Daftar Isi
Pernah nggak sih merasa kalau dunia sekolah itu kayak ajang perang antara kamu dan guru? Apalagi kalau kamu ada di geng yang bener-bener nakal dan nggak pernah takut dihukum. Nah, cerpen ini tentang geng Huru-Hara!
Geng paling berisik di sekolah, yang suka bikin masalah dan ngerusak ketenangan. Tapi, tunggu dulu, ada yang seru di balik semua kenakalan itu. Dari yang awalnya nggak pernah peduli, mereka malah mulai berpikir, Mungkin saatnya berubah. Penasaran kan? Yuk, simak ceritanya!
Cerpen Kenakalan Remaja di Sekolah
Awal Kekacauan
Pagi itu, sekolah seperti biasa dipenuhi dengan suara gaduh. Suara sepatu yang berderap di lantai, obrolan ringan antar teman, dan tentu saja, tawa yang sudah menjadi hal biasa di sekitar Huru-Hara. Geng yang tidak pernah absen dari masalah ini sudah mengambil tempat mereka di bangku belakang kelas, tempat di mana kegaduhan dimulai.
Rizky, si pemimpin yang selalu bertindak paling usil, sudah duduk dengan santai. Ia mengeluarkan headphone besar yang terpasang di lehernya dan menghadap ke jendela, memperhatikan burung yang terbang. Zaki, si perusuh yang selalu membawa skateboard kemana-mana, duduk di sampingnya, mengunyah permen karet dengan wajah tak acuh. Livia, satu-satunya cewek di geng itu, sedang menyisir rambut dengan rapi sambil sesekali menatap mereka dengan ekspresi penuh tanya, seperti mencari ide baru untuk bikin masalah.
Pelajaran Matematika baru saja dimulai. Pak Budi, guru yang sudah berkali-kali kesal dengan tingkah mereka, berdiri di depan papan tulis dengan wajah yang terlihat sangat lelah. Di tangannya, ia memegang spidol merah, seolah-olah itu adalah senjata pamungkas untuk menaklukkan kelas ini. Namun, Pak Budi belum tahu bahwa Huru-Hara sudah siap untuk memulai ‘permainan’ mereka.
Rizky memandang Zaki dan Livia dengan mata nakalnya. Ia mengedipkan mata, memberi sinyal bahwa permainan kali ini akan seru. Tanpa basa-basi, ia menendang meja di depannya dengan kaki, membuat suara gaduh yang langsung menarik perhatian guru.
“Rizky! Apa lagi itu?” suara Pak Budi terdengar keras, mencoba menahan kemarahan yang sudah mulai muncul. Tapi Rizky hanya tersenyum lebar, pura-pura tak tahu. Ia menarik napas dalam-dalam dan langsung menjatuhkan buku matematika yang ada di tangannya dengan sengaja. Buku itu jatuh ke lantai dengan suara keras.
“Ups, sorry Pak,” Rizky berkata santai, seolah-olah tidak ada yang salah dengan tindakannya. Sementara Zaki, yang sudah tahu akan kekacauan ini, mulai tertawa pelan, menahan suara agar tidak terdengar terlalu nyaring.
Pak Budi menatap Rizky, menahan napasnya. “Keluar, Rizky. Keluar sekarang juga.”
Livia, yang duduk di samping Zaki, memutar bola matanya. “Itu kan cuma buku. Pak Budi kebangetan sih, berlebihan banget,” katanya sambil mengecek ponselnya yang sudah berbunyi.
Zaki yang tak bisa menahan tawa, dengan wajah penuh keusilan, melemparkan kertas ke arah teman-temannya di barisan depan. Kertas itu melayang sempurna dan mendarat tepat di kepala si paling serius di kelas, Dimas. Dimas, yang selalu berusaha fokus pada pelajaran, langsung menoleh ke belakang dengan wajah cemberut.
