Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu ngerasain gimana rasanya punya saingan yang bukan orang lain, tapi justru saudara kandung sendiri? Bayangin aja, dua kembar yang nggak cuma bersaing dalam hal pelajaran, tapi juga dalam urusan hati.
Nah, itu yang dialamin sama Revan dan Rafka. Keduanya suka sama satu orang, dan yang bikin seru, si cewek itu bukan tipe yang gampang jatuh cinta. Penasaran gimana kelanjutan kisah mereka? Yuk, baca cerpen ini, penuh dengan drama, tawa, dan tentu aja, cinta segitiga yang nggak biasa!
Cerpen Kembar yang Jatuh Cinta
Perebutan di Perpustakaan
Di sudut sebelah kiri perpustakaan sekolah, Kara duduk dengan tenang. Tumpukan buku menutupi hampir seluruh meja kayu yang mulai lapuk di sudut itu. Punggungnya tegak, rambutnya yang panjang terikat rapi dalam ekor kuda, dan matanya tak pernah lepas dari halaman-halaman buku yang selalu ia buka. Dari luar, dia memang tampak seperti gadis kutu buku biasa, tetapi ada sesuatu tentang dirinya yang selalu menarik perhatian.
Di luar sana, dua kembar, Revan dan Rafka, duduk di bangku panjang yang terletak tepat di dekat jendela, saling melirik satu sama lain. Entah kenapa, meskipun mereka selalu bersama, ada hal yang berbeda hari ini. Keduanya seperti merasakan sesuatu yang tak terucapkan. Rafka menatap Kara yang sibuk membaca dari kejauhan, sementara Revan memutar-mutar pulpen di tangannya dengan ekspresi yang tak bisa diartikan.
“Dia cantik, kan?” tanya Rafka, memecah keheningan.
Revan mengangguk, meskipun bibirnya menyunggingkan senyum nakal. “Aku lebih suka nyontek dari dia. Bisa dapet nilai bagus dan dia nggak bakal marah.”
Rafka mendengus, “Sial, jangan sampe kamu lebih dulu dapet perhatian dari dia. Aku yang mulai duluan.”
Revan menoleh tajam ke arah Rafka. “Oh, serius? Kamu pikir kamu bisa?”
Rafka mengangkat bahu dengan santai. “Tentu saja. Kalau aku yang mendekat, pasti dia bakal lebih tertarik. Aku lebih tampan.”
Revan tertawa kecil. “Tampan? Itu yang kamu pikirkan? Coba deh perhatiin, dia malah nggak peduli sama kita, bahkan nyaris nggak tahu kita ada.”
Namun, pada saat yang bersamaan, mereka berdua menatap Kara yang baru saja mengangkat kepalanya dari buku. Mata mereka bertemu sejenak, dan meskipun tidak ada kata-kata, mereka tahu ada benang merah yang menghubungkan mereka dalam hal ini.
“Aku punya ide,” kata Revan tiba-tiba. “Gimana kalau kita coba bantu dia? Mungkin dia akan lebih perhatian sama kita kalau kita nunjukin kalo kita peduli.”
Rafka mengernyitkan dahi, tidak terlalu yakin. “Kamu serius? Dengan cara gitu? Itu bakal keliatan konyol.”
“Tapi kalau kita jadi pahlawan kecil buat dia, siapa tahu dia mulai notice kita,” jawab Revan, menggoda. “Yuk, coba aja.”
Rafka, meskipun agak ragu, mengangguk. Mereka berdua berjalan dengan langkah mantap ke arah Kara. Begitu sampai, Revan lebih dulu membuka mulut, dengan gaya khas tengilnya. “Hei, Kara,” katanya dengan suara yang agak keras, memecah keheningan ruang perpustakaan. “Buku-buku itu kelihatannya berat banget, ya? Kamu butuh bantuan nggak?”
