Daftar Isi
Eh, pernah nggak sih kamu ngerasain serunya berteman sama orang yang beda-beda banget dari kamu? Di sekolah dasar, kita diajarin buat saling ngerti, saling menghargai, dan yang paling penting, merayakan kebhinekaan. Yuk, ikutin cerita seru tentang sekelompok anak yang belajar bareng, tumbuh bareng, dan pastinya, bersenang-senang bareng, meski latar belakang mereka beda-beda!
Cerpen Kehidupan Sekolah Dasar
Pelangi di Kelas 5B
Pagi itu, seperti biasa, kelas 5B penuh dengan keramaian. Belum ada guru yang datang, dan anak-anak sudah sibuk dengan dunia mereka sendiri. Ada yang sibuk berbicara tentang permainan baru yang mereka mainkan di rumah, ada yang berlari-lari mengejar bola di luar kelas, dan tentu saja, ada yang sudah duduk di meja masing-masing, menunggu pelajaran dimulai.
Aku duduk di bangku dekat jendela, menikmati sinar matahari yang masuk melalui kaca jendela. Mataku tak sengaja tertuju pada sekelompok teman di ujung kelas. Dinda, Adit, dan Ika—tiga sahabat yang tak pernah terpisahkan. Mereka duduk bersama, saling berbicara dengan riang, seperti biasa. Meskipun mereka berbeda dalam banyak hal, satu hal yang pasti, mereka selalu bersama. Mereka adalah contoh nyata bahwa perbedaan bisa membuat segalanya lebih indah.
“Adit, kamu bawa bola lagi?” tanya Dinda, memandang Adit yang sedang memainkan bola mini di atas meja.
“Iya dong, kan kalau nggak bawa, aku nggak bisa latihan,” jawab Adit sambil tertawa. Bola mini itu digulirkan di atas meja, membuat suara kecil yang lucu.
Ika yang duduk di sebelah Adit tersenyum. “Kamu tuh, Adit. Bola terus, pelajaran nggak dipikirin.”
Adit hanya tertawa, “Kan pelajaran juga penting, tapi kalau nggak olahraga, nanti kaku badannya.” Ia pun menirukan gerakan pemain bola yang sedang menggiring bola di lapangan.
Aku memperhatikan mereka. Dinda, dengan kacamata besar yang selalu menempel di hidungnya, memang suka cerita tentang hal-hal yang jauh dari sekolah. Adit, dengan rambut acak-acakan dan semangat bermain bolanya yang tak pernah padam, selalu memberikan warna berbeda di kelas. Sedangkan Ika, gadis berhijab yang selalu tenang dan santun, dengan cita-cita besar untuk menjadi ilustrator terkenal, adalah sosok yang selalu punya cara untuk menenangkan suasana.
Ketiganya adalah contoh nyata dari kebhinekaan di kelas kami. Masing-masing membawa warna mereka sendiri, dan bersatu, mereka menciptakan suasana yang hangat. Meskipun ada perbedaan, mereka saling melengkapi.
Seiring waktu, Bu Maya, guru kami, datang dengan senyum lebar. “Selamat pagi, anak-anak!” katanya ceria. Suara Bu Maya selalu punya kekuatan untuk membuat semua anak di kelas 5B berhenti sejenak dari obrolan mereka dan memperhatikan.
“Pagi, Bu Maya!” serempak kami menjawab, sebagian sudah duduk rapi di bangku, sebagian masih sibuk menata tas.
“Untuk hari ini, kita akan belajar tentang keberagaman budaya Indonesia. Setiap kalian akan membawa satu benda yang melambangkan budaya atau tradisi dari tempat asal kalian. Bisa dari keluarga, bisa juga dari tempat asal kalian,” Bu Maya menjelaskan dengan penuh semangat.
Tiba-tiba, kelas 5B menjadi senyap. Semua anak mulai berpikir, termasuk aku. “Apa ya yang bisa aku bawa?” pikirku. Aku bukan anak yang terlalu menonjol di kelas, tapi aku suka mendengarkan dan belajar tentang apa pun.
