Cerpen Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah: Kisah Keluarga Bahagia yang Penuh Berkah

Posted on

Ngomongin soal keluarga, pasti deh banyak yang mikir tentang keluarga bahagia yang penuh cinta dan berkah. Tapi, buat kalian yang masih cari-cari gambaran gimana sih keluarga yang bener-bener sakinah, mawaddah, warahmah, yuk baca cerpen ini!

Di sini, kalian bakal nemuin kisah tentang keluarga yang saling mendukung, penuh kasih, dan nggak lepas dari doa yang selalu jadi penguat di setiap langkahnya. Beneran deh, ceritanya bakal bikin hati kalian adem, dan mungkin ngerasa kalau kebahagiaan itu sebenernya ada di sekitar kita. Jadi, siap-siap baca dan nikmatin perjalanan keluarga yang satu ini!

 

Kisah Keluarga Bahagia yang Penuh Berkah

Di Bawah Naungan Doa

Pagi itu, udara desa Nuralia terasa sejuk, meskipun sinar matahari sudah mulai muncul dengan cerah. Ustaz Khalid sudah bangun lebih awal, seperti biasa, untuk mempersiapkan diri sebelum berangkat ke masjid. Di rumah sederhana mereka yang dikelilingi oleh pohon-pohon rindang, suasana masih sangat tenang, hanya terdengar suara burung-burung berkicau di kejauhan.

“Sarah, ayo, waktunya salat subuh,” Ustaz Khalid memanggil istrinya, Nyai Sarah, yang sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Meskipun kebanyakan orang memilih untuk tidur kembali setelah salat subuh, bagi mereka, salat berjamaah adalah kewajiban yang selalu mereka utamakan.

Nyai Sarah tersenyum, menyeka peluh yang menetes di dahinya karena sibuk memasak, dan kemudian dengan lembut menjawab, “Aku segera siap, tunggu sebentar.” Suaranya penuh ketenangan, seperti biasanya, memberikan rasa nyaman kepada siapa pun yang mendengarnya.

Di ruang tengah, Hana, Umar, dan Aisyah sudah duduk berjajar, menunggu orang tua mereka. Hana, yang kini berusia 15 tahun, sedang membaca buku pelajaran, sementara Umar dengan penuh semangat sedang mengutak-atik alat-alat kayu yang ada di meja. Aisyah, si bungsu yang berusia 8 tahun, tampak menggambar dengan pensil warna di atas kertas.

“Umar, jangan ganggu Aisyah, ya,” Hana memperingatkan dengan nada manja. “Dia lagi asik gambar.”

Umar mengangkat bahunya dan menjawab dengan santai, “Tenang aja, aku nggak ganggu kok.” Tapi matanya tetap tertuju pada alat-alat yang sedang dia perbaiki. Beberapa saat lalu, dia membantu tetangga memperbaiki atap rumah, dan kini dia sedang mencoba membuat sesuatu dari kayu sisa.

“Ayo, Aisyah, kita salat dulu. Jangan lupa, salat subuh itu penting,” kata Nyai Sarah, yang kini telah bergabung di ruang tengah, mengenakan mukena yang putih bersih. Aisyah mengangguk ceria, lalu berlari menuju tempat wudu.

Suasana rumah yang tenang ini terasa sangat sakinah, seolah semuanya berada dalam harmoni. Ustaz Khalid sudah siap untuk berangkat ke masjid, namun sebelum itu, dia meluangkan waktu untuk menatap anak-anaknya. Dengan mata yang penuh kasih sayang, dia berkata, “Hana, Umar, Aisyah, kalian sudah siap? Jangan lupa salat dengan khusyuk ya.”

“Insya Allah, Ayah,” jawab Hana, sambil meletakkan bukunya. Umar hanya mengangguk sambil memegang alat kayunya, sedangkan Aisyah tersenyum lebar, siap untuk berangkat ke masjid.

