Cerpen Komedi Anak: Pameran Gambar Kacau dan Pangeran Kerupuk

Posted on

Oke, bayangin ini… sekelompok bocah SD yang sok jenius, pameran seni yang niatnya keren tapi malah jadi ajang kekacauan, dan seorang bocah lapar yang nggak sadar kalau dia sebenernya pangeran… di kerajaan kerupuk?!

Ya, ini bukan cerita biasa. Ini cerita tentang kelas 3 Pelangi, di mana cat bukan cuma buat gambar, tapi juga buat dekorasi wajah, di mana kardus bekas bisa berubah jadi kastil, dan di mana ada satu anak yang hidupnya cuma muter di tiga hal: makan, makan, dan makan lagi.Siap-siap ketawa, siap-siap gemes, dan siap-siap ikutan gila bareng bocah-bocah ini!

 

Cerpen Komedi Anak

KERAJAAN KRAYON DAN RAJA KERUPUKLANDIA

Di SD Krayon Ceria, setiap pagi selalu diawali dengan pemandangan yang penuh warna. Tidak ada meja belajar yang bersih dari coretan, tidak ada seragam putih polos tanpa gambar-gambar ajaib, dan yang pasti, tidak ada anak yang datang tanpa membawa sekotak krayon, spidol, atau pensil warna.

Hari itu, kelas 3 Pelangi sudah ramai sejak sebelum bel masuk berbunyi. Di sudut kelas, Gugun sibuk menggambar sesuatu di meja belajarnya, sementara Juminten sedang asyik menempelkan gambar naga berkepala tiga di dinding kelas.

“Gugun, kamu gambar apa?” tanya Dita, yang baru saja datang sambil membawa kotak besar berisi spidol warna-warni.

“Ini kerajaan, Dit! Lihat nih, ada rajanya, ada istananya, terus ada… eh, sebentar, pajaknya bayar pakai apa ya?” Gugun menatap gambarnya dengan wajah serius.

Dita mengernyit. “Loh, emang kerajaan kamu ada pajak juga?”

“Ya iyalah! Kerajaan tanpa pajak itu nggak realistis!” Gugun menjawab mantap.

Tiba-tiba Ucup ikut nimbrung. “Kalau pajaknya pakai uang mah biasa. Gimana kalau pakai kerupuk aja?”

Gugun terdiam sejenak, lalu wajahnya berbinar. “Wih! Bener juga! Aku kasih nama Kerajaan Kerupuklandia! Jadi, setiap rakyat harus setor kerupuk ke kerajaan tiap bulan.”

Juminten yang mendengar percakapan itu langsung mendekat sambil membawa kertas gambarnya. “Terus kalau nggak bayar pajak, kena hukuman apa?”

Ucup langsung menjawab dengan nada penuh drama, “Dihukum nyanyi dangdut di depan istana!”

Sekelas langsung tertawa. Gugun buru-buru menggambar panggung dangdut di samping istana yang dia buat. Dia bahkan menambahkan seorang raja berkumis tebal yang sedang berjoget sambil pegang mikrofon.

Saat kelas makin ramai dengan suara tawa, Bu Lestari masuk dengan senyum lebarnya. “Wah, pagi-pagi kelas sudah seperti pameran seni, ya?”

Semua anak buru-buru duduk, meskipun tangan mereka masih memegang spidol dan krayon.

“Anak-anak, hari ini kita belajar tentang kerajaan Nusantara,” kata Bu Lestari sambil membuka papan tulis. “Tapi, seperti biasa, kalian boleh menggambar sesuai imajinasi kalian!”

Sorak sorai langsung terdengar. Tidak ada yang malas atau mengeluh saat pelajaran dimulai, karena di sekolah ini, belajar itu sama serunya dengan menggambar.

Dita mengangkat tangan. “Bu, aku boleh gambar raja yang naik singa nggak?”

