangkap sinyal dan segera mengulanginya dengan suara lebih pelan, “Jawaban satu… A.”
Acong memasang kuping baik-baik. Namun, tepat saat dia mau menyampaikan ke Raka, sesuatu terjadi.
“Ehem.”
Sebuah suara berat menggema tepat di belakang mereka.
Seisi kelas otomatis terdiam. Raka yang sudah siap menerima jawaban dari Acong membeku. Acong sendiri mendadak kehilangan suara. Omen yang masih dalam posisi membisik langsung menggigit lidahnya sendiri.
Mereka menoleh perlahan.
Pak Supri berdiri dengan tangan terlipat, tatapan tajamnya menyapu mereka satu per satu.
“Kalian lagi bisnis apa?” tanyanya, nada suaranya setenang penagih utang sebelum meneror lebih lanjut.
“Eh… anu, Pak…” Acong membuka mulut, tapi otaknya nggak menemukan alasan yang masuk akal.
Tiba-tiba Omen bersuara. “Kami lagi latihan pernapasan, Pak!”
Pak Supri mengangkat alis. “Latihan pernapasan?”
Omen mengangguk semangat. “Iya! Kata Bu Siska, olahraga pernapasan itu bagus buat kesehatan. Nah, kami tadi sedang mengontrol suara pernapasan supaya tetap stabil di situasi ujian yang menegangkan ini!”
Seisi kelas yang mendengar alasan nggak masuk akal itu langsung menahan tawa. Bahkan Nindi yang biasanya kalem hampir keselek napasnya sendiri.
Pak Supri menghela napas. “Baiklah. Karena kalian terlalu banyak bicara, aku ada solusi terbaik.”
Geng Meja Belakang langsung menegang.
“Kumpulkan kertas ujian kalian sekarang.”
Serentak, empat kepala itu langsung menoleh dengan ekspresi horor.
“Pak, tapi—”
“Nggak ada tapi. Kalau kalian bisa ngobrol santai di tengah ujian, berarti kalian sudah selesai.”
Acong, Omen, Raka, dan Gilang hanya bisa saling pandang. Hanya ada satu kata di kepala mereka.
GAGAL TOTAL.
NASA Versi Acong
Setelah misi menyontek mereka gagal total dan lembar ujian diambil paksa oleh Pak Supri, geng Meja Belakang hanya bisa pasrah menatap masa depan yang suram. Mereka duduk di kantin, terdiam seperti sekumpulan filsuf yang baru saja menemukan kenyataan pahit kehidupan.
“Udahlah, ini pertanda kita harus mulai belajar beneran,” ucap Gilang akhirnya.
“Tidak!” seru Acong dramatis. “Kita butuh strategi baru!”
Raka mendesah. “Cong, kita udah kena hukuman. Lembar ujian udah diambil. Kita udah mati, paham? Udah telat buat strategi baru.”
Acong menyeringai licik. “Kalian lupa? Masih ada ujian Matematika minggu depan.”
Mata Raka, Gilang, dan Omen langsung melebar.
“Kamu punya rencana?” tanya Omen penuh harap.
Acong mengangguk penuh percaya diri. “Dengerin baik-baik, ini bukan strategi biasa. Ini… NASA versi Acong.”
Gilang mengerutkan dahi. “NASA? Maksudnya, kayak badan antariksa itu?”
Acong mengangguk mantap. “Betul. Tapi dalam kasus kita, NASA itu singkatan dari ‘Nyontek Aman Sampai Akhir’!”
Seketika mereka semua memasang ekspresi kagum sekaligus curiga.
“Jadi gini, nanti pas ujian Matematika, kita akan gunakan teknologi canggih yang sudah aku kembangkan semalaman,” lanjut Acong, matanya berbinar penuh semangat.
Raka menyipitkan mata. “Teknologi canggih? Jangan bilang kamu nyari contekan dari internet.”
“Lebih dari itu,” kata Acong penuh misteri. “Kalian pasti tau tentang Smartwatch, kan?”
“Ya, terus?”
“Aku udah modifikasi jam tangan ini buat jadi alat komunikasi rahasia! Kita bisa saling kirim jawaban lewat sinyal Morse!”
