Cerpen Komedi: Drama Oleh-Oleh yang Bikin Ngakak!

Posted on

Oleh-oleh. Kedengerannya sih gampang, tinggal beli, bayar, beres. Tapi kenyataannya? Jebakan batman! Satu pesenan kelupaan, tamat riwayat. Apalagi kalau yang nitip itu keluarga sendiri, siap-siap dihakimi kayak maling jemuran.

Nah, cerpen ini bakal ngajak ketawa sambil ngerasain penderitaan seseorang yang terjebak dalam misi maha berat: beli oleh-oleh tanpa bikin keluarga ngamuk. Berhasil atau gagal total? Siapin camilan, karena cerita ini dijamin kocak parah!

 

Cerpen Komedi

Terjebak di Lautan Oleh-Oleh

Langit Jogja cerah, tapi kepala Raka mendung. Dia berdiri di depan toko oleh-oleh yang sebesar minimarket dengan tatapan kosong. Keramaian di dalam toko itu semakin membuat kepalanya pusing. Orang-orang berlalu lalang dengan tangan penuh kantong plastik berisi bakpia, geplak, dan berbagai macam makanan lain.

“Kenapa hidup gue sesulit ini?” gumam Raka sambil melihat daftar yang diketik ibunya di WhatsApp.

Pesanan orang-orang di sekitarnya lebih banyak daripada oleh-oleh yang bisa ditampung koper kecilnya. Bakpia untuk Bu RT, kaos Jogja buat adik, gudeg kalengan buat tante, enting-enting gepuk buat Om Bram, dan yang paling bikin dia pusing—oleh-oleh buat Lala.

Lala itu gebetannya. Sampai sekarang belum jelas apakah mereka menuju hubungan lebih serius atau hanya sebatas teman yang saling chat kalau bosan. Kalau Raka salah pilih oleh-oleh, bisa-bisa Lala cuma bales, “Ih makasih yaa~” terus hilang tiga hari tanpa kabar.

Raka menghela napas panjang sebelum akhirnya melangkah masuk.

Di dalam toko, segala jenis oleh-oleh seakan berkonspirasi untuk membuatnya semakin bingung. Rak-rak tinggi penuh dengan bakpia berbagai rasa. Ada bakpia keju, coklat, kacang hijau, durian, sampai yang katanya low sugar—entah apa gunanya, karena bakpia tetap aja manis.

Tiba-tiba seorang pegawai toko menyapanya, seorang mbak-mbak dengan senyum lebar dan nametag bertuliskan Nana.

“Selamat datang, Mas! Lagi cari oleh-oleh buat siapa?”

Raka terdiam sebentar. “Banyak orang.”

Mbak Nana tetap tersenyum. “Oh, berarti Mas butuh oleh-oleh yang semua orang suka!”

“Itu dia masalahnya, Mbak,” Raka menatap rak dengan wajah seperti mahasiswa yang baru sadar besok ujian tapi belum belajar. “Semua orang suka hal yang beda-beda.”

Mbak Nana tampak berpikir, lalu mengambil sesuatu dari rak. “Kalau gitu, coba ini, Mas. Gantungan kunci berbentuk bakpia!”

Raka mengangkat alis. “Mbak, gue mau oleh-oleh yang bisa dimakan, bukan yang bisa dikantongin.”

“Oh, kalau gitu ini aja.” Mbak Nana mengambil oleh-oleh lain.

Raka menatap benda yang disodorkan padanya. Sebuah bantal berbentuk gudeg. Dia mengerjap. “Mbak, ini… buat dimakan atau buat dipeluk pas galau?”

Mbak Nana tertawa. “Yang kedua, Mas.”

Raka menghela napas panjang. Masalahnya masih jauh dari selesai.

Setelah menghabiskan hampir 15 menit berdiri di depan rak bakpia, Raka akhirnya mengambil satu kotak rasa keju dan satu rasa coklat. Aman untuk Bu RT. Lanjut, kaos Jogja buat adiknya. Pilihannya banyak, tapi akhirnya dia memilih yang bertuliskan “Jogja Istimewa”. Jangan sampai dia beli yang tulisan “Jomblo Istimewa”, bisa-bisa malah dirinya sendiri yang makin tersindir.

Sekarang tinggal Lala.

Dia harus kasih sesuatu yang menunjukkan perhatian, tapi juga nggak boleh terlalu berlebihan. Kalau terlalu biasa, bakal dianggap nggak niat. Kalau terlalu spesial, takutnya malah kepedean.

