Daftar Isi
Kamu pernah nggak sih ngerasa kayak lagi di-prank parah sama temen-temen kamu? Kayak, udah susah-susah mikir, eh tiba-tiba kejadian yang kamu nggak expect malah terjadi.
Ini cerita tentang lima sahabat yang lagi seru-serunya, eh malah terjebak dalam misteri yang nggak cuma bikin mereka ketawa, tapi juga bikin deg-degan nggak karuan. So, siap-siap deh buat ngebaca kelucuan dan kekacauan yang mereka hadapi. Udah siap ketawa bareng? Yuk, baca terus!
Prank yang Gak Terduga!
Rumah Kosong, Hantu? Atau Prank?
Suasana malam itu cukup mendukung rencana mereka—gelap dan sunyi. Hanya ada suara angin yang sesekali berbisik, seolah-olah menyampaikan sesuatu yang tak terdengar jelas. Rumah itu, yang tampak begitu sunyi dan terabaikan, seakan menjadi latar sempurna untuk petualangan yang sudah lama mereka rencanakan.
Lima sahabat—Bagas, Timo, Danu, Raka, dan Juki—berdiri di depan pagar besi tua rumah kosong yang sudah lama tidak berpenghuni. Dari luar, rumah itu tampak menyeramkan dengan cat yang mulai pudar dan jendela-jendela yang tampaknya sudah lama tak pernah dibuka. “Oke, guys, kita udah sampai. Rumah kosong ini bakal jadi tempat kita buktikan kalau hantu itu nggak ada,” kata Bagas sambil melirik teman-temannya yang kelihatan agak cemas.
“Emang kita mau apa di sini? Aku sih nggak percaya hantu,” jawab Timo, yang meski terlihat cuek, bisa dibilang sedikit cemas juga.
Danu, yang dari tadi diam, akhirnya membuka mulut. “Gini aja, kita bagi tugas. Dua orang jaga di luar, tiga orang masuk ke dalam. Kalau ada hantu, yang di luar bisa kabur duluan, kan?” Tawa canggung pun terdengar, karena sebenarnya, meskipun mereka berusaha terlihat pemberani, semua tahu bahwa mereka juga nggak yakin dengan keberanian masing-masing.
“Apa lo nggak takut ada hantu ngikutin kita nanti?” Raka tiba-tiba bertanya, matanya melirik rumah dengan khawatir.
“Lo takut hantu? Gue lebih takut ditinggalin sama pacar gue kalau dia tahu gue lebih sering nongkrong di sini daripada di rumah,” jawab Bagas, sambil nyengir. “Oke, jadi siapa yang masuk duluan?”
Timo mengangkat tangan, dengan nada bercanda. “Gue yang duluan, gue yang paling kuat di sini, kan?” Dia berjalan ke pintu, dan dengan gagah membuka pintu kayu yang berdecit keras.
“Lo pikir itu suara hantu, Timo? Itu suara pintu, bro,” kata Danu, hampir sambil tertawa. Tapi ada ketegangan yang tidak bisa disembunyikan dari suaranya.
Begitu mereka melangkah masuk, suasana rumah semakin terasa aneh. Debu menumpuk di setiap sudut, dan udara di dalam terasa dingin, meski sebenarnya tidak terlalu dingin di luar. “Nggak berasa sih… Kayaknya emang cuma rumah kosong biasa,” kata Juki, yang paling kalem di antara mereka. Tapi, sepertinya dia juga nggak terlalu yakin.
“Tapi coba deh, liat deh tuh. Di langit-langit tuh ada sarang laba-laba sebesar gitu,” ujar Bagas, sambil menunjuk ke sudut ruangan.
“Ya, makanya lo jangan ngajakin gue ke sini! Ini rumah bisa jadi sarang laba-laba, bukan rumah hantu!” kata Raka, hampir menunduk karena takut ada sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari atas.
Sementara mereka berjalan lebih jauh ke dalam, tiba-tiba terdengar suara berderak dari arah belakang mereka, seolah-olah ada sesuatu yang bergerak. Mereka langsung saling pandang. Danu, yang tadi sedikit bercanda, kini terlihat lebih serius. “Itu bukan suara kita,” katanya, suara sedikit gemetar. “Ada yang lain di sini, kan?”
