Daftar Isi
Kehidupan itu nggak selalu indah, apalagi kalau kamu merasa semuanya cuma pergi tanpa memberi tanda. Cerpen ini tentang Arka, seorang yang pernah punya mimpi, tapi terkadang hidup memang keras, kan?
Hujan datang, menyapu semuanya, dan meninggalkan jejak yang hilang begitu saja. Penasaran nggak gimana rasanya bertahan di tengah-tengah segala yang nggak berjalan sesuai harapan? Yuk, ikuti perjalanan Arka yang penuh lika-liku dan coba pahami, kenapa terkadang kita cuma bisa berdiri diam, menunggu hujan reda.
Cerpen Kehidupan Sulit
Bayangan Pagi yang Memudar
Pagi itu, seperti biasa, langit masih samar dengan warna biru yang pucat. Arka melangkah keluar dari rumah kontrakan sempitnya, wajahnya terlihat lelah meski baru saja terbangun. Rumah itu sudah tidak asing lagi baginya—dinding retak, lantai yang berderit, dan kamar tidur yang hanya cukup untuk menampung tubuhnya yang kian lelah. Sesekali terdengar suara tetesan air hujan dari atap seng yang sudah mulai berkarat.
Namun, hujan pagi ini tidak membuat Arka merasa lebih segar. Justru, itu menambah berat beban yang ia rasakan. Dengan langkah lemas, ia menyeberangi jalanan yang penuh dengan genangan air. Asap dari pabrik-pabrik di kejauhan mengaburkan pandangan. Di kota yang selalu sibuk ini, dia hanyalah satu dari sekian banyak orang yang terjebak dalam kehidupan keras dan tanpa ampun.
“Hei, Arka!” terdengar suara seorang pria dari belakang.
Arka berhenti sejenak, mencoba mengangkat kepalanya. Lalu, dia melihat Danu, teman kerjanya yang sudah lebih dulu terbangun dan sedang duduk di depan warung kopi kecil di pinggir jalan.
Danu melambaikan tangannya. “Lo mau ngopi dulu? Biar gak ngantuk.”
Arka mengangguk pelan. “Iya, bentar.”
Di tempat itulah, Arka dan Danu sering menghabiskan beberapa menit sebelum mulai bekerja. Tidak ada yang terlalu spesial dari kedai kopi itu—hanya secangkir kopi hitam yang pahit dan bau asap rokok yang menusuk. Tapi untuk Arka, itu adalah momen kecil yang bisa memberikan sedikit kelegaan dari rutinitas yang membosankan.
Mereka duduk di meja kayu yang sudah rapuh. Danu mulai berbicara, tapi Arka hanya mendengarkan tanpa banyak memberi tanggapan.
“Gimana kemarin? Masih aja kerja berat gitu?” Danu bertanya dengan nada yang agak santai, tapi Arka tahu, di balik pertanyaan itu ada kekhawatiran.
Arka menyandarkan punggungnya pada kursi dan menatap ke luar jendela warung, melihat gerombolan orang yang berlalu lalang, sibuk dengan kehidupan masing-masing. “Iya, sama aja. Gak ada yang berubah,” jawabnya datar.
Danu menatap Arka sejenak, seperti mencari-cari sesuatu yang bisa membuat Arka berbicara lebih. Tapi Arka hanya diam. Rasanya, apa pun yang dia katakan sudah tidak akan mengubah keadaan. Kehidupan ini sudah begitu kaku, begitu keras.
“Lo udah coba minta bantuan ke yang lain?” Danu melanjutkan pertanyaan yang sepertinya sudah sering Arka dengar, meski tahu jawabannya.
Arka meminum kopinya dan mengerutkan dahinya. “Bantuan? Dari siapa? Gak ada yang peduli, Dan. Lo juga tau, kan? Kita cuma jadi orang biasa yang gak punya apa-apa. Bahkan waktu aja rasanya enggan buat ngasih kesempatan.”
Danu terlihat tidak tahu harus berkata apa. Ia menggigit bibirnya, menahan kata-kata yang bisa saja menyakitkan. Tapi, Arka tahu, Danu cuma berusaha peduli. Hanya saja, seperti yang selalu terjadi, tak ada yang benar-benar mengerti.
