Daftar Isi
Jadi gini, pernah nggak sih kamu ngerasa dekat banget sama seseorang, tapi karena satu dan lain hal, kalian harus berpisah? Gak harus selalu karena masalah besar, kadang cuma karena waktu, atau emang udah waktunya.
Cerpen ini bakal bawa kamu ngerasain kekecewaan cicak, nyamuk, dan semut yang udah lama jadi sahabat, tapi akhirnya harus menghadapi kenyataan kalau mereka nggak bisa terus bareng. Aneh? Iya, tapi seru dan lucu juga kok, jadi siap-siap deh buat terhanyut sama cerita ini!
Cerpen Kekecewaan dalam Persahabatan
Lampu Dapur dan Janji Malam
Setiap malam, di sudut rumah yang sepi, sebuah cahaya kuning dari lampu dapur menyinari tiga makhluk kecil yang sudah menjadi sahabat sejak lama. Di bawah cahaya itu, Ziro, Rumi, dan Kibo selalu menemukan tempat untuk berbincang, berbagi cerita, atau sekadar menikmati kehadiran satu sama lain.
Ziro, si cicak, terletak nyaman di dinding dekat rak piring, dengan ekornya yang melambai-lambai. Dia selalu suka berada di tempat yang lebih tinggi, memberi pandangan luas tentang segala sesuatu. Matanya yang besar dan bijak mengamati dunia sekitarnya dengan penuh ketelitian. Rumi, si nyamuk, terbang berputar-putar di sekitar cahaya, sayapnya bergetar cepat. Kadang ia mendarat di kepala Ziro, terkadang hanya berputar di udara seperti tarian yang tak berujung. Sementara Kibo, si semut kecil, sibuk mengumpulkan remah-remah yang ia temukan di lantai, matanya menyala-nyala penuh semangat.
“Pernah nggak sih kalian ngerasa kalau semua ini cuma sementara?” tanya Ziro, tiba-tiba. Suaranya tidak kasar, tapi ada kekhawatiran yang tersirat di dalamnya.
Rumi berhenti berputar dan mendarat di dekat Ziro, sayapnya sedikit terkulai. “Maksud kamu apa?” tanyanya, matanya yang bulat memandang dengan rasa ingin tahu.
Ziro menghela napas pelan, menggoyangkan ekornya. “Aku cuma berpikir… Kita sudah lama bareng, kan? Selalu ada di sini, di bawah lampu ini. Tapi bagaimana kalau nanti kita terpaksa berpisah?”
Kibo, yang sejak tadi sibuk membawa remah roti, mendengus. “Aduh, Ziro. Jangan pikirin yang aneh-aneh gitu deh. Kita kan selalu bisa cari tempat lain, yang lebih aman.” Ia meletakkan remah roti di depan mereka, seolah-olah untuk menyegarkan suasana. “Kita ini sahabat. Apa pun yang terjadi, pasti kita bisa bareng.”
Rumi tertawa kecil, meski ada kesan sedih di suaranya. “Bareng… Kalau kita tetap bisa bareng.” Ia melayang rendah, dekat dengan Kibo, menatap remah roti itu. “Lihat, Kibo sudah dapat remah besar. Apa kamu pikir kita akan selalu di sini, Ziro? Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti.”
Ziro diam, menatap Rumi yang sedang menggerakkan sayapnya dengan lesu. “Aku tahu… Tapi kadang aku merasa, kita nggak akan bisa bertahan selamanya di sini. Rumah ini penuh dengan bahaya.”
Kibo mengangguk, mencoba mencerna kata-kata Ziro. “Manusia itu kan suka aneh, Ziro. Mereka nggak ngerti kalau kita juga butuh tempat. Kalau ada pembasmi serangga baru, kita bisa berakhir jadi makanan mereka.”
