Cerpen Kehilangan Ibu: Perjalanan Emosional Menuju Harapan dan Kekuatan

Posted on

Siapa sih yang bisa siap buat kehilangan orang yang paling kita cintai? Cerpen ini bakal bawa kamu ngerasain gimana rasanya berjuang ngadepin hidup setelah kehilangan ibu.

Semua yang kamu pernah kenal dan cintai rasanya hancur, tapi ada saatnya kamu mulai nyadar, hidup nggak bisa berhenti cuma karena kesedihan. Yuk, ikutin perjalanan Aira, yang meski sempat terpuruk, mulai menemukan harapan di tengah gelapnya dunia.

 

Cerpen Kehilangan Ibu

Jejak Kehilangan di Setiap Sudut Rumah

Aira duduk di ambang pintu kamar ibu. Tak ada yang berubah di sana, kecuali dirinya. Lemari pakaian yang masih teratur rapi, rak buku yang penuh dengan koleksi novel kesukaan ibu, dan meja rias dengan cermin besar yang selalu memantulkan wajah ibunya yang penuh kasih. Semuanya terasa seperti baru kemarin, padahal sudah hampir sebulan ibu pergi. Setiap sudut rumah kini terasa seperti bagian dari kenangan yang tak bisa dilupakan.

Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan detakan jantungnya yang semakin cepat. Rumah ini tak pernah terasa sepiku ini sebelumnya. Semua suara yang dulu hadir—suara langkah ibu, canda tawa di ruang makan, hingga aroma masakan yang memenuhi rumah—sekarang menghilang begitu saja. Hanya ada keheningan yang mengisi setiap ruangan. Bahkan di pagi hari, ketika Aira terbangun, semuanya terasa seperti dimulai tanpa arah.

Pagi itu, dia keluar dari kamar dengan langkah yang berat. Matahari sudah tinggi, tetapi hari tetap terasa suram. Aira menuruni tangga dengan perlahan, tangan terayun di samping tubuh, seperti tak ada semangat untuk memulai hari. Tiba di ruang tamu, matanya langsung tertumbuk pada kursi favorit ibu yang kosong. Kursi itu dulu selalu ada ibu, menunggu untuk menyambut Aira sepulang sekolah. Sekarang, kursi itu hanya kosong, tak ada ibu di sana, hanya bayangannya yang menghantui.

Aira meremas ujung gaunnya yang sudah lusuh. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” gumamnya, hampir tak terdengar. Setiap hari sejak ibu pergi, pikirannya selalu kembali pada satu pertanyaan yang sama. Dunia terasa seperti kehilangan fondasi. Dia merasa terombang-ambing di tengah hidup yang hampa, mencari pegangan yang tak pernah ditemukan.

Langkahnya terhenti ketika ia melihat foto keluarga yang terpasang di dinding. Itu adalah foto lama, saat mereka berlibur ke pantai beberapa tahun lalu. Ibu tersenyum lebar, begitu bahagia. Aira menatap foto itu, dan untuk sesaat, ia merasa seperti bisa mendengar suara ibu memanggil namanya, “Aira, nak, jangan lupa senyum.” Tapi suara itu hanya ada di dalam pikirannya. Ia menyentuh bingkai foto itu dengan perlahan, merasakan dingin yang menembus ujung jarinya.

Tiba-tiba, pintu depan terbuka, dan kakaknya, Damar, masuk. Damar menyapa Aira dengan senyuman kecil yang dipaksakan, tapi Aira tahu dia juga sedang berusaha untuk tetap tegar. “Aira, sudah sarapan?” tanyanya, suaranya terdengar datar, seakan-akan dia tidak yakin bagaimana harus memulai percakapan dengan adiknya yang sedang berduka.

Aira hanya menggeleng. “Tidak ada selera,” jawabnya pelan. “Aku nggak lapar.”

Damar duduk di sebelah Aira, menatap foto ibu yang sedang digenggam oleh adiknya. “Aku tahu ini berat buat kamu. Tapi kita harus bisa tetap berjalan, Aira. Ibu pasti nggak ingin kita terpuruk seperti ini.”

