Cerpen Kenakalan Remaja dan Ketergantungan Narkoba: Perjalanan Arvian Menuju Kesadaran

Posted on

Pernah nggak sih, ngerasa hidup kayak udah nggak ada arah? Arvian pernah banget. Ketika remaja lakuin hal-hal bodoh yang ngancurin hidupnya, dia justru malah makin terjerat. Bukan cuma pergaulan salah, tapi juga narkoba yang nggak pernah nanya kapan dan kenapa datangnya.

Di sini, kamu bakal baca gimana dia berjuang buat lepas dari semua itu, meskipun rasanya udah terlambat banget. Cerita ini nggak cuma tentang salah langkah, tapi tentang coba bangkit lagi, walaupun semuanya udah nggak sama.

 

Perjalanan Arvian Menuju Kesadaran

Lintingan Awal dari Sebuah Rasa Penasaran

Arvian duduk di sudut ruang kelas, memandangi layar ponselnya yang tampak kosong. Tak ada pesan masuk, tak ada panggilan. Ia merasa seperti angin yang lewat begitu saja, tak pernah benar-benar diperhatikan. Di sekolahnya yang penuh dengan suara riuh, ia selalu menjadi bayang-bayang, bukan bagian dari percakapan yang hidup.

Di sisi lain kelas, Reno sedang duduk bersama teman-temannya. Mereka semua tampak berbeda, lebih bebas, lebih berani. Reno, dengan jaket kulitnya yang selalu tampak baru dan rokok yang tersembunyi di balik tangan, tampaknya hidup di dunia yang jauh lebih seru dari dunia Arvian.

Reno memandang Arvian dari kejauhan, lalu menyeringai. Ia sudah tahu kalau Arvian adalah sosok yang mudah untuk dijadikan teman dalam petualangan baru. Petualangan yang jauh dari aturan.

“Lihat tuh, Arvian lagi sendirian,” kata Reno pada teman-temannya, sambil menatap Arvian yang tampak tak begitu tertarik dengan pelajaran. “Kayaknya dia bisa diajak seru-seruan nih.”

Teman-temannya hanya tertawa, seperti sudah terbiasa dengan cara Reno berbicara. Sebagian besar siswa di sekolah itu tahu siapa Reno. Anak nakal, selalu punya cara untuk menghibur dirinya sendiri, dan tak pernah merasa terikat pada apa pun.

Reno mendekati Arvian dengan langkah santai. “Eh, lo ngapain duduk sendiri di sini? Nggak asik, bro,” katanya, menyodorkan sebungkus rokok kepada Arvian.

Arvian menoleh, merasa sedikit canggung. Ia jarang berinteraksi dengan Reno, lebih memilih tetap diam di tempatnya. Namun, hari itu sesuatu terasa berbeda. Entah mengapa, ada semacam dorongan untuk mencoba sesuatu yang baru, sesuatu yang bisa membawanya keluar dari rasa kosong yang selalu menghantuinya.

“Emangnya lo nggak mau ikut? Cuma coba-coba aja kok,” lanjut Reno, menyodorkan rokok dengan senyum nakalnya.

Arvian ragu. Ia tahu ini bukan hal yang baik, tapi… entah kenapa, ia merasa tak ada salahnya mencoba. “Cuma coba-coba, kan?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

“Yoi, cuma sekali aja. Lo nggak bakal ketagihan kok,” jawab Reno dengan santai, seolah-olah itu hal yang paling biasa di dunia ini.

Dengan tangan sedikit gemetar, Arvian mengambil rokok itu dari tangan Reno. Ia merasa seolah berada di luar dirinya sendiri, seolah sedang beranjak dari kehidupan yang monoton. Pada saat itu, ia merasa seolah menemukan sesuatu yang mungkin bisa mengubahnya.

Saat pertama kali membakar ujung rokok itu, asapnya meluncur ke paru-paru Arvian seperti sebuah jari yang memijat luka lama. Kepala Arvian mulai berputar, rasa lega yang seolah membawa ke dalam dunia yang tak dikenalnya. Tak ada lagi kegelisahan, tak ada lagi kekosongan.

“Enak kan?” tanya Reno, memperhatikan Arvian yang mulai tersenyum tipis.

“Y-ya… agak aneh sih,” jawab Arvian, matanya masih kabur sedikit, tapi ada sensasi yang entah bagaimana membuatnya merasa lebih hidup.

“Tenang, lo bakal terbiasa. Gua jamin lo bakal suka setelah ini,” ujar Reno sambil tertawa. “Ini cuma awal, bro. Dunia kita baru aja dimulai.”