“Siapa yang ngelepar?” Dimas bertanya dengan nada serius. Tapi jawabannya cuma tawa keras dari Zaki dan Rizky.
“Wah, parah!” Dimas merutuk sambil berusaha merapikan rambutnya, yang kini acak-acakan.
Pak Budi, yang sudah tidak sabar, langsung berkata dengan suara tegas. “Keluar semua. Sekarang juga!”
Livia berdiri dengan santai, seolah-olah mereka sedang menuju ke tempat paling seru, bukan keluar untuk dihukum. Rizky mengangguk dengan tenang, lalu menepuk pundak Zaki yang masih tertawa terbahak-bahak. Mereka berdua keluar dari kelas, disusul oleh Livia yang melangkah dengan anggun, meski langkahnya penuh dengan kenakalan.
Sesampainya di luar, mereka langsung menuju ruang BK, tempat di mana hukuman sudah menjadi rutinitas mereka. Begitu tiba, mereka membuka pintu dengan seenaknya, disambut oleh Bu Lina, guru BK yang sudah kelelahan dengan tingkah mereka.
“Lagi-lagi kalian. Kenapa sih nggak bisa diem sedikit aja?” tanya Bu Lina dengan tatapan penuh keputusasaan. Ia sudah tidak tahu harus berkata apa lagi.
“Aduh, Bu, kan cuma bercanda,” Rizky menjawab santai, tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Kok, Bu Lina serius banget sih?”
Livia, yang duduk di kursi sebelah Zaki, mengangguk. “Iya, Bu, hidup ini harus seru. Kalau nggak, bosen kan?”
Zaki hanya tersenyum lebar, mengunyah permen karet sambil melirik Bu Lina. “Maksudnya, kita nggak bisa terlalu serius dong, Bu. Kita cuma pengen bikin sekolah lebih hidup.”
Bu Lina menghela napas panjang. “Ini sudah kelewatan, kalian tahu itu, kan? Kenapa sih nggak bisa sedikit lebih berhenti cari masalah?”
Mereka bertiga hanya saling pandang, lalu tertawa. Tidak ada rasa menyesal sedikit pun di wajah mereka. Mereka tahu, hukuman ini hanya akan bertahan sebentar, dan begitu keluar dari sini, mereka akan kembali ke kelas dan melanjutkan kekacauan mereka.
Seolah-olah, hidup mereka hanya berputar di sekitar rutinitas yang tak pernah berubah: bikin masalah, dihukum, lalu kembali lagi. Tapi ada satu hal yang pasti—mereka selalu melakukannya bersama-sama, tak peduli apa yang orang lain katakan. Kenakalan mereka adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan bahwa mereka hidup, dan hidup mereka tak akan pernah terjebak dalam kebosanan.
“Gini deh, Bu,” Rizky berkata, mengangguk seperti orang bijak. “Kita cuma butuh waktu buat ngelawan kebosanan. Jangan terlalu keras sama kita, Bu. Semua orang juga pernah nakal kok.”
Livia tertawa. “Betul! Kalau hidup nggak seru, buat apa?”
Dan meskipun Bu Lina sudah sangat kesal, dia tahu bahwa Huru-Hara tidak akan pernah berubah. Namun, mungkin itulah yang membuat geng ini begitu sulit untuk dilupakan. Mereka bukan sekadar geng yang suka bikin masalah—mereka adalah geng yang tetap bersama meskipun dunia sekitar mereka terus berputar, mencoba menahan langkah nakal mereka.
Dan cerita mereka baru saja dimulai.
Hukuman yang Tak Pernah Berarti
Setelah beberapa saat, Rizky, Zaki, dan Livia kembali ke kelas setelah menjalani hukuman di ruang BK yang lebih mirip tempat nongkrong daripada tempat pemberian sanksi. Suasana kelas sudah jauh lebih tenang, tetapi Huru-Hara tahu betul bahwa mereka akan segera memulai kekacauan lagi.