Aira memandang kakaknya, matanya yang biasanya cerah kini tampak kosong. “Tapi, bagaimana bisa aku melanjutkan hidup tanpa ibu? Dia adalah segalanya buat aku. Tanpa ibu, aku nggak tahu siapa aku lagi.” Suaranya serak, menahan tangis yang kembali datang. Setiap kali ia berbicara tentang ibu, air mata seperti tak bisa ditahan lagi.

Damar menunduk, meremas tangannya di paha. “Aku ngerti, Aira. Aku juga merasa sama. Tapi hidup harus terus berjalan. Ibu nggak ingin kita terus-terusan meratapi kepergiannya, kan?” Damar menyentuh bahu Aira, mencoba memberi kekuatan meski dirinya sendiri sedang merasa rapuh. “Kita harus kuat buat ibu.”

“Aku… aku nggak tahu caranya, Damar,” jawab Aira dengan suara hampir putus asa. “Aku hanya ingin ibu kembali.” Tangannya menggenggam erat benda apapun yang bisa dipegangnya, seakan itu bisa memberikan sedikit kenyamanan.

Damar menarik napas panjang, lalu berdiri. “Aku ngerti perasaan kamu, Aira. Tapi kita nggak bisa hidup dengan terus mencari-cari ibu yang sudah pergi. Kita harus belajar untuk berdiri sendiri, meskipun sulit.” Dengan langkah perlahan, Damar pergi meninggalkan Aira, meninggalkan kesunyian yang hanya bisa dipenuhi oleh rasa sakit yang terus-menerus datang.

Aira tetap duduk di tempat itu, di kursi ruang tamu yang kini terasa begitu asing. Semua kenangan yang datang bertubi-tubi semakin berat untuk dipikul. Dia ingin lari, jauh dari semuanya, jauh dari rasa kehilangan yang begitu menyakitkan. Dia ingin pergi, ingin menghilang dari dunia yang terasa tidak adil ini. Seakan-akan, setiap detik yang berlalu hanya menambah beban di hatinya.

Setelah beberapa saat, Aira berjalan ke arah dapur, membuka lemari es yang kosong. Matanya tertuju pada sebuah botol air mineral, namun perutnya tetap merasa hampa. Di sana, ibu selalu duduk sambil menyiapkan makanan untuk mereka, berbicara tentang hari yang baru mereka lalui, membicarakan segala hal yang tidak penting namun begitu berarti. Ibu selalu punya cara untuk membuat segalanya terasa lebih baik.

Aira duduk di meja makan, menatap kosong ke luar jendela. Hujan mulai turun dengan perlahan, menambah kesan suram di pagi yang sudah kelabu. Di luar sana, dunia tetap berjalan seperti biasa. Orang-orang berlalu-lalang, mobil berisik, suara anak-anak bermain di taman. Namun, semuanya terasa jauh. Tak ada lagi suara ibu yang mengingatkan Aira untuk berhenti sejenak, untuk menikmati keindahan hidup yang terkadang terlupakan.

“Aira, kamu nggak sendirian,” bisiknya dalam hati, berusaha menenangkan diri. Tapi suara hatinya terdengar lebih seperti harapan yang rapuh, lebih seperti suara yang tertelan oleh angin.

Waktu terus berjalan, dan Aira tahu dia harus mencoba bangkit. Namun, saat itu, saat hujan turun begitu deras, dia hanya merasa kosong, seperti semuanya sudah berakhir. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan selain menunggu, menunggu waktu yang mungkin bisa menyembuhkan luka di hatinya. Tapi Aira tahu, luka itu tak akan pernah benar-benar hilang. Yang bisa ia lakukan hanyalah belajar untuk hidup dengannya.