Dia berjalan ke rak permen khas Jogja. Ada satu bungkus yang menarik perhatiannya—permen gula kelapa dengan bungkus bertuliskan “Manisnya Kayak Kamu”.

Raka memegang permen itu lama. “Ini bisa jadi lucu… atau bisa jadi bencana.”

Akhirnya dia memasukkan satu ke keranjang belanja. Kalau nanti pas dikasih Lala dia malah diketawain, ya… setidaknya masih ada bakpia buat pelipur lara.

Tapi sebelum menuju kasir, matanya terpaku pada satu rak di ujung toko. Wingko babat.

Raka membeku. Tadi Om Bram pesen wingko babat atau enting-enting gepuk?

Gawat. Dia lupa.

Tangan Raka sudah hampir meraih wingko babat, tapi dia ragu. Dia mengeluarkan HP dan membuka chat ibunya. Sinyal lemot. Chat loading. Panik mulai melanda.

Dari belakang, Mbak Nana kembali muncul dengan senyum khasnya. “Mas, udah nemu yang dicari?”

Raka menatapnya dengan wajah putus asa. “Mbak, gue udah nemu, tapi sekarang gue malah lupa satu pesanan terakhir. Kalau sampai salah beli, Om gue bakal nge-ghosting gue tiap ada acara keluarga.”

Mbak Nana mengangguk penuh pengertian. “Wah, berat juga, Mas. Tapi tenang, toko ini nggak ke mana-mana kok, Mas bisa mikir dulu.”

Raka menghela napas, menatap rak penuh oleh-oleh yang tiba-tiba terasa seperti labirin tanpa akhir. Otaknya sibuk menimbang-nimbang antara wingko babat dan enting-enting gepuk.

Dan dia belum sadar kalau permasalahan sesungguhnya baru saja dimulai.

 

Bakpia, Gudeg, dan Dilema Hidup

Raka masih berdiri di depan rak oleh-oleh, tangannya menggantung di udara, sementara pikirannya sibuk menghitung risiko. Jika dia beli wingko babat tapi yang dipesan enting-enting gepuk, Om Bram bakal ngomel panjang lebar di grup keluarga. Tapi kalau dia beli enting-enting gepuk padahal yang dipesan wingko babat, nasibnya juga nggak bakal lebih baik.

Di tengah kegalauannya, Mbak Nana masih setia berdiri di dekatnya. “Mas, kalau bingung, beli dua-duanya aja.”

Raka mengernyit. “Mbak, dompet gue nggak setebal gitu.”

“Atau, Mas telpon Om-nya buat nanya langsung?”

Raka menatap Mbak Nana dengan ekspresi penuh penderitaan. “Om gue itu model orang yang kalau ditelpon bakal ngomong, ‘Lah, kan udah gue bilang di grup! Coba baca!’ Terus kalau gue bilang chat-nya ketimbun, dia bakal ngetik panjang lebar tentang anak muda yang suka males baca chat.”

Mbak Nana tertawa. “Wah, klasik banget tuh, Mas.”

Sementara itu, sinyal HP Raka masih berputar-putar tanpa arah. Toko ini kayaknya punya semacam kutukan yang bikin koneksi internet jadi lemah pas lagi butuh-butuhnya.

Akhirnya, dengan penuh ketidakpastian, Raka mengambil wingko babat dan berjalan ke kasir.

Sampai di meja kasir, antreannya cukup panjang. Di depan Raka ada ibu-ibu dengan tiga kantong belanja besar, yang entah kenapa masih sibuk menambah pesanan setiap kali kasirnya nyaris menekan tombol total harga.

“Iya, tambahin bakpia isi kacang ijo satu lagi ya, Mbak.”
“Oh, sama yang rasa keju tadi kurang satu, deh!”
“Loh, ada sale gudeg kalengan? Tambahin dua ya!”

Raka menghela napas panjang. Waktu terasa melambat.

Di belakangnya, seorang bapak-bapak berbaju batik melirik isi keranjang belanjaannya. “Wah, Mas, beli oleh-oleh banyak juga!”

Raka menoleh, lalu tersenyum tipis. “Iya, Pak. Demi perdamaian keluarga.”

Si bapak tertawa. “Bener, bener! Soalnya kalau sampai ada yang nggak kebagian oleh-oleh, wah, bisa perang dunia!”

Raka hanya bisa tertawa getir.