Mereka salat subuh berjamaah di masjid kecil yang terletak tidak jauh dari rumah mereka. Setiap pagi, Ustaz Khalid selalu memimpin salat subuh dengan penuh keikhlasan. Setiap ayat yang dibacanya seperti mengalir dengan sempurna, menyentuh hati mereka yang mendengarkan. Suara adzan yang dikumandangkan di masjid itu seperti menjadi pengingat bahwa setiap hari adalah kesempatan baru untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Setelah salat, Ustaz Khalid seringkali memberikan pesan-pesan ringan namun penuh makna. “Hana, Umar, Aisyah, ingatlah, kita hanya bisa hidup dengan berkat dari Allah. Jangan lupa, apa yang kita punya saat ini adalah hasil dari doa dan usaha kita,” ujarnya sambil tersenyum kepada anak-anaknya.

Setelah selesai, mereka kembali ke rumah. Nyai Sarah sudah menyiapkan sarapan hangat—nasi uduk dengan lauk sederhana, namun penuh rasa syukur. “Makan dulu, nak,” katanya sambil menyajikan hidangan di meja makan.

Hana mengambil piring dan duduk, “Ibu, hari ini aku ada ulangan matematika. Doakan aku ya.”

“Insya Allah, kamu pasti bisa,” jawab Nyai Sarah dengan penuh keyakinan. “Jangan lupa, tawakal setelah usaha.”

Umar, yang biasanya lebih banyak diam, kali ini angkat bicara, “Ayah, aku kemarin bantu Pak Rahman perbaiki atap rumahnya. Dia bilang, aku jago banget ngebenerin barang-barang rusak.” Senyum bangga muncul di wajahnya, meskipun ia mencoba untuk tetap terlihat santai.

“Alhamdulillah, itu artinya kamu sudah mulai belajar untuk berguna bagi orang lain,” Ustaz Khalid memberikan pujian. “Ingat, kita hidup bukan hanya untuk diri kita sendiri, tapi juga untuk memberi manfaat kepada sesama.”

Aisyah yang masih dengan rambut ikalnya yang lucu, mengangguk ceria, “Aku juga ingin jadi seperti Kak Hana dan Kak Umar. Aku pengen jadi anak yang baik.”

Nyai Sarah menatap Aisyah dengan penuh kasih, “Aisyah sudah sangat baik, nak. Teruslah berbuat baik kepada orang lain, ya.”

Mereka semua melanjutkan makan bersama. Di tengah kehangatan makan pagi itu, setiap kata yang diucapkan terasa begitu penuh makna. Tidak ada yang berlebihan, tetapi setiap perbuatan, setiap kalimat, terasa menyentuh. Keluarga ini, meski hidup dalam kesederhanaan, selalu merasa diberkahi.

Namun, di luar rumah, dunia terus berputar dengan segala permasalahannya. Setiap keluarga pasti menghadapi tantangan. Seperti keluarga ini, di mana ujian selalu datang untuk menguatkan. Mereka tidak tahu apa yang akan datang, tapi mereka tahu satu hal—selama mereka bersama, mereka akan selalu saling mendukung dan mengingatkan dalam kebaikan.

Dan untuk keluarga Ustaz Khalid, hari itu adalah hari yang penuh berkah. Namun mereka tak tahu, ujian besar akan segera datang, menguji kesabaran mereka lebih dari sebelumnya. Tetapi, seiring berjalannya waktu, mereka akan selalu mengingat apa yang menjadi pedoman hidup mereka—iman, doa, dan cinta yang tulus.

 

Meja Makan yang Menyatukan

Seperti biasa, hari-hari keluarga Ustaz Khalid di desa Nuralia berlalu dengan penuh kedamaian. Setiap pagi dimulai dengan doa, setiap sore diakhiri dengan kebersamaan. Namun, hari itu, ada sesuatu yang berbeda. Di meja makan, Ustaz Khalid dan Nyai Sarah menyadari bahwa anak-anak mereka semakin besar, dan semakin banyak hal yang perlu diajarkan.

Hana, yang semakin dewasa, mulai menunjukkan ketertarikannya pada pelajaran agama lebih mendalam. Ia mulai banyak bertanya tentang tafsir Al-Qur’an dan kisah-kisah para nabi yang belum ia pelajari di sekolah. Umar yang ceria dan penuh ide, mulai menunjukkan bakatnya dalam membuat berbagai peralatan dari kayu, sedangkan Aisyah—meski masih muda—memiliki keinginan untuk membantu ibu di dapur, menunjukkan rasa ingin tahunya terhadap dunia di sekitar.