“Tunggu, guys,” kata Bagas, mengangkat tangannya untuk menenangkan. “Ini pasti angin. Coba tenang dulu.”
Tapi, tak lama setelah itu, lampu di ruang depan yang sebelumnya mati mendadak berkedip beberapa kali, lalu mati lagi. Semua langsung terdiam.
Juki, yang tadi berusaha tetap tenang, akhirnya membuka mulut. “Guys, itu nggak kayak angin. Lo liat nggak, lampunya nyala, terus mati, nyala lagi… Itu gimana, coba? Bukan cuma angin doang, nih.”
Raka mendekati Juki. “Iya, gue liat. Tapi ya gitu deh, kita coba aja lanjut aja… Kalau ada yang aneh, kita kabur, ya.”
Semua setuju, dan mereka melanjutkan perjalanan, namun kali ini lebih pelan. Setiap suara yang mereka dengar terasa seperti ada yang mengawasi mereka dari belakang.
Tiba-tiba, dari dalam rumah yang gelap, terdengar suara tawa…
“HAAAAHHAHAHAHAAHAHA!”
Suara itu membuat mereka semua membeku. Semua langsung menoleh ke satu sama lain. Timo bahkan hampir terjatuh karena kaget. “Siapa itu?” bisiknya dengan suara tercekat.
“Lo denger itu juga kan?” tanya Danu dengan nada cemas.
“Siapa yang ketawa, sih?!” teriak Juki, matanya mulai melotot. “Gue nggak mau main-main! Kalau ada yang ngeprank, gue…” Juki berhenti bicara, dia kelihatan hampir panik.
Bagas, yang sebelumnya tenang, mulai merasa ada yang aneh. “Gue yakin, itu bukan suara kita. Itu suara orang… atau lebih tepatnya, suara yang kayak orang bercanda, tapi nggak lucu.”
“Gue sih udah mulai ngeri. Jangan bilang kalau ada yang ngikutin kita!” ujar Timo, sambil memandang sekeliling dengan curiga.
Suara tawa itu kembali terdengar, lebih keras dari sebelumnya. “HAHAHAHAHAHA!”
Itu jelas bukan suara angin. Itu suara seseorang yang dengan sengaja menunggu mereka.
Lima sahabat itu saling pandang, merasa ketegangan semakin mengental. “Kita harus keluar dari sini, sekarang!” kata Bagas dengan tegas, suaranya bergetar.
Namun, ketika mereka berbalik dan berlari ke pintu… pintu itu tertutup dengan sendirinya.
“Sialan…!” teriak Raka, mencoba membuka pintu, namun pintunya terkunci dari luar.
Semua saling pandang. Mereka terkunci.
Di luar, hanya ada suara tawa yang semakin mendekat.
Lampu, Kunci, dan Tawa yang Menyebalkan
Ketegangan di dalam rumah itu semakin terasa. Lima sahabat saling melirik, masing-masing dengan ekspresi yang tak bisa disembunyikan. Juki, yang biasanya tenang, tampak gelisah, matanya terus mencari-cari jalan keluar. “Gimana nih? Kita nggak bisa keluar! Itu suara… dari mana sih?” suaranya hampir berbisik, penuh kecemasan.
Bagas, yang masih berusaha terlihat tenang, mulai merasa khawatir juga. “Jangan panik dulu, guys. Pasti ada penjelasan logisnya. Coba periksa sekitar.” Namun, walau dia berusaha meyakinkan teman-temannya, suaranya sendiri tidak bisa menutupi kegelisahan yang mulai merayapi dirinya.
Timo, yang sudah mulai merasa tidak nyaman dengan situasi ini, mulai menekan-nekan saklar lampu, berharap itu bisa menenangkan suasana. Lampu yang sebelumnya berkedip itu kini mati total. “Jangan bilang kalau ini juga bagian dari prank!” teriaknya, frustasi.
Raka, yang sedari tadi hanya diam menatap pintu yang terkunci, tiba-tiba mendekati salah satu jendela. Ia meraba kaca yang buram, mencoba mencari jalan keluar dengan cara lain. “Gila, ini kenapa bisa terkunci? Dulu kan nggak begini,” gumamnya, sedikit bingung.
