Daftar Isi
Kadang, momen yang seharusnya penuh kebahagiaan malah jadi terasa hampa, ya. Takbiran yang biasanya meriah jadi sunyi banget. Kenapa? Karena di momen seperti itu, yang hilang bukan cuma kehadiran ibu, tapi juga segala kenangan yang dulu bikin segalanya terasa lebih lengkap.
Tapi ya, meski nggak ada ibu di sini lagi, perasaan itu—cinta dan kerinduan—nggak akan pernah hilang. Yuk, simak cerita ini. Siapa tahu kamu juga pernah merasain hal yang sama.
Cerpen Kesunyian Takbiran Tanpa Ibu
Kenangan yang Terlupakan
Malam itu, Alya duduk sendirian di jendela rumah tua yang tampak semakin sepi. Angin malam menerobos melalui celah-celah kayu jendela, mengusir rasa pengap yang mulai menghinggapi. Di luar sana, suara takbiran menggema ke seluruh penjuru desa, memecah keheningan yang begitu dalam. Di luar, keluarga-keluarga tengah bersuka cita, merayakan datangnya hari raya. Namun, di dalam rumah ini, hanya ada diri Alya yang merenung, terperangkap dalam kesendirian yang seakan tak berujung.
“Aku kangen banget sama kamu, Bu,” bisiknya pelan, lebih kepada angin yang mengelus pipinya daripada pada siapa pun. Suaranya tak lebih dari sebuah desahan kosong, tenggelam dalam alunan takbiran yang bergema jauh di luar sana. Air matanya menetes perlahan, jatuh membasahi pipi. Namun, tak ada lagi tangan lembut yang menyeka air matanya. Tak ada suara lembut ibu yang biasa menghiburnya.
Di sudut ruangan, sebuah potret keluarga yang lama tergeletak di meja kecil. Alya menatap foto itu. Wajah ibu tersenyum lebar, tampak begitu bahagia. Di sampingnya, Alya kecil dengan senyum ceria, menggandeng tangan ibu. Seperti sebuah kenangan yang sudah terhanyut dalam waktu, namun tetap terasa begitu nyata dalam benaknya.
“Aku masih ingat, Bu. Masih ingat semuanya. Bagaimana kamu selalu bangunin aku pagi-pagi, membuatkan aku sarapan, dan… mengingatkanku untuk shalat sebelum hari raya,” kata Alya pelan, suaranya hampir tak terdengar. Kenangan itu berputar dalam benaknya seperti sebuah film lama yang tak bisa berhenti diputar, meskipun ia sudah berulang kali menghapusnya dengan air mata.
Alya memeluk lututnya, menatap ke luar jendela. Tak ada suara ibu yang menyambut takbiran, tak ada gelak tawa yang biasa mereka bagikan di meja makan saat bersama. Seolah-olah dunia telah berubah menjadi hampa, kehilangan makna di balik setiap gemuruh takbiran.
Di luar, suara takbir semakin keras, namun bagi Alya, semuanya terasa begitu jauh. Seperti berlari dengan langkah-langkah yang tak pernah bisa ia capai. Orang-orang di luar sana berkumpul dengan keluarga mereka, tertawa, berbagi kebahagiaan. Tetapi di sini, di rumah ini, hanya ada dirinya, dihadapkan dengan sepi yang menggigit hati.
“Apa aku harus terus seperti ini, Bu?” tanya Alya pada diri sendiri, meski ia tahu tak ada seorang pun yang akan menjawab. “Bertahan tanpa kamu di sini…”
Tak ada jawaban, hanya kesunyian yang semakin menghimpit. Alya berusaha mengingat bagaimana suara ibu terdengar saat itu, penuh dengan kelembutan dan cinta. Tapi suara itu mulai memudar, seperti bayangan yang perlahan menghilang.