Kara menoleh dengan sedikit terkejut, tapi senyumnya tetap ada. “Oh, terima kasih, Revan, tapi aku nggak butuh bantuan. Aku bisa bawa sendiri.”
Rafka merasa sedikit kesal, tapi berusaha tetap tenang. “Aku juga bisa bantu kalau kamu butuh,” katanya dengan lebih serius, meskipun dia tahu Revan sudah terlebih dahulu membuka percakapan.
Kara tersenyum ramah, meskipun sedikit bingung dengan kedatangan dua orang ini. “Terima kasih, tapi aku memang sudah biasa bawa semuanya sendirian.”
Revan dan Rafka saling melirik, merasa sedikit malu karena upaya mereka gagal. Meskipun begitu, senyum Kara yang tulus membuat mereka merasa ada semacam kemenangan kecil. Namun, masing-masing masih merasa ada yang harus diperebutkan.
“Jadi, kamu suka baca buku apa, Kara?” tanya Revan, berusaha melanjutkan percakapan, meskipun dia tahu dia hanya mencari kesempatan untuk mendekati.
Kara, yang lebih fokus pada buku yang sedang dia baca, menjawab dengan santai, “Aku suka buku tentang sejarah dan filsafat. Mereka bisa memberi aku banyak pemahaman baru.”
Rafka menyeringai, merasa sedikit terpojok. “Ah, serius? Aku lebih suka buku fiksi. Lebih seru.”
Kara mengangguk, “Fiksi juga menarik, tapi aku lebih suka yang bisa mengubah cara pandangku tentang dunia.”
Ketika mereka terus berbicara, Revan dan Rafka mulai merasakan ketegangan kecil. Mereka tidak pernah bertengkar, tapi sekarang semuanya berbeda. Cinta—meskipun mereka belum tahu itu—telah mulai merasuk, mengubah cara mereka melihat satu sama lain.
Tanpa sadar, waktu berlalu begitu cepat. Perpustakaan mulai sepi, dan mereka bertiga masih terjebak dalam percakapan yang ringan namun penuh makna.
Setelah beberapa saat, Kara berdiri dan mengumpulkan bukunya. “Terima kasih ya, kalian berdua,” katanya sambil tersenyum. “Tapi aku harus pergi sekarang.”
Revan dan Rafka hanya bisa menatapnya pergi, masing-masing dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Mereka tahu satu hal—ini baru permulaan.
Namun, mereka tidak bisa saling menghindar. Saling menginginkan perhatian Kara, keduanya semakin terjerat dalam persaingan yang tidak terucapkan. Perpustakaan itu mungkin sepi, tapi di hati mereka, pertempuran baru saja dimulai.
Taktik Cinta Kembar
Hari-hari setelah pertemuan di perpustakaan itu terasa sedikit berbeda. Revan dan Rafka masih sering bertemu di koridor sekolah, tetapi ada sesuatu yang berubah. Masing-masing dari mereka mulai menunjukkan sisi yang berbeda, mencoba dengan cara mereka sendiri untuk mendapatkan perhatian Kara.
Revan, yang biasanya cuek, kini tampak lebih rajin mengerjakan tugas. Setiap kali ada kesempatan, dia akan dengan sengaja berjalan lewat kelas Kara, mencoba agar dilihat. Kadang dia melemparkan senyuman nakal, kadang juga hanya sekadar berpura-pura membaca buku agar terlihat serius. Namun, Kara selalu terlalu sibuk dengan dunia akademisnya sendiri untuk benar-benar memperhatikan.
Sementara itu, Rafka yang lebih tenang dan cenderung lebih cerdas dalam menyusun rencana, memilih pendekatan yang lebih strategis. Dia mulai sering ikut bergabung dengan Kara saat jam belajar kelompok, menawarkan bantuan dalam pelajaran yang Kara sukai. “Kamu suka matematika, kan? Aku baru nemuin cara baru buat ngerjain soal trigonometri,” katanya pada suatu hari dengan suara yang penuh keyakinan.