“Lo yakin itu bukan karena kita udah terlalu lama di sini?” Danu yang jarang mengeluarkan pendapat tiba-tiba membuka suara, menatap sekeliling dengan cemas. “Apa kalau kita diam-diam aja, nanti bisa… keluar dengan lancar?”
“Diam nggak bakal nyelametin kita, Danu!” kata Juki, sedikit keras. “Kita butuh solusi, bukan cuma bisik-bisik doang!”
Tiba-tiba, suara tawa itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras, hampir seolah-olah datang dari tengah ruangan, mengiringi langkah mereka yang semakin panik. “HAHAHAHAHAHA!”
Itu jelas suara yang tidak berasal dari salah satu dari mereka. Suara itu lebih tajam, lebih jelas, dan lebih dekat. Tanpa berpikir panjang, Bagas segera berlari ke sudut ruangan dan mengetuk pintu yang terkunci, berharap ada seseorang di luar yang akan membuka. Namun, tak ada jawaban.
“Ini nggak masuk akal,” gumam Bagas, memukul pintu dengan frustrasi. “Ada yang mainin kita, nih!”
Namun, sebelum mereka sempat berdebat lebih jauh, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar keras di atas lantai kayu, membuat mereka semua menoleh secara bersamaan.
“Siapa itu?! Keluar!” teriak Timo, suaranya serak.
Tidak ada jawaban, hanya langkah kaki yang semakin mendekat, makin jelas dan berat. Mereka semua berdiri tegak, tubuh mereka tegang, dan setiap detak jantung seolah terdengar di telinga masing-masing. Tiba-tiba, sebuah pintu di ujung lorong terbuka perlahan.
Semua terdiam, menahan napas.
Kedua mata Juki hampir keluar karena rasa takut. “Gue… gue udah nggak kuat lagi. Kalau ini prank, gue… gue pasti laporin kalian!”
“Tunggu, guys!” Bagas mendekati pintu terbuka itu. “Kita harus cari tahu dulu.”
Dengan hati-hati, Bagas melangkah menuju pintu yang terbuka sedikit, jantungnya berdegup kencang. Timo, yang biasanya berani, kali ini justru menahan napas dan tetap berada di belakang Bagas. Mereka semua mengikuti langkahnya, seakan berharap ada jawaban dari apa yang terjadi di balik pintu itu.
Begitu mereka membuka pintu itu, mereka disambut dengan… ruangan kosong. Tanpa tanda kehidupan.
Semua sahabat itu saling pandang dengan bingung. “Jadi… itu suara dari mana?” tanya Danu, tak percaya. “Ini pasti ada yang aneh.”
Raka dengan hati-hati melangkah lebih dalam ke ruangan tersebut. Namun, seiring dia melangkah, tiba-tiba suara tawa itu terdengar lagi, lebih keras dari sebelumnya. “HAHAHAHAHAHA!!!”
Mereka semua mundur seketika.
“Lo denger itu kan?” Timo, matanya terbelalak. “Ada yang mainin speaker atau apa?!”
“Sabar, Timo. Ini nggak masuk akal,” jawab Bagas, yang mulai merasa ada yang tak beres. “Kenapa baru sekarang suara itu muncul?”
Tiba-tiba, mereka mendengar suara kunci berputar. Seperti ada yang sedang membuka pintu lain di rumah itu. Semua langsung terdiam.
“Siapa itu?!” teriak Danu, suaranya gemetar.
Pintu yang terkunci di belakang mereka tiba-tiba terbuka, dan dari balik pintu itu, seorang sosok muncul. Semua sahabat itu terperanjat, hanya untuk melihat… Raka yang mengenakan kostum hantu lengkap dengan selimut putih!
“Raka?! LO NGEPRANK KITA?!” teriak Juki, hampir meninju Raka.
Raka hanya tertawa, meskipun tampak sedikit kikuk. “Gue… gue cuma pengen ngasih kalian kejutan, bro! Tapi, nggak nyangka kan kalian bakal takut gitu?”
Tapi Bagas, yang masih kebingungan, melihat ke arah pintu yang baru saja terbuka. “Tapi… siapa yang barusan buka pintu itu?!”