Sekali lagi, Alya menatap foto itu, menatap wajah ibu yang begitu tampak hidup meskipun ia sudah tak lagi ada. Bagaimana ibu selalu bisa membuat segala sesuatu terasa lebih baik, lebih ringan. Kenapa harus ibu yang pergi? Kenapa harus saat ini, di saat hari raya yang seharusnya penuh kebahagiaan?
“Kamu selalu bilang, kita harus merayakan hari raya dengan penuh kebahagiaan, Bu,” kata Alya, matanya semakin kabur oleh air mata yang terus mengalir. “Tapi, aku nggak bisa, Bu. Gimana bisa aku bahagia tanpa kamu?”
Tak ada jawaban. Tak ada pelukan yang menyambutnya, hanya ruang kosong yang mengingatkannya akan kehilangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dalam hati, Alya merasa ada lubang besar yang tak bisa ditutup, sebuah ruang kosong yang semakin membesar.
Ketika malam semakin larut, suara takbiran semakin menghilang di kejauhan. Namun, Alya masih duduk di jendela itu, terpaku dalam kesendirian. Bulan yang bersinar di langit tampak menyinari sekelilingnya, namun rasanya cahaya itu tak cukup untuk mengusir kesepian yang menyelimuti hatinya. Terkadang, Alya merasa seperti bagian dari dirinya hilang bersama ibu. Seperti sebuah puzzle yang tak lengkap, dan tak akan pernah utuh lagi.
“Apa yang harus aku lakukan, Bu?” Alya bergumam dalam hati, menyandarkan kepalanya pada kaca jendela. Angin malam terus berhembus, membawa dingin yang semakin terasa menusuk. Namun, seolah tidak ada yang bisa menenangkan hatinya. Ia merasa terjebak, terperangkap dalam kenangan yang tak bisa ia lepaskan.
Suara takbiran kembali terdengar, lebih keras kali ini, lebih meriah. Namun, bagi Alya, itu hanyalah suara yang jauh, kosong, dan menyakitkan. Karena ia tahu, ibu takkan pernah lagi berdiri di sampingnya, takkan pernah lagi membangunkan dirinya dengan lembut di pagi hari, takkan pernah lagi berkata, “Selamat Hari Raya, sayang.”
Alya menatap bulan yang tinggi di langit, merasa sepi dan kehilangan begitu dalam. “Aku rindu kamu, Bu… sangat rindu…”
Di luar sana, takbiran terus bergema, namun bagi Alya, dunia ini terasa sunyi. Begitu sunyi, hingga tak ada lagi yang bisa mengisi ruang kosong itu, kecuali kenangan tentang ibu.
Takbiran dalam Sepi
Malam semakin larut, dan udara semakin dingin. Alya tetap berada di jendela, tidak bergerak, seolah-olah ia mencoba mengunci dirinya dalam ruang waktu yang tak bergerak. Suara takbiran dari luar desa kini hanya menjadi latar belakang yang semakin jauh, seakan menjauh dari dirinya, membiarkannya tenggelam dalam kesendirian yang lebih dalam. Ia tahu, hari raya sudah tiba, namun di dalam rumah ini, semua terasa berbeda. Semua terasa mati.
Sekilas, Alya melihat bayangan di luar jendela. Beberapa tetangga yang tampak sedang menuju masjid dengan penuh semangat, namun hatinya malah semakin terasa terhimpit. Mereka berkumpul bersama keluarga, berbagi tawa, sementara dirinya hanya duduk di sini, terperangkap dalam kenangan yang tak pernah bisa ia lepaskan.
“Apa yang seharusnya aku lakukan?” gumam Alya dalam hati, dengan suara pelan, seperti bisikan angin yang tak terdengar. Tangannya memegang erat ujung baju tidur yang sudah mulai kusut, melilitkan jemarinya seakan itu bisa memberi rasa tenang yang tidak pernah datang. “Aku ingin merayakan ini seperti dulu, seperti saat ibu masih ada.”