Hening.
Raka, Gilang, dan Omen saling pandang.
“Cong… dari kapan kamu bisa Morse?” tanya Omen.
Acong mengangkat bahu. “Belum bisa sih, tapi kita masih punya waktu seminggu buat belajar.”
Mereka semua langsung menepuk dahi.
“Kita tuh mau ujian Matematika, bukan latihan jadi agen rahasia,” keluh Raka.
“Tapi bayangin betapa kerennya kalau kita berhasil!” Acong makin bersemangat. “Ini bakal jadi revolusi dalam dunia percontekkan!”
Sementara yang lain masih ragu, Omen malah terlihat tertarik. “Hmm… kalau kita pake kode sederhana, mungkin bisa aja berhasil.”
“Tu kan!” seru Acong. “Makanya, kita mulai latihan dari sekarang!”
Akhirnya, meski dengan setengah hati, geng Meja Belakang mulai latihan kode Morse. Acong menuliskan beberapa simbol dasar di kertas, lalu mereka mencoba mengirim sinyal dengan cara mengetuk meja.
“…Tunggu, tadi aku ngirim kode ‘B’ atau ‘D’ ya?” tanya Raka kebingungan.
“Kamu malah kirim ‘Z’ barusan,” jawab Gilang.
“Kepalaku pusing,” keluh Omen sambil memijit pelipisnya.
“Guys, fokus! Ini baru awal,” seru Acong.
Mereka terus mencoba, tapi hasilnya tetap kacau. Setiap kali ada yang mencoba mengetuk kode, yang lain malah salah mengartikan pesan. Bahkan di satu titik, Raka tanpa sengaja mengirim kode yang artinya “Gorengan dua, tambah tahu” yang langsung membuat mereka tertawa ngakak.
“Cong, kayaknya NASA versi kamu gagal,” kata Omen akhirnya, setelah mereka hampir menyerah.
“Tunggu, aku punya Plan B!”
Mereka semua menghela napas.
“Apa lagi?”
Acong merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebuah pensil biasa.
“Ta-daa!” katanya bangga.
“…Pensil?” Gilang melotot. “Cong, kamu pikir kita nggak pernah liat pensil sebelum ini?”
Acong terkekeh. “Bukan sembarang pensil. Ini… Pensil Super Contekan!”
Dia memutar bagian belakang pensil, dan ujungnya langsung terbuka, memperlihatkan gulungan kecil kertas berisi rumus-rumus Matematika yang sudah ditulis rapi.
Mata mereka semua membesar.
“Acong, ini… jenius,” kata Raka dengan kagum.
“Sudah kuduga aku berbakat,” ucap Acong dengan bangga.
Tapi sebelum mereka bisa merayakan penemuan luar biasa itu, tiba-tiba terdengar suara tegas di belakang mereka.
“Apa itu yang kalian pegang?”
Mereka semua membeku.
Pelan-pelan, mereka menoleh.
Bu Rini, guru Matematika mereka, berdiri dengan tangan terlipat dan tatapan tajam.
Gilang langsung menyenggol Acong dengan panik. “Cong, sembunyiin! Sembunyiin!”
Tapi sialnya, Acong malah refleks menjatuhkan pensilnya. Pensil itu memantul di meja dan gulungan kertas kecilnya langsung keluar… tepat di depan Bu Rini.
Raka menutup muka. Omen pura-pura pingsan. Gilang kehilangan kata-kata.
Bu Rini memungut kertas itu, membaca isinya, lalu menatap mereka dengan ekspresi yang sulit diartikan.
“Kalian semua ikut saya ke ruang guru. Sekarang.”
Geng Meja Belakang hanya bisa pasrah.
NASA versi Acong? Misi gagal total. Lagi.
Hukuman Terberat
Geng Meja Belakang berjalan menuju ruang guru dengan wajah penuh penderitaan. Di belakang mereka, Bu Rini berjalan dengan langkah tegas, seakan siap menjatuhkan vonis hukuman paling kejam dalam sejarah sekolah.
