Daftar Isi
Pernah nggak sih, punya barang yang bener-bener jadi saksi hidup kita? Kayak mantel kesayangan ini, yang bukan cuma sekedar pelindung dari dingin, tapi juga penuh kenangan yang bikin setiap kali dipakai, rasanya ada sesuatu yang menghangatkan lebih dari sekadar tubuh.
Cerita ini bukan cuma tentang sebuah mantel, tapi tentang semua kenangan yang tersimpan di baliknya—tentang cinta yang nggak pernah hilang, tentang kehilangan yang tetap membekas, dan tentang langkah-langkah yang harus diambil meskipun rasanya berat. Siapa tahu, setelah baca ini, kamu jadi ingat juga sama barang-barang yang pernah punya makna besar buat kamu.
Cerpen Kisah Nyata
Kenangan yang Terselip di Saku
Saat hujan mulai turun di luar, Adrian duduk di kursi kayu tua di ruang tamu rumahnya yang sunyi. Lantai kayu yang usang mengeluarkan bunyi berderak pelan setiap kali ia bergerak. Dari jendela, tampak tetesan hujan berjatuhan, berkilau seperti permata kecil yang menari-nari di udara.
Tangannya bergerak dengan perlahan menuju lemari kayu di sudut ruangan. Di sana, di balik beberapa buku tua dan jaket-jaket lama, sebuah mantel cokelat tua terlipat rapi, terjaga dalam keheningan waktu. Adrian memandang mantel itu sejenak, matanya menerawang, seakan ada sesuatu yang memanggilnya.
Ia menarik mantel itu keluar, merasakan berat kain yang sudah mulai menua di tangannya. Di saku kirinya, terdapat tambalan kecil berbentuk hati yang terjahit rapi—sebuah tanda kasih sayang yang masih mengalir, meskipun waktu telah berlalu begitu lama. Sering kali, setiap kali ia memandang tambalan itu, ia merasa seperti mendengar suara ibunya, Ana, yang masih hangat mengingatkan dirinya tentang hal-hal kecil yang begitu berarti.
Saat ia menarik mantel itu ke tubuhnya, suasana seolah kembali berubah. Terasa seperti ada sesuatu yang menyelimuti dirinya, sesuatu yang lebih dari sekadar kain. Mantel itu tidak hanya memberikan kehangatan, tetapi juga kenangan yang sangat dalam—kenangan yang hampir terasa seperti sentuhan tangan ibunya sendiri.
Di ruang tamu yang sepi itu, Adrian menutup matanya sejenak, membiarkan ingatan-inginannya berputar kembali, berputar ke hari-hari saat ibu masih ada.
Adrian teringat pertama kali ia melihat ibu mengenakan mantel ini. Saat itu, ia masih anak-anak—kecil, penuh rasa ingin tahu dan selalu mengikuti ibunya ke mana pun ia pergi. Setiap musim dingin, ibunya akan mengenakan mantel cokelat itu, meskipun hujan atau salju turun tanpa henti. Ketika mereka berjalan berdua menuju sekolah, Ana selalu berusaha berjalan lebih cepat, menjaga Adrian agar tetap kering dan hangat.
“Ibu, kenapa selalu pakai mantel itu?” tanyanya suatu hari, saat mereka baru saja pulang dari pasar.
Ana menoleh, tersenyum dengan mata yang cerah meski hujan deras menghujani mereka. “Karena ini mantel terbaik yang Ibu punya. Dan Ibu mau kamu tahu, sayang, terkadang yang terbaik itu bukan selalu yang baru, tapi yang ada dalam hati.”
Adrian masih ingat bagaimana ibunya mengelus rambutnya dengan lembut, meskipun saat itu ia tidak sepenuhnya mengerti makna kata-kata itu. Ia hanya tahu bahwa suara ibunya selalu terasa menenangkan, seakan segala kesedihan dan kekhawatiran bisa hilang begitu saja.
Tapi waktu berjalan cepat. Setiap tahun, hujan dan salju datang dengan kesunyian yang semakin dalam. Dan suatu hari, hujan itu datang lebih keras daripada sebelumnya. Kali ini, tidak ada yang menunggu Adrian pulang dari sekolah. Ibunya tidak lagi berdiri di depan pintu, dengan mantel cokelatnya yang setia menempel di tubuh.