Ziro merasa terdiam. Ia merayap lebih dekat ke dinding, matanya memandang keluar jendela kecil yang terbuka sedikit. Cahaya dari luar menerobos masuk, menggambarkan dunia yang jauh dari tempat mereka berada. “Apa kita harus mulai mencari tempat baru, tempat yang lebih aman?”
Rumi terbang mendekat, mengganggu pikirannya yang muram. “Kamu sih, Ziro. Nggak perlu mikir sampai sejauh itu. Kita kan punya tempat ini, kita kan punya satu sama lain. Mungkin memang ada bahaya, tapi apa kita harus takut?”
Kibo melirik Rumi dan Ziro, lalu berkata pelan, “Aku sih suka kalau kita bisa terus seperti ini. Tapi Ziro, kalau kamu mikir kita harus pindah, ya, kita harus siap. Kita nggak bisa terus-terusan di sini.”
Semua diam. Hanya ada suara malam yang perlahan memasuki rumah. Ziro menundukkan kepala. Ia tahu, meskipun kata-kata Kibo menyentuh hatinya, ia juga merasa ada kebenaran dalam kata-kata Rumi. Bahaya selalu datang, dan rumah ini—tempat yang selama ini terasa aman—akan terus berubah.
“Bagaimana kalau kita tetap bareng, di sini, sampai kita benar-benar nggak bisa lagi?” Ziro akhirnya mengusulkan, suaranya lebih lembut, lebih hati-hati. “Kalau memang harus pergi, kita pergi bareng. Tapi kalau masih bisa, kita coba bertahan.”
Kibo mengangguk cepat. “Aku setuju. Kita tetap bertahan di sini. Kalau ada masalah, kita cari cara untuk menghadapinya bersama.”
Rumi terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. “Baiklah. Kalau begitu, mari kita nikmati malam ini. Kita bertiga bareng lagi.”
Dan malam itu pun kembali berjalan seperti biasa. Ketiganya berkumpul di bawah lampu dapur, di tempat yang sudah menjadi rumah bagi mereka. Walau ada kekhawatiran di hati mereka, ada juga kebersamaan yang tak terhingga.
Ziro tahu, mungkin keputusan untuk tetap bersama itu tak akan mudah. Namun selama mereka masih bisa berbagi tawa, selama mereka masih bisa saling menjaga, perpisahan itu bisa ditunda. Meski kadang, di dalam hati mereka, ada rasa takut dan kecewa yang mulai mengendap—perasaan bahwa suatu hari nanti, mereka harus berpisah. Tapi bukan malam ini.
Malam ini, mereka tetap bertiga.
Bisik Angin Perpisahan
Malam-malam setelah keputusan itu terasa lebih sepi, meskipun ketiganya masih berkumpul di bawah lampu dapur yang sama. Ziro, Rumi, dan Kibo tidak lagi banyak berbicara tentang perpisahan atau bahaya yang mengancam. Mereka lebih memilih untuk melanjutkan kebiasaan mereka, bercengkerama sambil menikmati malam yang tenang. Namun, semakin lama, perasaan yang terpendam semakin nyata, seperti bayangan yang tak bisa dihindari.
Rumi, yang dulu selalu ceria dan penuh energi, mulai sering menghilang setelah beberapa waktu. Ziro dan Kibo merasa ada yang berbeda. Kadang-kadang Rumi muncul di tengah malam, namun dengan tatapan yang lebih kosong, tidak seperti biasanya. Ziro pun semakin gelisah, tak bisa mengabaikan perubahan itu.
“Rumi, kamu kemana aja tadi?” tanya Ziro suatu malam ketika Rumi akhirnya muncul setelah beberapa jam. Sayap Rumi tampak sedikit lelah, dan ada garis keletihan di matanya yang tidak biasa.
“Aku… cuma terbang sebentar,” jawab Rumi singkat, meskipun Ziro bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang ia sembunyikan. “Cahaya lampu jalan itu menarik, Ziro. Aku hanya ingin menikmati sejenak.”
Ziro mengangkat alis. “Kamu nggak merasa aneh dengan itu? Kau terlalu sering pergi sekarang.”