Pagi itu, seperti biasa, mereka semua duduk di meja makan. Namun, kali ini Ustaz Khalid menyadari betapa pentingnya momen ini untuk mendekatkan mereka lebih lagi, untuk lebih memperkuat ikatan keluarga mereka.

“Sarah, aku rasa kita perlu lebih banyak waktu bersama sebagai keluarga. Hana sudah semakin besar, Umar juga banyak belajar dari orang-orang di sekitar, dan Aisyah… Aisyah pun semakin cerdas,” Ustaz Khalid memulai percakapan setelah mereka semua mulai menikmati sarapan yang disiapkan oleh Nyai Sarah.

“Betul, Khalid. Kita harus memastikan, meskipun anak-anak sibuk dengan kegiatan mereka, mereka tetap merasa dekat dengan kita, terutama dalam hal-hal yang menguatkan iman,” jawab Nyai Sarah dengan bijak. Ia memperhatikan ketiga anaknya yang sedang makan dengan lahap. “Apalagi sekarang, Hana sudah mulai sering bertanya tentang makna ayat-ayat Al-Qur’an, dan itu menunjukkan betapa ia serius dalam memperdalam ilmu agamanya.”

Hana yang mendengar percakapan itu, langsung meletakkan sendoknya dan menyahut, “Iya, Bu. Aku ingin sekali bisa memahami lebih banyak tentang makna kehidupan yang ada di dalam Al-Qur’an. Aku ingin tahu bagaimana cara menyeimbangkan ilmu dunia dan agama.” Matanya berbinar, menunjukkan keseriusannya.

Ustaz Khalid tersenyum bangga mendengar jawaban anak sulungnya. “Hana, itu hal yang sangat baik. Tetapi ingat, ilmu bukan hanya datang dari buku atau guru. Ilmu juga datang dari pengalaman hidup, dan dari bagaimana kita berinteraksi dengan sesama. Apa yang kita pelajari harus menjadi bekal untuk mendekatkan kita kepada Allah.”

Mereka semua terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Ustaz Khalid. Di antara keheningan itu, Umar tiba-tiba berkata, “Ayah, aku punya ide. Bagaimana kalau aku dan Hana membuat proyek kecil di halaman rumah? Aku akan buatkan alat sederhana untuk menyiram tanaman, dan Hana bisa ajarkan aku tentang ayat-ayat yang relevan tentang alam.”

Nyai Sarah terkekeh, “Kalian berdua memang selalu kreatif. Itu ide bagus, Umar. Hana, kamu bisa membantu adikmu belajar tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan ciptaan Allah. Itu cara yang baik untuk mengajarkan mereka tentang kebesaran Tuhan.”

Hana mengangguk. “Aku akan ajarkan kalian. Alam ini penuh dengan petunjuk dari Allah, jadi setiap kali kita melihat ciptaan-Nya, kita bisa merenungkan betapa besar kekuasaan-Nya.”

Aisyah, yang sejak tadi mendengarkan sambil menggambar, tiba-tiba mengangkat tangannya dengan polos, “Aku juga mau ikut, Bu! Aku mau belajar juga!”

Nyai Sarah tersenyum lembut dan merangkul Aisyah. “Tentu, Aisyah. Setiap orang di keluarga ini punya peran dan keistimewaannya. Jadi, ayo kita lakukan bersama-sama. Kalian semua adalah anugerah terbesar bagi kami.”

Meja makan yang sederhana itu kembali dipenuhi oleh kebahagiaan yang tulus. Kehangatan yang berasal dari keluarga yang penuh cinta dan perhatian. Meski mereka tidak kaya harta, mereka kaya akan kasih sayang, ilmu, dan doa yang selalu terucap. Dalam setiap tegukan air dan suapan nasi, ada rasa syukur yang mengalir.

Mereka pun melanjutkan sarapan mereka, berbincang dengan ringan tentang kegiatan yang akan dilakukan hari itu. Hana dan Umar merencanakan proyek mereka di halaman rumah, sementara Aisyah meminta untuk membantu ibu di dapur. Ustaz Khalid dan Nyai Sarah mengamati dengan penuh rasa syukur, merasa sangat diberkahi memiliki anak-anak yang tidak hanya berbakat tetapi juga berakhlak mulia.