 

Tetes Hujan, Tetes Air Mata

Hari-hari berlalu begitu saja, seperti aliran air yang mengalir tanpa suara. Aira mulai merasa seolah-olah hidupnya adalah sebuah perjalanan yang tak pernah berujung, tanpa arah dan tujuan. Pagi itu, hujan kembali turun dengan deras, menambah kesan suram yang sudah menyelimuti hatinya. Begitu membuka jendela kamarnya, aroma tanah basah menyentuh hidungnya, seakan mengingatkannya pada masa-masa ketika ibu masih ada. Ibu yang selalu menyemangati, ibu yang selalu tahu apa yang harus dilakukan saat cuaca seperti ini.

“Aira, jangan sampai hujan bikin kamu malas, ya. Hidup ini nggak bisa menunggu,” ibu selalu berkata begitu. Namun kini, kata-kata itu hanyalah kenangan yang terlupakan di balik suara rintik hujan yang semakin deras.

Pagi itu, Aira duduk di meja makan, masih dalam keheningan. Damar sudah pergi bekerja, meninggalkan rumah yang sekarang terasa semakin sepi. Bahkan suara tetesan hujan pun seolah tidak cukup untuk mengusir sunyi. Aira menyandarkan kepalanya di meja, memejamkan mata, berusaha untuk menghilangkan segala yang mengganggu pikirannya. Tapi semakin dia mencoba, semakin jelas bayangan ibunya muncul dalam pikirannya.

“Aira,” suara ibu terdengar lembut di telinganya, begitu nyata seolah ibu ada di sampingnya. “Kamu nggak boleh terus-terusan begini, sayang. Kamu harus bangkit.”

Air mata Aira perlahan turun, menetes di atas meja makan. “Ibu…” suaranya serak. “Kenapa kamu pergi? Kenapa nggak ada yang bisa menggantikanmu?” Aira menutup wajahnya dengan kedua tangannya, seakan ingin menghentikan waktu, menghentikan semua perasaan yang menghancurkan hatinya.

Hujan di luar semakin deras, dan tubuh Aira menggigil, meskipun cuaca tidak begitu dingin. Dia merasa kosong, seperti dunia di sekitarnya tidak lagi memiliki makna. Aira merasa dirinya tidak lagi ada. Tidak ada ibu yang menguatkan, tidak ada seseorang yang mengerti betapa besarnya kehilangan ini. Ia hanya merasa tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung.

Tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka dari luar. Aira mengangkat kepala, menghapus air mata yang belum sempat jatuh sepenuhnya. Damar masuk, membawa secangkir teh hangat, seperti biasa. Dia duduk di depan Aira, menatap adiknya dengan pandangan yang penuh keprihatinan.

“Aira, kamu nggak sendirian, oke? Aku masih di sini. Kita bisa melalui ini bersama,” kata Damar pelan, mencoba memberikan kenyamanan.

Aira hanya menatapnya dengan mata kosong. “Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan, Damar. Setiap hari terasa semakin berat. Aku merasa seperti… seperti aku nggak bisa hidup tanpa ibu.” Suaranya bergetar, dan meskipun ia berusaha menahan tangis, akhirnya air mata itu keluar juga.

Damar tidak langsung menjawab. Dia hanya diam sejenak, memegang cangkir teh di tangannya, menatap adiknya yang sedang dilanda kesedihan. “Aira, aku tahu ini berat, lebih berat dari apapun. Tapi kamu harus tahu, meskipun ibu nggak ada, kamu masih punya keluarga. Kamu masih punya aku.” Dia menghela napas dalam-dalam. “Aku tahu, saat ibu pergi, dunia kamu serasa runtuh. Tapi ingat, Aira, meskipun kita kehilangan ibu, kita nggak kehilangan semuanya.”

Aira menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk mengontrol tangis. “Aku nggak tahu… aku nggak tahu bagaimana melanjutkan hidup ini.”

Damar menggerakkan kursinya mendekat. “Aku tahu itu. Tapi kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini. Hidup ini harus terus berjalan, Aira. Ibu nggak mau kamu terpuruk seperti ini.” Dia meraih tangan Aira, menggenggamnya erat. “Aira, kamu harus kuat. Ibu nggak bisa lagi ada untuk kita, tapi kamu masih punya aku. Kita harus bertahan bersama.”