Pak Budi kembali berdiri di depan kelas, menggenggam spidolnya dengan tangan yang sudah sedikit gemetar, mengisyaratkan bahwa dia akan melanjutkan pelajaran yang tertunda. Namun, saat dia membuka buku pelajaran, ia terlihat jelas menatap ke belakang kelas dengan tatapan penuh amarah, seperti sedang merencanakan sesuatu.
“Rizky! Zaki! Livia!” teriak Pak Budi dengan nada tegas. “Kalian tidak akan bisa lolos dari hukuman begitu saja. Ini sudah terlalu sering!”
Rizky menanggapi dengan wajah santai, meski di dalam hatinya tahu bahwa Pak Budi sudah mulai tak sabar dengan mereka. “Tenang aja, Pak. Kan kita udah dihukum tadi.” Ia menyeringai, melemparkan pandangan santai ke teman-temannya. Zaki pun hanya mengangkat bahu, sama sekali tak merasa bersalah.
Livia yang duduk di samping Zaki, melirik dengan tajam dan membuang pandangannya ke luar jendela. “Nggak usah kaku banget, Pak Budi. Kami cuma pengen suasana hidup aja, kok.”
Pak Budi menatap mereka satu per satu dengan frustrasi yang semakin memuncak. “Ini bukan soal hidup atau mati! Ini soal disiplin!” Dengan gerakan yang sedikit terburu-buru, ia menulis rumus di papan tulis, berharap bisa menenangkan suasana yang mulai gaduh. Tapi entah mengapa, Rizky dan Zaki sudah memulai aksinya lagi.
Rizky dengan cekatan menggerakkan tangan kanannya dan melemparkan kertas ke depan, dengan tepat mengenai buku Pak Budi yang sedang terbuka di meja. “Ups, maaf Pak,” katanya tanpa beban.
Pak Budi langsung berhenti menulis dan memandang buku itu, lalu memandang mereka bertiga dengan wajah yang semakin memerah. “Keluar lagi, sekarang juga!” perintahnya, sudah tidak bisa lagi menahan kemarahan yang meledak.
Zaki yang terlanjur tertawa keras, langsung berdiri dengan santai. “Wah, Pak Budi, jangan gitu dong. Kami kan cuma bercanda.” Ia mengangkat tangan, pura-pura menyerah.
Livia mengikuti langkah Zaki tanpa ekspresi, seolah sudah biasa menjalani kejadian seperti ini. Sementara Rizky, yang lebih sering menjadi pusat perhatian, tetap menyapa teman-temannya dengan santai sambil berjalan keluar dari kelas, seolah tidak ada yang salah.
“Yaudah, ayo keluar,” Rizky berkata sambil menepuk pundak Zaki. “Lagi-lagi kita harus ke BK deh. Kayaknya sih, Bu Lina juga udah nggak bisa ngapa-ngapain.”
Begitu keluar, mereka langsung menuju ruang BK yang sudah menjadi semacam markas kedua mereka. Di sana, mereka bertemu dengan Bu Lina yang lagi-lagi menatap mereka dengan pandangan yang campur aduk antara frustrasi dan pasrah. Namun, kali ini Bu Lina tidak berbicara banyak. Ia hanya duduk di meja dengan wajah letih, seolah sudah kehabisan tenaga untuk berbicara lebih banyak.
“Udah tahu kan kenapa kalian di sini lagi?” Bu Lina bertanya pelan, hampir seperti mengeluh.
“Yah, Bu, kita kan cuma pengen seru-seruan,” Rizky menjawab, kembali dengan wajah yang santai. “Dikit-dikit aja, kan nggak ada salahnya?”
Zaki duduk di kursi yang biasa mereka duduki. “Iya, Bu, kalau semuanya serius banget, hidup juga bakal ngebosenin.”
Livia menyandarkan punggung ke dinding dengan tatapan acuh tak acuh. “Masalahnya bukan di kita, Bu. Tapi di cara pandang orang-orang yang nggak bisa ngehargain kebebasan sedikit.”