Arvian hanya mengangguk, menikmati sensasi yang mulai mengalir dalam tubuhnya. Rasa penasaran itu berkembang menjadi sesuatu yang tak bisa lagi ia kendalikan. Asap yang terhirup membawa pikirannya jauh, melayang, seakan-akan semua masalahnya menghilang begitu saja.

Namun, ia tak tahu bahwa langkah pertama itu adalah awal dari sebuah perjalanan yang akan mengubah segalanya. Dunia yang dibangun dengan kebohongan, keasyikan, dan perasaan bebas yang semu. Arvian tak menyadari bahwa di balik kebahagiaan palsu itu, ada ketergantungan yang perlahan mulai merusak dirinya.

Hari itu, Arvian tidak tahu bahwa satu lintingan rokok sederhana akan membawa dirinya ke dalam kegelapan yang tak terbayangkan.

 

Melayang di Ujung Kekosongan

Beberapa minggu telah berlalu sejak Arvian pertama kali mencoba rokok yang ditawarkan oleh Reno. Sensasi itu tak pernah benar-benar hilang dari ingatannya, meskipun ia berusaha meyakinkan diri bahwa itu hanya sekali dan tidak akan lebih dari itu. Tapi kenyataan berkata lain. Setiap kali perasaan itu muncul—rasa kosong yang menghimpit dada—Arvian tahu persis bagaimana cara untuk melarikan diri.

Reno semakin sering menawarkannya berbagai hal baru. Bukan hanya rokok, tapi juga pil-pil kecil yang mengubah dunia menjadi lebih cerah dalam sekejap. Semakin lama, Arvian merasa tak ada yang bisa mengisi kekosongannya selain itu. Sekalipun ia tahu bahwa itu tidak benar, ia merasa tidak peduli. Setiap kali mengambil napas dalam-dalam, dunia terasa seperti ada di telapak tangannya.

Pada suatu sore, setelah pelajaran olahraga yang melelahkan, Arvian duduk di luar sekolah, di bangku yang sudah mulai usang. Ia sedang menunggu jemputan ayahnya yang hampir selalu terlambat. Namun hari ini, bukan jemputan ayahnya yang datang, melainkan Reno dengan senyum lebar dan kantong kecil di tangannya.

“Bro, udah lama nih kita nggak santai bareng. Lo harus coba ini, bener-bener ngerasain kebebasan,” ujar Reno dengan percaya diri sambil menunjukkan kantong plastik berisi serbuk putih.

Arvian menatap kantong itu. Rasa curiga masih ada, tapi ketertarikan jauh lebih kuat. “Itu apa?” tanyanya, mencoba terdengar biasa.

“Ini, lo pasti bakal suka. Dijamin lo bisa ngerasain hidup beneran. Nggak ada lagi yang namanya masalah, bro.”

Arvian menarik napas dalam-dalam. Rasa ingin tahu mulai menguasai dirinya. Ia tahu ini adalah langkah besar, tapi saat itu, yang ia rasakan hanyalah dorongan kuat untuk terus merasa bebas. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil kantong kecil itu dari tangan Reno.

“Lo nggak bakal nyesel, kan?” tanya Reno, tatapannya menggoda.

Arvian hanya mengangguk. “Coba aja.”

Paket itu berpindah tangan, dan dalam sekejap, dunia Arvian berubah lagi. Pil kecil itu meleleh dalam tenggorokannya, dan dalam beberapa detik, seluruh tubuhnya terasa seperti terbang. Dunia seakan-akan melambat, setiap detik terasa seperti ribuan tahun, dan semua masalahnya larut dalam sensasi yang luar biasa.

Namun, begitu efeknya mulai hilang, perasaan itu kembali datang. Kekosongan itu menuntut lebih banyak. “Gua butuh lagi,” pikir Arvian. Ia merasa ketergantungan itu mulai menggerogoti dirinya, tetapi pada saat yang bersamaan, ia tidak bisa menghentikannya.

Beberapa hari setelah itu, Arvian mulai merasa semakin jauh dari dunia nyata. Ia jarang masuk kelas, hanya muncul ketika ada ujian atau ketika orang tuanya menuntutnya untuk menunjukkan wajahnya di rumah. Ponselnya sering mati, dan bahkan Reno mulai menunjukkan kekhawatiran yang jarang terlihat darinya.

“Lo makin jauh aja, Arvian,” kata Reno suatu malam, setelah mereka bersama-sama menghabiskan waktu di sebuah tempat kosong yang terletak jauh dari keramaian kota. “Ini bukan cara yang benar buat lari dari masalah.”