Kara, dengan ekspresi antusias, langsung mengangguk. “Ayo, tunjukkan!”
Revan yang mendekat pada saat itu hanya bisa menggelengkan kepala, sedikit jengkel melihat Rafka dan Kara yang tampak begitu akrab. “Hei, kamu selalu lebih duluan, Raf,” keluh Revan, berusaha menyembunyikan rasa kesalnya.
Rafka hanya tersenyum santai. “Kamu pikir kamu bisa lebih baik dari aku?”
Revan mendengus, “Tunggu aja. Aku punya rencana sendiri.”
Dan benar saja, beberapa hari kemudian, Revan mulai mencari cara untuk memanfaatkan momen di luar kelas. Di saat yang tepat, dia mendekati Kara yang sedang berada di halaman sekolah. “Hei, Kara, kamu tahu nggak sih kalau kantin kita punya menu baru? Tadi aku nyobain dan rasanya enak banget,” katanya dengan nada penuh antusias.
Kara menoleh, tertarik dengan topik tersebut. “Oh, iya? Apa menunya?”
“Spaghetti daging,” jawab Revan, “Aku pikir kamu harus coba.”
“Spaghetti?” Kara bertanya lagi, senyumnya mulai merekah. “Pasti enak, ya. Nanti coba aku makan deh.”
Revan tersenyum penuh kemenangan, merasa telah berhasil menarik perhatian Kara untuk pertama kalinya dengan cara yang sederhana namun efektif. Namun, tanpa disadari, Rafka yang melihat dari kejauhan merasa ada yang kurang adil.
“Kenapa kamu nggak ngajak aku juga sih?” Rafka berkata sambil berjalan mendekat, memberi Revan tatapan yang jelas menunjukkan rasa kesal.
Revan hanya tertawa. “Biar aku punya kesempatan lebih dulu.”
Kara yang mendengar percakapan mereka hanya tersenyum, meskipun sedikit bingung. “Aduh, kalian berdua ini kenapa sih? Nggak bisa berhenti bertengkar?”
Revan dan Rafka tiba-tiba terdiam. Mereka sadar, persaingan ini mulai terasa konyol di depan Kara. Mereka berdua malah jadi terlihat seperti anak-anak yang berebut mainan.
“Tapi, serius deh,” Kara melanjutkan, mencoba mengubah suasana. “Kenapa sih kalian kayak bersaing terus? Apa ada yang penting banget buat diperebutkan?”
Revan dan Rafka saling berpandangan, tapi kali ini, mereka tidak menjawab dengan sikap tengil seperti biasanya. Mereka hanya terdiam, menyadari bahwa pertanyaan Kara itu cukup menusuk. Apakah mereka benar-benar hanya tertarik padanya karena ego semata? Atau ada hal lain yang lebih dalam?
“Apa kamu nggak merasa terganggu, Kara?” Rafka bertanya, kini dengan nada yang sedikit lebih serius.
Kara menggelengkan kepala. “Tidak, aku hanya merasa kalau kalian bisa lebih baik kalau nggak terus-terusan berlomba.”
Tiba-tiba, suasana di sekitar mereka berubah. Revan yang biasanya selalu penuh dengan celoteh, kali ini memilih untuk diam. Begitu pula dengan Rafka, yang biasanya penuh dengan strategi, mulai merasakan kesedihan kecil karena sikap mereka yang seperti anak kecil.
“Maaf ya,” kata Revan akhirnya, berusaha menenangkan suasana. “Aku terlalu sok deket.”
Kara hanya mengangguk, lalu tersenyum. “Nggak apa-apa, kok. Aku paham.”
Meski begitu, Revan dan Rafka merasa ada yang hilang. Mereka tahu persaingan ini tak hanya soal siapa yang lebih dulu mendapatkan perhatian Kara, tetapi lebih pada bagaimana mereka bisa lebih menghargai hubungan mereka sebagai saudara kembar.