Bu Lina menghela napas panjang. Dia tahu mereka tidak akan mengerti, dan hukuman sekeras apapun tidak akan mengubah apapun. Huru-Hara adalah geng yang selalu berputar dalam lingkaran yang sama: kenakalan, dihukum, dan kembali nakal.
“Gini, ya,” Bu Lina berkata, mencoba mencari jalan keluar. “Kalian benar-benar nggak mau belajar sedikit saja? Coba deh sekali-kali mikir, siapa tahu ada manfaatnya.”
“Buat kita, manfaatnya adalah hiburan, Bu,” kata Rizky dengan nada serius, meski ekspresi wajahnya tetap santai. “Maksudnya, kalau terus-terusan serius, nggak bakal ada waktu buat menikmati hidup.”
“Pak Budi juga sama aja, Bu,” Zaki menambahkan dengan tawa ringan. “Setiap kali kita bikin masalah, dia cuma bisa nyerah. Sama kayak Bu Lina, nggak ada bedanya.”
Mendengar itu, Bu Lina hanya bisa diam. Dia tahu betul bahwa mereka akan tetap seperti itu, sampai mereka merasa ada yang berbeda. Tapi, saat ini, Huru-Hara hanya peduli pada satu hal: kebebasan mereka untuk melakukan apapun yang mereka inginkan.
Setelah beberapa saat yang hening, Bu Lina akhirnya berkata dengan suara lembut. “Kalian bakal terus begini sampai kapan? Sampai nanti? Sampai semuanya berakhir begitu saja?”
Namun, saat itu juga, Rizky berdiri dan menepuk bahu Bu Lina. “Nggak usah khawatir, Bu. Kita nggak bakal ke mana-mana. Selama masih bisa tertawa, kita bakal tetap sama. Kan itu yang paling penting.”
Zaki dan Livia mengangguk setuju, meski mereka tahu bahwa kata-kata itu lebih merupakan hiburan untuk diri mereka sendiri daripada sebuah janji yang harus ditepati. Mereka sudah terbiasa dengan rutinitas ini, dan Huru-Hara tidak akan pernah berhenti—mereka adalah bagian dari cerita yang tak akan selesai.
Kebenaran yang Terlambat Ditemukan
Hari berikutnya, suasana kelas kembali riuh. Huru-Hara masih belum puas dengan hukuman yang mereka terima sebelumnya. Pak Budi yang sudah mulai pasrah tetap mencoba menjaga ketertiban, meski terlihat lelah dan kesal. Rizky, Zaki, dan Livia tahu betul bahwa hari itu akan seperti hari-hari lainnya: penuh dengan kenakalan dan tantangan. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang tidak bisa mereka hindari lagi.
Kelas dimulai seperti biasa, namun kali ini, ada ketegangan yang menyelimuti. Sesuatu yang lebih besar sedang menunggu mereka di luar sana. Mereka tidak tahu itu, namun intuisi mereka mengarah pada satu hal: ini mungkin adalah titik balik, momen ketika mereka akan terjebak dalam kesalahan yang lebih besar.
Pak Budi memulai pelajaran dengan agak terburu-buru, seakan ingin cepat-cepat menyelesaikan semuanya. Namun, di tengah penjelasannya, terdengar suara ketukan di pintu.
“Pak Budi, bisa bicara sebentar?” suara di balik pintu itu terdengar tegas. Semua mata langsung beralih ke pintu yang terbuka, dan sosok yang masuk adalah kepala sekolah, Pak Arman.
Pak Arman bukan tipe kepala sekolah yang sering tampil di depan kelas. Biasanya, dia hanya muncul saat ada masalah besar, dan kali ini, dia datang dengan wajah serius, seakan tahu bahwa hari ini akan menjadi titik balik bagi Huru-Hara.
