Cerpen Konflik di Sekolah: Ketegangan, Permintaan Maaf, dan Langkah Baru

Posted on

Kamu pernah nggak sih, merasa kayak ada sesuatu yang ngambang antara kamu sama temen, tapi nggak tahu gimana cara ngomongin? Kadang, di sekolah, ada aja tuh momen di mana kamu dan temen kamu saling diam, kayak semuanya jadi canggung banget.

Tapi, apa iya kamu bisa bener-bener ngelupain itu? Cerpen ini bakal ngajak kamu nyelami gimana rasanya berada di posisi itu, dan gimana dua orang yang tadinya jauh, akhirnya mulai paham satu sama lain. Yuk, baca terus!

 

Cerpen Konflik di Sekolah

Teh Panas yang Tumpah

Kantin sekolah itu selalu penuh, terutama saat istirahat. Berbeda dengan suasana kelas yang terkadang terasa hampa, kantin adalah tempat di mana semua siswa berkumpul, berbicara keras, tertawa, dan berbagi cerita. Meja-meja penuh dengan makanan, botol minuman yang terkadang tumpah, dan suara-suara yang saling tumpang tindih. Namun, hari itu ada yang berbeda. Sesuatu yang tidak biasanya terjadi, sesuatu yang dimulai dengan secangkir teh panas dan ujung tas yang terlupakan.

Dina duduk di meja pojok, seperti biasanya. Ia lebih suka berada di sana—di tempat yang sedikit lebih jauh dari keramaian. Meja itu selalu memberikan sedikit ruang untuknya, cukup untuk menulis, membaca, atau sekadar melihat dunia yang berputar di sekelilingnya. Di tangannya, ia memegang cangkir teh panas, perlahan menyeruputnya. Pandangannya terfokus pada buku catatan yang terbuka di hadapannya, namun sepertinya pikirannya melayang jauh, melampaui halaman yang ada.

Fariq berjalan masuk ke kantin, matanya mencari meja favoritnya. Di sekelilingnya, teman-temannya tertawa, bercanda, tapi Fariq tampak tidak begitu peduli. Ia lebih suka berjalan cepat, tanpa banyak bicara, meskipun terkadang tatapannya bisa tajam dan menusuk. Hari itu, ia baru saja selesai latihan olahraga, tubuhnya masih terasa pegal, dan jaket kulitnya yang tebal sedikit lebih berat dari biasanya. Tanpa memedulikan orang-orang di sekitarnya, ia melangkah dengan langkah pasti menuju tempat makan. Sayangnya, langkahnya justru membawa ujung tas ranselnya menyenggol meja Dina.

Krak!

Cangkir teh panas yang tadinya ada di tangan Dina, seketika terlempar dari meja dan tumpah tepat di tangan kanannya. Sisa teh yang masih panas menyentuh kulitnya, membuatnya tersentak kaget dan berteriak kesakitan. “Aduh!” Dina meringis, matanya menyipit karena rasa panas yang membakar tangannya. Cangkir yang jatuh terdengar bergemuruh di lantai, menambah keributan yang sudah cukup bising.

Fariq berhenti, tatapannya menajam saat ia menyadari apa yang baru saja terjadi. Dina masih menatap cangkir yang pecah di lantai, mulutnya terbuka sedikit seperti ingin berkata sesuatu, tapi kemudian ia menunduk, berusaha menahan rasa sakit di tangannya. Dia berdiri, hendak pergi mencari kain atau sesuatu untuk menenangkan lukanya.

“Eh, hati-hati dong!” suara Dina terdengar lebih keras dari yang seharusnya, nada suaranya terasa tegang, campuran antara kesal dan marah.

Fariq hanya berdiri di sana, tidak bergerak. Wajahnya kosong, hampir tidak ada ekspresi. “Gimana sih, kamu? Jalan aja nggak lihat-lihat.” Dina melangkah menuju wastafel dengan wajah masam. Fariq, yang masih terpaku di tempat, merasa canggung, tapi tetap diam.

“Maaf ya, nggak sengaja,” akhirnya Fariq mengatakannya, tapi nada suaranya lebih terdengar seperti pernyataan kosong daripada permintaan maaf yang tulus.