Aira menatap Damar dengan tatapan yang kosong, namun di balik tatapan itu ada rasa harapan yang perlahan mulai muncul. Mungkin, hanya mungkin, ada kehidupan setelah kehilangan. Hanya mungkin, dia bisa belajar untuk melangkah meskipun terasa begitu berat.

Dia menunduk, menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk meredakan emosi yang bergolak dalam dirinya. “Aku nggak tahu, Damar… Tapi aku akan mencoba.”

Damar tersenyum, meskipun senyum itu juga mengandung kepedihan yang sama. “Itu yang aku harapkan dari kamu, Aira. Jangan pernah berhenti mencoba, oke?”

Setelah beberapa saat, Aira bangkit dari kursinya. “Aku harus keluar, berjalan-jalan sebentar. Mungkin itu bisa sedikit membantu.”

Damar mengangguk. “Hati-hati, ya.”

Aira berjalan keluar dari rumah, menatap langit yang masih tertutup awan gelap. Hujan belum berhenti. Namun, meskipun tubuhnya basah oleh air hujan, Aira merasa ada sesuatu yang lain yang menenangkannya. Mungkin karena hujan ini seakan mewakili hatinya yang berantakan, yang terluka. Namun, di tengah-tengah hujan ini, dia bisa sedikit merasa bahwa dia tidak sendirian.

Langkahnya membawa Aira menuju taman kecil di dekat rumah, tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama ibu. Tempat ini, yang kini terasa seperti sebuah kenangan yang menyakitkan. Namun, ketika Aira duduk di bangku taman, menatap hujan yang turun dengan derasnya, dia merasa seolah-olah ibu sedang berada di sini, bersama-sama dalam kesunyian yang tak terucapkan.

“Ibu, aku ingin kamu tahu, aku berusaha. Aku akan berusaha untuk tetap hidup, meski aku nggak tahu bagaimana caranya,” gumam Aira pelan, menyerap setiap tetes hujan yang jatuh di wajahnya, merasa sedikit lebih tenang meskipun hatinya masih terasa hampa.

Namun, di balik kesunyian itu, Aira merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kesedihan. Ada harapan yang perlahan tumbuh di dalam dirinya. Ia tahu, meskipun perjalanan ini berat, ia masih punya waktu. Waktu untuk berjuang, waktu untuk sembuh, dan waktu untuk menemukan kembali cahaya yang hilang.

 

Langkah Perlahan Menuju Cahaya

Hari-hari setelah itu masih berat. Aira tahu, kesedihannya belum sepenuhnya hilang, tetapi ada sedikit perubahan dalam dirinya. Setiap pagi, ia mencoba mengingat kata-kata Damar, bahwa meskipun dunia terasa gelap, dia tidak sendirian. Begitu banyak yang harus dilakukan untuk menjaga dirinya tetap berjalan, dan meskipun langkahnya perlahan, dia mulai merasa sedikit lebih kuat.

Setelah berjalan-jalan di taman semalam, Aira merasa seolah-olah hujan itu memberi sedikit kedamaian pada pikirannya yang kacau. Hari-hari berikutnya dia mulai mencoba untuk menjalani rutinitasnya, meskipun tidak sepenuhnya kembali seperti sebelumnya. Pekerjaan rumah yang semula dianggapnya remeh kini terasa seperti beban berat yang harus diselesaikan, namun ia tahu itu adalah bagian dari proses untuk melanjutkan hidup.

Pada suatu sore yang cerah, Aira duduk di ruang tamu, menatap jendela besar di depan rumah. Sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya. Hujan sudah berhenti, dan sinar matahari mulai menerobos dari balik awan, menciptakan cahaya keemasan yang indah. Itu adalah pemandangan yang selalu disukai ibu, dan Aira merasakan kehadiran ibunya dalam keheningan itu. Senyum ibu yang lembut seolah menyapanya dari dalam kenangan.