Alya berjalan pelan menuju ruang tamu. Di sana, sepi menyambutnya. Meja makan besar yang biasa dipenuhi hidangan, kini kosong. Kursi-kursi yang dulu ditempati oleh ayah dan ibu, kini hanya ada jejak-jejak kenangan. Alya memandang meja itu dengan hampa, memori masa lalu menyeruak dalam pikirannya.
Dulu, setiap malam takbiran, ibu selalu menyuruhnya untuk menyambut kedatangan hari raya dengan penuh rasa syukur. Mereka berdua, dengan senyum penuh kebahagiaan, menyiapkan hidangan bersama, merapikan rumah, dan memasang lampu warna-warni yang berkilauan. Malam itu terasa penuh dengan tawa dan cerita, sesuatu yang sekarang hanya bisa diingat, dengan hati yang teriris.
“Ibu pasti lagi masak di dapur, ya?” Alya berbicara pada dirinya sendiri, berusaha mencari kehangatan dari kata-kata yang mengalir. “Tapi kenapa sekarang nggak ada aroma masakan ibu?”
Di dapur, segala peralatan masak tergeletak begitu saja, tak terpakai. Kompor yang dulu selalu mendidihkan air untuk teh hangat, kini mati. Tidak ada piring-piring yang dihias dengan lauk-pauk lezat yang selalu mengundang selera. Bahkan, suara ibu yang biasa berbicara sambil sibuk memasak, tak lagi terdengar.
Alya merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, seolah ada beban yang semakin berat menindih. Ia menatap setiap sudut dapur yang kini kosong. Tak ada ibu yang menyibukkan diri di sini, tak ada yang memintanya untuk membantu menyiapkan makanan. Hanya ada diri Alya yang merasa kedinginan di dalam kesunyian yang mencekam.
“Ibu, kenapa kamu harus pergi?” Alya tidak bisa menahan air matanya lagi. Setetes air mata jatuh ke lantai, mengalir seperti sungai kecil yang tak pernah bisa ia bendung. “Kenapa malam ini terasa begitu kosong? Aku butuh kamu, Bu.”
Langkah Alya terasa berat saat ia melangkah kembali ke ruang tamu. Ia duduk di kursi panjang yang dulu biasa mereka gunakan untuk bercakap-cakap sambil menikmati teh hangat. Namun, sekarang kursi itu hanya terasa dingin, seperti hati Alya yang kehilangan hangatnya.
Tak lama setelah itu, terdengar suara pintu yang dibuka pelan. Ayah muncul di ambang pintu dengan wajah yang terlihat lelah, namun ada sebuah senyuman kecil di bibirnya, meski tak sempurna. Di tangan kanannya, ia menggenggam beberapa tas belanjaan dari pasar.
“Alya, kamu belum tidur?” tanya Ayah dengan suara pelan, yang seolah tidak ingin mengganggu ketenangan malam.
Alya mengangkat wajahnya, berusaha menunjukkan senyum meskipun hatinya terasa hampa. “Aku cuma nggak bisa tidur, Pa. Semua terasa beda, nggak ada yang sama.”
Ayah mendekat dan duduk di sebelah Alya. Suara takbiran yang begitu riuh di luar terdengar jelas dari jendela, namun di dalam rumah, hanya ada keheningan. Ayah terdiam sejenak, seakan mengerti apa yang ada di dalam hati anaknya.
“Alya, ibu sudah tidak ada lagi di sini. Tapi ingat, kita harus tetap kuat. Kita masih punya satu sama lain,” kata Ayah dengan suara yang dalam, mencoba memberikan ketenangan. Tapi, meskipun kata-kata itu seakan penuh pengharapan, Alya merasa bahwa kehilangan itu terlalu besar untuk dihadapi.
“Pa, aku nggak tahu bagaimana bisa merasa bahagia lagi,” Alya menjawab dengan suara yang serak. “Ibu selalu ada untuk aku. Sekarang, aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan.”