Adrian membuka lemari dan meraih mantel itu, merasakannya dengan cara yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Sambil memeluk mantel itu erat, ia merasakan hangat yang tiba-tiba mengalir ke seluruh tubuhnya, seperti pelukan dari seseorang yang telah lama pergi.
Tiba-tiba, suara pintu depan terbuka dan langkah kaki terdengar memasuki rumah. Adrian terhenyak sejenak, menoleh dengan cepat. Seorang pria tinggi, berjaket hitam dan wajah lelah memasuki ruang tamu.
“Adrian,” kata pria itu dengan suara berat, sepertinya baru saja pulang kerja. “Kau di sini?”
Adrian hanya mengangguk perlahan, tidak tahu bagaimana harus mulai berbicara. Mantel itu masih tergantung di tubuhnya, dan sepertinya tidak ada kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan yang tengah bercampur di dadanya.
“Bentar, aku ambilkan minum,” kata pria itu lagi, berusaha mengalihkan perhatian dari suasana yang tampaknya penuh dengan keheningan yang mendalam. Adrian tetap duduk diam di tempatnya, sementara pria itu masuk ke dapur.
Ia tahu, meskipun tidak ada yang perlu diungkapkan, kehadiran mantel itu sudah cukup untuk mengingatkan mereka berdua pada masa lalu—pada Ana, yang meski telah tiada, masih ada dalam setiap ruang di rumah ini.
Adrian memandang mantel itu lagi. Matahari yang hampir terbenam membuat bayangan mantel itu panjang di lantai kayu yang dingin. Begitu banyak kenangan terhimpun di sana—di balik setiap jahitan, di balik setiap tambalan kecil yang tak tampak. Mantel itu tidak hanya milik ibunya, tetapi juga milik Adrian, yang akan menjaganya sepanjang hidupnya.
“Adrian,” suara pria itu kembali terdengar. “Kamu baik-baik saja?”
Adrian mengangguk, namun kali ini senyumnya terasa lebih tipis dari biasanya. “Aku cuma rindu Ibu,” katanya pelan, seolah mengerti bahwa tidak ada yang bisa menggantikan kehangatan ibunya, bahkan mantel ini sekalipun.
Malam semakin larut, hujan belum berhenti. Dan Adrian masih duduk di sana, dengan mantel cokelat tua yang menyelimuti tubuhnya, memeluk kenangan yang tak akan pernah pudar.
Pelukan di Tengah Hujan
Malam itu, hujan semakin deras, jatuhnya seperti air yang tercurah tanpa henti, menari di atap rumah dengan irama yang menenangkan. Adrian duduk di kursi dekat jendela, matanya menerawang kosong ke luar. Ia merasa seolah waktu berhenti sejenak, hanya meninggalkan kenangan yang berputar-putar dalam benaknya.
Sesekali, suara dari luar terdengar samar, seolah dunia di luar rumah berputar dengan kecepatannya sendiri, tanpa peduli dengan yang ada di dalamnya. Hanya ada Adrian, mantel cokelat tua itu, dan bayang-bayang masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.
Pria yang tadi baru pulang, yang ternyata adalah kakaknya, Leon, kembali duduk di sampingnya. Tidak banyak kata yang keluar dari mulut Leon, karena mereka sudah terbiasa dengan diam—terutama setelah kehilangan Ana. Mereka berdua tahu, tak ada kata yang bisa benar-benar mengisi kekosongan yang terasa. Tapi ada hal yang tak terucapkan di dalam keheningan itu, yang lebih kuat dari sekadar kata-kata: rasa kehilangan yang tak akan pernah bisa dipenuhi, hanya bisa diterima.
Leon menarik napas panjang, matanya menatap mantel yang tergantung di tubuh Adrian. “Kamu tahu, waktu Ibu masih ada, aku sering sekali lihat dia duduk di sana,” katanya pelan, menunjuk ke kursi kayu di dekat jendela. “Dia selalu menunggu hujan reda sebelum pergi. Bahkan saat Ibu sedang sakit, dia selalu bilang, ‘Hujan bukan penghalang untuk merasakan kehangatan.'”
Adrian memutar kepala, menatap kakaknya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Aku nggak tahu kenapa aku terus merasa dia masih ada di sini,” jawabnya, suara bergetar. “Seperti aku bisa merasakan pelukan hangatnya setiap kali aku pakai mantel ini.”