Arvian hanya menatap Reno dengan tatapan kosong. “Gua nggak peduli,” jawabnya pelan. “Gua nggak pernah merasa hidup sebelumnya. Sekarang, gua merasa bebas.”

Tapi apa yang Arvian tidak tahu adalah kebebasan itu semu. Dunia yang ia kira bisa memberi jawaban untuk rasa kosongnya ternyata hanya membawanya lebih dalam ke dalam kegelapan. Ketergantungan semakin kuat, dan setiap kali efeknya memudar, rasa ingin tahu untuk merasakan sensasi itu lagi dan lagi menjadi semakin mendalam. Ia mulai kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Sementara itu, Reno, yang awalnya tampak seperti teman sejati, mulai menjauh. Ia tak lagi banyak mengajak Arvian keluar, meskipun beberapa kali masih menawarkan barang-barang itu. Namun, Arvian kini merasa ada yang berubah. Ia mulai merasa seperti beban bagi Reno, dan hal itu semakin menambah rasa kesepian yang sudah lama ada dalam dirinya.

Ayah Arvian semakin sering datang ke rumah, memarahi Arvian tentang perubahan yang tampak jelas. Namun, Arvian hanya menatapnya dengan tatapan kosong, merasa seperti terjebak di antara dunia yang tak bisa dimengerti.

Setiap malam, sebelum tidur, Arvian memikirkan apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia tahu, suatu saat nanti, semuanya akan berakhir. Tetapi di ujung malam yang sunyi, dengan suara detak jam yang terus berdetak, ia tidak bisa berhenti berpikir—sampai kapan?

 

Jerit Tak Terdengar

Hari-hari terus berjalan, namun Arvian merasa semakin terjebak dalam jaring ketergantungan yang semakin rapat. Setiap kali ia berusaha melangkah ke luar, berusaha meraih hidup yang lebih baik, dunia yang terasa semu dan kabur kembali menariknya ke dalam. Begitu banyak yang ingin ia lupakan, tapi lebih banyak lagi yang ia rasakan tak bisa lepas.

Reno sudah semakin jarang menemuinya. Entah karena sibuk dengan teman-teman barunya atau mungkin karena ia merasa sudah cukup membawa Arvian ke dalam dunia yang selama ini ia kenal. Arvian pun merasa seperti kehilangan pegangan, seperti terombang-ambing di laut yang tak berujung. Ketergantungannya semakin menguasai dirinya, dan ia mulai merasakan dampak dari semuanya.

Satu-satunya tempat di mana ia merasa sedikit tenang adalah kamar tidurnya yang sunyi. Di sana, ia bisa melupakan semuanya—keluarganya yang makin menjauh, sekolah yang hanya menyisakan kenangan, dan Reno yang mulai tidak lagi peduli. Namun, semakin ia mencoba melupakan dunia luar, semakin ia merasa kehilangan diri sendiri.

Pada suatu sore, setelah ujian yang gagal ia lewati, Arvian pulang lebih awal. Sesampainya di rumah, ia mendapati ibunya sedang duduk di ruang tamu, wajahnya memucat, menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa ia pahami.

“Arvian,” suara ibunya terdengar tegang. “Kamu nggak bisa terus begini. Apa yang terjadi sama kamu? Apa kamu nggak lihat betapa khawatirnya kita?”

Arvian menatap ibunya dengan pandangan kosong. Kata-kata itu tak masuk ke dalam pikirannya. Ia hanya ingin melarikan diri dari kenyataan, dan setiap kali ibunya bicara, itu hanya menambah beban di kepala.

“Jangan seperti ini… kamu udah berubah. Kami nggak bisa lagi mengenali kamu,” suara ibu Arvian semakin parau, tapi ia tetap diam, tak bisa berkata apa-apa.

Ayahnya muncul dari dapur, dan melihat kondisi Arvian yang tak seperti biasanya. Ia berdiri tegak, menatap anaknya dengan penuh kekecewaan. “Kamu nggak cuma mengecewakan kami, Arvian. Kamu udah menghancurkan dirimu sendiri,” katanya dengan suara keras.

“Udah lah, jangan ribut. Aku nggak butuh perhatian kalian,” jawab Arvian dengan suara datar. Tiba-tiba, tubuhnya terasa begitu lelah, tetapi tetap ada dorongan untuk terus melarikan diri. Ia tahu apa yang akan terjadi jika ia tetap di sana.