Kara, yang tak menyadari apa yang baru saja terjadi dalam hati mereka, melanjutkan hari-harinya dengan kesibukan seperti biasa. Tetapi bagi Revan dan Rafka, hari itu adalah titik balik. Persaingan ini akan terus ada, tapi kali ini, mereka tahu harus ada hal yang lebih penting dari sekadar memenangkan hati seorang gadis.
Catatan Rahasia dan Persaingan
Hari-hari setelah percakapan di halaman sekolah itu, Revan dan Rafka merasa ada yang mengganjal. Persaingan mereka bukan lagi sekadar soal siapa yang bisa mendapat perhatian Kara dengan cara yang paling dramatis. Entah kenapa, keduanya mulai merasa lebih berat saat bertemu di sekolah, seperti ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka. Tapi di balik itu, perasaan yang mereka rasakan terhadap Kara justru semakin dalam.
Kara, si kutu buku yang sederhana, selalu terlihat tenggelam dalam dunia akademisnya. Namun, ada satu sisi dari dirinya yang mulai mengundang rasa penasaran lebih dalam—sesuatu yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang di sekolah itu. Kara tak pernah mencampurkan antara perasaan dan prestasi. Buku adalah dunianya, dan itu adalah dunia yang penuh dengan misteri yang menunggu untuk dijelajahi.
Suatu sore, ketika bel sekolah sudah berbunyi dan kebanyakan siswa sudah meninggalkan kelas, Kara duduk di meja yang sama di perpustakaan. Ia tidak tahu bahwa di luar, Revan dan Rafka sedang merencanakan langkah baru untuk mendekatinya. Mereka berdua sepakat untuk melupakan persaingan mereka, meski di dalam hati mereka, rasa ingin memenangkan hati Kara masih kuat.
“Gimana kalau kita coba belajar bareng, buat tugas sejarah yang besok dikumpulin?” Rafka mengajukan ide saat mereka sedang berjalan menuju perpustakaan. “Kara pasti bakal senang kalau kita belajar serius bareng dia.”
Revan menyeringai. “Itu ide bagus, tapi kamu tahu, kan, aku nggak terlalu suka belajar di tempat seperti ini. Mending kita ambil kesempatan ini buat ngobrol lebih banyak sama dia.”
Rafka mengangkat alis. “Tunggu dulu. Kamu serius? Kamu nggak pernah serius soal belajar, tapi tiba-tiba sekarang pengen ngajak serius? Jangan bercanda deh.”
“Gimana kalau aku ngajak dia keluar nanti setelah belajar?” jawab Revan dengan mata yang menyipit. “Coba deh kalau kamu yang ngajak, pasti dia malah lebih nyaman sama aku.”
Rafka mendengus kesal. “Kamu nih, percaya diri banget. Tapi kalau aku yang ngajak, kamu pasti cemburu, kan?”
“Gimana kalau kita bagi tugas aja?” Revan mengusulkan dengan nada menggoda. “Aku ngajak dia keluar, kamu biar ngajarin dia soal sejarah.”
Rafka menatap Revan dengan pandangan yang penuh tantangan, namun akhirnya ia hanya mengangguk. “Oke deh, ayo coba. Tapi kamu tanggung jawab, ya?”
Mereka akhirnya sampai di perpustakaan, dan seperti biasa, Kara sudah duduk dengan tenang di sudut, buku-buku terbuka di depannya. Kali ini, suasana terasa berbeda. Sepertinya ada kesan bahwa Kara menunggu mereka.
Revan yang biasanya lebih ceroboh, memilih untuk melangkah lebih dulu. “Kara, kamu nggak capek baca buku terus?”
Kara menoleh, melihat Revan dengan senyumnya yang khas. “Aku nggak pernah merasa capek. Justru kalau aku berhenti, aku merasa seperti kehilangan sesuatu.”