Namun, rasa kesepian tetap datang seperti bayangan yang tidak bisa dihindari. Aira merasakan kesendirian yang begitu nyata. Damar sering bekerja, meninggalkan rumahnya untuk mencari nafkah. Kadang, ia merasa sepi, lebih sepi dari biasanya. Terkadang, Aira merasa seolah dirinya tidak ada. Tapi ia tahu, hidup harus terus berlanjut.

Pada suatu hari, Aira memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe kecil di pinggir kota. Tempat yang sering ia kunjungi bersama ibu dulu. Ia ingat, ibu selalu menyukai suasana di kafe itu, karena ada kedamaian yang bisa ditemukan di antara hiruk-pikuk kota yang sibuk. Aira duduk di meja sudut yang biasa mereka tempati, menatap keluar jendela, melihat dunia berjalan dengan ritmenya yang sendiri.

Saat memesan kopi, pelayan kafe yang sudah mengenalnya menyapa dengan ramah. “Aira, masih di sini, ya?” tanyanya. “Apa kabar? Sudah lama nggak lihat.”

Aira tersenyum tipis, meskipun ada perasaan aneh yang menggelayuti hatinya. “Aku baik-baik saja. Hanya… sedikit merindukan ibu,” jawabnya pelan.

Pelayan itu, yang bernama Rina, tampak mengerti. “Ibu selalu ada di sini denganmu, Aira. Setiap kali kamu datang, ibu selalu ada di hati. Jangan lupakan itu.”

Aira hanya mengangguk, merasa sedikit tersentuh dengan kata-kata Rina. Setelah secangkir kopi hangat di depannya, Aira mulai meresapi ketenangan yang ada di sekitarnya. Semua perasaan yang memberatkan hatinya mulai sedikit lebih ringan. Ini bukan solusi, bukan penyembuhan yang instan. Tetapi Aira merasakan ada bagian dari dirinya yang mulai pulih, perlahan-lahan.

Ketika ia sedang termenung, sebuah suara menyapa dari meja sebelah. “Kamu Aira, kan?” suara itu terdengar begitu familiar, dan Aira menoleh dengan perlahan.

Ternyata, itu adalah Raka, teman lama dari sekolah. Mereka tidak terlalu dekat, tetapi sudah lama tidak bertemu. Raka, yang dulu selalu dikenal dengan sifatnya yang ceria, tersenyum lebar ketika melihat Aira.

“Aira! Lama nggak ketemu. Bagaimana kabarmu?” tanyanya dengan penuh kehangatan. Namun, Aira bisa melihat sedikit keprihatinan di matanya.

“Aku baik, kok. Cuma, ya… lagi banyak hal yang harus dipikirin,” jawab Aira sambil memaksakan senyum.

Raka duduk di meja yang kosong di sebelahnya. “Aku dengar kabar soal ibu. Maaf banget, Aira. Aku nggak bisa bayangin bagaimana rasanya,” kata Raka, suaranya pelan dan penuh empati.

Aira menunduk sejenak, berusaha menahan air mata yang hampir saja jatuh. “Terima kasih, Raka. Ini nggak mudah,” jawabnya dengan suara serak. Ia merasa cemas, takut perasaannya terbongkar di depan Raka. Namun, saat melihat ekspresi Raka yang penuh pengertian, Aira merasa sedikit lega.

“Kadang, kita nggak tahu apa yang harus dilakukan, ya,” lanjut Raka. “Tapi kamu nggak sendirian. Aku di sini kalau kamu butuh teman.”

Aira tersenyum lagi, kali ini lebih tulus. “Terima kasih, Raka. Aku memang butuh orang yang bisa aku ajak bicara.”

Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Raka berbicara tentang kehidupannya, tentang pekerjaan dan mimpi-mimpinya, sementara Aira mendengarkan dengan lebih tenang daripada sebelumnya. Mungkin, ini yang dibutuhkan Aira—sesuatu yang ringan, percakapan yang tidak mengharuskan dia untuk membicarakan rasa sakitnya terus-menerus.