Leon terdiam sejenak, seolah kata-kata Adrian itu menggugah kenangan yang sudah lama terkubur di dalam dirinya. Ia menoleh ke luar jendela, matanya menatap hujan yang semakin lebat. “Ibu memang selalu tahu cara membuat kita merasa… aman,” kata Leon. “Aku sering merasa kalau dia ada di sini, dia pasti akan bilang kalau semuanya akan baik-baik saja.”
Adrian mengangguk, sambil meremas tangan di dalam saku mantel. Hujan yang turun deras di luar terasa seakan ikut meresap ke dalam hatinya yang sudah lama terbendung. Ia merasakan kehangatan dari mantel itu semakin kuat, seolah-olah Ana ada di sana, dekat dengannya, memberikan pelukan yang tak pernah ia dapatkan lagi.
Leon bangkit dari kursinya dan berjalan menuju dapur. “Aku buatkan teh hangat, ya,” katanya, suara lembut namun tegas. Adrian mengangguk tanpa berkata apa-apa, tetap memandangi mantel itu dengan tatapan penuh makna. Setiap kali ia memakainya, ia merasa seolah ia sedang kembali ke masa lalu, kembali bersama Ana, merasakan kenyamanan dan kedamaian yang dulu selalu ada di rumah itu.
Leon kembali beberapa menit kemudian, membawa dua cangkir teh. Ia meletakkan satu cangkir di meja di depan Adrian. “Teh ini selalu jadi favorit Ibu,” ujarnya sambil duduk kembali. “Kalau hujan begini, dia selalu membuatkan kita teh jahe hangat dan berkata, ‘Kita bertahan, karena hidup ini selalu lebih manis setelah hujan.'”
Adrian menyesap teh itu perlahan. Rasanya begitu familiar, seakan setiap tetesnya mengingatkan pada saat-saat ketika Ana masih ada. Tidak ada kata yang keluar, hanya keheningan yang terus menyelimuti ruang tamu mereka, dengan suara hujan yang menjadi latar belakangnya.
Adrian menatap keluar jendela lagi, melihat air hujan yang menggenang di jalan. Ia tahu bahwa ia tak akan pernah bisa kembali ke masa itu—masa ketika segalanya terasa lebih ringan, ketika ibunya masih ada untuk memberinya pelukan di setiap akhir hari. Namun, saat ini, ia merasa bahwa meskipun hujan itu datang dan pergi, kenangan akan Ana tak akan pernah pudar. Mantel cokelat ini, dengan tambalan kecil berbentuk hati yang selalu mengingatkannya pada kasih sayang ibunya, menjadi lebih dari sekadar benda. Itu adalah simbol dari segala cinta yang telah diberikan, dan yang akan selalu ada meskipun waktu terus berjalan.
Leon menatap adiknya dengan sorot mata yang penuh arti, seakan ingin mengatakan sesuatu yang lebih. “Adrian,” kata Leon pelan, “Ibu selalu bilang, ‘Kita bisa menghadapi apapun, asalkan kita tetap saling ada.’ Dan meskipun Ibu nggak ada lagi, kamu tetap punya kenangan itu. Mantel itu… adalah bagian dari kita, dan aku yakin, Ibu ingin kita bertahan dengan kenangan itu.”
Adrian hanya mengangguk pelan, namun matanya mulai berkaca-kaca lagi. Ia tahu Leon benar. Kenangan itu adalah kekuatan yang mereka punya untuk terus berjalan maju, meski tanpa Ana.
Leon bangkit dan berjalan menuju pintu. “Aku tidur dulu. Kalau kamu butuh apa-apa, aku ada di kamar,” katanya, lalu melangkah pergi. Adrian hanya mengangguk tanpa menjawab, tetap duduk di sana, dengan mantel cokelat itu yang menyelimuti tubuhnya, seolah waktu berhenti dan hanya kenangan yang ada.
Hujan di luar semakin deras, tapi Adrian merasa lebih tenang. Tidak ada yang bisa menggantikan keberadaan ibunya, tetapi ada sesuatu yang lebih kuat—kenangan yang tetap hidup dalam diri mereka, yang tak bisa dilupakan. Mantel itu adalah penanda bahwa mereka masih saling ada, masih saling mengingat, meskipun hujan atau waktu terus mengalir tanpa henti.