Rumi menggelengkan kepala, meskipun terlihat ragu. “Nggak, kok. Aku cuma… menikmati malam.”
Kibo yang mendengarnya dari kejauhan menghampiri mereka. “Rumi, kamu nggak merasa kita sudah punya tempat yang aman di sini? Kenapa harus pergi ke luar? Kita lebih baik di sini, kan?”
Rumi tersenyum tipis, meskipun senyum itu terasa kosong. “Kadang, aku merasa lebih bebas di luar sana. Kalau di sini, ada banyak hal yang membuatku terkurung. Aku cuma ingin terbang tanpa ada yang mengikatku.”
Kibo menghela napas, merasa bingung. “Kamu nggak takut? Bukannya lebih aman di sini, di dekat kita? Kenapa harus terbang sendirian, jauh dari kami?”
Rumi terdiam beberapa saat, lalu akhirnya berkata dengan suara pelan, “Kadang aku merasa… kita nggak akan selamanya seperti ini. Semua ini hanya sementara. Kalau kita tetap bertiga, kita akan terjebak. Manusia itu bisa datang kapan saja dan menghancurkan semuanya. Jadi, lebih baik aku cari tempat yang jauh dari mereka.”
Ziro terkejut mendengar kata-kata itu. “Kamu… berencana untuk pergi?” tanyanya, dengan nada tidak percaya.
Rumi tidak langsung menjawab. Ia berputar-putar di udara, melayang dengan sayapnya yang mulai rapuh. “Aku nggak tahu. Aku hanya merasa bahwa kebersamaan kita ini… bukan hal yang bisa bertahan selamanya. Tapi… kita lihat saja nanti.”
Ziro merasakan sebuah kekosongan yang mulai mengisi dadanya. Ia tahu, meskipun mereka sudah berusaha untuk bertahan bersama, tak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi. Kehidupan mereka terlalu rapuh, terlalu penuh dengan ancaman dari luar.
Kibo, yang biasanya sangat ceria, tampak lebih serius malam itu. “Jadi, kamu benar-benar akan pergi, Rumi? Kita sudah sepakat untuk tetap bareng, kan?”
Rumi menatap Kibo dengan tatapan yang sulit dimengerti. “Aku nggak bisa terus bertahan di tempat ini kalau aku merasa terjebak. Aku butuh lebih dari ini.”
Suasana menjadi hening. Ziro merasa ada sesuatu yang telah berubah di antara mereka. Mungkin ini adalah saat di mana mereka harus menghadapi kenyataan bahwa kebersamaan mereka memang tak bisa bertahan selamanya.
“Aku paham,” kata Ziro akhirnya, walaupun kata-katanya terasa berat. “Tapi ingat, Rumi… apa pun yang terjadi, kita tetap sahabat. Jangan lupa itu.”
Rumi tersenyum, meskipun ada kesedihan di balik senyumnya. “Aku nggak akan lupa, Ziro. Aku cuma… butuh waktu untuk mencari tempat yang lebih baik.”
Ketiganya terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tak ada yang tahu berapa lama mereka masih bisa bersama, atau apakah perpisahan itu memang sudah tak terhindarkan. Semua perasaan itu bercampur aduk dalam hening malam, seakan angin yang berbisik membawa kabar yang tak diinginkan.
Sejak malam itu, Rumi mulai lebih sering menghilang, dan Ziro serta Kibo hanya bisa saling bertukar pandang, menyadari bahwa apa yang mereka takutkan akhirnya datang. Mereka tak bisa memaksa Rumi untuk tetap tinggal, dan mereka juga tak bisa menghalangi perasaan Rumi yang sudah jauh. Mungkin kebersamaan mereka memang hanya bisa bertahan selama ini.
Namun, di dalam hati mereka, ada harapan kecil yang tak mau padam. Harapan bahwa meskipun perpisahan itu datang, mereka masih bisa menemukan jalan untuk bersama. Karena, seperti yang Ziro katakan, persahabatan itu tak akan pernah hilang begitu saja, meskipun dunia di sekitar mereka berubah.