Di luar rumah, langit mulai cerah, menandakan bahwa hari baru telah dimulai. Keluarga ini, dengan segala kesederhanaannya, menghadapinya dengan penuh semangat, berharap untuk terus diberkahi dalam setiap langkah mereka. Namun, mereka tidak tahu, ujian yang lebih besar sedang menanti. Seiring dengan perjalanan waktu, ujian itu akan datang untuk menguji kesabaran mereka—dan keluarga ini, dengan ikatan yang kuat, akan menemui ujian itu dengan keberanian dan doa yang tak pernah putus.

 

Tumbuh Bersama dalam Doa

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan semakin jelas terlihat betapa keluarga Ustaz Khalid tumbuh bersama dalam ikatan yang semakin kuat. Kegiatan sehari-hari mereka dipenuhi dengan interaksi penuh kasih sayang, dan pelajaran hidup yang mereka terima tidak hanya datang dari buku atau ilmu agama, tetapi juga dari pengalaman dan kebersamaan mereka.

Di halaman rumah, Hana dan Umar sibuk mengerjakan proyek mereka. Hana dengan tekun mengajarkan Umar cara mengidentifikasi ayat-ayat yang berkaitan dengan alam, sementara Umar, dengan penuh semangat, merakit alat penyiram tanaman dari kayu yang dia buat sendiri. Aisyah, si kecil yang penuh rasa ingin tahu, tidak pernah ketinggalan dalam setiap kegiatan. Dia sering kali mendekat dengan senyum ceria, bertanya tentang bunga atau pohon yang ada di halaman rumah.

“Umar, ayat tentang pohon itu bisa ditemukan di Surah An-Nahl, ayat 10, kan?” Hana bertanya dengan antusias, sambil memegang mushaf.

Umar yang sedang memeriksa alat penyiram yang hampir selesai itu mengangguk, “Iya, Hana. Aku sudah tahu itu. Ayatnya bilang kalau pohon itu diberi air dari langit, kan?”

“Betul! Jadi, kita harus selalu bersyukur kepada Allah yang memberi kehidupan pada segala sesuatu, termasuk tanaman yang ada di sekitar kita,” jawab Hana dengan penuh keyakinan.

Di sisi lain, Nyai Sarah sedang sibuk di dapur, memasak hidangan untuk makan siang. Terkadang, suara tawa Aisyah yang riang menggema di luar, seiring dengan pertanyaan-pertanyaannya yang tak ada habisnya tentang alam sekitar. “Ibu, kenapa bunga itu bisa mekar?” tanya Aisyah, dengan wajah penuh penasaran.

Nyai Sarah menoleh, tersenyum, dan menjawab, “Itu adalah salah satu kebesaran Allah, sayang. Allah menciptakan bunga untuk memperindah dunia dan juga sebagai tanda kekuasaan-Nya. Setiap bunga yang mekar adalah bukti bahwa Allah tidak pernah berhenti menciptakan keajaiban.”

Aisyah mengangguk, meskipun masih belum sepenuhnya memahami, tetapi kata-kata ibunya memberikan rasa tenang. Dalam kebersamaannya dengan keluarganya, Aisyah merasakan kasih yang mendalam, dan hatinya pun dipenuhi dengan rasa ingin tahu yang tak terhingga.

Di tengah semua kebahagiaan ini, Ustaz Khalid merasa sangat bersyukur. Setiap hari ia berdoa, memohon agar keluarganya selalu diberkahi, diberi kekuatan untuk terus tumbuh dalam iman dan cinta. Meski kehidupannya sederhana, ia merasakan kedamaian yang luar biasa. “Sarah, aku merasa Allah benar-benar memberkati kita,” kata Ustaz Khalid suatu malam ketika mereka sedang duduk bersama, menatap bintang di langit yang cerah.

“Benar, Khalid. Semua ini adalah anugerah dari Allah. Aku merasa setiap detik yang kita lewati bersama adalah berkah yang luar biasa. Ketika kita terus berusaha menjaga keluarga ini dengan penuh kasih dan iman, Allah akan selalu menunjukkan jalan-Nya,” jawab Nyai Sarah dengan penuh ketenangan.