Mantel yang Menghangatkan Kepergian
Pagi itu, matahari mulai menembus tirai hujan yang semalam tak kunjung reda. Udara pagi terasa segar, meskipun dingin masih menggigit kulit. Adrian berjalan keluar menuju teras rumah, mengenakan mantel cokelat tua yang kini terasa semakin berat di bahunya. Sebuah rutinitas yang tak lagi sama, tapi harus tetap dilakukan.
Ia duduk di kursi kayu yang sudah lapuk di depan teras, menatap halaman rumah yang basah, sementara angin dingin menyapu wajahnya. Di kejauhan, bukit-bukit hijau yang sering terlihat cerah kini tampak terselimuti kabut tipis, memberikan suasana yang agak melankolis. Adrian menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang selalu dibayangi masa lalu.
Malam tadi, setelah percakapan panjang dengan Leon, ia merasa sedikit lebih ringan. Meski tidak ada kata yang bisa benar-benar menghapus rasa kehilangan, ia tahu bahwa kenangan itu akan tetap bersamanya. Dan mantel itu—mantel yang sudah menemaninya bertahun-tahun—merupakan saksi hidup dari perjalanan yang begitu penuh makna.
“Adrian, kamu nggak mau sarapan?” suara Leon terdengar dari dalam rumah, memecah keheningan pagi. Adrian tersenyum tipis, sedikit terkejut mendengar suara kakaknya yang jarang sekali terdengar pagi-pagi seperti ini. “Aku nggak lapar,” jawab Adrian pelan.
Leon muncul dari dalam rumah, berdiri di ambang pintu dengan secangkir kopi di tangan. “Kalau kamu terus-menerus di luar seperti ini, nanti malah sakit,” katanya sambil melangkah ke arah Adrian. “Ibu nggak suka kita terlalu banyak diam, ingat?”
Adrian mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia tahu maksud Leon. Ibu mereka selalu khawatir jika mereka terlalu tenggelam dalam kesedihan. “Aku cuma… ingin menikmati pagi ini sebentar. Merasakan hujan yang kemarin malam, merasakan… sedikit kehangatan,” jawabnya, suaranya hampir tenggelam oleh angin yang berhembus pelan.
Leon duduk di sampingnya, meletakkan cangkir kopi di meja kayu tua yang terletak di depan teras. “Aku juga kadang-kadang butuh itu. Butuh waktu sendiri, meski kadang tidak tahu harus ngapain.” Ia tersenyum tipis, lalu melirik ke arah mantel yang dikenakan Adrian. “Masih sering pakai itu?”
Adrian mengangguk, menggulung ujung mantel di tangannya. “Iya. Rasanya aneh kalau nggak pakai ini, Leon.”
Leon memandang adiknya sejenak, dengan tatapan yang penuh makna. “Aku nggak pernah tahu, Adrian, betapa besar pengaruh Ibu dalam hidupmu. Terkadang aku merasa kita sudah lama nggak bicara tentang hal-hal yang benar-benar penting,” kata Leon, suara yang lebih serius.
Adrian menundukkan kepala, mencoba mengatur kata-kata yang ingin ia ucapkan. “Aku hanya ingin tetap dekat dengan Ibu, meskipun dia nggak ada.” Suaranya hampir berbisik, seakan takut jika kata-katanya terlalu keras untuk diterima oleh kenyataan.
Leon terdiam sejenak. Lalu, ia tersenyum pahit. “Ibu pasti ingin kita terus melangkah, meskipun dia sudah nggak ada. Dia nggak mau kita terhenti karena kesedihan ini.”
Mereka berdua duduk diam, merenung dalam keheningan. Sesekali, angin meniup rambut Adrian, dan sejenak ia merasa seperti ada sesuatu yang mengusap bahunya—seperti pelukan yang pernah diberikan Ana saat mereka bertiga berjalan bersama. Itu adalah kehangatan yang sulit dijelaskan, tapi terasa begitu nyata di dalam hatinya.
Tiba-tiba, suara pintu rumah terdengar lagi, kali ini lebih keras, diikuti langkah kaki yang cepat menuju teras. Seorang wanita muda, mengenakan jaket biru muda dan membawa tas selempang, muncul di depan Adrian dan Leon. “Pagi, Kak! Pagi, Adrian!”
Adrian menoleh dan tersenyum, meski senyum itu terasa dipaksakan. “Pagi, Gita.”