Ayah memandang Alya dengan penuh kasih. Tangannya meraih pelan tangan Alya, mencoba memberikan kehangatan, meski di dalam hatinya, ia juga merasakan kesedihan yang mendalam. Mereka berdua terdiam sejenak, tenggelam dalam perasaan masing-masing. Suara takbiran di luar semakin keras, seolah menyambut kedatangan hari raya dengan sukacita yang begitu kontras dengan hati mereka yang sedang rapuh.
Di luar sana, dunia terus berputar dengan kegembiraan yang tampaknya tak terpengaruh oleh kesedihan di dalam rumah ini. Namun, bagi Alya dan Ayah, hari raya kali ini terasa jauh lebih sepi. Tak ada lagi tawa ibu, tak ada lagi pelukan hangat yang biasa mereka rasakan. Semua yang tersisa hanya kenangan, dan kenangan itu semakin sulit untuk dipertahankan.
“Aku nggak bisa melupakan ibu, Pa. Ibu selalu bilang, kita harus kuat. Tapi, aku nggak tahu bagaimana caranya…” Alya menghela napas berat, dan sekali lagi, air matanya jatuh.
Ayah memandang Alya, tak berkata-kata, hanya menggenggam tangannya dengan erat. Malam ini, mereka berdua tahu bahwa meskipun takbiran bergema dengan semangat di luar sana, di dalam rumah ini, semuanya terasa sepi dan hilang.
Cahaya yang Meredup
Pagi itu, Alya bangun dengan mata yang berat, penuh dengan sisa-sisa air mata yang semalam ia sembunyikan. Suara takbiran sudah jauh lebih reda, digantikan oleh rutinitas pagi yang tetap berjalan. Namun, keheningan di dalam rumah tak kunjung berubah. Ayah yang biasanya bangun pagi untuk menyiapkan sarapan kini hanya duduk di meja makan, menatap kosong ke luar jendela. Ruangan itu tetap sama, namun segala sesuatu terasa berbeda.
Alya berjalan menuju dapur, berusaha mencari sedikit semangat untuk memulai hari. Di meja makan, tak ada lagi piring-piring penuh dengan lauk yang ibu buat dengan penuh cinta. Tak ada lagi aroma masakan yang memenuhi udara, hanya ada keheningan yang semakin menghimpit hatinya. Setiap langkah yang diambil, semakin terasa berat, seperti beban dunia berada di pundaknya.
“Alya, sudah pagi. Kamu belum sarapan?” Ayah memecah keheningan dengan suaranya yang lembut. Namun, nada itu terasa kosong, seperti suara yang mengalir tanpa tujuan.
Alya hanya mengangguk pelan. “Aku nggak lapar, Pa. Rasanya nggak ada yang enak dimakan kalau ibu nggak ada di sini.”
Ayah terdiam. Tidak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan. Sepertinya mereka berdua sama-sama terjebak dalam kesepian yang begitu dalam. Ayah berusaha tersenyum, meskipun itu hanya senyum yang setengah hati, yang tak mampu menyembunyikan kesedihan di matanya.
“Alya, kita harus tetap lanjutkan hidup kita. Ibu pasti ingin kita bahagia, kan?” kata Ayah pelan, mencoba menenangkan.
Alya menatap Ayah dengan tatapan kosong. “Ibu selalu bilang, ‘Kamu harus kuat, Alya.’ Tapi aku nggak tahu caranya, Pa. Aku cuma merasa kosong tanpa ibu. Semua ini… terasa hampa.”
Alya merasa hatinya semakin berat, seperti ada jurang besar yang memisahkannya dengan dunia di sekitarnya. Ia menatap pemandangan di luar jendela, namun tidak ada yang bisa menghiburnya. Di luar sana, orang-orang berkumpul, bersilaturahmi, berbagi kebahagiaan. Tapi di dalam rumah ini, hanya ada dua jiwa yang terperangkap dalam kenangan, berusaha mencari makna dari sesuatu yang telah hilang.