Revan tersenyum, sedikit terkesan dengan jawaban Kara. “Aku bisa bantu kalau kamu mau istirahat. Tapi kalau kamu terus baca buku, aku nggak tahu lagi deh.”
Kara hanya tertawa kecil. “Kalau aku mau istirahat, aku pasti akan bilang. Tapi terima kasih.”
Saat itu, Rafka akhirnya ikut bergabung, membawa buku sejarah yang memang jadi tugas mereka. “Kara, kamu butuh bantuan? Aku bisa bantu kerjain soal sejarah yang sulit ini.”
Kara mengangguk, lalu mengambil bukunya. “Tapi, kalau kalian serius ingin belajar, aku senang banget. Aku selalu butuh teman belajar, terutama untuk pelajaran sejarah ini.”
Sementara mereka bertiga mulai tenggelam dalam diskusi tentang sejarah, Revan merasa ada yang berbeda kali ini. Ada momen yang mengalir lebih natural. Bukan hanya karena mereka sedang belajar bersama, tapi karena cara Kara berbicara lebih terbuka, seolah-olah dia memang membutuhkan mereka berdua.
Di tengah perbincangan itu, Kara tiba-tiba berhenti dan melihat Rafka dengan serius. “Rafka, aku selalu penasaran dengan cara kamu melihat dunia. Kamu selalu punya pendapat yang dalam soal banyak hal. Kenapa kamu nggak pernah cerita lebih banyak?”
Rafka sedikit terkejut, dan dengan hati-hati, ia menjawab, “Aku lebih suka menyimpan banyak hal untuk diri sendiri. Kadang, dunia ini nggak butuh terlalu banyak kata-kata. Yang penting, kita ngerti aja.”
Revan yang mendengar itu tersenyum. “Kamu lebih dari sekedar kutu buku, Kara. Kamu punya sisi lain yang… nggak banyak orang tahu.”
Kara hanya mengangkat bahu, tidak merasa ada yang istimewa dengan dirinya. “Mungkin, tapi aku merasa lebih nyaman di sini, di dunia buku-buku ini.”
Namun, ketika Revan menatap Kara, ada sesuatu dalam diri Kara yang membuatnya merasa bahwa percakapan ini lebih dalam dari yang dia kira. Begitu pula dengan Rafka. Mereka tidak hanya berkompetisi untuk menarik perhatian Kara, tetapi mereka mulai melihatnya dengan cara yang lebih humanis, bukan sekadar objek untuk dijadikan pemenang.
Beberapa jam kemudian, saat mereka semua memutuskan untuk beristirahat, Revan memutuskan untuk melaksanakan bagian dari rencananya. “Kara, gimana kalau kita lanjutkan belajar ini di luar? Aku denger ada kafe baru yang enak banget. Cuma kalau kamu mau.”
Kara menatapnya dengan serius, lalu melihat Rafka yang hanya tersenyum tanpa berkata-kata. “Boleh juga sih. Tapi aku lebih suka kalau kita belajar di tempat yang tenang, tanpa gangguan.”
Revan agak kecewa, tapi Rafka yang merasa ada kesempatan, berusaha lebih santai. “Kalau gitu, kita lanjutkan belajar aja di sini, di perpustakaan. Bisa kok, aku yakin.”
Kara akhirnya mengangguk, merasa senang dengan kehadiran mereka. Tidak ada drama yang terjadi, hanya percakapan ringan yang membawanya lebih dekat dengan keduanya. Tapi bagi Revan dan Rafka, perasaan itu semakin rumit. Mereka tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil, baik atau buruk, akan membawa mereka pada satu titik—mereka harus memilih siapa yang akan mendapat hati Kara. Tapi untuk saat ini, mereka hanya bisa terus berusaha, dengan cara masing-masing.
