Daftar Isi
Hai, guys! Siapa nih yang pernah ngerasain tugas sekolah yang kayaknya nggak ada habisnya? Nah, cerpen kali ini bakal ngasih tahu gimana dua bocah usil yang dengan ide brilian mereka, malah bikin masalah yang lebih besar.
Cokro dan Gondes, dua sahabat yang selalu aja ada cara buat ngehindar dari tugas, tapi… ya, kalian bisa tebak lah, hasilnya gak sesuai ekspektasi. Penasaran? Yuk, langsung aja simak ceritanya!
Cerpen Lucu Anak Sekolah
Jenius Abal-Abal Kembali Beraksi
Kelas 7C udah terkenal di seluruh sekolah. Bukan karena murid-muridnya pinter, tapi karena isinya bocah-bocah absurd yang tingkahnya suka bikin guru geleng-geleng kepala. Tiap ada pelajaran serius, pasti ada aja kejadian yang bikin satu kelas heboh.
Hari itu, Pak Dadang masuk kelas dengan wajah penuh wibawa. Matanya menyapu ke seluruh penjuru ruangan, memastikan nggak ada yang main HP atau tidur di atas meja. Semua murid langsung pura-pura fokus. Padahal, lima detik sebelumnya mereka masih main tepuk pundak.
Pak Dadang menaruh buku di meja dengan suara “BUK!” yang bikin beberapa anak refleks tegak duduk.
“Baik, anak-anak. Hari ini kita belajar tentang persamaan kuadrat.”
Langsung aja, satu kelas mendadak sunyi. Bukan karena serius, tapi lebih ke panik. Bagi mereka, persamaan kuadrat itu lebih menakutkan daripada kuntilanak di pojokan kamar mandi sekolah.
Pak Dadang mulai menulis soal di papan.
“X² + 3X – 4 = ?”
Sontak, beberapa anak saling lirik-lirikan. Ada yang sibuk ngelus dagu kayak detektif, ada yang garuk-garuk kepala padahal nggak gatel, ada juga yang tiba-tiba jadi filsuf dan menatap jendela sambil merenung.
Tapi di tengah suasana mencekam itu, tiba-tiba Cokro—si anak paling percaya diri seantero 7C—angkat tangan.
“Pak! Aku mau jawab!”
Seisi kelas langsung melirik Cokro dengan tatapan yang terbagi dua. Setengah kagum, setengah heran. Soalnya, Cokro ini terkenal suka sok tau. Nggak jarang dia maju ke depan kelas dengan percaya diri, cuma buat akhirnya balik ke tempat sambil malu sendiri.
Pak Dadang mengangguk, mempersilakan. Cokro maju ke depan dengan langkah penuh keyakinan. Ditariknya kapur dari tangan Pak Dadang, lalu mulai mencorat-coret papan tulis.
Setelah beberapa detik penuh keheningan dan tatapan penasaran dari satu kelas, akhirnya…
Cokro berhenti.
Terdiam.
Garuk-garuk kepala.
Kemudian menoleh ke belakang dengan tampang lugu.
“Ehm, Pak… Aku lupa caranya.”
Seketika, ruangan yang tadinya penuh ketegangan langsung meledak dalam tawa. Beberapa anak sampai nepok jidat sendiri. Ada yang langsung nyender ke meja saking ngakaknya, ada juga yang nyorakin.
“WOYYY!!!”
Pak Dadang menatap Cokro lama, lalu menghela napas panjang. Sangat panjang. Seolah sedang mempertanyakan keputusan hidupnya kenapa harus jadi guru Matematika di kelas 7C.
“Cokro, kalau lupa, kenapa kamu maju?” tanya Pak Dadang dengan nada lelah.
Cokro nyengir. “Aku kira bakal inget pas udah di depan, Pak.”
Pak Dadang pijit pelipis. “Udah, duduk sana.”
Cokro pun balik ke tempatnya dengan kepala tegak, seolah dia baru aja melakukan sesuatu yang keren. Sementara itu, kelas masih ketawa-ketawa.
Tapi, belum selesai sampai di situ.
Dari belakang, tiba-tiba Gondes—si anak paling usil—angkat tangan dengan semangat.
“Pak! Aku mau coba!”
Pak Dadang yang udah pasrah cuma bisa mengangguk. “Silakan.”
Dengan langkah pede, Gondes maju ke depan. Dia menatap soal di papan, mengerutkan kening sebentar, lalu dengan penuh keyakinan, menulis jawaban di bawahnya:
“X² + 3X – 4 = Puyeng.”
Satu kelas langsung meledak lagi. Bahkan lebih heboh dari sebelumnya. Ada yang sampai nangis ketawa, ada yang mukul-mukul meja, ada juga yang nyender ke tembok sambil megang perut.