Dina berhenti sejenak, menatap tangannya yang merah karena panas, dan menoleh ke Fariq dengan ekspresi kesal. “Nggak sengaja? Tentu saja! Apa kamu nggak bisa sedikit lebih berhati-hati?” suaranya mulai meninggi.

Fariq mengangkat bahu dengan santai, seolah tidak merasa perlu memberi penjelasan lebih lanjut. “Ngapain ribut tentang hal kecil kayak gini?” jawabnya singkat, tanpa sedikit pun rasa bersalah di wajahnya. Dina mendengus, merasakan betapa ia kesal dengan sikap Fariq yang tidak peduli.

“Hal kecil? Itu teh panas, Fariq, tahu nggak? Kamu itu nggak pernah mikir ada orang lain yang mungkin kesakitan karena kelakuan kamu!” Dina berkata dengan tajam, kata-katanya meledak begitu saja. Semua orang di kantin yang mendengar pun menoleh, suasana yang awalnya gaduh, kini terasa lebih sunyi.

Fariq menatap Dina sejenak. Ada sesuatu dalam tatapannya yang tidak bisa Dina pahami. Mungkin rasa marah, mungkin hanya rasa jijik terhadap cara Dina mengomel. Tapi entah kenapa, ia tetap berdiri di sana, tidak bergerak. “Yaudah, kalau gitu. Maaf banget, ya.”

Tapi kata-kata Fariq hanya terdengar seperti penghentian sebentar dalam percakapan yang tak terhindarkan. Dina merasa tidak puas. Marahnya belum reda, dan rasanya sulit untuk menahan gejolak di dalam dadanya. “Kamu nggak ngerti deh, kalau cuma ngelihat hal-hal kayak gitu,” Dina berkata lagi, lebih pelan kali ini, meskipun nada kesalnya masih bisa didengar jelas. Ia kembali menatap tangannya yang mulai memerah.

Fariq tidak mengatakan apa-apa. Hanya saja, ia berbalik dan pergi begitu saja, melangkah kembali ke tempat duduknya. Sementara itu, Dina tetap berdiri di dekat wastafel, menatap lengannya yang sakit dan masih merasa tidak puas dengan kejadian tadi. Ia merasa sedikit bodoh karena marah tanpa alasan yang jelas. Tumpahan teh itu memang salah Fariq, tetapi kenapa ia merasa cemas lebih dari yang seharusnya?

Beberapa detik berlalu sebelum Dina menyadari bahwa situasi ini lebih dari sekadar teh yang tumpah. Ada sesuatu yang lebih dalam yang merasuki dirinya, sebuah kekesalan yang bukan hanya soal insiden itu, tapi tentang perasaan yang mulai terpendam, dan sesuatu yang tak mudah untuk dijelaskan.

Sekolah tetap sibuk dengan aktivitasnya. Teman-teman Dina dan Fariq pun mulai berdiskusi, beberapa tampak bingung dengan perkelahian yang baru saja terjadi. Beberapa lainnya malah mulai bergosip, membuat cerita yang lebih besar dari kejadian yang sebenarnya. Dina merasa hal ini makin memburuk. Dan meskipun ia berusaha untuk tidak peduli, rasa kesal itu tetap ada, bertumpuk-tumpuk dalam pikirannya.

Dari kejauhan, Fariq memandang ke arah Dina. Mungkin, dia tidak mengerti kenapa Dina sekeras itu menanggapinya. Tapi ada sesuatu yang membuatnya berpikir bahwa tidak seharusnya ia bersikap acuh tak acuh begitu saja. Mungkin ini bukan hanya tentang cangkir teh yang tumpah. Mungkin ini lebih dari itu.

Namun, perasaan itu tidak bisa dijelaskan dengan mudah. Dan hari itu, pertemuan mereka belum berakhir. Konflik mereka baru saja dimulai, dan tidak ada yang tahu seberapa besar dampaknya nanti.