Saat Arka meletakkan gelas kopi di meja, pikirannya kembali mengarah pada pekerjaan yang menunggu. Pekerjaan yang bahkan tidak bisa membawanya lebih jauh dari sekadar bertahan hidup. Setiap hari ia berhadapan dengan tumpukan semen, batu, dan kayu yang harus dipindahkan. Bukan pekerjaan yang berat bagi sebagian orang, tetapi bagi Arka, tubuhnya sudah tak sekuat dulu. Tangan yang dulu kuat kini terasa kaku, dan punggungnya sudah mulai sering nyeri. Ia tahu, semakin lama, tubuhnya akan semakin rapuh. Tapi tak ada pilihan lain.
Dengan langkah pelan, Arka berdiri dari kursi dan menatap Danu. “Gue harus pergi. Kalau gak, gue terlambat.”
Danu mengangguk pelan. “Lo hati-hati, ya. Gue tau lo bisa bertahan.”
Arka hanya mengangguk dan melangkah pergi, meninggalkan Danu dengan pikirannya sendiri. Saat itu, hanya ada suara hujan yang membasahi jalan, dan Arka merasa seolah-olah dunia ini semakin menjauh darinya. Rasanya, semakin dia berusaha bertahan, semakin sulit untuk melihat jalan keluar.
Sampai di tempat kerja, suasana tak jauh berbeda. Arka kembali ke rutinitas yang menjemukan. Pekerjaan itu tak memberi ruang bagi pemikiran, apalagi harapan. Semua yang ada adalah tumpukan material yang harus dipindahkan satu per satu, hingga tangan Arka mulai kesemutan, dan keringat menetes deras.
Di tengah kesibukan itu, Arka sempat berhenti sejenak untuk mengatur napas. Ia menatap ke sekelilingnya—teman-teman pekerja yang sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Mereka semua terlihat seperti orang yang sudah terbiasa hidup dalam kesulitan, seperti Arka. Semua wajah mereka tampak sama, lelah, dan penuh kerut yang menandakan bahwa kehidupan ini memang tak pernah mudah. Arka tak tahu bagaimana mereka semua bertahan, tetapi ia tahu, hidup mereka juga tak jauh berbeda.
Pada jam istirahat, Arka duduk sendiri di pojok, memandangi roti yang hanya setengah dimakan. Hari itu, bahkan makan pun terasa seperti sebuah beban. Perutnya kosong, tetapi tidak ada lagi semangat untuk menikmati makanan yang ada. Apa artinya makan, kalau hari demi hari hanya berakhir dengan rasa lelah yang tak terbilang?
Dengan mata yang mulai tertutup, Arka kembali mengingat masa lalu—ketika ia masih penuh harapan. Tapi sekarang, semua itu terasa jauh. Begitu jauh. Seperti bayangan yang memudar di pagi yang kelabu.
Beban yang Tak Terangkat
Arka menatap langit senja yang mulai menghitam. Setelah seharian penuh bekerja, tubuhnya terasa seperti dipenuhi rasa sakit yang tak kunjung hilang. Punggungnya pegal, lututnya hampir tak bisa lagi menyangga beban tubuhnya, namun ia tetap berjalan dengan langkah yang berat. Di jalanan yang sepi itu, hanya suara langkah kakinya yang terdengar. Semua orang sudah pulang ke rumah masing-masing, sibuk dengan kehidupan mereka yang jauh lebih mudah. Arka sendiri, belum ada niat untuk pulang. Rumah kontrakannya yang kumuh sudah tidak lagi terasa seperti tempat untuk beristirahat.
Dia duduk di trotoar, memandang gedung-gedung tinggi yang tampak seolah tak terjangkau olehnya. Di sana, di antara gedung-gedung itu, ada kehidupan lain yang mungkin lebih baik, lebih mudah. Tapi ia hanya bisa menatapnya dari jauh. Bahkan untuk sekadar mendekat pun, rasanya ia tak punya cukup tenaga.