“Aku nggak tahu bagaimana hidupku ke depan,” kata Aira setelah beberapa saat terdiam. “Tapi aku mulai merasa, mungkin ada cara untuk keluar dari sini. Mungkin aku bisa mulai mencari tahu apa yang sebenarnya aku inginkan.”

Raka mengangguk, memberikan dukungannya. “Itu langkah yang baik, Aira. Jangan biarkan diri kamu terjebak dalam masa lalu. Ibu pasti ingin kamu terus maju.”

Aira menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan dirinya. Setiap kata Raka terasa seperti titik terang yang perlahan menerangi jalannya. Ia tahu, walau tidak mudah, dia harus berusaha untuk melangkah maju, mencari arah baru. “Aku akan mencoba, Raka. Aku akan berusaha.”

Hari itu, Aira kembali pulang dengan langkah yang lebih ringan. Di dalam hatinya, ada harapan yang mulai tumbuh, meskipun sangat kecil. Tetapi itu cukup untuk membuatnya percaya bahwa ada jalan keluar dari kegelapan yang membelenggunya.

Sesampainya di rumah, Damar menatap Aira dengan senyum tipis. “Kamu lebih baik, ya?” tanyanya.

Aira mengangguk. “Aku merasa sedikit lebih baik, Damar. Mungkin ini bukan akhir dari semuanya, tapi aku siap mencoba. Untuk ibu, untuk aku sendiri.”

Damar tersenyum lebih lebar. “Aku bangga sama kamu, Aira.”

Dengan kata-kata itu, Aira merasa sedikit lebih kuat. Dia tahu, perjalanan ini masih panjang, tapi setidaknya, ia tidak sendirian. Dia punya Damar, teman-teman yang peduli, dan yang lebih penting, dia mulai menemukan kembali harapan.

Hidup mungkin tidak akan pernah sama lagi tanpa ibu, tetapi Aira tahu, dia bisa bertahan.

 

Menerima Cahaya dalam Gelap

Hari-hari berlalu dengan pelan, dan Aira merasa ada sesuatu yang semakin berubah dalam dirinya. Perasaan kehilangan ibu masih membekas, tetapi ia mulai memahami bahwa hidup harus diteruskan, dengan segala kesulitan dan tantangannya. Meskipun kegelapan sempat menyelimutinya begitu lama, kini ada secercah cahaya yang mulai tampak.

Pagi itu, Aira duduk di tepi jendela kamar, menatap ke luar dengan mata yang lebih tenang. Matahari baru saja terbit, cahaya lembutnya mencuat dari balik langit yang masih memutih. Ini adalah pemandangan yang selalu disukai ibu. Setiap kali melihatnya, Aira merasa seperti ada sesuatu yang menghubungkannya dengan ibu, meskipun mereka terpisah oleh ruang dan waktu.

“Aira, kamu sudah sarapan?” suara Damar terdengar dari luar pintu, menyadarkan Aira dari lamunannya.

“Belum,” jawab Aira singkat. “Aku sedang berpikir, Damar.”

Damar muncul di ambang pintu dengan senyum kecil. “Pikirin apa? Kalau ibu masih ada, pasti dia nggak akan kasih kamu makan siang sebelum kamu sarapan.”

Aira tertawa pelan. “Iya, ibu memang begitu.” Ia mengingat betapa ibu selalu memperhatikan hal-hal kecil, seperti memastikan bahwa Aira makan dengan cukup dan tidur dengan baik. Meski ibu sudah tidak ada, kenangan itu tetap hidup dalam dirinya.

“Dalam hidup, ada banyak yang harus kita terima, Aira. Bahkan ketika kita nggak siap. Kamu sudah mulai menerima kenyataan, kan?” Damar berbicara dengan lembut, duduk di kursi di dekatnya.

Aira mengangguk pelan. “Aku rasa aku mulai bisa menerima, Damar. Meskipun itu nggak mudah. Kadang aku merasa ingin menyerah. Tapi aku tahu, ibu nggak mau aku seperti ini selamanya. Aku harus kuat.”