 

Di Balik Jeruji Kata

Hari-hari setelah peristiwa di kantin berlalu dengan cepat, namun kesan yang ditinggalkannya tidak begitu saja hilang. Dina merasa canggung setiap kali harus berpapasan dengan Fariq. Wajahnya masih terasa memerah setiap kali ingat bagaimana ia berteriak dengan begitu emosional, seolah-olah dunia hanya berputar di sekitar dirinya. Namun yang lebih membuatnya merasa aneh adalah perasaan yang menyelubungi dirinya setiap kali Fariq melintas di depan kelas atau lewat di koridor sekolah.

Sementara itu, Fariq juga tampaknya berusaha menjaga jarak. Tidak ada lagi percakapan, tidak ada tatapan yang berarti. Seolah semuanya terasa lebih dingin. Hanya sesekali, tatapan mereka bertemu di lorong yang ramai, namun itu hanya berlangsung beberapa detik sebelum masing-masing kembali sibuk dengan dunianya sendiri.

Di kelas, suasana juga tidak kalah tegang. Teman-teman mulai membicarakan insiden yang terjadi di kantin, beberapa mendukung Dina, mengatakan bahwa Fariq memang kasar, tidak peduli dengan sekitarnya. Lainnya, lebih berpihak pada Fariq, menganggap Dina terlalu berlebihan. Kata-kata yang terlontar tak hanya di antara Dina dan Fariq, tapi mulai mempengaruhi seluruh kelas.

“Aku nggak paham sih, kenapa Dina harus begitu marah. Maksudnya, kan, itu cuma kecelakaan,” suara Dita terdengar saat ia duduk di sebelah Dina saat pelajaran berlangsung. “Tapi, di sisi lain, Fariq juga harus lebih hati-hati, kan?” tambahnya mencoba menyeimbangkan.

Dina menatap buku di depannya tanpa berbicara, meskipun dalam hatinya ada semacam ketidaknyamanan. “Dia nggak ngerti sih. Itu bukan cuma soal teh,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Dita menatapnya, sedikit bingung. “Memang, sih, kita nggak tahu kenapa kamu bisa marah segitu. Tapi, kadang, kalau udah kayak gitu, semua jadi ribet deh.”

Dina menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tahu Dita hanya mencoba mengerti, tapi entah kenapa ia merasa kesal mendengar kalimat itu. Seolah semua orang mencoba mengecilkan perasaannya. Padahal, perasaan itu begitu nyata, lebih dari sekadar kata-kata.

Di sisi lain, Fariq tidak banyak bicara dengan teman-temannya. Ia lebih sering diam, melamun dengan mata kosong, tampak seperti orang yang tengah merenungi sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar pertengkaran remeh di kantin. Namun, suasana di kelas mulai terasa aneh. Teman-temannya pun mulai memperlakukannya dengan cara yang berbeda. Ada yang menjauh, ada yang berusaha bersikap biasa saja, tapi ada juga yang seakan ikut campur, menanggapi sisi lain dari kejadian itu.

Ketika bel masuk kelas berbunyi, dan pelajaran dimulai, Dina merasa sebuah pandangan menembus dari sudut matanya. Ia mengangkat kepala dan melihat Fariq yang tengah duduk di tempatnya, tampak tidak tertarik pada pelajaran. Di matanya, ada sedikit kerutan di dahi, sesuatu yang mengisyaratkan bahwa ia sedang berpikir keras tentang sesuatu.

Dina merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Tanpa disadari, ia mendapati dirinya kembali memperhatikan Fariq. Untuk beberapa detik, mereka saling bertatapan, tapi kali ini tidak ada kata yang keluar dari mulut mereka. Hanya ada keheningan yang tebal, seperti ada sesuatu yang menghalangi percakapan yang seharusnya terjadi.

Sejak kejadian itu, Dina merasa sesuatu yang lain mulai terbentuk di dalam dirinya. Ia merasa tidak puas hanya dengan berlarut-larut dalam perasaan marah. Ada rasa ingin tahu yang semakin kuat tentang Fariq—tentang siapa dia sebenarnya, tentang apa yang terjadi di balik sikap dinginnya. Mungkin, Fariq bukan sekadar anak yang kasar dan acuh tak acuh. Mungkin ada alasan di balik semua itu.