Hujan yang Menguji
Malam semakin larut, dan ketiganya kembali berkumpul di tempat yang sama. Cahaya lampu dapur yang selalu hangat kini terasa lebih redup, seperti memantulkan kegelisahan yang merayap pelan di antara mereka. Rumi sudah lama pergi dan belum kembali. Ziro merasa hampa, seperti ada sesuatu yang hilang dari rutinitas mereka yang dulu begitu akrab.
Tiba-tiba, angin malam berhembus kencang, menandakan datangnya hujan. Bukan hanya hujan biasa—ini hujan yang bisa membawa segala macam perubahan. Ziro merayap lebih dekat ke sudut dinding, matanya terus menatap ke luar jendela, mencari tanda-tanda kedatangan Rumi. Tapi ia tidak kunjung muncul.
Kibo, yang sedari tadi memerhatikan Ziro, akhirnya memecah keheningan. “Ziro, kamu nggak pikir kita harus lakukan sesuatu?” suaranya lebih serius dari biasanya. “Aku nggak suka kalau Rumi terus begini. Kita harus cari dia.”
Ziro mengangguk pelan. “Aku juga nggak suka, Kibo. Tapi kita nggak bisa paksa dia. Dia sendiri yang memilih pergi.”
Kibo mengernyitkan dahi. “Dia sahabat kita, Ziro. Kita nggak bisa begitu aja nunggu tanpa bertindak. Kalau ada bahaya yang datang, kita harus siap. Kalau kita nggak berusaha, siapa lagi yang bakal peduli?”
Ziro menatap Kibo, sedikit terkejut dengan ketegasan semut kecil itu. Kibo memang selalu penuh energi, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ada rasa khawatir yang mendalam. “Kamu benar,” akhirnya Ziro mengalah. “Kita harus cari dia.”
Langit yang gelap semakin menakutkan saat hujan mulai turun deras. Angin bertiup dengan kuat, menggerakkan benda-benda di sekitar mereka. Ziro merasakan ketegangan di udara, seolah-olah hujan ini membawa lebih dari sekadar air—ada sesuatu yang lebih besar, lebih menakutkan yang sedang mendekat.
Mereka berjalan perlahan keluar, menyusuri sudut rumah yang gelap. Setiap langkah terasa berat, seperti ada sesuatu yang mencegah mereka untuk bergerak lebih cepat. Ziro berusaha menenangkan dirinya, tetapi hatinya terus berdegup kencang, berpikir tentang Rumi yang entah di mana.
“Rumi! Kamu di mana?” teriak Ziro, suaranya teredam oleh suara hujan. Rumi, meskipun tidak muncul, bisa merasakan keresahan mereka. Ziro dan Kibo tetap mencari, menelusuri sudut-sudut yang tak pernah mereka jelajahi sebelumnya.
Tiba-tiba, sebuah suara lembut menyentak perhatian mereka. “Ziro… Kibo…”
Mereka berdua menoleh, dan dari balik bayangan gelap, sosok Rumi muncul dengan sayap yang basah kuyup. Tubuhnya sedikit terguncang oleh angin, dan matanya terlihat lelah—jauh lebih lelah dari sebelumnya.
“Rumi!” seru Kibo, lari mendekat. “Kamu kenapa? Kenapa nggak bilang kalau kamu pergi ke luar? Kami khawatir banget!”
Rumi hanya tersenyum tipis, meski senyum itu tak lagi terlihat ceria. “Aku cuma… merasa perlu pergi. Ada sesuatu yang harus aku cari di luar sana.” Suaranya terdengar seperti mengandung penyesalan.