Dinda sudah terlihat antusias. “Aku bawa buku cerita bergambar dari Jepang, deh. Aku kan suka banget cerita-cerita dari luar negeri,” katanya dengan mata berbinar. Dinda selalu penuh dengan semangat, apalagi kalau sudah membahas cerita-cerita dari negara lain.
“Kalau kamu, Adit?” tanya Ika sambil menatap Adit, yang sudah kembali fokus dengan bolanya.
“Hmm, aku bawa bola ini, deh,” jawab Adit sambil tersenyum lebar. “Bola ini kan udah mewakili dunia olahraga aku. Banyak banget teman-teman yang udah berlatih bareng aku pakai bola ini.”
“Wah, menarik juga. Kalau aku, bawa kain batik buatan nenek. Ini kain tradisional khas dari keluarga aku,” kata Ika dengan suara pelan namun penuh rasa bangga.
Aku tersenyum mendengar mereka. Setiap benda yang mereka pilih mencerminkan siapa mereka. Dinda dengan cintanya terhadap cerita-cerita luar, Adit dengan kecintaannya terhadap olahraga, dan Ika dengan kebanggaannya terhadap warisan budaya keluarga. Semua perbedaan itu justru membuat kelas kami menjadi lebih berwarna.
Bu Maya tersenyum puas melihat semua anak mulai memikirkan benda apa yang akan dibawa. “Bagus, anak-anak! Dengan membawa benda-benda itu, kalian menunjukkan betapa beragam dan kayanya budaya Indonesia. Ingat, meskipun kita berbeda, kita tetap satu bangsa yang saling melengkapi.”
Saat bel istirahat berbunyi, kami berhamburan keluar kelas. Dinda, Adit, dan Ika berjalan bersama ke kantin, masih membicarakan benda-benda yang akan mereka bawa esok hari. Aku mengikuti mereka, merasa semakin percaya bahwa kebhinekaan itu memang bukanlah sesuatu yang harus dipandang sebagai halangan. Kebhinekaan adalah kekuatan, dan kami adalah bukti hidup dari kekuatan itu.
Aku melihat Adit berlari-lari kecil di depan kami, dengan bola mini yang terus digulirkannya ke sana ke mari. Dinda tertawa melihatnya, sementara Ika hanya tersenyum dan menambahkan, “Adit tuh, nggak bisa jauh dari bola.”
Aku mengangguk pelan, tapi dalam hati aku merasa bangga bisa berada di tengah-tengah mereka. Di kelas 5B, aku belajar sesuatu yang berharga: kebhinekaan adalah warna yang membuat dunia kita lebih indah. Tidak ada yang salah dengan perbedaan, malah itu yang menjadikan kami semakin kuat dan saling melengkapi.
Belum ada yang tahu persis apa yang akan terjadi hari berikutnya, tapi satu hal yang pasti, hari-hari kami di kelas 5B adalah kisah yang penuh warna—sebuah cerita tentang kebhinekaan yang tak akan pernah terlupakan.
Sahabat yang Berbeda
Hari itu cerah, dan kelas 5B sudah mulai penuh dengan tawa dan obrolan lagi. Setelah pelajaran pertama selesai, Bu Maya memberikan kesempatan bagi setiap anak untuk berbagi benda yang mereka bawa. Dinda, Adit, dan Ika duduk di meja depan, masing-masing dengan benda yang sudah mereka persiapkan. Aku duduk di bangkuku, menatap mereka dengan penuh rasa ingin tahu. Aku selalu merasa terkesan dengan bagaimana mereka bisa begitu yakin dengan apa yang mereka bawa, meskipun mereka sangat berbeda satu sama lain.