Namun, Dina tidak tahu harus mulai dari mana. Ia juga tidak ingin terlihat seperti orang yang mencari masalah baru, atau malah terlihat lemah setelah pertengkaran itu. Tapi setiap kali Fariq lewat, entah kenapa ia merasa ada ketegangan yang menggantung di udara, seakan menunggu untuk dilepaskan.

Hari itu, setelah pelajaran usai, Dina melangkah keluar kelas dengan langkah cepat. Namun, sebelum ia mencapai pintu keluar, suara Fariq terdengar di belakangnya. “Dina, tunggu.”

Dina menoleh, kaget. Fariq berdiri di sana, jarak mereka tidak terlalu jauh, namun rasanya seperti dunia tiba-tiba menjadi sangat hening. “Apa?” jawab Dina dengan nada yang masih agak ketus, meskipun hatinya berdebar.

Fariq menghela napas, dan untuk beberapa detik, ia tampak ragu-ragu. “Aku… nggak nyangka kamu bakal marah segitunya,” kata Fariq pelan, seperti sedang mencoba mencari kata yang tepat.

Dina diam, hanya menatapnya tanpa mengatakan apa-apa. Suasana antara mereka masih terasa canggung, seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka.

Fariq melanjutkan, “Tapi… aku nggak bermaksud bikin kamu kesakitan. Itu kecelakaan aja.” Ia menunduk sejenak, mencoba mencari keseimbangan dalam kalimatnya. “Aku cuma nggak ngerti kenapa kamu bisa segitu… keselnya.”

Dina menatapnya tajam. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin berbicara, tapi mulutnya terasa terkunci. “Kamu nggak ngerti karena kamu nggak pernah peduli. Kamu pikir semua orang bisa terima begitu aja kalau kamu nyenggol atau nggak hati-hati? Itu bukan cuma tentang teh. Itu tentang perasaan juga,” jawab Dina dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya, meskipun ada kesan keteguhan dalam kata-katanya.

Fariq terdiam. Ia memandang Dina dengan tatapan yang sulit dibaca, lalu berkata pelan, “Aku… nggak tahu harus ngomong apa. Tapi aku nggak bermaksud bikin kamu marah gitu.”

Dina menatapnya sejenak, merasakan ketegangan yang perlahan mulai mencair. Ada perasaan aneh di dadanya, campuran antara kesal dan… mungkin sedikit lega. Namun, ia tidak ingin menunjukkan terlalu banyak. “Ya sudah, lupakan aja.” Dina berbalik dan berjalan pergi, namun kali ini, langkahnya sedikit lebih ringan, seolah ada sesuatu yang mulai berubah, meskipun ia belum tahu apa itu.

Di belakangnya, Fariq hanya berdiri, memandangi langkah Dina yang semakin jauh. Sesuatu di dalam dirinya merasa tak terdefinisikan—mungkin penyesalan, atau bisa jadi hanya kebingungan yang mendalam. Tapi satu hal yang pasti, hubungan antara mereka tidak akan pernah sama lagi.

 

Keheningan yang Tersisa

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan meskipun ketegangan antara Dina dan Fariq tidak sepenuhnya hilang, mereka mulai berusaha menjalani hari-hari mereka tanpa terlalu memikirkan satu sama lain. Dina kembali tenggelam dalam rutinitas sekolahnya, sementara Fariq kembali pada kebiasaan lamanya: duduk di pojokan kelas, hanya berbicara seperlunya, dan menjaga jarak. Namun, keheningan yang tercipta di antara mereka bukanlah keheningan yang tenang. Setiap langkah, setiap tatapan, terasa seperti ada sesuatu yang tertahan di udara, belum tuntas, belum selesai.

Di kelas, Dina duduk di tempatnya, mencoba untuk fokus pada pelajaran. Namun, matanya sesekali melirik ke arah Fariq. Entah kenapa, meskipun ia berusaha keras untuk tidak peduli, pikirannya tetap kembali padanya. Wajah Fariq yang selalu tampak tenang, bahkan di tengah kekacauan. Ia tahu Fariq tidak suka berbicara banyak, tidak suka mengumbar perasaan, dan mungkin itulah yang membuatnya semakin penasaran.