Pilihan yang Tak Terucapkan
Hari-hari setelah pertemuan yang lebih santai di perpustakaan, Revan dan Rafka mulai merasakan bahwa apa yang mereka cari tidak hanya soal memenangkan perhatian Kara. Mereka menyadari bahwa persaingan mereka bukan lagi sekadar soal siapa yang lebih pintar, lebih lucu, atau lebih cepat mendapatkan perhatian. Kini, ada lebih banyak hal yang dipikirkan. Lebih dari sekadar rasa ingin memiliki, mereka mulai menyadari betapa pentingnya perasaan mereka terhadap Kara dan bagaimana itu mengubah mereka sebagai individu.
Kara sendiri tampaknya tak terlalu menyadari kerumitan yang berkembang di antara mereka. Dia terus tenggelam dalam dunia akademisnya, seolah-olah tidak ada yang lebih penting dari membaca dan belajar. Revan dan Rafka terus berusaha menunjukkan perhatian mereka, namun dengan cara yang berbeda. Revan yang lebih ceroboh sering mengundang Kara untuk keluar, sementara Rafka memilih pendekatan yang lebih halus dengan memberikan bantuan belajar yang lebih serius.
Pada suatu sore yang cerah, saat pulang sekolah, Revan dan Rafka berjalan bersama di sepanjang trotoar. Suasana yang biasanya penuh dengan canda tawa kini terasa hening, masing-masing terlarut dalam pikiran mereka. Mereka tahu bahwa waktu semakin mendesak. Tidak hanya soal tugas atau soal Kara, tetapi lebih kepada perasaan yang terus tumbuh tanpa mereka sadari.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Rafka tanpa melihat Revan, suaranya terdengar lebih dalam dari biasanya.
Revan terdiam sejenak, menatap langit yang mulai berubah menjadi jingga. “Aku mulai mikir, Raf, mungkin kita harus berhenti. Aku nggak tahu lagi, kita ini ngapain sebenarnya.”
Rafka menoleh dan tersenyum tipis. “Kamu sudah mulai merasa itu juga? Aku rasa kita berdua sudah melangkah lebih jauh dari yang kita kira. Tapi… aku nggak bisa mundur sekarang.”
Revan mengangguk pelan, sedikit kecewa namun sadar bahwa ini adalah bagian dari proses. “Aku juga nggak bisa mundur. Tapi… aku nggak tahu apa yang Kara pikirkan soal kita.”
Rafka berhenti sejenak, memandang adiknya dengan tatapan yang sulit dibaca. “Kita berdua tahu, kan, bahwa kita nggak bisa terus bersaing kayak gini. Kalau kita terus begini, kita cuma bakal nyakitin satu sama lain.”
Revan menunduk, merasakan perasaan bersalah mengalir begitu saja. “Aku… aku nggak ingin kehilangan hubungan kita, Raf.”
Rafka menarik napas dalam, lalu berkata dengan tenang. “Aku juga. Tapi ada saatnya kita harus memutuskan apa yang lebih penting. Kita nggak bisa terus begini, berharap ada yang terjadi tanpa berani ambil keputusan.”
Pikiran Revan melayang kembali ke Kara. Gadis yang selalu sibuk dengan bukunya, yang tampaknya tak pernah melihatnya dengan cara yang sama. “Kara itu unik, Raf. Dia nggak kayak cewek-cewek lain di sekolah. Aku cuma… nggak bisa berhenti mikir dia.”
Rafka menepuk bahu Revan, sedikit terhibur dengan sikap adiknya yang tampak mulai meresapi semuanya. “Aku ngerti, bro. Aku juga merasa sama. Tapi, kita harus jujur sama diri kita sendiri. Apa yang kita rasakan, itu nggak cuma soal ego atau siapa yang menang. Kadang, kita harus belajar kalau ada hal yang lebih penting dari sekadar perasaan kita.”