Dinda berdiri pertama kali. Ia membuka tasnya dengan penuh semangat, lalu mengeluarkan sebuah buku tebal yang berjudul “Legenda Samurai”. “Ini, buku cerita dari Jepang. Isinya tentang pahlawan-pahlawan Jepang yang berani dan penuh kehormatan,” katanya dengan suara yang penuh semangat, matanya bersinar. Ia membuka halaman pertama buku itu, memperlihatkan gambar samurai yang sedang beraksi. “Di keluarga aku, kami selalu suka dengan cerita-cerita dari luar negeri. Aku pengen banget jadi penulis buku cerita anak, dan suatu hari nanti, buku aku juga bisa terbit di Jepang.”
Semua teman-teman di kelas, termasuk Bu Maya, terkesima melihat semangat Dinda. Meskipun kami banyak yang tidak mengerti bahasa Jepang, Dinda berhasil membuat kami merasakan betapa pentingnya sebuah cerita. Ia bahkan menceritakan beberapa bagian dari buku itu, tentang seorang samurai yang harus memilih antara keluarga dan kehormatan. Kami semua mendengarkan dengan antusias.
Setelah itu, Adit berdiri dengan bola mini yang sudah ia bawa. “Nah, kalau ini, bola sepak mini. Ini mewakili hidup aku. Setiap hari, aku main bola, berlatih, dan nggak pernah ketinggalan. Bukan cuma buat olahraga, tapi juga buat belajar tentang kerja sama. Kalau di lapangan, nggak bisa egois. Semua harus saling bantu,” Adit menjelaskan sambil menggulung bola itu di tangannya. “Kadang orang mikir kalau bola cuma permainan, padahal ada banyak pelajaran hidup di dalamnya.”
Teman-teman mulai mengangguk, dan beberapa dari kami bahkan tersenyum, merasakan betapa Adit begitu menikmati apa yang ia lakukan. Ia bukan hanya bermain bola untuk dirinya sendiri, tapi untuk membuat timnya lebih kuat. Itu mengingatkan kami semua, betapa pentingnya kerja sama, meski dalam hal yang sederhana sekalipun.
Selanjutnya, giliran Ika. Dia berdiri dengan penuh kepercayaan diri, membawa sebuah kain batik dari neneknya. Batik itu tampak begitu indah, dengan corak yang rumit dan warna-warna yang hangat. “Ini kain batik dari nenek aku. Setiap garis dan warna di kain ini ada cerita tersendiri. Batik adalah bagian dari budaya kami. Nenekku selalu bilang, batik itu bukan hanya kain, tapi juga simbol kekuatan wanita dan tradisi yang harus dijaga,” katanya dengan suara lembut namun penuh arti.
Ika lalu melanjutkan, “Aku ingin jadi seorang ilustrator buku cerita anak-anak. Kalau bisa, aku ingin menggambar buku yang berisi cerita-cerita tradisional Indonesia, supaya anak-anak di luar sana bisa belajar tentang kebudayaan kita. Tapi, aku tahu itu nggak gampang. Aku harus belajar banyak hal dan terus berusaha.”
Kelas pun terdiam sejenak, terkesima dengan penjelasan Ika yang begitu dalam. Semua orang mulai melihat bahwa Ika bukan hanya berbicara tentang batik sebagai kain, tetapi tentang warisan budaya yang perlu dijaga dan dibagikan. Dengan batiknya, Ika tidak hanya membawa kain, tetapi juga sebuah pesan yang kuat tentang pentingnya melestarikan budaya.
Setelah ketiga sahabat itu selesai, Bu Maya tersenyum bangga. “Kalian semua sudah menunjukkan betapa pentingnya untuk mengenal, memahami, dan menghargai perbedaan budaya. Dinda dengan cerita-ceritanya, Adit dengan olahraga dan kerja sama tim, dan Ika dengan batiknya yang mengajarkan kita tentang kebudayaan. Semua itu adalah warna-warni yang membuat hidup kita lebih kaya.”