Pak Dadang menatap jawaban itu lama. Sangat lama. Seolah otaknya sedang berusaha menerima kenyataan bahwa dua muridnya barusan menghancurkan konsep Matematika dengan cara paling absurd.
Akhirnya, Pak Dadang menarik napas panjang, sangat panjang untuk kedua kalinya hari ini.
“Cokro. Gondes. Keluar.”
Cokro dan Gondes melirik satu sama lain. Mereka nggak langsung jalan, masih berusaha memastikan barangkali mereka salah denger.
“Keluar. Sekarang.” ulang Pak Dadang dengan nada lebih tegas.
Tanpa protes, mereka pun melangkah ke luar kelas. Tapi bukannya merasa bersalah, mereka malah cekikikan di depan pintu.
Sementara itu, di dalam kelas, anak-anak masih ketawa-ketawa. Beberapa bahkan sibuk menyalin jawaban Gondes ke buku catatan, sekadar buat kenang-kenangan.
Dan Pak Dadang? Dia cuma bisa menatap papan tulis dengan pandangan kosong, mempertanyakan apakah gajinya cukup untuk menghadapi murid-murid 7C setiap hari.
X² + 3X – 4 = Puyeng
Cokro dan Gondes berdiri di depan kelas dengan ekspresi antara bangga dan geli. Mereka nggak kelihatan kayak anak yang baru dihukum, lebih kayak dua orang juara lomba ketawa yang lagi merayakan kemenangan.
“Kita kayak pahlawan nggak sih?” bisik Gondes sambil melirik ke dalam kelas.
“Jelas,” jawab Cokro pede. “Baru aja kita menyelamatkan satu kelas dari Matematika yang bikin pusing.”
Mereka pun cekikikan lagi.
Tapi kesenangan mereka nggak berlangsung lama. Dari ujung lorong, muncul sosok yang bikin bulu kuduk merinding—Bu Ratna.
Bu Ratna ini guru paling ditakuti di sekolah. Bukan karena galak, tapi karena beliau punya tatapan mata yang bisa bikin murid langsung merasa bersalah sebelum ditanya apa-apa. Kalau kena tatapan itu, rasanya kayak seluruh dosa dari kelas satu SD sampai sekarang langsung keinget semua.
Bu Ratna melangkah mendekati mereka dengan tatapan tajam.
“Kenapa kalian di luar?” tanyanya dengan nada yang dingin tapi mematikan.
Cokro dan Gondes langsung refleks berdiri tegap.
“Eee… ini, Bu,” Cokro mencoba menjawab, tapi otaknya masih loading.
“Lagi refreshing, Bu,” Gondes malah jawab asal.
Bu Ratna menyipitkan mata.
“Refreshing?”
“I-iya, Bu,” lanjut Gondes dengan gaya meyakinkan. “Pak Dadang baik banget. Beliau tahu kami butuh udara segar biar otak bisa bekerja lebih baik. Jadi kami dikasih kesempatan buat berpikir di luar kelas.”
Cokro buru-buru mengangguk. “Betul, Bu. Kami sedang… eee… mendalami makna X² + 3X – 4. Sambil menikmati angin sepoi-sepoi.”
Bu Ratna diam sebentar. Matanya menelusuri wajah dua bocah absurd ini.
“Oh, jadi kalian berpikir di luar kelas?” tanyanya datar.
Cokro dan Gondes kompak mengangguk.
Bu Ratna tersenyum tipis. Itu bukan senyum ramah. Itu senyum berbahaya.
“Baik,” katanya. “Kalau begitu, saya bantu kalian berpikir lebih dalam lagi. Silakan bersihkan halaman sekolah sambil memikirkan jawaban soal tadi.”
“Hah?!”
Mata mereka langsung melebar. Ini nggak sesuai rencana! Mereka kira paling cuma disuruh berdiri sampai pelajaran selesai, bukan tiba-tiba dijadiin petugas kebersihan dadakan!
“T-tapi, Bu—”
“Tanpa tapi,” potong Bu Ratna tegas. “Sekalian biar otak kalian lebih encer. Kan kalian bilang butuh udara segar?”
Dengan pasrah, Cokro dan Gondes akhirnya berjalan ke halaman sekolah sambil membawa sapu dan pengki. Mereka menatap daun-daun berguguran dengan perasaan campur aduk.
“Bro, ini bukan refreshing, ini kerja rodi,” gumam Cokro sambil nyapu dengan malas.
Gondes mendengus. “Udah, nyapu aja. Daripada kita disuruh ngepel aula.”
Mereka akhirnya mulai bersih-bersih sambil sesekali curi-curi lihat ke dalam kelas. Teman-teman mereka masih belajar, tapi sesekali ada yang melirik ke luar sambil nahan tawa.