Kekosongan yang ada di antara mereka terasa semakin nyata. Dina tahu Fariq tidak benar-benar memahami alasan di balik kemarahannya. Ia tidak tahu bagaimana rasanya merasa diabaikan, bagaimana rasanya selalu berusaha keras untuk mendapatkan perhatian orang yang bahkan tidak pernah peduli.

Namun, satu hal yang Dina tidak bisa hindari adalah perasaan yang datang begitu saja, seperti ombak yang datang tiba-tiba dan surut tanpa bisa ditahan. Meski tidak ada kata-kata yang diucapkan, Dina merasa bahwa Fariq, dengan cara yang tak kasat mata, sudah mulai memberikan sedikit ruang dalam hatinya. Mungkin bukan permintaan maaf yang sebenarnya, tapi ada sesuatu yang lebih dari itu.

Hari itu, pelajaran fisika dimulai dengan suasana yang lebih ringan dari biasanya. Pak Iwan, guru fisika mereka, sedang menjelaskan tentang hukum Newton, dan meskipun topik itu cukup membosankan bagi banyak siswa, bagi Dina, itu adalah waktu untuk menyendiri. Waktu untuk berpikir. Namun, tanpa diduga, suara Fariq terdengar.

“Dina,” panggilnya pelan, memecah keheningan di dalam kelas.

Dina mendongak, sedikit terkejut. “Ada apa?” jawabnya, agak datar, meskipun hati kecilnya mulai berdebar. Ia menatap Fariq yang sedang duduk di bangkunya, tangan terlipat di depan meja, matanya tak langsung bertemu dengan mata Dina.

Fariq membuka mulut, namun kata-kata tampak seperti tersangkut di tenggorokannya. “Aku… cuma mau bilang, kalau aku nggak benci kamu. Maksudnya, kalau kamu pikir aku benci sama kamu karena kejadian kemarin… itu nggak benar,” katanya, suaranya terputus-putus, seakan berusaha keras untuk mengatakannya dengan jujur.

Dina menatapnya dengan bingung. Tidak ada kebencian? Dia sendiri belum sepenuhnya bisa melepaskan perasaan kecewa, tapi mendengar kata-kata Fariq membuatnya sedikit terperangah. “Maksud kamu?” tanya Dina pelan, masih belum bisa menanggapi sepenuhnya.

Fariq menghela napas dan menatap ke meja, seolah mencari kata yang tepat. “Aku nggak suka ada jarak gini. Aku nggak ngerti kenapa kamu marah kayak gitu, tapi aku juga nggak mau terus-terusan merasa aneh sama kamu,” ucapnya, matanya kini menatap langsung ke Dina. Ada ketulusan yang tak biasa di sana, yang membuat Dina untuk pertama kalinya merasa sedikit lebih tenang.

Dina diam sejenak. Ada rasa canggung yang menyelubungi dirinya. Kata-kata Fariq memang terdengar jujur, tapi kenapa ia merasa ada banyak yang belum terucapkan? Ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang belum dipahami antara mereka.

“Aku juga nggak suka ada jarak kayak gini,” jawab Dina akhirnya, suara agak gemetar. “Tapi kamu juga harus ngerti, Fariq, kalau nggak semua orang bisa terima diperlakukan seperti itu. Kalau kamu nggak peduli, aku pasti nggak bisa ngelakuin apa-apa.”

Fariq menatap Dina lama. Ia tahu kata-kata itu penting, dan meskipun ia tidak suka berbicara tentang perasaan, kali ini ia merasa harus berkata jujur. “Aku minta maaf. Kalau aku bikin kamu ngerasa nggak dihargain atau… merasa nggak penting,” kata Fariq, sedikit ragu. “Aku nggak pernah maksud kayak gitu. Aku cuma… punya cara sendiri buat ngadepin orang.”

Dina merasakan sesak di dadanya. Kata-kata Fariq, meskipun sederhana, terdengar sangat berat. Apakah ini yang dia tunggu-tunggu? Apakah permintaan maaf itu sudah cukup untuk menghapus perasaan marah yang selama ini mengganggunya? Dina mengangguk pelan, meskipun ada perasaan yang sulit dijelaskan.