Ponselnya bergetar di saku. Arka menariknya keluar, melihat layar yang menunjukkan nama Danu. Entah kenapa, dalam sepi yang menghimpitnya, Danu selalu jadi orang yang bisa sedikit meringankan beban itu. Mereka berdua sudah seperti saudara, meskipun jarang sekali ada waktu untuk berbincang panjang lebar.
“Lo udah pulang?” tanya Danu di telepon.
“Belum,” jawab Arka sambil mendesah. “Gue lagi di luar, jalan pelan-pelan.”
“Jangan terlalu lama di luar. Lo harus istirahat,” Danu memberi saran, mungkin karena tahu betul bagaimana keadaan Arka saat ini.
“Gak ada tempat buat istirahat, Dan,” Arka membalas dengan nada yang lebih berat. “Lo tahu sendiri.”
Danu terdiam beberapa detik. Arka bisa merasakan ada kegelisahan dalam suaranya, tapi Danu tidak tahu harus berbuat apa. Tidak ada yang tahu apa yang harus dilakukan.
“Susah banget ya, Arka?” Danu akhirnya berkata pelan.
“Lo gak ngerti,” Arka berkata, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Danu. “Lo punya hidup yang lebih baik. Lo bisa berpikir enak, punya pilihan. Gue? Setiap hari cuma berjuang buat bertahan.”
Danu tidak menjawab. Hening. Mungkin ia mencoba mencari kata-kata yang bisa sedikit menyenangkan hati Arka, tapi tak ada yang bisa dia katakan untuk mengubah semuanya.
Arka menutup telepon itu, menaruh ponsel di saku. Tidak ada yang perlu diungkapkan lebih banyak. Semua sudah jelas. Kehidupannya memang keras, dan rasanya, tak ada lagi yang bisa diubah.
Dia bangkit dari trotoar itu dan berjalan pelan menuju rumahnya. Malam ini, jalanan terasa lebih sunyi daripada biasanya. Langkahnya yang berat semakin memperlambat langkahnya. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin menjauhkan dirinya dari kehidupan yang ia harapkan. Sudah tidak ada lagi semangat, hanya ada rasa lelah yang semakin menggunung. Semua yang ia miliki seakan tak cukup lagi untuk membuatnya merasa hidup.
Saat tiba di rumah kontrakan yang gelap, Arka berhenti sejenak di depan pintu. Ia meraba kunci di saku jaketnya. Tangan yang gemetar, namun ia membuka pintu itu perlahan. Bau lembab dan pengap langsung menyergapnya begitu ia memasuki ruangan sempit itu. Lampu yang sudah mulai pudar hanya memberikan penerangan yang cukup untuk menuntunnya menuju kasur yang tampaknya selalu siap menyambutnya.
Arka duduk di tepi kasur, melepaskan sepatu yang sudah penuh debu dan kotoran. Ia menatap dinding yang terlihat semakin suram. Setiap sudut ruangan ini mengingatkan Arka pada semua yang telah hilang. Bukan hanya kenyamanan, tapi juga harapan.
Dia berbaring, menutup matanya, dan mencoba untuk tidur. Tetapi, tiduran yang selalu diharapkannya tak pernah benar-benar memberikan kenyamanan. Pikirannya selalu terjebak dalam kebingungan dan kegelisahan yang tak bisa hilang. Mimpi-mimpinya, dulu begitu terang, kini tertutup oleh awan gelap yang tak pernah pergi.
Hujan mulai turun dengan deras, seperti biasa. Suara gemericik air yang jatuh membasahi atap seng membuatnya merasa seperti terperangkap. Arka menarik selimut ke atas tubuhnya, berusaha menutup telinganya dari suara hujan, dari suara dunia yang terus bergerak, sementara ia tetap diam di tempat yang sama, terjebak dalam rutinitas yang tak ada habisnya.
Tidur datang akhirnya, meskipun ia tahu itu hanya sebuah pelarian sementara. Tidak ada perubahan dalam hidupnya, tidak ada jalan keluar yang bisa ia lihat. Semua yang ada adalah perasaan kosong yang semakin mendalam.
Di luar sana, dunia terus berputar. Semua orang terus menjalani kehidupan mereka, sementara Arka merasa dirinya terjebak di suatu tempat yang jauh dari semuanya. Hujan terus turun, dan di balik hujan itu, dia hanya bisa berharap, meskipun itu terasa semakin sia-sia.