“Alya, ibu selalu bilang kita harus saling mendukung. Tidak peduli apa yang terjadi, kita harus tetap kuat bersama,” lanjut Ayah, seakan memecah keheningan yang semakin menekan.
Namun, Alya merasa semakin terhimpit. Ayah berkata begitu, tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa keduanya sedang berjuang melawan rasa kehilangan yang sama. Tak ada yang bisa mengisi kekosongan itu, tak ada yang bisa mengembalikan apa yang sudah hilang. Tidak ada yang bisa menggantikan ibu.
“Apa kamu juga merasa seperti aku, Pa?” Alya bertanya, suara seraknya hampir tak terdengar. “Apa kamu juga merasa seperti semuanya hancur tanpa ibu?”
Ayah menatapnya dengan penuh kasih. “Aku juga merasakannya, Alya. Tapi hidup kita harus terus berjalan. Ibu pasti ingin kita kuat, bukan hanya untuk dirimu, tapi juga untuk orang-orang di sekitar kita.”
Alya mengangguk pelan, meski hatinya tak sepenuhnya bisa menerima kata-kata itu. Sesungguhnya, apa yang Ayah katakan terasa benar, tapi bagaimana mungkin ia bisa merasa bahagia lagi, merasa lengkap lagi, tanpa ibu di sisi mereka? Setiap sudut rumah ini masih teringatkan ibu. Setiap ruangan masih terdengar gemerisik langkah kaki ibu yang kini hanya tinggal kenangan.
Setelah beberapa saat, Alya berjalan menuju ruang tamu. Di sana, foto keluarga mereka masih terpajang di atas meja. Wajah ibu yang tersenyum bahagia, tampak begitu hidup meskipun hanya ada dalam gambar. Mata Alya tertuju pada foto itu, mengenang semua momen yang mereka habiskan bersama. Momen yang tak akan pernah kembali.
“Alya, kenapa masih lama duduk di situ? Ayo, kita coba buat sesuatu untuk makan,” kata Ayah dengan nada yang lebih ceria. Namun, Alya tahu itu hanya usaha untuk mengisi kekosongan yang ada. Ia tidak bisa memaksa dirinya untuk merasa baik-baik saja.
Alya tidak menjawab. Ia hanya menghela napas dan berbalik, menuju jendela besar yang menghadap ke halaman depan rumah. Di luar, matahari mulai terbit, menyinari rumah yang kini terasa lebih sepi. Alya menatap langit yang perlahan berubah biru, dengan cahaya yang meredup. Tak jauh dari sana, suara takbiran masih terdengar samar, namun tak lagi membawa semangat yang dulu pernah ada.
Alya ingin berteriak. Berteriak pada dunia yang seolah bergerak begitu cepat sementara dirinya terperangkap dalam waktu yang tak bergerak. Ia ingin meminta waktu untuk berhenti, untuk memberikan kesempatan padanya untuk mengerti apa yang harus ia lakukan. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain menatap langit dan berharap suatu hari nanti, rasa sakit ini akan hilang.
“Aku nggak tahu sampai kapan aku bisa bertahan, Bu,” gumam Alya dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Tapi aku janji, aku akan mencoba, meski nggak mudah.”
Dengan langkah pelan, Alya kembali ke ruang tamu, duduk di kursi yang sudah lama ia hindari. Ayah yang semula sibuk mempersiapkan makanan, kini duduk di sebelahnya. Mereka berdua terdiam, hanya ada suara detak jam dinding yang mengisi ruang kosong.
Malam ini, tak ada pelukan ibu. Tak ada suara lembut ibu yang selalu menenangkan. Hanya ada Alya dan Ayah, yang kini berusaha untuk melanjutkan hidup meskipun tanpa sosok yang begitu berarti bagi mereka.