“Gak masalah, Fariq,” jawab Dina singkat, meskipun hatinya masih penuh dengan pertanyaan. “Mungkin aku terlalu keras, tapi aku cuma nggak bisa tahan kalau semuanya terasa… dingin gitu aja.”

Fariq tidak menjawab, namun ada perubahan yang bisa dirasakan Dina. Mungkin ini bukanlah penyelesaian dari semuanya, tapi ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik. Tidak ada kata-kata lagi yang keluar, hanya ada keheningan yang terasa sedikit lebih ringan.

Hari itu berakhir tanpa drama lebih lanjut, dan meskipun Dina merasa sedikit lega, ia tahu bahwa ini baru permulaan. Tidak ada yang bisa langsung selesai dengan satu percakapan saja. Namun, ia merasa sedikit lebih tenang, sedikit lebih siap untuk menghadapi apa pun yang datang.

Dan meskipun Fariq masih tetap seperti biasanya, Dina mulai merasa bahwa keheningan itu tidak selalu buruk. Ada saat-saat di mana keheningan bisa menjadi ruang bagi keduanya untuk lebih memahami satu sama lain. Itu saja sudah cukup untuk memulai sesuatu yang baru.

Namun, di balik itu semua, Dina tahu bahwa perasaan yang mengambang antara mereka berdua belum sepenuhnya tuntas. Ada hal-hal yang lebih dalam yang masih harus dijelaskan, dan mungkin itu akan membutuhkan waktu lebih lama. Tapi kali ini, ia siap untuk menunggu.

 

Langkah Baru yang Tak Pasti

Beberapa minggu setelah percakapan itu, suasana antara Dina dan Fariq perlahan kembali normal, meskipun tidak seperti semula. Tidak ada lagi pertengkaran atau keheningan yang mencekam di antara mereka. Keduanya mulai berbicara dengan lebih santai, meskipun dengan kesadaran bahwa ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka—sesuatu yang belum sepenuhnya terselesaikan, tapi yang mereka biarkan mengambang, seperti bintang di langit malam.

Hari itu, setelah pelajaran berakhir, Dina berjalan keluar kelas dengan langkah yang ringan, meskipun pikirannya masih terombang-ambing antara rasa lega dan kekhawatiran. Fariq, yang biasanya langsung beranjak pergi begitu bel berbunyi, terlihat duduk sejenak di mejanya, seolah menunggu sesuatu. Dina tidak tahu apakah itu pertanda buruk atau justru baik. Namun, tanpa disadari, kakinya membawa dirinya mendekat.

“Fariq,” panggil Dina, suaranya ringan meski ada sedikit ketegangan di sana.

Fariq menoleh, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Dina melihatnya tersenyum kecil. “Iya?” jawabnya, dengan nada yang lebih santai dari biasanya.

Dina merasa sedikit canggung. “Kamu nggak buru-buru pulang?” tanyanya, mencoba mencairkan suasana.

Fariq menggelengkan kepala. “Gak, sih. Mau nungguin siapa tahu ada yang perlu dibicarain.” Mata Fariq melirik ke arah Dina sejenak, tapi kemudian kembali fokus pada meja. “Kamu ada waktu bentar?”

Dina terkejut dengan tawaran yang tiba-tiba, tetapi ia mengangguk, meskipun hatinya mulai berdebar. “Ada, kok. Kenapa?”

Fariq berdiri dan melangkah keluar dari kelas bersama Dina. Mereka berjalan tanpa bicara sejenak, meninggalkan kebisingan siswa-siswa yang masih ramai di sekitar. Udara sore itu terasa lebih hangat, meskipun ada sesuatu yang tetap menggantung di antara mereka—sesuatu yang belum sepenuhnya selesai.

Setelah beberapa menit berjalan, mereka berhenti di taman sekolah yang sepi. Hanya ada beberapa pohon besar yang tumbuh tinggi di sekitar mereka, dengan daun-daun yang mulai menguning. Fariq duduk di bangku taman dan memandang Dina. Matanya sedikit ragu, tapi ada sesuatu yang lebih tenang dalam pandangannya sekarang.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” Fariq akhirnya membuka suara. “Tapi aku cuma mau bilang, kalau aku… nggak pernah bermaksud buat ngebikin kamu merasa terasingkan atau nggak dihargain.”