Hana yang mendengar percakapan mereka, mengangkat wajahnya dari buku yang ia baca, dan berkata dengan suara lembut, “Ayah, Ibu, aku ingin jadi orang yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Aku ingin ilmu yang aku pelajari bisa membawa kebaikan, seperti yang Ayah ajarkan.”

Umar, yang dari tadi mendengarkan dengan serius, menimpali, “Aku juga, Ayah. Aku ingin bisa membuat sesuatu yang berguna, seperti alat penyiram tanaman ini, dan aku berharap bisa memberi manfaat bagi orang lain. Aku ingin terus belajar dan berkembang.”

Nyai Sarah tersenyum bangga mendengar ucapan anak-anaknya. “Kalian sudah berada di jalan yang benar. Ingatlah, apa yang kalian lakukan dengan niat baik, insya Allah akan menjadi amal jariyah yang terus mengalir pahalanya.”

Malam itu, setelah makan malam bersama, mereka semua berkumpul di ruang tamu untuk salat berjamaah. Ustaz Khalid menjadi imam, dengan suara lembutnya yang menyejukkan hati. Setiap bacaan doa dan dzikir terasa begitu dekat di hati mereka. Dalam kebersamaan itu, mereka merasa seolah-olah dunia hanya milik mereka, dan semua yang mereka lakukan—baik itu belajar, bekerja, atau beribadah—adalah wujud syukur mereka kepada Allah.

Namun, di balik semua kebahagiaan yang mereka rasakan, hidup tidak selalu berjalan mulus. Ujian demi ujian datang dengan cara yang tidak terduga. Dalam ketenangan yang mereka nikmati, ada kekhawatiran yang perlahan tumbuh di dalam hati mereka. Masalah-masalah kecil mulai muncul, dan meskipun mereka sudah berusaha menjaga hubungan dalam keluarga dengan penuh kasih, ujian itu tetap datang.

Salah satunya adalah ujian dari luar, yang datang dengan cara yang tidak terduga. Ada seorang tetangga yang sedang mengalami kesulitan, dan hal ini membawa ujian baru bagi keluarga Ustaz Khalid. Namun, meskipun ada kekhawatiran yang muncul, Ustaz Khalid dan Nyai Sarah tahu bahwa yang terpenting adalah menjaga ikatan keluarga ini tetap kuat.

Dengan doa dan keyakinan, mereka siap menghadapi ujian itu bersama-sama. Mereka tahu, selama mereka tetap berpegang pada iman, saling mendukung, dan selalu bersyukur atas segala yang ada, maka segala ujian itu pasti bisa mereka lewati.

Di bawah naungan doa, keluarga ini akan terus tumbuh dan berkembang, membangun masa depan yang penuh berkah dan harapan.

 

Kekuatan dalam Kebersamaan

Pagi itu, sinar matahari menyelinap lembut melalui celah jendela rumah sederhana milik keluarga Ustaz Khalid. Udara pagi yang segar menyapu seisi rumah, membawa ketenangan yang menyelimuti hati. Keluarga ini, meskipun sederhana, merasakan kedamaian yang luar biasa, yang jauh lebih bernilai dari segala kekayaan duniawi.

Ujian yang datang pada keluarga ini, meskipun awalnya terasa berat, telah membentuk mereka menjadi lebih kuat. Masalah dengan tetangga yang mereka bantu beberapa waktu lalu, meski penuh tantangan, justru membawa kebersamaan yang lebih dalam. Keluarga Ustaz Khalid semakin erat, semakin memahami betapa pentingnya saling mendukung dalam suka dan duka.

Di halaman belakang rumah, Hana dan Umar sedang sibuk merawat tanaman yang mereka tanam. Proyek yang dulu dimulai sebagai sebuah percakapan ringan, kini menjadi kebiasaan rutin mereka. Tanaman-tanaman yang mereka rawat bersama tumbuh dengan baik, seiring dengan pertumbuhan mereka dalam ilmu dan akhlak. Aisyah, dengan wajah cerianya, seringkali membantu dengan memberikan air pada tanaman, meskipun masih banyak yang harus ia pelajari tentang cara merawatnya.