Saat Hujan Menutupi Jejak
Pagi itu, Arka terbangun dengan perasaan yang lebih berat dari biasanya. Tidak ada yang berubah, tidak ada yang berbeda. Namun, entah kenapa, hari itu rasanya lebih sulit dari sebelumnya. Mungkin karena hujan yang tak henti-hentinya semalaman, atau karena suara tetesan air yang terus mengingatkannya pada bagaimana hari-harinya terasa terjebak dalam putaran yang tak ada ujungnya.
Dia menatap langit abu-abu dari jendela kecil di kamar kontrakannya. Hujan yang turun seolah menutupi semua jejak langkahnya, membuatnya merasa semakin tak terlihat. Seperti orang yang terhanyut dalam keramaian tanpa ada yang menyadari, meskipun dia sudah berusaha keras untuk bertahan, untuk menjadi sesuatu. Tapi rasanya, semua itu sia-sia.
“Arka, lo udah siap?” suara Danu menginterupsi kesunyian dalam kamar sempit itu.
Arka menoleh ke arah pintu. Danu berdiri di sana, wajahnya terlihat sedikit khawatir. Mereka sering bekerja bersama, dan Danu tahu persis bagaimana keadaan Arka belakangan ini. Tapi meski begitu, ada saatnya Danu pun menyerah, karena tidak ada yang bisa diubah. Kehidupan Arka adalah sesuatu yang terlalu rumit untuk dijelaskan, bahkan untuk Danu yang sudah begitu lama mengenalnya.
Arka hanya mengangguk pelan, kemudian mengambil jaket lusuh yang tergantung di pintu. Tanpa berkata lebih, dia berjalan menuju pintu keluar, beranjak dari dunia sempitnya. Hujan semakin deras, dan langkahnya tetap terasa berat. Setiap detik yang ia jalani di bawah hujan ini seolah menciptakan ruang kosong yang lebih lebar dalam dirinya. Begitu luas, sampai dia tidak tahu lagi bagaimana cara untuk keluar dari sana.
Di tempat kerja, suasana tak lebih baik. Para pekerja tampak sibuk dengan rutinitas yang tak pernah berhenti, bergerak tanpa ada pertanyaan, tanpa ada perasaan. Arka terjebak di antara tumpukan kayu dan batu, dengan tubuh yang lelah, tetapi tak ada yang peduli. Semua orang hanya sibuk dengan hidup mereka sendiri, berusaha untuk bertahan seperti halnya dia.
Di tengah kesibukan itu, Arka melihat seorang pekerja yang baru datang, seorang pria yang mungkin baru pertama kali bekerja di sini. Arka melihat pria itu dengan cepat menyapa orang di sekitarnya, tampak ceria meski fisiknya belum terbiasa dengan pekerjaan yang berat ini. Arka sedikit terkejut melihatnya. Betapa asingnya senyuman itu. Betapa asingnya semangat itu.
Seiring waktu berjalan, pria itu mendekati Arka dan mulai berbicara. “Lo lama di sini, kan?” tanyanya dengan nada ramah.
Arka mengangguk, sedikit ragu. “Iya, udah lama.”
“Kenapa lo masih bertahan di sini? Gue rasa kerja keras lo pasti ada tujuannya, kan?” pria itu melanjutkan.
Arka tertawa pelan, tapi tawanya terdengar pahit. “Gue juga gak tahu. Mungkin cuma kebiasaan. Kalau berhenti, apa yang harus gue lakukan?”
Pria itu terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Arka. “Gak ada yang bilang lo harus berhenti, kan? Tapi kadang kita perlu tahu, kalau kerja keras itu gak cuma soal bertahan. Kalau lo cuma bertahan, lo gak akan ke mana-mana.”
Arka menatap pria itu, sedikit bingung. Kata-kata itu terasa begitu asing baginya. Bertahan adalah satu-satunya hal yang ia tahu, dan sekarang pria itu seperti memaksanya untuk mempertanyakan segalanya. Tapi dalam hati Arka, sebuah pertanyaan mulai muncul. Apa sebenarnya yang sedang ia perjuangkan? Mengapa ia bertahan begitu lama, meskipun begitu banyak hal yang terasa tak berarti?