Gita, adik bungsu mereka, baru saja kembali dari kampus. Wajahnya yang cerah dan penuh semangat kontras dengan keheningan yang ada di rumah itu. Gita duduk di kursi yang sama dengan Leon, membuka tas dan mengeluarkan buku catatannya. “Ada yang aneh di sini ya? Kenapa jadi sunyi banget?” tanyanya dengan suara ringan, mencoba mencairkan suasana.
Leon menghela napas. “Kamu selalu datang dengan semangat baru, Gita.”
Gita tertawa kecil, lalu memperhatikan mantel cokelat yang dikenakan Adrian. “Kamu masih pakai itu? Mantel itu udah kayak bagian dari tubuh kamu, ya.”
Adrian tersenyum tipis, menatap Gita yang masih tampak lebih ceria daripada mereka. “Aku nggak tahu kenapa, Gita. Rasanya lebih nyaman kalau pakai ini. Seperti ada yang mengingatkan aku tentang Ibu setiap kali aku pakai.”
Gita diam sejenak, menatap Adrian dengan mata yang lebih dalam. “Aku tahu, kak,” jawabnya pelan. “Tapi, aku juga tahu, Ibu nggak mau kita terpuruk terus. Ibu pasti ingin kita tetap maju, kan?”
Adrian mengangguk, meski hatinya masih terasa berat. Ia tahu apa yang dimaksud Gita. Tapi bagaimana bisa ia melupakan kenangan itu, kenangan tentang ibu yang selalu menyelimutinya dengan cinta?
“Kalau begitu, kenapa kita nggak coba buat sesuatu yang baru?” Gita tiba-tiba menyarankan, membuyarkan pemikiran Adrian. “Jangan terus-menerus hidup di bayang-bayang masa lalu. Ibu selalu bilang, ‘Setiap pagi adalah kesempatan untuk memulai lagi.’”
Adrian menatap Gita, mencoba menangkap makna di balik kata-katanya. Sepertinya, Gita sudah siap untuk melangkah ke depan. Dan meskipun Adrian masih merasa berat, mungkin ini adalah saatnya ia mulai belajar untuk menerima kenyataan—bahwa hidup harus terus berjalan.
“Mungkin kamu benar,” jawab Adrian, suara yang lebih tenang dari sebelumnya. “Ibu nggak mau kita berhenti. Jadi, mungkin sudah saatnya kita mulai bergerak, meski perlahan.”
Ia berdiri, meletakkan cangkir teh di meja, dan menatap ke arah horizon yang kabur karena hujan. Mantel cokelat itu masih terasa hangat di tubuhnya, mengingatkannya pada kasih yang tak akan pernah hilang, meski Ibu sudah pergi.
Dan di situlah, di bawah hujan pagi yang masih belum reda, Adrian memutuskan untuk melangkah.
Jejak Langkah yang Tak Terlihat
Hari-hari setelah percakapan panjang itu berjalan pelan, seiring hujan yang semakin jarang turun. Adrian merasa dirinya mulai lebih ringan, meski tidak sepenuhnya lepas dari bayang-bayang masa lalu. Setiap langkahnya terasa lebih penuh, lebih bermakna, meskipun di dalam hati masih ada ruang kosong yang tak bisa diisi siapa pun—ruang yang dulunya penuh dengan suara tawa dan pelukan ibu.
Adrian masih mengenakan mantel cokelat tua itu setiap hari. Ada kalanya ia merasa seolah mantel itu bukan hanya pelindung dari dingin, tetapi juga pelindung dari kenangan yang terlalu berat. Sebuah simbol dari kedekatannya dengan Ana, yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Meskipun mantel itu tetap mengingatkannya pada kehilangan, ia mulai merasakannya sebagai bagian dari dirinya yang tak bisa dilepaskan.
Sore itu, ia berjalan ke arah taman belakang rumah. Pagi tadi, Gita sempat bercerita tentang rencananya untuk pergi ke luar kota, berencana mengunjungi seorang teman. Leon, di sisi lain, lebih memilih tetap tinggal di rumah, mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan yang tak pernah berakhir. Hanya Adrian yang merasa ada sesuatu yang harus diselesaikan, meski ia tak tahu apa itu.
Ia berhenti di dekat pohon besar yang ada di taman belakang—pohon yang dulu sering kali menjadi tempat bermain mereka, tempat Ana sering duduk dan bercerita tentang impian-impiannya. Pohon yang kini seolah menjadi saksi bisu dari segala kenangan yang tertinggal. Adrian mengalihkan pandangannya ke tanah, melihat batu-batu kecil yang berserakan di sana. Pikirannya mulai mengembara kembali ke masa lalu, kembali ke saat-saat indah yang terasa semakin jauh.