Begitu mereka sampai, Pak Supri—guru BP yang terkenal lebih mengerikan daripada ujian Matematika itu sendiri—sudah menunggu di dalam. Tangannya bersedekap, ekspresinya seperti harimau yang baru saja menemukan empat ekor kambing tersesat.
“Jadi, ada yang mau jelasin kenapa kalian berusaha bawa contekan ke ujian?” tanyanya dengan suara dalam yang bikin bulu kuduk berdiri.
Mereka semua saling melirik, berharap ada yang cukup berani untuk berbicara.
“Err… sebenarnya, Pak, ini semua cuma kesalahpahaman,” kata Raka akhirnya.
Pak Supri menaikkan alis. “Kesalahpahaman?”
“I-iya, Pak,” Omen ikut bicara. “Pensil itu bukan buat nyontek, tapi buat… buat… apa ya?”
Gilang menyikutnya. “Buat motivasi belajar, Pak!”
Bu Rini mendengus. “Motivasi belajar dari kertas contekan di dalam pensil?”
Mereka semua mengangguk cepat.
Pak Supri menghela napas panjang. “Baik, saya beri kalian pilihan,” katanya. “Hukuman pertama: laporan ke orang tua kalian dan surat peringatan resmi dari sekolah.”
Mata mereka langsung melebar.
“Ada pilihan lain, kan, Pak?” tanya Acong dengan harapan terakhir.
Pak Supri menyeringai. “Ada. Hukuman kedua: kalian harus bersih-bersih toilet sekolah selama seminggu, pakai seragam olahraga, dan harus absen ke saya setiap pagi sebelum jam pelajaran dimulai.”
Mereka semua langsung berpandangan.
“Lapor ke orang tua atau bersih-bersih toilet?” gumam Raka.
Omen menggeleng cepat. “Gila, kalau emak gue tahu, tamat riwayatku.”
Gilang menelan ludah. “Bersih-bersih toilet seminggu nggak apa-apa lah… daripada gue diusir dari rumah.”
Mereka pun akhirnya memilih hukuman kedua.
Dan begitulah, keesokan harinya, geng Meja Belakang resmi menjadi pasukan kebersihan toilet sekolah. Dengan seragam olahraga lusuh dan sarung tangan karet yang terlalu besar, mereka menghadap kenyataan pahit dari hukuman yang mereka pilih.
“Acong, ini semua salah kamu,” gumam Raka sambil menyikat lantai toilet dengan ekspresi frustasi.
“Aku cuma pengen kita lulus dengan damai,” balas Acong sambil mengangkat ember penuh air sabun.
“NASA versi kamu gagal total, Cong,” kata Gilang.
“NASA mungkin gagal, tapi kita belajar sesuatu,” ujar Acong bijak.
Omen mendengus. “Belajar apa? Kalau nyontek itu sulit?”
Acong tersenyum penuh arti. “Belajar kalau ternyata kita bisa lulus tanpa nyontek.”
Mereka terdiam sejenak, lalu menatap Acong dengan pandangan heran.
“Cong, kita belum lulus,” kata Raka.
“Tugas Matematika aja nggak pernah selesai,” tambah Gilang.
“Hari ini aja masih kena hukuman,” ujar Omen.
Acong tertawa kecil. “Ya udah, yang penting kita coba lulus dengan usaha sendiri. Siapa tau kita jadi pintar beneran!”
Mereka semua tertawa. Meski sedang membersihkan toilet, untuk pertama kalinya, geng Meja Belakang merasa seperti tim yang kompak.
Dan mungkin, hanya mungkin, mereka akhirnya belajar sesuatu yang lebih penting dari sekadar rumus Matematika.
adi, apa yang kita pelajari dari cerita ini? Nyontek itu bukan cuma dosa akademik, tapi juga berisiko bikin kamu jadi petugas kebersihan sekolah secara gratis!
Geng Meja Belakang udah cukup jadi korban eksperimen contekan gagal, jadi buat kamu yang masih punya niat curang pas ujian… mending belajar beneran deh! Siapa tau nanti malah jadi jenius beneran kayak Acong (walaupun itu masih mitos). Sampai jumpa di cerita kocak selanjutnya, jangan lupa belajar ya, bukan nyontek!