Pekerjaan itu terasa semakin berat seiring berjalannya waktu. Masing-masing langkah Arka semakin lelah, semakin hampa. Pikirannya kembali melayang, mencoba mencari jawaban, tapi setiap kali ia mulai bertanya, rasa itu datang lagi—rasa lelah yang menenggelamkan segalanya. Dia merasa seperti terjebak dalam pusaran yang terus berputar tanpa arah.
Hari mulai beranjak sore. Arka berjalan pulang, meninggalkan gedung-gedung itu dengan langkah pelan. Hujan belum berhenti, dan udara semakin dingin. Dia tidak tahu ke mana akan pergi, hanya mengikuti langkah kakinya yang hampir tak terasa. Pikiran-pikiran itu terus berputar di kepalanya—tentang semua yang sudah ia lalui, tentang apa yang sudah ia perjuangkan, dan tentang ke mana sebenarnya ia ingin pergi. Apakah hidup ini hanya untuk bertahan? Atau ada sesuatu yang lebih dari itu?
Sesampainya di kontrakan, Arka duduk di kasur, menatap plafon yang tampak semakin rapuh. Rumah ini, dengan segala ketidaknyamanannya, adalah satu-satunya tempat yang ia kenal. Tetapi, seperti segala sesuatu yang sudah terlalu lama, tempat ini juga mulai terasa asing. Rasa lelah semakin menumpuk, dan tak ada lagi yang bisa memberi semangat. Tidak ada lagi harapan yang datang dari luar sana, hanya kekosongan yang makin dalam.
Di luar, hujan tetap turun dengan deras. Hujan yang seolah-olah menghapus semua jejak langkahnya. Langkah yang dia jalani, yang dia coba pertahankan, semakin kabur dan menghilang seiring dengan waktu yang terus berjalan.
Arka hanya bisa terdiam, terperangkap dalam hening yang semakin menyesakkan. Dan hujan itu, hujan yang terus turun, mengingatkan dia pada semua yang tak pernah bisa ia capai—semua mimpi yang mulai memudar, seperti bayangan di pagi hari yang tenggelam oleh kabut.
Jejak yang Hilang dalam Hujan
Malam itu, Arka berdiri di depan jendela kontrakannya, menatap hujan yang masih belum berhenti. Setiap tetes yang jatuh seolah membawa beban baru, seolah menghapuskan apa yang tersisa dari dirinya. Di luar sana, dunia terus bergerak, penuh dengan orang-orang yang tampaknya tak pernah berhenti mengejar mimpi mereka. Sementara dia, tetap di sini, dengan langkah-langkah yang semakin terhenti, semakin jauh dari apa yang dulu dia impikan.
Hujan sudah menggenang di jalanan, membentuk genangan air yang menutup sebagian jejak langkahnya. Tak ada lagi yang bisa dikenali dari jalan yang telah ia tempuh selama ini. Semua itu semakin hilang, tertutup oleh derasnya air yang terus mengalir.
Arka duduk di kursi kayu yang sudah retak di sudut kamar. Tangannya memeluk lutut, menatap lantai yang penuh dengan debu dan kotoran. Semua yang ada di sini terasa kosong, bahkan tubuhnya sendiri. Ada begitu banyak kata-kata yang ingin ia ucapkan, namun semuanya terhenti di tenggorokan, tak mampu keluar. Dan meskipun hatinya penuh, ia merasa semakin kosong.
Dia memikirkan kembali kata-kata pria yang ditemuinya beberapa hari lalu di tempat kerja. “Kalau lo cuma bertahan, lo gak akan ke mana-mana.” Arka menggigit bibir, mencoba mengabaikan kata-kata itu, tetapi entah kenapa, itu terus terngiang di kepalanya. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, sesuatu yang mungkin sudah lama terkubur, yang mulai muncul lagi, meski tidak jelas apa bentuknya.