Tiba-tiba, sebuah suara datang dari belakangnya, membuatnya tersentak. “Kamu masih di sini?” Gita berdiri di ambang pintu belakang, tampak sedikit bingung melihat Adrian yang hanya berdiri diam di sana.
Adrian menoleh, sedikit tersenyum. “Iya, cuma ingin sejenak menikmati udara sore.”
Gita mendekat, matanya memandang adiknya dengan penuh perhatian. “Adrian, aku tahu kamu masih merasa kehilangan, dan aku juga tahu itu nggak bisa langsung hilang begitu saja. Tapi… coba ingat, kita masih punya banyak hal untuk dijalani. Ibu pasti nggak mau kita terus hidup dalam bayangannya saja.”
Adrian terdiam, menatap Gita yang kini berdiri di sampingnya. Ia tahu betul apa yang dimaksud Gita, tapi kadang-kadang kenyataan itu terasa lebih berat daripada sekadar kata-kata. Ia menatap ke langit yang mulai memerah, tanda matahari akan segera tenggelam.
“Tapi bagaimana kalau aku nggak bisa lepas dari semua ini?” tanyanya pelan, hampir berbisik. “Bagaimana kalau aku nggak bisa lagi merasa… utuh?”
Gita tersenyum lembut, meletakkan tangan di bahu Adrian. “Kamu nggak harus ‘lepas’ dari itu, Adrian. Kamu cuma harus belajar untuk membawa kenangan itu bersamamu, tanpa merasa terbebani. Ibu pasti ingin kamu tetap berjalan, meski kadang-kadang terasa berat. Mantel itu… bukan hanya milikmu, itu milik kita semua. Ini adalah bagian dari kisah kita. Jadi, berjalanlah, tapi jangan tinggalkan kenangan itu.”
Adrian memejamkan mata, meresapi kata-kata Gita. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa seperti ada titik terang di dalam dirinya. Mungkin selama ini, ia terlalu terfokus pada apa yang telah hilang, tanpa menyadari bahwa masih ada banyak hal yang bisa dia jalani, banyak cinta yang masih bisa dia rasakan meski dalam bentuk yang berbeda.
Ketika ia membuka mata, ia merasakan sebuah ketenangan yang baru—bukan karena ia melupakan, tetapi karena ia belajar untuk menerima. Mantel cokelat tua itu tetap ada, melindunginya, namun ia tak lagi merasa terhimpit oleh kenangan yang selama ini begitu mengekangnya.
“Terima kasih, Gita,” kata Adrian, suaranya lebih tegar dari sebelumnya.
Gita hanya tersenyum, lalu melangkah pergi ke dalam rumah. “Jangan lupa, kita tetap keluarga, Adrian. Kita masih punya banyak waktu untuk melangkah bersama.”
Adrian berdiri beberapa saat di bawah pohon itu, membiarkan angin sore menyapu wajahnya. Dengan mantel cokelat yang masih menempel di tubuhnya, ia merasa siap untuk melangkah. Hujan yang semalam turun begitu deras kini sudah reda, dan di langit, hanya ada warna senja yang menenangkan. Ia tahu, meskipun kenangan akan ibu tak akan pernah pergi, ia bisa terus melangkah ke depan—dengan mantel itu, dengan segala yang ditinggalkan, dan dengan hati yang mulai menerima.
Langkahnya pun dimulai, perlahan namun pasti. Karena baginya, ini bukan tentang melupakan, tetapi tentang belajar untuk hidup dengan kenangan itu, dan memberi ruang bagi kehidupan baru yang menanti di depan.
Dan mungkin, seperti mantel kesayangan itu, kenangan akan selalu ada—menemani kita dalam setiap langkah, meskipun kadang terasa berat. Tapi yang pasti, kita nggak sendirian. Ada banyak hal yang bisa kita bawa, meski tak bisa dilihat.
Kenangan, cinta, dan segala yang pernah kita miliki, itu tetap hidup di dalam diri kita. Jadi, jalan terus. Karena hidup ini, seperti mantelnya, nggak hanya tentang apa yang hilang, tapi juga tentang apa yang kita bawa ke depan.