“Tentu saja! Kerajaan Nusantara dulu juga punya banyak hewan yang dijadikan simbol kekuatan,” jawab Bu Lestari.

Juminten mendekat ke Gugun. “Eh, kalau kerajaan aku ada naga boleh nggak?”

“Ya boleh lah! Ini kan sekolah bergambar, bukan sekolah membosankan!” jawab Gugun.

Maka, dalam hitungan menit, kertas-kertas di atas meja penuh dengan gambaran kerajaan yang unik. Ada kerajaan yang istananya berbentuk donat, ada yang punya prajurit berkuda yang pakai helm astronot, dan ada juga yang istananya dikelilingi sungai cokelat.

Ucup, yang dari tadi diam, tiba-tiba berseru, “Bu! Aku punya kerajaan dengan pajak kerupuk!”

Bu Lestari menatapnya dengan ekspresi bingung. “Pajak kerupuk?”

Ucup mengangguk semangat. “Iya, Bu! Setiap rakyat harus bayar pajak pakai kerupuk. Kalau nggak bayar, mereka dihukum nyanyi dangdut di alun-alun!”

Sekelas kembali tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan Bu Lestari ikut tertawa kecil.

“Baiklah, baiklah. Kerajaan Kerupuklandia ini menarik juga. Tapi coba kamu jelaskan, kenapa harus kerupuk?”

Ucup berpikir sejenak. “Soalnya semua orang suka kerupuk, Bu. Dan kalau ada yang korupsi, mereka bakal langsung ketahuan karena pasti ada remah-remah kerupuk di bajunya!”

Gugun langsung bertepuk tangan. “Wih, pinter juga kamu, Cup! Aku mau tambahin penjara khusus buat pencuri kerupuk!”

Dita ikut nimbrung. “Aku bikin pengawal istana yang tugasnya ngecek siapa yang makan kerupuk tanpa bayar pajak!”

Juminten tidak mau kalah. “Aku kasih naga penjaga gerbang! Namanya Batikcoklat, bisa nyembur asap rasa cokelat buat bikin maling jadi kenyang terus ketiduran!”

Sekarang kelas semakin heboh. Semua anak sibuk memperbaiki gambarnya sambil tertawa. Tidak ada yang menyangka kalau pelajaran sejarah bisa sekreatif ini.

Bu Lestari tersenyum puas. “Nah, kalau gitu, kita buat satu kerajaan besar dari gambar-gambar kalian. Setiap kelompok boleh menggabungkan kerajaan mereka jadi satu peta besar. Dan minggu depan… kita akan mengadakan pameran!”

Sorakan kegembiraan langsung memenuhi ruangan. Bahkan Gugun yang biasanya paling malas kalau ada tugas kelompok pun langsung bersemangat.

Saat lonceng istirahat berbunyi, anak-anak masih sibuk menggambar. Kerajaan Kerupuklandia sudah punya raja, prajurit, dan hukuman uniknya. Naga Batikcoklat sudah siap menjaga istana. Dan tentu saja, penjara pencuri kerupuk sudah dibangun dengan pagar tinggi dari… stik es krim?

Hari itu, di SD Krayon Ceria, sejarah tidak hanya dipelajari, tapi juga digambar, ditertawakan, dan yang paling penting… dinikmati dengan penuh warna!

 

NAGA BATIKCOKLAT VS PENJAHAT LAPAR

Hari pameran semakin dekat, dan kelas 3 Pelangi berubah menjadi markas besar kerajaan-kerajaan aneh. Semua anak sibuk menggambar, mewarnai, dan menempelkan kertas-kertas raksasa di dinding kelas.

Di tengah kelas, Gugun dan Ucup duduk bersila, serius menggambar sesuatu di atas karton besar.

“Aku udah gambar istana dan penjara pencuri kerupuk. Sekarang tinggal pasang pengawal kerajaan,” ujar Gugun sambil menggambar sosok kecil bertopi bulat.

Ucup mengangguk. “Bener, kita butuh pengawal hebat. Tapi gimana kalau… kita bikin naga penjaga gerbang?”