Di akhir pelajaran, kami semua mulai mengobrol satu sama lain, merasa lebih dekat setelah mendengar cerita dari masing-masing teman. Dinda, Adit, dan Ika kembali duduk bersama, saling tertawa dan bercakap-cakap dengan penuh semangat. Aku tidak bisa tidak berpikir, bagaimana mereka bisa begitu berbeda, tetapi tetap begitu saling melengkapi. Mereka seperti bagian dari sebuah puzzle yang sempurna, setiap potongan memiliki bentuk dan warna yang unik, tapi ketika disatukan, mereka menciptakan gambar yang indah.
Aku berjalan mendekati mereka dan duduk di meja yang tak jauh dari tempat mereka. “Keren banget, kalian bisa berbagi seperti itu,” kataku.
Dinda menoleh dan tersenyum. “Makasih! Kita memang berbeda, tapi itu yang membuat kita bisa saling mengerti. Coba bayangin kalau semuanya sama, pasti bosan banget, kan?”
“Iya, benar!” Adit menambahkan sambil tertawa. “Kita saling bantu. Kalau nggak ada yang punya bola, siapa yang bakal ajarin cara mainnya?”
Ika mengangguk setuju. “Bener banget. Kalau nggak ada budaya, kita nggak akan tahu seberapa banyak yang bisa kita pelajari dari orang lain.”
Saat itu, aku sadar bahwa kebhinekaan bukanlah hal yang harus diperdebatkan atau dipandang sebagai penghalang. Kebhinekaan adalah kekuatan. Setiap perbedaan di antara kami justru menciptakan kekayaan yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.
Hari itu berakhir dengan perasaan yang hangat. Kami berjalan pulang bersama, berbicara tentang benda-benda yang kami bawa dan rencana-rencana masa depan. Dinda dengan mimpinya untuk menjadi penulis, Adit dengan harapannya untuk menjadi pemain sepak bola profesional, dan Ika yang ingin membawa kebudayaan Indonesia ke dunia melalui gambarnya.
Aku merasa beruntung bisa berada di tengah-tengah mereka. Di kelas 5B, kami belajar bahwa perbedaan bukanlah hambatan. Sebaliknya, itu adalah jembatan yang menghubungkan kami untuk saling memahami, menghargai, dan merayakan kebhinekaan yang ada.
Persahabatan dalam Kebersamaan
Pagi itu, langit di atas sekolah terlihat lebih biru dari biasanya, dan angin sepoi-sepoi berhembus lembut, menambah semangat kami untuk memulai hari. Di kelas 5B, suasana sedikit lebih riuh dari biasanya. Setelah aktivitas berbagi benda selesai kemarin, Bu Maya memutuskan untuk melanjutkan dengan kegiatan yang lebih menyatukan kami. Hari ini, kami akan bekerja dalam kelompok untuk membuat sebuah proyek seni, yang menggambarkan keberagaman budaya Indonesia.
Aku duduk di bangku sebelah Dinda, yang sepertinya masih semangat setelah kemarin bercerita tentang samurai. Dinda sudah menyiapkan beberapa bahan untuk menggambar, sementara Adit dan Ika, yang duduk di meja sebelah, sibuk mendiskusikan ide-ide mereka. Aku merasa senang, karena kali ini kami akan bekerja bersama dalam kelompok yang beragam. Tak ada lagi batasan antara kami, yang berbeda suku, agama, dan latar belakang. Kami semua mulai mengerti, bahwa kebhinekaan itu justru yang membuat kami kuat.
“Kamu mau gambar apa, Kimi?” tanya Dinda, yang sudah siap dengan pensil warna dan kertas gambar besar di depannya.
Aku menatap sekeliling, lalu dengan tenang berkata, “Aku pikir, aku bakal gambar sebuah rumah adat dari Papua. Tapi, aku juga pengen coba masukkan beberapa elemen tradisional lainnya dari daerah lain. Kayaknya menarik kalau kita bisa gabungkan semuanya jadi satu.”
Dinda tersenyum mendengar jawabanku. “Bagus, itu pasti keren! Aku mau gambar batik, karena batik itu udah jadi bagian dari hidup aku. Mungkin aku bisa bikin pola batik yang ada di seluruh Indonesia.”