Alya menatap langit lagi, merasakan udara malam yang semakin dingin. Ia tahu, hidup harus terus berjalan, meskipun tanpa ibu di sisi mereka. Tapi itu tak membuat kehilangan ini menjadi lebih mudah. Tidak ada yang bisa menggantikan sosok ibu. Tidak ada yang bisa menghapus kenangan yang telah membekas dalam hati.
“Apa aku bisa kuat, Bu?” Alya berbisik, berharap angin malam akan membawakan jawabannya. Namun, hanya kesunyian yang menjawabnya.
Jejak yang Tertinggal
Hari-hari berlalu dengan lambat, seolah waktu enggan bergerak lebih cepat. Alya dan Ayah menjalani hidup mereka tanpa kehadiran ibu, tanpa suara lembut yang biasanya mengisi rumah. Keheningan itu tetap ada, tidak hilang meskipun mereka berusaha untuk bertahan. Setiap langkah terasa berat, dan setiap keputusan yang diambil seolah selalu mengingatkan mereka pada kekosongan yang menguar di udara.
Suatu pagi, Alya berdiri di dekat jendela, menatap halaman belakang yang kini dipenuhi dengan rumput yang sudah mulai tumbuh liar. Di sana, mereka pernah berkumpul bersama, menikmati sore dengan tawa ibu yang selalu menenangkan. Kenangan itu datang begitu saja, mengalir begitu deras. Alya bisa merasakan ibu di setiap sudut rumah, dalam aroma kopi yang masih mengingatkannya pada momen-momen indah yang telah terlewat.
Tangan Alya menyentuh kaca jendela yang dingin. Ia merasakan seolah-olah ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang lebih dari sekadar kehadiran ibu—sebuah bagian dari dirinya yang kini harus ia pelajari untuk menghadapinya. Dalam diam, Alya menyadari bahwa hidup harus terus berjalan. Meskipun ia merasa tak lengkap tanpa ibu, ia tahu ada sesuatu yang harus ia perjuangkan—untuk dirinya sendiri dan untuk Ayah yang selalu berada di sampingnya.
“Alya, kamu nggak pergi ke rumah nenek?” suara Ayah terdengar dari belakang. Alya berbalik dan melihat Ayah berdiri di ambang pintu, dengan raut wajah yang lebih tenang meski tak bisa menyembunyikan kesedihannya.
“Gak, Pa. Aku nggak bisa. Rasanya nggak lengkap tanpa ibu. Nenek pasti tahu juga, kan?” jawab Alya, suaranya terdengar pelan, tapi dalam.
Ayah mengangguk pelan, mendekat dan duduk di sampingnya. Tidak ada kata-kata yang bisa menenangkan saat seperti ini. Hanya ada keheningan yang mengalir di antara mereka, mengisi ruang yang dulu dipenuhi dengan canda tawa.
“Alya, ibu pasti ingin kita tetap hidup dengan penuh semangat. Dia pasti ingin kita melanjutkan hidup, walaupun tanpa dia di sini,” kata Ayah akhirnya, mengalihkan perhatian Alya. “Aku tahu ini nggak mudah, dan aku tahu kamu merasa sangat kesepian. Tapi kamu nggak sendirian, Alya.”
Alya menatap Ayah dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia tahu Ayah berusaha sekuat tenaga untuk menguatkan dirinya, tetapi Alya merasa beban itu tetap ada. Ibu tidak ada di sini. Dan itu adalah kenyataan yang harus ia terima, meski hatinya menjerit menolak.
“Apa aku harus berhenti merindukannya, Pa? Apa aku harus berhenti berharap ibu kembali?” tanya Alya dengan suara serak. “Aku nggak bisa begitu saja melupakan semuanya. Rasanya… rasanya nggak adil.”