Mata Gugun langsung berbinar. “Wih! Naga yang kayak apa?”

Juminten, yang dari tadi sibuk menggunting bentuk awan dari kertas warna, langsung menyela, “Aku ada ide! Naga ini harus beda dari yang lain. Bisa nyemburin sesuatu yang nggak biasa!”

Dita, yang mendengar obrolan mereka, langsung menimpali, “Nyemburin api?”

“Ah, itu biasa,” jawab Ucup.

“Nyemburin air?”

“Lebih biasa lagi,” kata Gugun sambil menggeleng.

Juminten tersenyum penuh misteri. “Gimana kalau… nyemburin asap rasa cokelat?”

Sekelas terdiam selama beberapa detik. Lalu…

“WOOOAAAHHH! IDE JENIUS!!!”

Ucup langsung menggambar naga besar berwarna cokelat dengan motif batik di sayapnya. “Kita kasih nama… Naga Batikcoklat!”

Gugun menambahkan gigi tajam di mulut naga itu. “Tapi dia nggak jahat, kan?”

Juminten menggeleng. “Nggak, dong! Dia cuma nyerang penjahat lapar yang mau maling kerupuk dari istana!”

Dita menambahkan ide. “Kalau maling kerupuknya kabur, naga ini nyemburin asap rasa cokelat. Jadi mereka terlalu sibuk mengendus bau cokelat dan lupa kabur!”

Ucup langsung menepuk tangan. “Gokil! Naga ini lebih kuat dari alarm anti-maling!”

Mereka semua tertawa dan mulai menambahkan detail pada Naga Batikcoklat. Sayapnya lebar dengan motif batik, matanya tajam tapi lucu, dan ekornya panjang melingkar seperti kue bolu gulung.

Saat mereka sibuk menggambar, tiba-tiba terdengar suara krak… kress… kruk…

Mereka semua menoleh.

Di pojok kelas, Pono, anak yang selalu kelaparan, sedang duduk bersila di bawah meja sambil mengunyah sesuatu dengan wajah puas.

“PONO! KAMU NGAPAIN?!” seru Gugun kaget.

Pono berhenti mengunyah dan melihat mereka dengan wajah tak bersalah. “Hah? Aku cuma makan…”

Ucup memicingkan mata. “Makan apa?”

Pono menelan buru-buru. “Ehehe… kerupuk.”

Juminten langsung melotot. “Kerupuk siapa?”

Pono menunduk. “Kerupuk… kerajaan…”

Sekelas langsung gempar.

“Wah! Ada maling kerupuk di kerajaan kita!” seru Dita.

Ucup bangkit berdiri. “Tenang! Kita harus hukum dia sesuai hukum Kerajaan Kerupuklandia!”

Pono langsung melotot. “Hukuman apaan?”

Gugun tersenyum licik. “Kamu harus nyanyi dangdut di depan istana!”

Pono panik. “Tunggu, aku nggak bisa nyanyi!”

Juminten menepuk bahunya. “Nggak apa-apa, kita nggak butuh suara bagus. Yang penting bergoyang!”

Dita dan Ucup langsung menarik Pono ke tengah kelas. Beberapa anak lain sudah bersiap menepuk-nepukkan penggaris ke meja, menciptakan irama dangdut dadakan.

Pono, yang pasrah dengan nasibnya, akhirnya berdiri di depan kelas dan mulai berjoget kaku sambil menyanyikan lagu dangdut seadanya.

“🎶 Aku minta maaaf… aku lapar beeraatt… 🎶”

Sekelas tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan Bu Lestari, yang baru masuk, hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum.

“Baiklah, baiklah, anak-anak! Pameran sudah dekat, ayo kita selesaikan gambarnya dulu!”

Anak-anak langsung kembali ke tempat masing-masing, tapi Pono masih tetap berdiri di tengah kelas dengan wajah bingung.