Pak Dadang juga sempat keluar sebentar. Dia menatap mereka berdua, menghela napas, lalu balik ke dalam lagi tanpa bilang apa-apa.
“Kayaknya Pak Dadang udah terlalu lelah sama kita,” bisik Gondes.
Cokro mengangguk serius. “Aku rasa gaji beliau nggak cukup buat nanggung keberadaan kita.”
Mereka pun melanjutkan menyapu dengan penuh penderitaan. Tapi tentu saja, penderitaan ini belum selesai. Karena setelah ini, sesuatu yang lebih absurd bakal terjadi…
Udara Segar, Otak Encer?
Cokro dan Gondes masih berkutat dengan sapu dan pengki di halaman sekolah. Matahari makin terik, baju mereka mulai basah oleh keringat, dan yang paling nyebelin—daun-daun ini nggak ada habisnya!
“Bro, ini daun apa penyihir sih?” keluh Cokro sambil menatap tumpukan daun yang seolah bertambah banyak padahal udah mereka sapu dari tadi.
“Aku curiga ini pohon ada dendam sama kita,” jawab Gondes sambil menatap pohon besar di tengah halaman. “Tiap kita nyapu, dia ngejatuhin daun baru. Ini sabotase!”
Cokro mendengus. “Udah gitu, angin juga kayaknya nggak mendukung kita, bro.”
Benar saja. Begitu mereka berhasil mengumpulkan satu tumpukan daun, angin tiba-tiba bertiup kencang, langsung menyebarkan daun-daun itu ke seluruh halaman lagi.
“YA ALLAH, KENAPA?!”
Mereka teriak frustasi.
Dari kejauhan, Bu Ratna yang masih mengawasi mereka tersenyum tipis, menikmati penderitaan dua bocah absurd ini.
Tiba-tiba, Gondes mendapatkan ide brilian.
“Bro, kita butuh strategi,” katanya serius. “Kita harus cari cara biar kerjaan ini cepat kelar.”
“Setuju. Tapi gimana caranya?”
Gondes melirik ke belakang, memastikan Bu Ratna nggak terlalu memperhatikan, lalu membisikkan sesuatu ke Cokro.
Cokro mendengarkan rencana itu dengan seksama, lalu mengangguk mantap. “Genius. Ayo laksanakan.”
Mereka segera beraksi. Gondes mengumpulkan semua daun dalam satu tumpukan besar, sementara Cokro lari ke gudang alat kebersihan. Dia balik lagi sambil bawa kipas angin industrial yang biasanya dipakai buat acara sekolah.
“Oke, ini idenya,” kata Gondes. “Kita nyalain kipas ini ke arah luar pagar sekolah. Jadi, semua daun bakal langsung kebuang keluar.”
“Luar biasa,” puji Cokro. “Dengan ini, kita menyelesaikan tugas tanpa harus kerja keras.”
Mereka segera menyusun strategi. Cokro menyalakan kipas, sementara Gondes berdiri di belakangnya sambil merapikan arah daun-daun supaya semuanya terhempas keluar pagar.
Begitu kipas dinyalakan…
WHOOOOOOOSHHH!!
Daun-daun langsung beterbangan dengan kecepatan tinggi. Mereka mulai tertawa puas melihat halaman sekolah yang perlahan bersih dalam waktu singkat.
“Bro, ini jenius banget!” seru Cokro.
“Bukan cuma jenius,” kata Gondes. “Ini revolusi kebersihan!”
Tapi di saat mereka sedang menikmati keberhasilan mereka…
“COKRO! GONDES!”
Suara Bu Ratna menggema.
Mereka menoleh dengan wajah pucat.
Dan di depan mereka… Bu Ratna sudah berdiri dengan penuh amarah. Bajunya penuh daun kering, rambutnya juga ketempelan beberapa helai, dan ekspresinya… ya Allah, tolong!
Rupanya, angin dari kipas terlalu kuat dan malah membuat daun-daun terbang ke segala arah—termasuk ke arah Bu Ratna!
Bu Ratna mengambil napas dalam-dalam.
“Jelaskan,” katanya pelan, tapi nadanya lebih seram dari teriakan.
Cokro dan Gondes langsung refleks saling tunjuk.
“Ini ide dia, Bu!”
“Bukan! Ini rencana dia, Bu!”
Bu Ratna menutup matanya, berusaha menahan emosi. Lalu dia membuka mata dan menatap mereka dengan tatapan penuh ancaman.
“Baik. Karena kalian sangat inovatif dalam bekerja, saya punya tugas tambahan untuk kalian.”
Mereka langsung merinding.
“Mulai sekarang, kalian jadi petugas kebersihan tetap setiap pagi sebelum kelas dimulai. Dan setiap Sabtu, kalian bantu tukang kebun menyapu halaman ini sampai bersih.”
“HAAA?!!”