Semua saling pandang, dan tiba-tiba, tawa Raka berhenti begitu saja. “Guys… itu bukan gue.”
Suasana kembali mencekam. Lampu di atas kepala mereka berkedip-kedip, sementara tawa itu kembali terdengar… lebih keras, lebih nyata.
Mereka mulai sadar, prank ini mungkin belum berakhir.
Ketawa yang Terakhir dan Kebenaran yang Mencekam
Ruangan itu terasa semakin sempit. Tawa yang semakin keras dan tidak masuk akal itu seolah menggema di telinga mereka, menghantui langkah mereka yang semakin gelisah. Raka, yang baru saja membuka kostum hantunya, kini malah terlihat bingung dan sedikit khawatir. “Gue… gue serius, ini bukan gue yang nyalain itu semua. Sumpah, guys!” ujarnya sambil melirik ke sekeliling ruangan dengan tatapan yang mulai cemas.
Bagas, yang tadinya mencoba untuk tetap tenang, kini mulai merasakan ada yang salah. “Raka, lo yakin ini cuma prank? Jangan-jangan… ada yang mainin kita lebih parah dari ini,” katanya, dengan suara yang agak tercekat.
Timo, yang sebelumnya sempat tertawa-tawa karena kebingungannya, sekarang tampak pucat. “Kalian denger kan? Itu suara… kayak ada orang lain di sini!” suaranya hampir bergetar. “Nggak bisa jadi cuma prank doang!”
Juki, yang jarang bicara, mulai melangkah ke arah jendela yang sempat mereka coba buka tadi. Kali ini, dia benar-benar mengintip keluar, memastikan tidak ada yang sedang mempermainkan mereka. “Gue nggak lihat apa-apa di luar,” katanya pelan, dengan raut wajah serius.
Namun, saat dia berbalik dan melihat ke dalam ruangan, matanya langsung membesar. “Guys… itu… itu bukan cuma suara doang. Gue… gue nggak sendirian di sini!”
Semua langsung menoleh dengan cepat, menyadari bahwa di pojok ruangan itu, ada bayangan hitam yang bergerak perlahan. Timo menjerit kaget, dan Danu langsung mundur beberapa langkah. “Itu… itu kayak… apa sih?” suaranya tercekat, tubuhnya gemetar.
Raka segera melangkah maju, mencoba melihat lebih jelas, meskipun ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. “Tunggu dulu. Kita bisa nggak sih, tetap tenang? Itu cuma bayangan kok,” ujarnya dengan nada ragu, sambil melangkah pelan.
Namun, bayangan itu semakin jelas, bergerak lebih dekat, menampakkan sosok yang tak bisa dikenali. Sosok itu terlihat seperti manusia, tetapi tubuhnya terbungkus bayangan hitam yang tebal. Wajahnya tak terlihat jelas, hanya ada dua mata yang menyala merah seperti api, memancarkan tatapan yang menakutkan.
“Apa-apaan ini?!” teriak Juki, hampir terjatuh mundur.
Raka dengan cepat mengeluarkan handphone dari sakunya dan menyalakan lampu senter, mencoba menerangi sosok itu. Namun, lampu senter yang menyala tidak bisa menembus kegelapan yang mengelilingi sosok tersebut. Malah, senter itu mulai berkedip-kedip, menambah rasa mencekam di dalam ruangan.
“Jangan deketin itu!” teriak Danu, hampir menangis. “Ada yang nggak beres di sini!”
Suara tawa itu kembali terdengar, kali ini dengan intensitas yang lebih mengerikan, seolah-olah mengajak mereka untuk ikut tertawa bersama. “HAHAHAHA… lebih baik kalian lupakan apa yang kalian lihat di sini!” suara itu terdengar jelas, datang dari sosok misterius tersebut.
Timo, yang semakin ketakutan, berlari ke arah pintu, namun ketika ia mencoba membuka pintu yang terkunci tadi, pintu itu terasa terkunci lebih erat dari sebelumnya. “Gimana caranya kita keluar?! Pintu nggak bisa dibuka!”
“Sudah cukup, guys!” seru Bagas dengan suara penuh tekanan. “Kita harus tetap berpikir jernih. Jangan biarkan perasaan takut menguasai kita.”