Di luar rumah, malam mulai turun. Langit kelam dan bintang-bintang hanya bisa samar terlihat. Arvian berjalan tanpa arah, perasaan kacau berputar-putar dalam pikirannya. Langkah kakinya terdengar berat, seolah setiap langkah membawa beban yang semakin besar.

Tiba-tiba, ia merasakan ponselnya bergetar di saku jaketnya. Ada pesan dari Reno. Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan itu.

“Bro, lo harus ikut gue. Gue punya sesuatu yang bisa bikin lo merasa baik lagi. Lo nggak mau ketinggalan, kan?”

Arvian menatap layar ponselnya dalam kebingungannya. Ia tahu ini bukan hal yang baik, tapi seperti magnet yang tak bisa ditolak, ia merasakan dorongan yang tak bisa dijelaskan. Setelah beberapa detik, ia memutuskan untuk mengikuti pesan itu. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan menuju tempat yang biasa mereka kunjungi.

Tempat itu sepi, hanya diterangi cahaya lampu jalan yang temaram. Reno sudah menunggu di sana, kali ini dengan senyum yang lebih lebar dari biasanya.

“Lo datang juga akhirnya,” katanya, menepuk-nepuk punggung Arvian dengan cara yang seakan-akan itu adalah hal biasa. “Gua punya yang lebih seru buat lo, lo nggak bakal nyesel.”

Arvian menatap Reno dengan tatapan kosong, namun di dalam dirinya, ada keinginan kuat untuk kembali merasa “hidup.” Tanpa banyak kata, ia menerima barang yang ditawarkan Reno. Begitu itu mengalir ke tubuhnya, sensasi yang asing kembali menguasai dirinya. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang terasa sangat mengganggu.

Efeknya datang lebih cepat dari sebelumnya, tetapi bukan lagi kebebasan yang ia rasakan. Ketika ia menutup matanya, semuanya terasa semakin jauh. Arvian merasa seperti ada yang hilang. Bagaimana bisa dirinya merasa terjebak dalam sebuah loop yang tak berujung? Setiap kali ia mencoba untuk melarikan diri, semakin dalam ia terjebak.

“Ada apa, bro? Lo nggak kayak biasanya,” kata Reno, nada suaranya sedikit khawatir.

Arvian hanya bisa menatapnya kosong. “Gua nggak tahu,” jawabnya pelan. “Gua cuma… nggak tahu harus bagaimana lagi.”

Reno menyadari ada yang salah, tapi ia tak tahu apa yang bisa ia lakukan. Ia hanya terdiam, melihat sahabatnya tenggelam lebih dalam ke dalam gelap.

Hari itu, saat Arvian kembali pulang, ia tidak mendapat teguran lagi dari kedua orangtuanya. Mereka sudah tidak tahu harus berkata apa lagi. Mereka hanya bisa menatapnya dengan tatapan kosong, seakan semuanya sudah terlalu terlambat.

Di dalam kamar Arvian, di tengah malam yang sunyi, ia duduk di pojok ruangan, menggenggam botol pil yang baru ia ambil beberapa jam lalu. Ia menatapnya dengan tatapan kosong, merasakan tubuhnya yang lelah. Semua kata-kata ibunya, ayahnya, dan Reno tidak ada lagi artinya.

Hidupnya kini terasa seperti jeritan tak terdengar.

 

Titik Terendah

Pagi itu, Arvian terbangun dengan kepala yang terasa berat dan matanya yang perih. Ia menatap sekeliling kamar, namun segala sesuatunya terasa kabur. Ponselnya tergeletak di meja samping tempat tidurnya, layar menunjukkan pesan-pesan yang ia abaikan. Masing-masing pesan itu berasal dari ibunya, ayahnya, dan Reno, namun seakan tidak ada satupun yang masuk ke dalam pikirannya. Tubuhnya terasa kaku, dan walau masih ada sedikit efek dari barang yang dikonsumsinya semalam, ia tahu ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menggerogoti dirinya.

Hari-hari setelahnya semakin kabur. Arvian tidak tahu lagi apa yang ia lakukan. Semua yang ada di sekitarnya tampak seperti bayangan yang samar. Sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ini bukan kehidupan yang layak, namun kekosongan itu lebih kuat. Semakin ia mencoba melawan, semakin rapuh ia merasa.

Pada suatu pagi yang kelam, ayah Arvian akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sudah lama ia rencanakan. Setelah bertahun-tahun membiarkan anaknya tenggelam dalam keterasingan, ia menghubungi pihak yang tepat. Arvian tidak tahu, saat ia terbangun dan turun ke ruang tamu, orang-orang yang tidak dikenalnya telah menunggunya di sana.