Mereka berdua langsung ingin pingsan di tempat.
Dan begitulah, rencana brilian mereka malah berujung pada hukuman lebih berat. Sepertinya, mereka baru saja menemukan hukum baru dalam kehidupan sekolah:
“Semakin kreatif cara menghindari tugas, semakin berat hukumannya.”
Tobat atau Cari Akal Lagi?
Sabtu pagi yang cerah, burung-burung berkicau, angin sepoi-sepoi berhembus, dan dua bocah malang, Cokro dan Gondes, berdiri dengan sapu di tangan.
Mereka menatap halaman sekolah dengan ekspresi penuh penderitaan.
“Bro,” Cokro mengeluh, “ini nggak adil. Kenapa kita harus jadi tukang sapu tetap? Ini sekolah, bukan kantor kebersihan.”
“Sabar, bro,” jawab Gondes pasrah. “Kita cuma harus sabar… selama setahun ke depan.”
Cokro ingin menangis.
Baru lima menit menyapu, Gondes tiba-tiba menjatuhkan sapunya.
“Nggak bisa gini terus, bro,” katanya. “Kita harus cari jalan keluar.”
Cokro langsung siaga. “Maksud kamu?”
Gondes menyeringai licik. “Kita cari anak lain buat gantiin tugas kita.”
“Oke. Aku suka cara berpikir kamu,” kata Cokro. “Siapa targetnya?”
Mereka mulai memindai lapangan sekolah seperti detektif yang mencari tersangka.
Lalu mereka melihat Samsul dan Kodir, dua anak kelas tujuh yang baru masuk dan masih polos.
“Bro, lihat itu,” bisik Gondes. “Mangsa empuk.”
Cokro mengangguk. “Ayo kita dekati mereka dengan taktik halus.”
Mereka pun mendekat. Samsul dan Kodir sedang main lempar-lemparan batu kecil di halaman sekolah.
“Hey, adik-adik yang rajin,” sapa Gondes dengan nada manis.
Samsul dan Kodir menoleh.
“Eh, kakak-kakak kelas yang terkenal,” kata Kodir.
Cokro dan Gondes langsung membusungkan dada.
“Kalian suka kegiatan sosial nggak?” tanya Cokro.
“Suka, Kak! Kami senang membantu!” jawab Samsul polos.
Mereka kena jebakan.
Gondes segera merangkul bahu mereka. “Kebetulan! Sekolah kita punya program sosial rahasia buat murid-murid terpilih.”
“Oh iya? Program apa?” tanya Kodir antusias.
“Namanya ‘Pahlawan Kebersihan Muda’,” jawab Cokro meyakinkan. “Cuma orang-orang terhormat yang bisa ikut.”
Samsul dan Kodir mulai kelihatan tertarik.
“Terus tugasnya ngapain, Kak?”
Gondes dan Cokro bertukar pandang, lalu tersenyum licik.
“Menyapu halaman sekolah, tentu saja!”
Samsul dan Kodir mengangguk penuh semangat.
“Kami mau, Kak! Kami siap!”
LIMA MENIT KEMUDIAN…
Cokro dan Gondes duduk santai di bawah pohon sambil minum es teh yang mereka beli di kantin. Sementara itu, Samsul dan Kodir sibuk menyapu halaman sekolah.
“Bro, kita jenius,” kata Cokro sambil menyeruput es tehnya.
“Kita nggak cuma cerdas, kita visioner,” tambah Gondes.
Tapi kebahagiaan mereka tak bertahan lama.
“COKRO! GONDES!”
Suara Bu Ratna kembali menggema.
Mereka menoleh, dan jantung mereka langsung copot.
Bu Ratna berdiri dengan tangan di pinggang, wajahnya merah padam, dan di sampingnya berdiri Samsul dan Kodir yang tampak kebingungan.
“Tolong jelaskan,” kata Bu Ratna dengan nada yang tak ingin mereka dengar.
Cokro dan Gondes langsung bangkit, bersiap melarikan diri.
Tapi sebelum mereka bisa kabur…
“Jangan coba-coba lari!”
Dan akhirnya, mereka tahu… hukumannya bakal lebih berat dari sebelumnya.
Begitulah kisah dua bocah jenius yang terlalu cerdas sampai akhirnya malah menggali kuburnya sendiri.
Jadi, pelajaran dari cerpen ini apa? Jangan pernah coba-coba nyari jalan pintas buat ngindarin tugas, apalagi kalo ngandelin ide gokil kayak Cokro dan Gondes.
Soalnya, meskipun mereka jenius, tetap aja karma itu selalu datang. Kalo kalian pernah ngerasain hal yang sama, komen di bawah dong, siapa tau kita semua bisa ketawa bareng. Sampai jumpa di cerita selanjutnya, guys!