Pak Arman berjalan dengan langkah pasti menuju meja Pak Budi, yang segera berdiri untuk menghormati kedatangan kepala sekolah. Semua murid di kelas mulai berbisik, merasakan ada ketegangan yang luar biasa.
“Ada apa, Pak Arman?” tanya Pak Budi, dengan nada yang agak cemas, meski ia berusaha tetap tenang.
“Ada yang perlu kalian tahu,” kata Pak Arman, menatap seluruh kelas dengan tatapan tajam. “Saya baru saja menerima laporan tentang kejadian kemarin.”
Tiba-tiba, semua perhatian tertuju pada Huru-Hara. Rizky, Zaki, dan Livia hanya saling melirik, tanpa merasa khawatir sedikit pun. Mereka tahu, pasti ada sesuatu yang lebih besar yang sedang dibicarakan, tapi mereka merasa tidak terlibat dalam masalah serius—selalu seperti itu.
Pak Arman melanjutkan. “Kalian bertiga, terutama, sudah membuat masalah yang cukup besar. Semua laporan tentang kenakalan kalian sudah sampai ke dewan guru, dan kalian tahu apa artinya itu. Ini bukan hanya tentang masalah kecil seperti dilemparnya kertas di kelas atau suara gaduh. Kalian sudah merusak lingkungan belajar di sini.”
Rizky masih duduk dengan santai, memutar pensil di jarinya. “Masalah kecil, Pak. Nggak ada yang perlu dibesar-besarkan.”
Zaki, yang duduk di sebelahnya, ikut menimpali. “Kalo nggak ada kita, mungkin kelas ini bakal lebih membosankan, Pak.”
Pak Arman menatap mereka dengan tatapan yang penuh makna. “Nggak, ini bukan tentang pembosanan. Ini tentang tanggung jawab. Kalian harus belajar untuk menghargai waktu dan kesempatan yang sudah diberikan.”
Livia yang sejak tadi diam, akhirnya membuka mulut. “Pak, nggak usah terlalu serius. Kita cuma ngibur aja kok. Bukan maksud bikin masalah.”
Namun, Pak Arman tetap berdiri tegak, menatap mereka dengan keteguhan yang tidak bisa digoyahkan. “Kalian menganggap ini cuma masalah sepele, tapi dampaknya jauh lebih besar. Ini bukan lagi soal kalian nggak suka belajar. Ini soal kalian nggak menghargai diri sendiri dan teman-teman di sekitar kalian. Kalau kalian terus seperti ini, gimana kalian bisa siap menghadapi dunia luar yang lebih keras dari sekolah?”
Pak Budi yang mendengarkan dengan hati-hati, akhirnya ikut berbicara. “Pak Arman benar, Rizky. Zaki. Livia. Kalian harus belajar bertanggung jawab. Kalian nggak bisa terus terjebak dalam kebiasaan lama.”
Rizky dan Zaki saling berpandangan, untuk pertama kalinya ada rasa malu yang muncul di mata mereka. Meskipun mereka jarang mengakuinya, ada saat-saat tertentu ketika mereka merasa seperti gagal.
Namun, Livia lebih memilih untuk tetap menahan diri. “Nggak ada yang tahu apa yang kita rasain, Pak. Gak perlu dijadiin beban terus. Kita cuma ingin bebas.”
“Jangan berpikir hanya untuk saat ini,” Pak Arman menyela dengan tegas. “Kebebasan itu datang dengan tanggung jawab. Dan kalian belum siap dengan itu. Kalau kalian tidak mau berubah, kalian akan menyesal nanti.”
Pak Arman lalu melangkah keluar setelah memberi pesan terakhir. “Kalian akan dipanggil ke ruangan saya setelah pelajaran selesai. Semua akan dipertimbangkan. Itu bukan ancaman, tapi kesempatan terakhir.”
Saat pintu kelas menutup, ketegangan yang sebelumnya terasa kental mulai mereda. Namun, di dalam diri Huru-Hara, mereka merasa ada yang berubah. Sesuatu yang tak bisa mereka pungkiri lagi.