Ziro mendekat, matanya menatap Rumi dengan cemas. “Kamu nggak bisa terus begitu, Rumi. Ada banyak bahaya di luar sana. Kita bisa menghadapi semuanya bersama, tapi kalau kamu terus menghindar…”
Rumi menghela napas panjang, menunduk. “Aku tahu… aku cuma nggak ingin membebani kalian. Aku takut, Ziro. Takut kalau kebersamaan ini justru akan membawa kita ke dalam bahaya. Tapi, mungkin aku salah. Aku nggak bisa terus sendirian di luar sana.”
Kibo mengangguk, mendekatkan diri kepada Rumi. “Kamu nggak sendirian, Rumi. Kita selalu ada buat kamu. Jangan pernah merasa kamu harus pergi atau jauh dari kami. Kebersamaan kita lebih kuat daripada ketakutan apapun.”
Hujan yang deras kini mulai mereda, angin pun tidak lagi mengamuk. Suasana sekitar menjadi lebih tenang, meski hati ketiga sahabat itu masih dipenuhi kekhawatiran. Namun, ada sedikit ketenangan yang muncul, melihat Rumi kembali ke sisi mereka.
Ziro, yang sejak tadi diam, akhirnya berkata dengan lembut, “Kadang, kita semua memang merasa cemas akan masa depan. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi, apa yang bakal menanti kita. Tapi satu hal yang pasti, kita nggak akan pernah sendirian. Tidak dengan sahabat sejati.”
Rumi menatap Ziro, ada sedikit air mata yang terbersit di matanya, tapi ia tersenyum, meskipun itu senyum yang penuh kelelahan. “Terima kasih, Ziro. Terima kasih, Kibo. Kalian benar. Aku nggak bisa terus begini. Aku butuh kalian.”
Dengan kata-kata itu, mereka kembali berjalan bersama. Langit yang cerah mulai menggantikan mendung yang gelap, memberikan harapan baru di tengah perjalanan mereka yang penuh ketidakpastian.
Namun, meskipun hujan telah reda dan langit kembali terang, Ziro, Rumi, dan Kibo tahu bahwa ujian mereka belum selesai. Mereka hanya bisa berharap bahwa kebersamaan ini akan cukup kuat untuk menghadapi apa pun yang datang ke depan—baik itu bahaya, ataupun perpisahan yang tak bisa dihindari. Tetapi, saat itu, di tengah malam yang tenang, mereka kembali bersama, dan itu sudah cukup untuk memberi mereka sedikit ketenangan.
Langit yang Tak Selalu Cerah
Meskipun angin sudah tenang, Ziro merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kecemasan atau ketakutan. Ketiganya kembali ke tempat biasa, di bawah cahaya lampu dapur yang redup. Namun, ada perasaan yang terus mengganggu, seperti ada sesuatu yang tengah menunggu untuk datang.
Rumi, meski sudah kembali, tampak semakin diam. Ia tidak lagi tertawa seperti dulu, tidak lagi menceritakan kisah-kisahnya dengan semangat yang biasa mengisi malam mereka. Kibo juga mulai merasakan perubahan itu, meski ia berusaha keras untuk tetap ceria dan mengajak mereka bercanda.
Tapi malam ini, semuanya terasa berbeda. Mereka bertiga duduk diam, hanya suara hujan yang masih terdengar di luar, saling bersaing dengan detak hati mereka yang penuh keraguan. Waktu seakan berhenti, membiarkan ketiganya tenggelam dalam pemikiran masing-masing.
Akhirnya, Ziro tak bisa menahan perasaannya lagi. Ia bangkit dan berjalan mendekati jendela, menatap langit malam yang kini terlihat begitu luas, seolah-olah memberikan jawaban yang tak dapat ia temukan. “Rumi… Kibo,” panggil Ziro pelan. “Kita sudah terlalu lama terjebak dalam ketakutan akan masa depan. Tapi apakah kita benar-benar siap menghadapi apa pun yang datang? Apa kita bisa tetap bersama meskipun kita tahu bahwa kebersamaan ini tidak akan selamanya?”