Mereka berjalan dalam diam beberapa saat. Sesekali, Revan melirik Rafka, merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar pertarungan antar saudara. Kali ini, bukan hanya soal siapa yang lebih dulu bisa membuat Kara tersenyum. Ini adalah saatnya bagi mereka berdua untuk berhenti berkompetisi, dan lebih memperhatikan perasaan masing-masing.
Sesampainya di rumah, Revan duduk di depan meja belajarnya, menatap buku-buku yang berantakan. Pikirannya tetap tertuju pada Kara. Dia tahu, di suatu titik, ada keputusan yang harus dibuat. Begitu pula dengan Rafka, yang sedang duduk di ruang tamu, memandang buku catatannya yang belum tersentuh.
Pagi berikutnya, mereka kembali berangkat ke sekolah dengan suasana hati yang lebih tenang. Mereka tahu bahwa persaingan mereka sudah mencapai titik di mana mereka harus jujur tentang apa yang mereka inginkan.
Di kantin, saat Kara duduk seorang diri, mereka melihatnya dari jauh. Revan dan Rafka saling pandang sejenak, dan tanpa kata, mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka berdua berjalan ke meja Kara.
“Hey, Kara,” Revan memulai, sedikit ragu tapi penuh keberanian.
Kara menoleh, mengangkat alis, lalu tersenyum. “Oh, kalian berdua. Ada apa?”
Rafka yang biasanya lebih pendiam kali ini lebih tenang. “Kara, kami ingin bicara. Tentang semuanya.”
Kara terlihat sedikit bingung, tetapi ia tetap mengangguk. “Tentu. Apa yang ingin kalian bicarakan?”
Revan dan Rafka saling pandang. Ini adalah titik di mana mereka harus memilih, bukan hanya soal siapa yang lebih dulu mendapat perhatian Kara, tetapi soal bagaimana mereka bisa lebih dewasa. “Kara,” Revan melanjutkan, “kami ingin kamu tahu bahwa kami menghargai kamu. Tapi… kami nggak mau kamu merasa terbebani dengan semua ini.”
Kara terdiam sejenak, kemudian mengangguk, memahami apa yang mereka maksud. “Aku… aku nggak pernah ingin bikin kalian berdua merasa kayak gini. Kalian berdua itu teman yang baik. Aku cuma… nggak tahu harus bagaimana.”
Revan tersenyum lelah. “Itulah sebabnya kami harus berhenti bersaing, Kara. Kami nggak ingin kehilangan satu sama lain. Jadi, mungkin ini waktu yang tepat untuk berhenti dan biarkan semuanya mengalir.”
Kara memandang mereka berdua dengan tatapan yang lebih hangat, seolah-olah mengerti bahwa kadang-kadang, keputusan yang sulit justru yang terbaik.
“Aku senang kalian bisa bicara dengan jujur. Aku nggak bisa memaksakan diri untuk memilih salah satu dari kalian. Yang terpenting, kita tetap teman, ya?” Kara berkata dengan lembut, dan senyumannya menghapus semua keraguan di hati Revan dan Rafka.
Saat itu, mereka berdua merasa seolah-olah ada sesuatu yang menghubungkan mereka, lebih dari sekadar perasaan terhadap Kara. Ini adalah saat di mana mereka menyadari bahwa hubungan mereka sebagai saudara lebih berharga daripada perasaan egois yang selama ini mereka perjuangkan.
Jadi, begitulah kisah kembar yang akhirnya sadar kalau kadang, cinta itu bukan cuma soal siapa yang menang, tapi lebih ke siapa yang bisa menghargai apa yang sudah dimiliki. Mungkin nggak ada yang benar-benar menang di akhir.
Namun yang jelas, mereka belajar tentang persahabatan, keluarga, dan bagaimana menghadapi perasaan dengan cara yang lebih dewasa. Jadi, kalau kamu lagi punya perasaan yang mirip-mirip gini, ingat, kadang yang paling penting itu bukan siapa yang kamu suka, tapi siapa yang selalu ada buat kamu.