Antrean berjalan lambat, tapi akhirnya dia tiba di kasir. Satu per satu barangnya dipindai. Bakpia, kaos Jogja, permen “Manisnya Kayak Kamu”, wingko babat…

“Totalnya sekian, Mas,” kata kasir.

Raka merogoh dompet. Dan saat itulah dia merasakan sesuatu yang bikin jantungnya turun ke perut.

Kartu debitnya… nggak ada.

Raka langsung panik. Dia membolak-balik dompet, mengeluarkan semua struk dan kartu yang ada di dalamnya, tapi kartu debitnya tetap nggak ada.

Mbak Nana yang kebetulan masih ada di sekitar, melirik ke arah Raka dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. “Mas, kenapa?”

Raka mendesah panjang. “Kayaknya kartu debit gue ketinggalan di hotel.”

Mbak Nana menahan tawa. “Wah, ini sih tragedi.”

Kasir menatapnya penuh harap. “Mau bayar pakai tunai aja, Mas?”

Raka mengeluarkan uang tunai di dompetnya. Dia berhitung cepat. Bisa sih, tapi kalau dia bayar pakai uang tunai, sisa uangnya cuma cukup buat ongkos pulang.

Panik.

Di tengah kebingungan, Raka tiba-tiba ingat sesuatu. Dia buru-buru mengeluarkan HP dan membuka aplikasi dompet digital.

Saldo: Rp 13.450.

Mampus.

Sementara kasir menunggu dengan tatapan sabar (tapi juga mulai kehilangan harapan), Raka mulai berpikir keras. Opsi pertama, dia bisa batalin salah satu barang. Tapi kalau yang dibatalkan oleh-oleh buat Lala, dia harus siap mental kalau nanti chat-nya cuma dibales “Oke makasih” tanpa emot.

Opsi kedua, dia bisa pulang ke hotel dulu buat ambil kartu debit, tapi itu bakal makan waktu. Dan dia nggak yakin mau kembali ke sini buat kedua kalinya, mengingat betapa traumatisnya proses pemilihan oleh-oleh ini.

Di tengah kebimbangannya, tiba-tiba suara dari belakang menyelamatkannya.

“Sini, gue bayarin dulu.”

Raka menoleh dan mendapati sosok yang paling nggak dia duga.

Doni.

Sahabatnya yang sama-sama ikut trip ke Jogja, yang tadi pagi dia tinggalkan di hotel karena Doni lebih memilih bangun siang daripada ikut berburu oleh-oleh.

Doni melangkah maju dengan santai. “Gue udah curiga lo bakal ngalamin krisis eksistensial gara-gara oleh-oleh, jadi gue nyusul.”

Raka menghela napas lega. “Lo bener-bener penyelamat hidup gue.”

Doni cuma ketawa sambil membayar belanjaan Raka. “Besok lo yang traktir makan.”

Setelah transaksi selesai, Raka mengambil kantong belanjaannya dengan senyum penuh kelegaan. Tapi sebelum mereka keluar dari toko, Mbak Nana memanggilnya.

“Mas, bentar deh.”

Raka menoleh. “Kenapa, Mbak?”

Mbak Nana menunjuk ke rak dekat kasir. “Mas tadi belinya wingko babat, kan?”

“Iya, kenapa?”

Mbak Nana tersenyum simpul. “Tapi yang Om Mas pesen itu enting-enting gepuk, lho.”

Dunia Raka langsung runtuh.

 

Antara Wingko Babat dan Gantungan Kunci

Raka membeku. Matanya terpaku ke arah Mbak Nana, sementara otaknya mencoba mencerna informasi yang baru saja masuk.

“Mas, tadi yang dipesan Om-nya itu enting-enting gepuk, kan?” ulang Mbak Nana, seakan-akan Raka belum cukup stres hari ini.

Doni, yang baru saja menolong Raka dengan membayarkan belanjaannya, menoleh dengan ekspresi datar. “Bro, serius? Jadi lo beli yang salah?”

Raka menghela napas panjang. “Tolong jangan diulang lagi. Otak gue lagi nyoba untuk tetap waras.”

Mbak Nana tersenyum simpul. “Masih bisa ditukar, kok, Mas. Asal bonnya masih ada.”

Raka buru-buru membuka kantong belanjaannya, mengaduk-aduk isinya untuk mencari struk. Tapi, semakin dia mencari, semakin dia sadar sesuatu.

Struknya… gak ada.

“Oke, gue butuh waktu sebentar buat merenungkan hidup,” gumam Raka sambil memijat pelipisnya.