“Eh… jadi aku udah boleh duduk?”

Ucup tersenyum lebar. “Boleh. Tapi bayar pajak dulu.”

Pono menatapnya curiga. “Pajak apaan?”

Gugun mengangkat tiga jari. “Bayar pakai tiga keping kerupuk!”

Pono langsung mengeluh. “Ya ampun, aku lapar banget, tahu!”

Anak-anak kembali tertawa, dan hari itu, Naga Batikcoklat resmi menjadi penjaga kerajaan, sementara Pono resmi tercatat sebagai penjahat lapar pertama di Kerajaan Kerupuklandia.

 

KELAS ATAU PAMERAN SENI?

Hari pameran akhirnya tiba! Tapi… kelas 3 Pelangi berubah menjadi sesuatu yang lebih mirip museum aneh daripada ruang kelas biasa.

Kertas warna-warni menempel di dinding, ada istana dari kardus di sudut ruangan, dan di tengah kelas, gambar Naga Batikcoklat raksasa terpampang dengan gagahnya.

Semuanya tampak sempurna… kecuali satu hal.

“KENAPA BERANTAKAN BANGET?!” suara Bu Lestari terdengar panik saat melihat keadaan kelas.

Anak-anak saling pandang. Gugun mengangkat bahu. “Ehm… seni?”

Bu Lestari menghela napas. “Oke, kita harus rapihkan semua ini sebelum para tamu datang!”

Tamu yang dimaksud bukan sembarang tamu.

Hari itu, sekolah mengundang kepala sekolah, guru-guru senior, dan bahkan beberapa orang tua murid untuk melihat pameran gambar kelas mereka.

Seketika, kelas 3 Pelangi berubah jadi tim penyelamat bencana seni.

Juminten dan Dita sibuk mengatur gambar-gambar supaya tidak menempel sembarangan. Ucup dan Gugun mengikat pita di kardus istana biar kelihatan mewah. Sementara Pono…

Pono malah jongkok di bawah meja sambil menggambar sesuatu di lantai.

“PONO! KAMU NGAPAIN?!” tanya Gugun.

Pono mengangkat kepalanya dengan santai. “Nyari ide.”

Ucup memicingkan mata. “Ide apaan?”

Pono menunjuk gambarnya. Itu adalah gambar tumpukan kerupuk emas dengan tulisan besar di atasnya:

‘Harta Karun Kerajaan Kerupuklandia’

“Bagus, kan?” katanya bangga.

Juminten melotot. “Bagus sih… TAPI KENAPA KAMU GAMBAR DI LANTAI?!”

Pono mengedip. “Biar lebih nyata?”

Seketika, kepanikan terjadi.

Dita langsung mengambil kain pel dan menghapus gambarnya sebelum Bu Lestari melihat. “Ya ampun, Pono! Kalo mau gambar, di kertas aja dong!”

Pono mendesah. “Tapi di kertas nggak kerasa kayak peta harta sungguhan.”

Anak-anak sibuk merapikan semuanya dalam waktu singkat, dan akhirnya…

DUARRR!!!

Pintu kelas mendadak terbuka lebar.

Di depan pintu, berdiri seorang pria tinggi berkacamata, dengan jas abu-abu dan ekspresi serius. Di sebelahnya, seorang ibu-ibu memakai tas selempang mahal dan tersenyum ramah.

Itu adalah Pak Surya, kepala sekolah, dan Bu Hesti, ketua komite orang tua murid.

Di belakang mereka, ada beberapa guru senior dan orang tua lainnya yang ikut melihat-lihat.

“Kami boleh masuk?” tanya Pak Surya.

Bu Lestari mengangguk panik. “T-tentu, Pak!”

Anak-anak langsung berdiri tegak seperti patung-patung museum, seolah-olah mereka bukan anak yang baru saja bertengkar gara-gara gambar di lantai.