Ayah menatap Alya dengan lembut, merangkul pundaknya. “Tidak ada yang salah dengan merindukan ibu, Alya. Itu wajar. Tapi kamu harus ingat, ibu nggak ingin kamu terjebak dalam kesedihan selamanya. Dia ingin kamu terus melangkah, seperti yang dia ajarkan padamu selama ini.”
Alya terdiam. Kata-kata Ayah seperti sebuah petunjuk, tetapi rasanya masih sangat sulit untuk mengikuti. Bagaimana ia bisa melanjutkan tanpa ibu yang selalu ada, yang selalu ada di sampingnya? Alya menatap foto ibu yang ada di meja samping tempat tidurnya, wajah ibu yang tersenyum hangat, seolah memanggilnya untuk tetap hidup dengan penuh harapan.
Alya menutup matanya sejenak, merasakan angin yang berhembus masuk melalui jendela. Angin itu terasa lembut, seolah membawakan pesan-pesan ibu. Kenangan-kenangan indah itu datang lagi—senyum ibu, pelukan hangatnya, nasihat-nasihat bijaknya. Ibu mungkin sudah pergi, tetapi cintanya tetap ada, terus mengalir dalam darahnya, dalam dirinya.
“Kalau ibu masih ada, apa yang ibu harapkan dariku?” Alya bergumam, meski tahu tak ada jawaban pasti. Namun, ada rasa kedamaian yang mengalir dalam hatinya. Mungkin, yang ibu harapkan adalah agar Alya tidak pernah menyerah, agar Alya bisa melanjutkan hidup meskipun tanpa ibu di sisinya.
Alya menoleh pada Ayah, yang masih duduk dengan tenang di sampingnya. Ada kekuatan dalam diri Ayah, meski kesedihan tak bisa disembunyikan. Mereka berdua sama-sama merasa kehilangan, tapi mereka juga tahu bahwa hidup harus terus berlanjut. Mereka harus kuat—untuk ibu, untuk diri mereka sendiri.
“Pa, aku janji… aku akan coba kuat. Aku nggak tahu caranya, tapi aku akan coba,” kata Alya dengan suara yang lebih tegas, meskipun hatinya masih penuh dengan tangis.
Ayah tersenyum tipis, merasakan kekuatan yang mulai tumbuh dalam diri anaknya. “Ibu pasti bangga. Kita akan melewati ini bersama-sama, Alya.”
Di luar, matahari terbenam dengan cahaya yang semakin redup, seakan menandai akhir dari sebuah hari penuh kenangan. Alya merasa sedikit lebih lega. Mungkin hari-hari ke depan tak akan mudah, dan mungkin ada banyak saat-saat di mana ia merasa kehilangan itu begitu dalam. Namun, di dalam hatinya, ada sebuah keyakinan baru—bahwa ibu tidak akan pernah benar-benar hilang. Ibu akan selalu ada, dalam kenangan, dalam doa, dan dalam setiap langkah yang diambil.
Langit malam datang dengan tenang, membawa kedamaian di antara segala kesedihan. Alya duduk di dekat jendela, menatap bintang-bintang yang berkelip di langit. Di sana, di antara bintang-bintang itu, Alya tahu bahwa ibu tetap ada. Tidak terlihat, namun tetap hidup dalam setiap doa dan kenangan yang tertinggal. Dan mungkin, itu sudah cukup untuk membuatnya bertahan.
Dan meskipun ibu nggak ada lagi di sini, kenangan itu tetap hidup, kan? Kita nggak pernah benar-benar kehilangan, karena cinta yang ibu kasih terus ada di setiap langkah kita.
Mungkin takbiran nggak pernah sama lagi, tapi kita tetap punya kenangan indah yang nggak bisa diambil siapa pun. Jadi, apapun yang terjadi, teruslah melangkah dengan semangat yang ibu harapkan. Karena cinta itu abadi, bahkan ketika yang lain sudah pergi.