Doni melipat tangan di dada. “Gue baru nyusul ke sini lima menit yang lalu, dan lo udah kena masalah lagi. Rekor, sih.”

Raka menatap Doni dengan tatapan kosong. “Gue yakin ini bukan salah gue. Ini semesta yang menguji kesabaran gue.”

Mbak Nana, yang tampaknya sudah cukup sering melihat kejadian seperti ini, tertawa kecil. “Kalau nggak ada struk, ya, paling Mas harus beli lagi.”

Doni tertawa lebih keras. “Jadi sekarang lo harus beli enting-enting gepuk juga? Udah cukup uangnya?”

Raka menatap Doni dengan ekspresi putus asa. “Kalau cukup, lo pikir gue bakal sekacau ini?”

Doni menghela napas. “Ya udah, lo hutang gue lagi deh. Tapi besok traktir makan lo harus lebih mewah. Minimal level steak, bro.”

Raka mengangguk cepat. “Deal. Gue bakal traktir lo sampai lo nggak sanggup makan lagi.”

Mbak Nana mengambil enting-enting gepuk dari rak dan menyerahkannya ke kasir. Transaksi berjalan cepat, dan akhirnya Raka memegang dua bungkus oleh-oleh yang hampir menghancurkan hidupnya.

Sambil berjalan keluar dari toko, Doni menepuk bahu Raka. “Gue nggak ngerti kenapa oleh-oleh bisa jadi masalah sebesar ini buat lo.”

Raka mendesah. “Lo belum kenal keluarga gue. Mereka itu kayak juri MasterChef kalau soal oleh-oleh. Salah beli satu aja, langsung dihakimi habis-habisan.”

Doni tertawa kecil. “Makanya, lain kali lo minta mereka pesen sendiri aja, pake layanan kirim. Beres.”

Raka menatap Doni seolah dia baru saja menyadari solusi paling jenius di dunia. “Kenapa gue gak kepikiran itu dari awal?”

“Karena lo terlalu sibuk jadi orang baik,” jawab Doni sambil tertawa.

Baru saja mereka hendak meninggalkan area toko, Raka melihat sebuah kios kecil di pinggir jalan yang menjual gantungan kunci berbentuk bakpia, tugu Jogja, dan berbagai miniatur lainnya.

Doni mengikuti arah pandangan Raka. “Lo masih mau beli sesuatu?”

Raka terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Kayaknya gue bakal beli gantungan kunci aja buat Om Bram. Biar kalau dia masih ngomel soal enting-enting gepuk, gue bisa hibur dia dengan ini.”

Doni tertawa. “Oke, ini sih strategi bertahan hidup yang bagus.”

Raka mendekati kios, memilih satu gantungan kunci berbentuk miniatur Gudeg Jogja, dan menyerahkannya ke penjual. Setelah membayar, dia menatap belanjaannya dengan perasaan campur aduk.

“Udah lengkap, kan?” tanya Doni.

Raka menghela napas panjang. “Harusnya, sih. Tapi gue tetap ngerasa bakal ada yang salah pas gue pulang nanti.”

Doni menepuk pundak Raka. “Udah, yang penting lo udah usaha. Kalau masih ada yang protes, kasih mereka tiket buat belanja sendiri.”

Raka tersenyum tipis. “Ide bagus. Atau mungkin, tahun depan gue pura-pura lupa kalau harus beli oleh-oleh.”

Doni terkekeh. “Gue dukung penuh rencana itu.”

Dengan kantong belanjaan di tangan dan hati yang sedikit lebih tenang, Raka akhirnya melangkah kembali ke hotel, bersiap menghadapi takdir yang menantinya begitu dia kembali ke rumah.

 

Oleh-Oleh, Omelan, dan Pembalasan Dendam

Raka berdiri di depan rumah dengan napas tertahan. Tas berisi oleh-oleh tergantung di tangannya, seakan beratnya bertambah tiga kali lipat karena beban mental yang ia pikul. Di dalam rumah, Om Bram, Mak Ani, dan seluruh keluarganya pasti sudah menunggu dengan tatapan penuh ekspektasi.

Doni, yang ikut mengantar sampai gerbang, menepuk bahu Raka. “Gue doain lo selamat, bro. Kalau lo butuh tempat ngungsi, lo tahu rumah gue selalu terbuka.”

Raka menarik napas dalam. “Kalau besok lo nggak denger kabar dari gue, anggap aja gue udah jadi korban insiden oleh-oleh ini.”

Doni tertawa. “Sampai jumpa di dunia lain, bro.”