Dina duduk di sampingnya, menatap ke depan, mencoba untuk mencerna kata-kata itu. “Kamu udah bilang itu,” jawab Dina, “tapi… kadang, aku merasa kayak kamu nggak peduli dengan orang lain. Seolah semua orang cuma ada buat jadi pengikutmu, atau cuma buat ikut apa kata kamu.”

Fariq mendalam. “Aku nggak tahu kenapa aku bisa begitu. Aku emang tipe yang… lebih suka sendiri, mungkin.” Ia menghela napas panjang. “Tapi bukan berarti aku nggak peduli. Hanya saja, aku nggak pernah ngerti gimana cara buat… ngungkapin semuanya. Apalagi ke orang yang penting, kayak kamu.”

Dina terdiam. Kata-kata Fariq sedikit mengejutkannya. Ia selalu menganggap Fariq sebagai sosok yang tidak peduli, yang lebih suka berjalan sendirian. Tapi mendengar pengakuan itu, ia merasa ada sisi lain dari Fariq yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

“Gimana kalau kita coba mulai lagi?” tanya Dina dengan hati yang mulai lebih ringan. “Bukan berarti langsung bisa jadi teman dekat, tapi… kita bisa saling menghargai aja.”

Fariq memandang Dina, dan untuk pertama kalinya, senyum kecil yang tulus muncul di wajahnya. “Mungkin itu ide yang baik. Aku nggak janji bisa langsung berubah jadi orang yang berbeda, tapi aku akan coba lebih perhatian.”

Dina mengangguk pelan. “Nggak apa-apa. Kita kan nggak perlu jadi teman yang sempurna. Kita cuma perlu belajar ngerti satu sama lain.”

Beberapa detik kemudian, mereka terdiam. Tidak ada kata-kata lebih yang keluar, namun bagi Dina, keheningan itu sudah cukup. Ia merasa bahwa apapun yang terjadi nanti, mereka setidaknya sudah bisa melihat satu sama lain dengan cara yang berbeda.

Matahari mulai tenggelam, menandakan bahwa hari itu akan segera berakhir. Suasana menjadi lebih tenang, dan meskipun tidak ada jaminan bahwa semuanya akan berubah dalam semalam, Dina merasa sedikit lebih optimis. Mungkin tidak semua hubungan harus dimulai dengan kata-kata indah atau momen besar. Terkadang, hal sederhana seperti ini—sebuah percakapan tanpa beban, sebuah pengakuan yang jujur—adalah awal dari sesuatu yang lebih baik.

Ketika mereka berdua berdiri untuk pulang, langkah mereka terasa lebih ringan, meskipun tidak ada kepastian tentang apa yang akan datang. Tapi Dina tahu satu hal—perjalanan mereka tidak lagi dibebani oleh beban masa lalu. Mereka berjalan berdampingan, tanpa tahu ke mana arah pasti mereka, tapi setidaknya, langkah itu terasa lebih pasti dari sebelumnya.

Seperti langit sore yang perlahan gelap, mereka menyadari bahwa meskipun tak ada yang bisa menghapus masa lalu, selalu ada kemungkinan untuk mulai lagi. Dan mungkin, untuk pertama kalinya, mereka benar-benar siap untuk melangkah ke depan.

 

Dan mungkin, di akhir cerita ini, kamu bakal sadar, nggak semua konflik harus selesai dengan drama besar. Kadang, hal sederhana seperti ngomong jujur dan berusaha paham satu sama lain bisa bikin semuanya lebih baik.

Jadi, kalau kamu lagi ngerasa ada jarak sama temen, nggak ada salahnya buat coba mulai lagi, kan? Gak perlu buru-buru, tapi setidaknya kamu udah ambil langkah pertama. Semoga cerita ini bikin kamu mikir, dan mungkin juga… nyadar kalau ada banyak cara buat mendekatkan diri sama orang yang pernah jauh.

Leave a Reply