Namun, baru saja ia mengatakan itu, sosok misterius di ujung ruangan bergerak cepat, seolah menghilang dan muncul di depan mereka. Sosok itu kini berdiri tepat di hadapan mereka, wajahnya yang penuh kegelapan kini semakin jelas. Mata merah menyala itu semakin memperjelas kekuatannya yang mengerikan.
Raka terhenti sejenak, matanya terkunci pada sosok itu. “Itu… siapa?” suaranya hampir tidak terdengar, serak dan penuh kebingungan.
“Siapa yang bisa jawab pertanyaan itu?!” jawab suara misterius itu, namun kali ini terdengar lebih dalam, seolah berasal dari dalam tanah. “Aku adalah yang kalian panggil… Tapi aku lebih dari sekadar bayangan.”
Ketegangan memuncak. Semua sahabat itu hanya berdiri terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Mereka semakin merasa dikelilingi oleh kegelapan yang sangat pekat.
“Jadi… lo semua sadar kan, kalau kalian udah masuk ke dunia yang bukan milik kalian?” tanya sosok itu dengan suara yang mengerikan. “Kalian udah memainkan permainan yang tidak seharusnya kalian coba.”
“Ini… ini bukan nyata!” teriak Timo dengan keras, sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. “Kami cuma datang buat seru-seruan, nggak niat ganggu!”
Namun, suara itu hanya tertawa lagi, semakin keras, seolah-olah menjawab dengan ejekan. “Terlambat. Semua sudah terlambat.”
Bagas dan yang lainnya saling memandang, mulai merasakan bahwa apa yang mereka hadapi bukanlah sekadar prank atau lelucon. Ada sesuatu yang lebih besar di balik ini semua.
Tiba-tiba, lampu di sekeliling mereka mati total. Kegelapan total menyelimuti mereka, dan hanya suara tawa yang mengiringi langkah mereka.
“Jangan lari,” suara itu terdengar mengancam, begitu dekat. “Kalian belum melihat apa yang sebenarnya ada di sini.”
Kegelapan yang Terungkap dan Tawa Terakhir
Kegelapan semakin mencekam, seolah menelan mereka satu per satu. Mereka sudah tak bisa membedakan antara suara tawa yang mengerikan dan suara detak jantung mereka sendiri yang berdebar keras. Juki terengah-engah, berusaha mencari pegangan di dinding, namun setiap sentuhan terasa dingin dan licin. Raka, yang sebelumnya selalu menjadi yang pertama untuk bertindak, kini tampak terdiam, matanya tidak bisa berkedip, seolah tertarik oleh bayangan gelap yang semakin mendekat.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” suara Bagas terdengar cemas, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Suara tawa itu bergaung lagi, kali ini terasa lebih dekat, lebih nyata. “Apa itu? Siapa yang ngomong?”
“Sudah kubilang, kalian nggak akan bisa lari,” suara misterius itu kembali bergema, namun kali ini ada perasaan lain yang terasa sangat nyata di dalamnya—sebuah ancaman yang jelas. “Kalian sudah masuk ke dalam dunia yang tidak seharusnya kalian coba pahami.”
Timo menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Jadi, ini bukan cuma prank ya? Kalau ini bukan prank, berarti kita beneran terjebak di sini.”
Raka mengangguk pelan. “Nggak mungkin, guys. Nggak ada jalan keluar, dan ini bukan sesuatu yang bisa kita atur. Kita beneran di jebak.”
Suara tawa yang mengerikan itu makin terbahak, seolah menikmati kebingungan dan ketakutan mereka. “Kalian pikir ini cuma permainan? Kalian masuk ke dalam dimensi yang lebih gelap daripada yang bisa kalian bayangkan. Kalian nggak akan bisa keluar sebelum… sebelum semuanya berakhir.”
Mereka terdiam, seolah kalut oleh kenyataan yang mulai terbuka. Ruangan itu terasa semakin sempit, semakin tidak bisa ditahan. Di tengah kegelapan itu, mereka merasakan sesuatu yang lebih menyeramkan dari apapun yang mereka bayangkan—kehadiran yang tak kasat mata, namun ada, mengelilingi mereka.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Juki, nadanya penuh kebingungan dan keputusasaan. “Gimana caranya kita keluar dari sini? Kenapa ini terjadi sama kita?”