Setelah Doni pergi, Raka akhirnya mengumpulkan keberanian untuk masuk ke dalam rumah. Begitu dia membuka pintu, suasana ruang tamu yang penuh langsung menyambutnya. Semua mata tertuju padanya.

“Raka! Akhirnya pulang juga!” seru Mak Ani. “Mana oleh-olehnya?”

Raka tersenyum canggung sambil mengangkat tasnya. “Santai, Mak, semua ada. Aman.”

Om Bram, yang duduk di sofa dengan tangan bersilang, mengangguk tegas. “Bagus. Coba kita lihat satu per satu.”

Raka duduk di lantai, membuka tasnya, dan mulai mengeluarkan oleh-oleh. “Oke, pertama… bakpia.”

Mak Ani langsung merebutnya dengan mata berbinar. “Nah! Ini baru anak soleh!”

Raka mengeluarkan kotak kedua. “Terus, ini enting-enting gepuk buat Om Bram.”

Om Bram mengambilnya dengan anggukan puas. “Bagus. Kamu nggak lupa.”

Raka menghela napas lega. “Ya masa lupa, Om. Udah jadi misi hidup gue ini.”

Tapi, sebelum dia sempat merasa aman, suara Mitha—sepupunya—tiba-tiba menyela. “Terus mana wingko babatnya?”

Raka membeku. “Hah?”

Mitha berkedip polos. “Iya. Bukannya Ibu minta wingko babat juga?”

Mak Ani langsung menoleh. “Iya, Raka. Wingko babatnya mana?”

Dunia Raka langsung runtuh dalam sekejap. Dia menatap tasnya, berharap keajaiban terjadi dan tiba-tiba ada wingko babat yang muncul di dalamnya. Tapi tidak.

Ternyata… dia lupa.

Raka langsung berkeringat dingin. “Eee… gini, Mak. Tadi tuh, pas di toko, banyak banget orang belanja. Trus, ehm… aku tuh fokus ke enting-enting gepuknya Om Bram, jadi… wingko babatnya… kayaknya… agak lupa kebeli.”

Suasana mendadak hening.

Mak Ani menatap Raka dengan ekspresi penuh kekecewaan. “Kamu serius, Ra?”

Om Bram yang tadinya puas langsung ikut mendelik. “Jadi kamu cuma inget pesenan saya doang?”

Mitha mulai terkikik. “Waduh, Raka bakal kena nih.”

Raka langsung panik. “T-tapi Mak, jangan salah paham! Aku bawa sesuatu yang spesial buat gantiin wingko babat!”

Dia buru-buru mengeluarkan gantungan kunci berbentuk Gudeg Jogja dan menyerahkannya ke Mak Ani dengan harapan besar. “Nah, ini buat Mak! Supaya selalu inget Jogja!”

Mak Ani menatap gantungan kunci itu lama.

Raka menelan ludah.

Lalu…

PLAANG!

Mak Ani menjitak kepala Raka tanpa peringatan. “Kamu pikir ini bisa dimakan?!”

Raka mengaduh sambil mengusap kepalanya. “T-tapi Mak, ini suvenir spesial!”

Om Bram mendengus. “Suvenir kepala kamu! Lain kali kalau belanja, dengarkan baik-baik pesenan orang!”

Raka terkulai lemas. “Ampun, Om… ini beneran ketidaksengajaan.”

Mak Ani hanya mendesah. “Ya sudahlah. Lain kali kalau lupa beli oleh-oleh, nggak usah pulang sekalian.”

Mitha tertawa sambil berbisik, “Raka di-blacklist sebagai pembeli oleh-oleh keluarga, nih.”

Raka menghela napas panjang. Sementara yang lain sibuk menikmati bakpia dan enting-enting gepuk, dia hanya bisa meratapi nasibnya.

Tapi dalam hati, dia bersumpah…

Tahun depan, dia bakal pura-pura hilang ingatan kalau disuruh beli oleh-oleh lagi.

 

Jadi, kesimpulannya? Beli oleh-oleh itu bukan sekadar belanja, tapi ujian mental dan kesabaran. Salah beli bisa bikin harga diri anjlok, bawa yang nggak diminta malah dianggap nyeleneh.

Intinya, kalau mau aman, catat pesenan baik-baik… atau lebih gampangnya, pura-pura hilang ingatan pas pulang. Wkwk. Nah, kalau suatu hari lo diminta beli oleh-oleh, inget cerita ini baik-baik. Jangan sampe masuk daftar hitam kayak Raka!

Leave a Reply