Rumi yang sejak tadi diam, akhirnya menatap Ziro. “Aku… aku takut, Ziro. Aku takut kalau kita tidak bisa menghadapi apa pun setelah ini. Aku takut kita akan kehilangan satu sama lain. Itu yang paling aku takuti.”
Kibo yang mendengarnya segera mendekat, meletakkan tangan kecilnya di bahu Rumi. “Kamu nggak sendiri, Rumi. Kami ada di sini. Apa pun yang terjadi, kita pasti bisa menghadapi semuanya bersama. Kita lebih kuat daripada ketakutan.”
Ziro menghela napas panjang, masih menatap langit. “Aku tahu, Kibo. Tapi ada kalanya aku merasa kita nggak bisa terus begini. Ada kalanya aku merasa jalan kita masing-masing sudah terpisah.”
Rumi mendekat, tangannya menyentuh sayap Ziro dengan lembut. “Ziro… aku paham. Terkadang kita merasa seperti kita hanya bertahan dalam kebersamaan, bukan karena kita benar-benar ingin bersama, tapi karena kita takut kehilangan. Aku juga merasa begitu.”
Ziro menatap Rumi dan Kibo bergantian, merasakan kehangatan dari keduanya, meskipun perasaan di dalam dirinya semakin berat. “Mungkin kita harus menerima kenyataan bahwa hidup itu penuh dengan perpisahan. Kita nggak bisa selamanya bersama. Tapi apa yang penting adalah kenangan yang kita buat bersama selama ini.”
Rumi mengangguk pelan. “Benar. Meskipun perpisahan itu menyakitkan, kenangan yang kita bagi akan tetap ada. Dan kita akan selalu mengingat semua kebersamaan yang telah kita alami.”
Kibo tersenyum kecil, meskipun ada sedikit kesedihan yang terlihat di matanya. “Dan kalau pun kita terpisah nanti, kita tetap bisa menemukan cara untuk bertemu lagi. Dunia ini cukup besar untuk itu.”
Ziro tersenyum tipis, meski masih ada rasa tidak pasti yang menghantui. “Ya, kita mungkin akan berpisah suatu saat nanti. Tapi aku percaya, kita akan selalu menemukan cara untuk kembali bersama.”
Hujan yang sebelumnya deras kini benar-benar berhenti. Langit malam yang gelap perlahan berubah menjadi cerah, menyelimuti dunia dengan ketenangan yang baru. Tidak ada lagi kekhawatiran atau rasa takut yang menghalangi mereka. Meskipun masa depan masih samar, ketiganya tahu satu hal yang pasti—persahabatan mereka, meski penuh dengan kebimbangan, tetap kokoh dan tak akan pernah hilang.
Rumi, Ziro, dan Kibo duduk kembali bersama, menatap langit yang tak lagi gelap. Mereka tahu bahwa perpisahan itu mungkin akan datang, tapi mereka juga tahu bahwa kenangan yang mereka bagi akan tetap abadi. Seperti langit yang meskipun kadang gelap, selalu ada harapan untuk pagi yang baru.
Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi besok, tetapi untuk malam ini, mereka merasa cukup bahagia. Cukup damai, di tengah segala ketidakpastian.
Dan meskipun perjalanan mereka belum selesai, mereka tahu bahwa kebersamaan ini, meski singkat, akan selalu ada di hati mereka. Sebab kadang, kita tidak perlu tahu apa yang akan terjadi besok, yang penting adalah kita bisa menjalani hari ini dengan orang-orang yang kita cintai.
Jadi, meskipun kadang persahabatan itu diuji dengan kekecewaan dan perpisahan, kita tetap nggak bisa menutup mata kalau kenangan indah itu yang justru bakal bertahan lama.
Kayak cicak, nyamuk, dan semut ini, mereka mungkin nggak selalu bareng, tapi persahabatan mereka nggak bakal hilang begitu aja. Jadi, siapa tahu kan, meskipun kita harus berpisah, kita tetap punya cara buat bertemu lagi.