“Arvian,” suara ayahnya terdengar tegas, namun penuh keputusasaan. “Kami nggak bisa terus seperti ini. Kamu perlu bantuan.”

Arvian menatap mereka dengan tatapan bingung, tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dalam pikirannya, semuanya terasa jauh. Ada ketakutan yang ia coba tutupi dengan sikap acuh tak acuh. Ia tidak ingin pergi, tidak ingin meninggalkan zona nyaman yang selama ini ia pikir bisa memberi kebebasan.

“Tolong, bro,” Reno yang datang tanpa diundang berdiri di dekat pintu, wajahnya cemas. “Lo nggak bisa terus begini. Ini bukan hidup yang lo mau.”

Namun, kata-kata itu hanya seperti angin yang berlalu. Arvian hanya bisa terdiam, merasa semakin asing dengan dunia yang seharusnya ia kenal. Satu-satunya yang ada di pikirannya adalah dorongan untuk lari, untuk kembali ke tempat yang memberi sensasi—tempat yang ia kira bisa membuatnya merasa “hidup.”

Namun, ibunya datang, berjalan mendekat, dan meletakkan tangan di pundaknya. Ia hanya bisa menatap Arvian dengan mata penuh harapan. “Kita nggak bisa terus seperti ini, sayang. Kamu butuh pertolongan. Kami nggak bisa biarin kamu sendiri.”

Mata Arvian mulai berair. Ia menatap ibunya, mencoba mencari sedikit kenyamanan, tapi tidak ada yang bisa ia temukan. Ketergantungannya sudah membutakan semua pandangannya. Dunia yang ia kenal sekarang hanya gelap dan penuh keputusasaan. Ia merasa seperti sebuah kapal yang tenggelam, dan meskipun ada yang mencoba menyelamatkannya, ia tidak tahu bagaimana caranya untuk bangkit.

Tapi di tengah kebingungannya, ia tahu bahwa ini adalah kesempatan terakhir yang tersisa. Arvian menatap wajah orang tuanya dengan tatapan kosong, dan setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, ia akhirnya mengangguk pelan.

Ia mengikuti langkah-langkah yang ditentukan, masuk ke mobil yang mengarah ke pusat rehabilitasi. Sepanjang perjalanan, ia hanya terdiam. Dunia di luar terasa asing, dan pikirannya berkecamuk. Setiap kali matanya terpejam, ia merasa dirinya kembali terjerat dalam kegelapan yang tak bisa ia lewati. Namun, ada sedikit harapan yang terbersit di sana. Harapan yang ia belum pernah rasakan dalam waktu yang sangat lama.

Pusat rehabilitasi itu adalah tempat yang asing baginya. Namun, ketika ia memasuki ruang perawatan, sesuatu dalam dirinya merasa tertarik. Sebuah ketenangan yang belum pernah ia rasakan datang begitu saja. Mungkin ini bukan akhir dari segalanya, tetapi di sini, di tempat ini, Arvian tahu ia harus berjuang. Untuk dirinya sendiri. Untuk keluarga yang masih peduli padanya. Untuk masa depannya yang mulai samar namun masih bisa ia gapai.

Di ujung malam yang sunyi, di dalam ruangan itu, Arvian duduk seorang diri. Ia menatap jendela yang terbuka, melihat bintang-bintang yang mulai muncul di langit. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa seperti dirinya sendiri, meskipun masih jauh dari kesempurnaan. Namun, ia tahu bahwa untuk mencapai titik itu, ia harus melangkah perlahan.

Dan di sinilah ia akan memulai perjalanan baru. Sebuah perjalanan yang mungkin sulit, penuh tantangan, dan penuh cobaan. Tapi itu adalah satu-satunya pilihan yang ia miliki. Sebuah langkah kecil menuju kebebasan sejati, yang tidak lagi datang dari ketergantungan, tapi dari kekuatan dirinya sendiri.

Akhirnya, Arvian menutup matanya, dan dalam heningnya, ia merasakan sedikit kedamaian.

 

Jalan Arvian masih panjang, dan nggak ada yang bisa jamin dia bakal lepas sepenuhnya dari bayang-bayang masa lalu. Tapi setidaknya, dia udah mulai nyari jalan keluar dari lingkaran setan itu. Kadang, perubahan itu nggak datang dengan mudah, dan kita harus jatuh dulu sebelum bangkit.

Arvian mungkin belum sampai di ujung perjalanan, tapi dia udah ngambil langkah pertama. Dan itu udah cukup untuk bikin kita percaya bahwa nggak ada kata terlambat untuk mulai berubah.

Leave a Reply