Rizky, Zaki, dan Livia duduk diam, dengan ekspresi yang lebih serius dari biasanya. Mereka tahu bahwa hari itu, Huru-Hara tidak akan berjalan dengan lancar seperti biasanya. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu. Waktu akan menunjukkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dan saat itu, mereka mulai sadar bahwa mungkin, justru mereka yang sedang terjebak dalam kebebasan yang semu.
Titik Balik yang Terlambat
Keputusan Pak Arman untuk memanggil mereka setelah pelajaran selesai ternyata tidak bisa mereka hindari. Waktu terasa berjalan lambat, dan meskipun suasana kelas sudah kembali tenang, Rizky, Zaki, dan Livia merasa cemas, meskipun mereka berusaha menunjukkan sikap santai.
Rizky duduk dengan tangan diselipkan di belakang kepala, masih mencoba untuk terlihat tidak peduli, tetapi ada rasa tidak nyaman yang perlahan tumbuh di dalam dirinya. Zaki, yang biasanya selalu tertawa dan tidak pernah peduli, kali ini tidak banyak bicara, hanya sesekali melirik jam dinding dengan gelisah. Livia, yang biasanya terkesan cuek, tampak lebih murung, memeriksa ulang tasnya seperti mencari alasan untuk menghindari kenyataan.
Begitu bel berbunyi, menandakan bahwa pelajaran terakhir berakhir, mereka berempat saling berpandangan tanpa kata. Mereka tahu, saat itu adalah waktu yang sudah ditentukan.
Mereka melangkah dengan langkah pelan menuju ruang kepala sekolah, sebuah ruang yang selama ini selalu terlihat menakutkan dan asing bagi mereka. Bahkan setelah sekian lama berkecimpung dalam kenakalan, tetap ada perasaan tegang yang menghantui setiap langkah mereka.
Di dalam ruang kepala sekolah, Pak Arman sudah menunggu dengan ekspresi serius. Ia berdiri di belakang meja, tampak lebih tinggi dan lebih menakutkan daripada yang mereka bayangkan.
“Ayo duduk,” kata Pak Arman dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya. Rizky, Zaki, dan Livia duduk dengan enggan, meskipun mereka tahu, kali ini, tak ada jalan untuk menghindar.
Pak Arman mulai berbicara dengan nada yang lebih tenang, seakan memberikan mereka kesempatan untuk berpikir lebih jernih. “Kalian tahu kenapa saya panggil kalian ke sini, kan?”
“Untuk menghukum kami lebih lama?” tanya Rizky dengan nada yang agak sinis.
Pak Arman tersenyum tipis, “Bukan itu. Saya di sini bukan untuk menghukum, tapi untuk memberikan kalian kesempatan terakhir untuk berubah. Saya tahu kalian bisa lebih dari ini. Saya sudah melihat potensi kalian masing-masing, tapi kalian memilih untuk menyia-nyiakan semua itu.”
Zaki menunduk, mulai merasakan bahwa kata-kata itu benar. Seumur hidupnya, dia merasa selalu ada yang salah dalam dirinya—tapi ia selalu menutupinya dengan canda tawa dan kenakalan.
Livia yang duduk di sebelah Zaki, akhirnya membuka suara, suaranya lebih lembut daripada yang biasanya. “Kita… kita nggak tahu harus gimana, Pak. Semua yang kita lakuin, kayaknya nggak ada yang bisa bikin kita bener-bener berubah.”
Pak Arman menatap mereka dengan penuh pengertian, seolah-olah sudah tahu apa yang mereka rasakan. “Itulah masalahnya. Kalian merasa nyaman di zona yang sudah kalian buat. Tapi itu nggak akan bertahan selamanya. Kalian harus sadar, jika tidak mulai berubah dari sekarang, kalian akan kehilangan lebih banyak hal daripada yang kalian kira.”