Bagas menatapnya, menggenggam bahu sahabatnya itu dengan erat. “Satu-satunya cara keluar dari sini adalah menghadapi apa yang ada di depan kita,” ujarnya, walau suaranya bergetar. “Kita nggak bisa terus lari. Kita harus mencari tahu siapa atau apa yang ada di balik ini.”
Di saat yang sama, suara itu terdengar lebih jelas lagi, lebih menegangkan, dan tiba-tiba terhenti. Keheningan total menyeruak. “Kalian berani menghadapi aku?” suara itu menyusup, dalam dan mengerikan. “Kalian akan tahu apa artinya bermain dengan yang tidak seharusnya kalian mainkan.”
Timo menelan ludah, wajahnya memucat. “Maksudnya… apa yang harus kita lakukan?”
Tiba-tiba, lampu ruangan itu menyala dengan terang, menerangi sekeliling mereka. Namun yang mereka lihat bukanlah suasana yang nyaman. Mereka melihat bayangan yang semakin menjauh, seolah hilang begitu saja. Bayangan itu tidak langsung menghilang, tapi pelan-pelan menyatu dengan dinding ruangan, berbaur dengan bayang-bayang lain yang tidak bisa mereka pahami.
“Kenapa… kenapa jadi begini?” suara Juki keluar dengan lirih. “Gue nggak ngerti. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Suara tawa terakhir terdengar. Kali ini bukan tawa yang mengerikan, namun sebuah tawa yang penuh dengan kesedihan. “Kalian sudah mengerti sekarang, kan?” suara itu terdengar jauh, seolah semakin menghilang. “Kalian akan terus mengingat hari ini… sebagai hari kalian bermain dengan sesuatu yang bukan milik kalian.”
Kemudian, tiba-tiba semuanya berubah. Kegelapan itu mereda, suara tawa menghilang, dan mereka berempat hanya berdiri terpaku, saling menatap satu sama lain, bertanya-tanya apakah apa yang baru saja mereka alami itu nyata atau cuma mimpi.
“Apakah kita… apakah kita sudah keluar?” tanya Timo, masih dengan suara penuh kebingungan.
Bagas mengangguk pelan, matanya tetap tertuju pada dinding yang seolah mengingatkan mereka akan kejadian itu. “Kita nggak tahu. Tapi yang jelas, apa yang baru kita lewati nggak akan mudah dilupakan.”
Mereka mulai bergerak pelan, menyadari bahwa meskipun mereka sudah kembali ke dunia nyata, perasaan aneh itu masih membekas dalam hati mereka. Dunia yang baru saja mereka masuki, yang penuh dengan kegelapan, takkan pernah hilang begitu saja. Mereka menyadari satu hal: mereka tidak hanya menghadapi misteri semalam, tapi juga menghadapi diri mereka sendiri.
Saat mereka keluar dari ruangan itu, tawa yang mengerikan terdengar sekali lagi. Kali ini, mereka bisa mendengarnya dengan jelas, namun kali ini mereka tidak takut. Tawa itu sudah menjadi bagian dari kenangan mereka, sesuatu yang akan terus mereka ingat—bahwa kadang, untuk tahu apa yang sebenarnya kita hadapi, kita harus siap menghadapi hal yang paling tak terduga.
Dan di sinilah semuanya berakhir. Namun, mereka tahu bahwa ini belum sepenuhnya selesai. Kegelapan itu mungkin sudah hilang, tapi ada satu hal yang pasti: tawa itu, tetap akan menghantui mereka selamanya.
Nah, jadi gitu deh ceritanya! Gimana? Lucu, seru, sekaligus bikin kita mikir nggak sih? Kayak, kadang kita tuh mikir lagi main-main, eh malah terjebak dalam kejadian yang bener-bener nggak terduga.
Tapi, jangan khawatir, kelucuan selalu ada di balik setiap kejutan. Jadi, meskipun kamu lagi di-prank parah, yang penting tetap bisa ketawa dan nikmatin aja perjalanannya. Jangan lupa, kalau kamu ketawa sampe sakit perut, itu artinya cerita ini berhasil!