“Ayah, Ibu, lihat! Tanaman kami mulai berbuah!” Umar berteriak gembira, menunjukkan hasil kerja keras mereka.

Ustaz Khalid dan Nyai Sarah datang menghampiri, tersenyum bangga melihat buah-buahan yang mulai muncul di tanaman yang mereka rawat dengan penuh kasih.

“Alhamdulillah,” ucap Ustaz Khalid, “Ini semua adalah hasil dari usaha dan doa kita. Kita merawat tanaman ini, seperti kita merawat hubungan kita dengan Allah dan sesama. Semua yang kita lakukan dengan ikhlas, insya Allah akan membuahkan hasil yang baik.”

Hana, yang tengah memeriksa tanaman lainnya, menambahkan, “Dan hasil ini juga mengingatkan kita untuk selalu bersyukur. Kita diberi kesempatan untuk belajar, berkembang, dan membantu orang lain. Sebagaimana tanaman ini tumbuh, begitu juga kita harus terus tumbuh dalam iman dan ilmu.”

Nyai Sarah yang mendengar percakapan itu, dengan lembut berkata, “Betul, Hana. Keluarga ini adalah ladang yang harus kita rawat bersama. Kita tanamkan nilai-nilai kebaikan, cinta, dan kasih sayang di dalamnya. Dan setiap biji yang kita tanam, akan tumbuh menjadi pohon yang kuat dan memberi manfaat.”

Suasana di halaman belakang rumah itu penuh dengan kebahagiaan. Ada tawa, ada obrolan ringan, tetapi di balik semua itu ada kedalaman yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Keluarga ini memahami betul bahwa kebahagiaan sejati datang bukan dari apa yang mereka miliki, tetapi dari bagaimana mereka saling mendukung, menjaga, dan beribadah bersama.

Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, mereka saling berbagi cerita, bercengkerama, dan bersyukur atas segala yang mereka miliki. Meskipun ujian hidup tidak berhenti datang, mereka tahu bahwa selama mereka menjaga ikatan ini, selama mereka terus berpegang pada iman dan saling menguatkan, maka mereka akan mampu melewati apapun yang datang.

Keluarga Ustaz Khalid adalah contoh nyata dari sebuah keluarga yang berusaha mewujudkan visi keluarga sakinah mawaddah warahmah. Mereka tahu, kebahagiaan sejati tidak hanya ditemukan dalam dunia ini, tetapi juga dalam persatuan hati, dalam doa yang terus terucap, dan dalam cinta yang saling mengalir tanpa henti.

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, mereka berkumpul bersama untuk salat berjamaah, menutup hari dengan doa yang penuh harapan. Ustaz Khalid menjadi imam, dan semua orang—Hana, Umar, Aisyah, dan Nyai Sarah—berdoa bersama, memohon agar keluarga mereka selalu dilimpahi berkah dan dijaga oleh Allah.

Dengan hati yang penuh kedamaian, mereka mengakhiri malam itu dengan penuh rasa syukur. Mereka tahu, kehidupan ini tidak akan selalu mulus, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak pernah sendiri. Kekuatan mereka terletak pada ikatan keluarga yang kuat, pada kasih sayang yang tulus, dan pada doa yang tidak pernah putus.

Di luar sana, bulan mulai tampak di langit malam, memberi cahaya yang lembut dan tenang. Keluarga ini, meski dalam kesederhanaan, adalah cahaya bagi satu sama lain. Mereka adalah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah—keluarga yang selalu diberkahi dalam setiap langkah hidupnya.

Dan dengan itu, mereka melanjutkan perjalanan hidup mereka, penuh harapan, dengan doa yang tak pernah berhenti, selalu berharap untuk menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat, tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk orang lain.

 

Dan begitu deh, cerita tentang keluarga yang penuh cinta, saling mendukung, dan selalu berdoa buat kebahagiaan bersama. Semoga cerpen ini bisa ngasih inspirasi buat kita semua, biar semakin sadar kalau keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah itu bukan cuma impian!

Tapi bisa banget diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, semoga kita semua bisa jadi bagian dari keluarga yang saling menguatkan dan diberkahi. Sampai ketemu di cerita selanjutnya, ya!

Leave a Reply