Pak Surya berjalan masuk dan mulai melihat hasil karya mereka. Ia berhenti di depan gambar Naga Batikcoklat dan mengangkat alisnya. “Hmm… menarik.”

Bu Hesti tersenyum. “Anak-anak yang menggambar ini?”

Gugun maju selangkah. “I-iya, Bu! Ini Naga Batikcoklat, penjaga kerajaan kami. Dia bisa menyemburkan asap rasa cokelat!”

Pak Surya terlihat berpikir. “Asap rasa cokelat?”

Juminten ikut menjelaskan. “Iya, Pak! Supaya maling kerupuk nggak bisa kabur karena mereka sibuk nyium bau cokelat!”

Seketika, ruangan hening.

Para orang tua saling pandang. Guru-guru menahan tawa.

Lalu…

Pak Surya tertawa!

“HAHAHA! Wah, imajinasi kalian luar biasa! Aku belum pernah dengar ada naga seperti ini!” katanya sambil tersenyum lebar.

Bu Hesti juga mengangguk puas. “Bagus sekali! Kreatif dan unik! Kalian pasti bekerja keras, ya?”

Anak-anak langsung membusungkan dada bangga. “IYA, DONG!”

Pameran berjalan dengan lancar. Semua orang melihat gambar-gambar unik anak-anak, mulai dari istana kardus, peta kerajaan, sampai ilustrasi hukuman penjahat lapar (yang jelas-jelas terinspirasi dari kasus Pono).

Sampai akhirnya…

Pak Surya berhenti di depan satu gambar.

Ia menatapnya lama.

Sebuah gambar sederhana, tapi menarik perhatian.

Gambar itu adalah seorang anak kecil duduk sendirian di bawah pohon, menatap ke arah istana kerajaan yang ramai.

Di bawahnya tertulis:

“Pangeran yang Lupa Dia Pangeran.”

Pak Surya menoleh ke arah anak-anak. “Siapa yang menggambar ini?”

Anak-anak bingung. Mereka saling pandang.

Lalu…

Pono mengangkat tangannya pelan.

“Aku, Pak…” katanya lirih.

Suasana kelas mendadak tenang.

Pak Surya tersenyum. “Bisa jelaskan ceritanya?”

Pono menggaruk kepala. “Ehm… ini ceritanya tentang anak yang lupa kalau dia pangeran. Dia nggak tahu kalau dia punya kerajaan sendiri, karena dia terlalu sibuk mikirin perutnya yang kosong.”

Sekelas langsung menahan tawa.

Pak Surya tertawa kecil. “Hmm… menarik. Jadi, dia akhirnya sadar kalau dia pangeran?”

Pono mengangkat bahu. “Tergantung, Pak. Kalau dia dikasih makan, dia bakal inget. Kalau enggak, ya dia tetep lupa.”

Seketika, seluruh ruangan pecah dengan tawa.

Bahkan Pak Surya sampai harus melepas kacamatanya karena terlalu banyak ketawa.

Bu Hesti mengusap air mata. “Hahaha! Anak ini benar-benar… luar biasa!”

Hari itu, kelas 3 Pelangi resmi mendapat gelar “Kelas Seni Paling Kacau tapi Paling Kreatif” seantero sekolah.

Dan Pono?

Pono akhirnya sadar… kalau dia memang bukan pangeran, tapi maling kerupuk sejati!

 

PANGERAN LAPAR DAN HADIAH ISTIMEWA!

Hari pameran seni kelas 3 Pelangi resmi menjadi pembicaraan satu sekolah. Semua orang terkesan dengan kreativitas anak-anak, terutama dengan kisah si Pangeran yang Lupa Dia Pangeran karya Pono.

Tapi… kejutan belum berakhir!

Setelah acara selesai, Pak Surya berdiri di depan kelas dengan senyum misterius.

“Anak-anak, karena kelas kalian berhasil membuat pameran yang paling kreatif dan paling bikin ketawa, aku dan para guru sepakat…”

Anak-anak menahan napas.