“Benar,” kata Damar dengan keyakinan. “Ibu selalu mengajarkan kamu untuk jadi kuat. Dia akan bangga melihat kamu sekarang.”

Aira merasakan ada sesuatu yang mulai menenangkan hatinya. Kata-kata Damar memberikan kekuatan baru baginya. Ia sadar, bahwa meskipun ibu tidak ada, semangat ibu tetap mengalir dalam dirinya. Aira harus bisa lebih tegar, lebih mandiri. Tak hanya untuk ibu, tetapi juga untuk dirinya sendiri.

Hari itu, Aira memutuskan untuk mulai kembali ke pekerjaan lamanya. Ia ingin membuktikan pada dirinya bahwa ia bisa melanjutkan hidup tanpa harus terus terpuruk dalam kesedihan. Pekerjaan yang selama ini terasa begitu berat, kini menjadi lebih ringan. Setiap kali menghadapi tantangan, Aira mulai merasa bahwa ia lebih mampu menghadapinya. Ada perasaan bangga setiap kali ia menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk.

Saat pulang ke rumah pada sore hari, Damar sudah menunggunya di ruang tamu. Ia tersenyum saat melihat Aira datang. “Bagaimana hari ini?” tanyanya.

“Baik,” jawab Aira sambil duduk di sofa. “Aku merasa lebih baik. Mungkin ini memang waktunya. Waktu untuk move on, meskipun nggak mudah.”

Damar menatapnya dengan bangga. “Aku tahu kamu bisa. Ibu pasti senang lihat kamu seperti ini.”

Malam itu, Aira duduk di balkon rumah, menatap langit yang penuh dengan bintang. Hembusan angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, seolah mengingatkannya bahwa hidup terus bergerak maju, apapun yang terjadi. Aira tahu, ia masih harus banyak belajar dan berkembang. Proses ini tidak akan cepat, tetapi langkah demi langkah, ia semakin dekat dengan versi terbaik dari dirinya sendiri.

Di bawah sinar bulan yang perlahan naik di langit, Aira menutup matanya sejenak, membayangkan ibu di sana, di tempat yang lebih baik. Ia tahu ibu ingin dia terus hidup dengan penuh cinta dan harapan.

Aira menarik napas dalam-dalam, merasakan kedamaian yang baru saja ia temukan. Walau dunia ini tak sempurna dan penuh dengan kehilangan, ia tahu satu hal yang pasti: cinta ibu tidak akan pernah hilang. Ia membawa cinta itu dalam setiap langkahnya, dan itu akan selalu menjadi cahaya yang membimbingnya.

Ketika Aira membuka matanya, ia melihat Damar berdiri di dekat pintu, memandangnya dengan senyum yang penuh pengertian.

“Ini baru permulaan, Aira. Jalanmu masih panjang,” kata Damar dengan lembut.

Aira tersenyum, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dengan penuh keyakinan. “Aku siap, Damar. Aku siap melangkah.”

Dengan langkah penuh harapan, Aira melangkah ke depan, menghadap masa depan yang masih belum pasti. Tetapi kini, ia tidak lagi merasa takut. Karena dalam hatinya, ia tahu bahwa meskipun ibu sudah pergi, ia tidak akan pernah sendirian. Cinta ibu akan selalu ada, menuntun setiap langkahnya menuju cahaya yang lebih terang.

 

Setiap perjalanan hidup pasti punya liku-liku yang nggak terduga, apalagi saat harus melepaskan orang yang kita sayang. Tapi seperti Aira, kita semua punya kekuatan untuk bangkit, meskipun itu nggak mudah.

Karena kadang, justru dalam kehilangan, kita menemukan versi terbaik dari diri kita. Semoga cerpen ini bisa jadi pengingat, kalau meski dunia terasa gelap, masih ada cahaya harapan yang bisa kita raih, pelan-pelan. Terus maju, ya!

Leave a Reply