Malam semakin larut, tetapi Arka tidak merasa mengantuk. Matanya tetap terbuka lebar, menatap langit yang tak terlihat dari balik jendela. Dia mencoba untuk mencari jawaban, untuk menemukan alasan dari semua yang telah dia jalani. Namun, semakin lama, semakin dia merasa seperti ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang dulu dia yakini, yang dulu membuatnya bertahan.
Dalam sepi itu, ia merasakan suatu kenyataan pahit: terkadang hidup tidak memberikan jawaban yang kita harapkan. Terkadang, tidak ada akhir yang manis, tidak ada kebahagiaan yang datang setelah semua perjuangan. Arka tahu, dia sudah mencoba segalanya, tapi ternyata itu tidak cukup. Tidak cukup untuk mengubah hidupnya, tidak cukup untuk mengubah nasibnya.
Arka bangkit dari kursi, berjalan menuju pintu. Dengan langkah yang berat, ia keluar dari rumah kontrakannya yang sempit, meninggalkan jejaknya di jalanan yang basah oleh hujan. Hujan yang masih terus turun, menghapus jejak langkahnya, sama seperti apa yang telah terjadi dengan mimpinya.
Di luar sana, lampu-lampu jalanan berkelap-kelip, memberikan sedikit cahaya dalam kegelapan. Namun, bagi Arka, semuanya terasa sama gelapnya. Dunia ini, dengan segala kompleksitas dan kerumitannya, masih tidak memberinya tempat yang layak. Semua yang ia perjuangkan, semuanya terasa sia-sia.
Langkah kakinya semakin lambat. Setiap detik terasa semakin berat, semakin hampa. Arka tahu, dia tidak bisa lagi bertahan seperti ini. Hujan yang turun bukan hanya menyapu air dari langit, tetapi juga menyapu harapan-harapan yang pernah ada. Harapan yang dulu memberi hidup, kini hanya tinggal kenangan yang semakin memudar.
Arka berhenti di tengah jalan, menatap ke depan. Dia merasa terjebak dalam waktu, dalam perjalanan yang tidak pernah berujung. Di sana, di tengah kegelapan itu, dia berdiri, merasa seperti tidak tahu ke mana harus pergi. Namun, ada satu hal yang ia tahu dengan pasti: kadang, hidup tidak memberi kesempatan kedua. Kadang, kita hanya bisa menerima kenyataan dan berusaha untuk melepaskan segala yang telah hilang.
Dia menatap langit yang masih dipenuhi awan gelap. Hujan terus turun, seolah tak pernah ingin berhenti. Arka mengangkat wajahnya ke atas, merasakan tetesan air hujan yang dingin di kulitnya. Setiap tetesnya terasa seperti simbol dari apa yang telah dia jalani—semuanya akan hilang, semuanya akan terhapus. Tidak ada jejak yang tertinggal. Tidak ada jejak yang bisa dikenali.
Dengan satu tarikan napas dalam, Arka membiarkan dirinya tenggelam dalam hujan itu. Mungkin, di dalam hujan ini, ada jawaban yang dia cari. Mungkin, di tengah-tengah kesulitan ini, dia akhirnya bisa melepaskan semuanya.
Dan, di tengah hujan yang terus mengguyur malam itu, Arka tahu bahwa terkadang, kita hanya bisa melepaskan jejak kita dan membiarkan waktu menghapusnya. Tidak ada yang akan tahu, tidak ada yang akan peduli, karena hidup—seperti hujan yang turun—terus berjalan, meskipun kita terkadang merasa seperti hilang dalam perjalanan itu.
Sebuah langkah terakhir, dan Arka menghilang dalam hujan, di bawah langit yang penuh dengan awan gelap, tanpa ada jejak yang tertinggal.
Mungkin hidup nggak selalu punya akhir yang manis, dan mungkin kita nggak akan pernah tahu ke mana jejak kita akan mengarah. Tapi satu hal yang pasti, kadang kita harus menerima kenyataan bahwa tidak semua perjuangan berakhir dengan kemenangan.
Seperti hujan yang turun, semuanya akan berlalu, meski jejak kita hilang tanpa bekas. Dan mungkin, itu sudah cukup. Karena dalam setiap akhir, ada pelajaran yang tetap tertinggal, meski tak terlihat.