“…untuk memberikan kalian HADIAH ISTIMEWA!”

“HADIAH?!” Semua anak langsung bersorak kegirangan.

Juminten langsung mengangkat tangan. “Pak, hadiahnya permen satu karung?”

Dita menimpali, “Atau libur seminggu?”

Gugun berbisik penuh harap, “Semoga bukan tugas menggambar lagi…”

Pak Surya tertawa. “Tenang, tenang! Hadiahnya adalah…”

JENG JENG JENG!

Pintu kelas terbuka, dan Bu Hesti masuk dengan dua kotak besar berisi…

KERUPUK RAKSASA!

Pono langsung membeku di tempat. Matanya membesar seperti melihat harta karun sungguhan.

“KERUPUKKKK!!!” Pono hampir menangis bahagia.

Anak-anak tertawa melihat ekspresi Pono.

Pak Surya tersenyum. “Kami dengar dari Bu Lestari bahwa kalian punya konsep Kerajaan Kerupuklandia. Jadi, hadiah ini spesial untuk kalian!”

Anak-anak langsung bersorak girang dan berebut mengambil kerupuk.

Tapi sebelum semuanya keburu habis, Bu Lestari berkata, “Sebentar! Kita harus kasih penghargaan dulu buat anak yang paling berjasa dalam pameran ini!”

Semua orang langsung menoleh ke arah Pono.

“YA ITU JELAS PONO!” teriak Gugun.

Pono kaget. “Lho, kok aku?”

Juminten nyengir. “Soalnya kalau nggak ada kamu, cerita Kerajaan Kerupuklandia nggak bakal lahir, Naga Batikcoklat nggak bakal ada, dan… kita nggak bakal dapet kerupuk segede gaban ini!”

Anak-anak langsung mengangkat Pono seperti raja.

“Pangeran Lapar kitaaa!” teriak Ucup.

“RAJA KERUPUKLANDIAAA!” sambung Dita.

Pono cengar-cengir bangga. “Ya, ya, aku memang berbakat jadi pangeran! Hahaha!”

Namun, kebahagiaan Pono tidak berlangsung lama.

Ketika ia hendak menggigit kerupuk pertamanya…

KREEEK!

Kerupuknya direbut Bu Lestari!

“EH?! BU!?” Pono melongo.

Bu Lestari tersenyum penuh arti. “Pangeran harus punya tanggung jawab, kan?”

Pono mengerutkan dahi. “Maksudnya?”

Bu Lestari menunjuk ke meja kelas yang berantakan dengan sisa-sisa kertas, cat, dan kardus.

“BERSIHIN DULU, BARU MAKAN!”

Seketika, ruangan hening.

Lalu…

“TIDAAAAAAKKKK!!!”

Jeritan Pono terdengar sampai ke luar kelas.

Dan begitulah, kelas 3 Pelangi akhirnya membersihkan ruangannya sambil tetap tertawa.

Pono tetap jadi pangeran, tapi juga pangeran yang disuruh bersih-bersih sebelum bisa menikmati kerupuknya.

Setelah semuanya bersih, anak-anak makan kerupuk bersama, sambil tertawa mengenang kekacauan pameran mereka.

Hari itu, mereka menyadari sesuatu…

Seni itu bukan cuma soal menggambar. Tapi soal kebersamaan, tawa, dan tentu saja… KERUPUK!

 

Dan begitulah, pameran paling heboh sedunia akhirnya ditutup dengan kerupuk raksasa, bocah lapar yang jadi pangeran, dan kelas yang berakhir kayak kapal pecah.Tapi meskipun akhirnya harus bersih-bersih dulu sebelum makan, mereka tetap senang setengah mati.

Karena yang terpenting bukan cuma gambarnya, tapi kenangannya.Jadi, moral cerita kali ini? Kalau mau makan enak, jangan lupa bersih-bersih dulu. Kalau mau jadi pangeran, pastikan kamu nggak ketahuan guru dulu

Leave a Reply