Di sisi lain, Rizky merasa sedikit kesal mendengar perkataan Pak Arman yang terasa menekan. “Tapi, Pak, nggak semua orang butuh jadi seperti yang kalian harapkan, kan? Kita juga punya cara sendiri untuk menjalani hidup.”
Pak Arman menarik napas panjang dan duduk di kursi depannya, merasakan bahwa ini adalah titik yang menentukan. “Saya tidak ingin kalian jadi seperti orang lain, tapi saya ingin kalian jadi versi terbaik dari diri kalian sendiri. Tanpa kenakalan yang hanya akan membawa kalian ke jalan yang salah.”
Suasana hening sesaat. Semua yang ada di dalam ruangan mulai merenung. Livia, yang jarang mengungkapkan perasaan, memandang lurus ke Pak Arman dengan mata yang berbeda dari biasanya. “Kita nggak tahu harus mulai dari mana, Pak. Semua yang kita lakukan… rasanya cuma buat lari dari masalah yang kita nggak ngerti.”
Pak Arman mengangguk pelan. “Kadang-kadang, kita memang perlu waktu untuk sadar. Tapi ingat, saat kita terus-menerus menghindar dari masalah, kita justru semakin tenggelam dalam kesalahan yang lebih besar. Saya hanya ingin kalian melihat itu. Kalian punya waktu untuk memperbaikinya.”
Setelah beberapa detik yang terasa sangat panjang, Pak Arman melanjutkan, “Saya tidak akan memberikan hukuman lebih lanjut kepada kalian. Tapi, saya berharap kalian mulai berpikir dengan cara yang berbeda. Kalian bisa jadi lebih baik. Percaya sama saya.”
Rizky menghela napas panjang, melihat ke bawah seakan mencoba mencerna kata-kata Pak Arman. Zaki menyandarkan kepalanya ke kursi dan menatap langit-langit. Livia, yang biasanya lebih cepat mengambil keputusan, kali ini hanya terdiam.
Setelah beberapa saat, Rizky akhirnya berkata dengan suara lebih rendah, “Kita bakal coba, Pak. Mungkin… kita mulai mikir lagi.”
Zaki mengangguk pelan, meskipun masih ada keraguan di matanya. “Iya, mungkin sekarang waktunya kita nyoba berubah.”
Livia, yang sejak tadi tidak banyak bicara, akhirnya mengangkat wajahnya, “Kita akan coba, Pak. Kita nggak janji, tapi kita akan coba.”
Pak Arman tersenyum tipis, lebih tulus daripada sebelumnya. “Itu sudah cukup. Tidak ada yang bisa berubah dalam sekejap, tapi kalian sudah mengambil langkah pertama. Itu yang paling penting.”
Ketiganya keluar dari ruangan kepala sekolah dengan perasaan yang campur aduk—masih ada rasa ragu, tetapi ada sedikit harapan yang mulai tumbuh di hati mereka. Mungkin mereka memang belum siap sepenuhnya, tapi setidaknya, untuk pertama kalinya, mereka merasa ada sesuatu yang lebih besar yang perlu mereka capai selain kenakalan yang selama ini mereka anggap sebagai kebebasan.
Dan mungkin, hari itu adalah awal dari perubahan, meski mereka tidak tahu seberapa lama perjalanan itu akan berjalan. Tapi satu hal yang pasti: Huru-Hara tidak akan selamanya menjadi geng yang hanya mengandalkan kenakalan semata.
Geng Huru-Hara memang nggak langsung berubah dalam semalam, tapi setidaknya mereka udah mulai melangkah ke arah yang lebih baik. Mungkin, nggak ada yang namanya perubahan instan, tapi perjalanan panjang dimulai dari langkah pertama. Jadi, jangan pernah anggap kenakalan itu cuma bagian dari kebebasanKarena, di balik semua kekacauan itu, selalu ada kesempatan buat berubah.