Sementara itu, Adit dan Ika tampak serius memikirkan ide mereka. Adit akhirnya berdiri dan meraih bola mini yang tadi ia bawa. “Aku pengen gambar sebuah tim bola, yang anggotanya berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Pasti seru kalau bola bisa jadi simbol persatuan yang bisa menghubungkan kita.”
Ika, yang sejak tadi sibuk dengan cat air, akhirnya mengangkat tangan dan berkata, “Aku ingin gambar tarian tradisional dari berbagai suku. Setiap gerakan tari itu punya makna, dan aku pikir ini cara yang baik untuk menunjukkan keberagaman kita.”
Kami semua mulai bekerja dengan penuh semangat. Setiap orang menambahkan ide, menggambar, atau mewarnai dengan penuh hati-hati. Sambil melakukannya, kami terus berbicara tentang keindahan yang bisa kita temukan dalam kebudayaan Indonesia, mulai dari seni, makanan, bahasa, hingga tradisi-tradisi yang ada di tiap daerah.
Saat aku menggambar rumah adat Papua dengan detil ornamen dan warna yang khas, aku merasa bangga. Seperti yang Dinda katakan kemarin, keberagaman bukanlah sesuatu yang harus dipisahkan, tetapi sesuatu yang perlu dirayakan. Aku merasa dekat dengan budaya yang bukan milikku, tapi tetap bisa kucintai. Rumah adat itu tak hanya mewakili Papua, tapi juga melambangkan bahwa kita semua berasal dari tempat yang berbeda, namun tetap satu dalam keberagaman.
Dinda yang sibuk dengan batiknya juga tampak begitu fokus. Aku bisa melihat betapa ia menghayati setiap garis dan pola yang ia gambar, seolah-olah batik itu bukan sekadar seni, tapi cerminan dari perjalanan hidupnya sendiri. Adit, yang menggambar tim sepak bolanya, menggambarkan setiap pemain dengan pakaian dari daerah yang berbeda. Kaki mereka saling bertemu di tengah lapangan, dengan bola sebagai simbol kebersamaan yang tak terpisahkan. Ika, dengan tarian tradisionalnya, menggambarkan perempuan-perempuan yang menari dengan anggun, mengenakan pakaian adat dari berbagai suku.
Sementara kami bekerja, Bu Maya berjalan keliling kelas, mengamati setiap kelompok. Ketika ia sampai di meja kami, ia tersenyum bangga melihat hasil kerja kami. “Kalian semua hebat,” katanya. “Ini adalah contoh yang sempurna tentang bagaimana kita bisa saling belajar dari kebudayaan yang berbeda-beda. Setiap ide kalian menunjukkan bahwa meskipun kita berbeda, kita tetap bisa bekerja bersama untuk mencapai tujuan yang sama.”
Aku merasa semakin percaya diri dengan hasil karya kami. Begitu banyak hal yang bisa kami pelajari dari satu sama lain, dan meskipun ada perbedaan, kami bisa menyatu dengan cara yang indah. Ketika akhirnya proyek seni itu selesai, kami semua berdiri di depan kelas, memamerkan hasil karya kami. Setiap gambar, setiap detail yang kami buat, bercerita tentang keberagaman, persatuan, dan semangat yang tak terpisahkan.
Di akhir hari, Bu Maya meminta kami untuk menulis sebuah kalimat tentang kebhinekaan dan bagaimana perasaan kami setelah mengerjakan proyek ini. Aku menulis dengan jujur, “Keberagaman bukanlah sesuatu yang harus dipisahkan. Keberagaman adalah kekuatan yang membuat kita lebih kuat. Kita bisa belajar banyak hal dari satu sama lain, dan saling menghargai. Itu yang membuat kita hidup bersama dengan damai.”
Dinda, Adit, dan Ika juga menulis kalimat yang hampir sama. Mungkin kami semua memiliki cara berbeda dalam memandang kebhinekaan, tapi di hati kami, rasa saling menghargai dan memahami tumbuh begitu kuat. Kami berjalan pulang dengan senyum di wajah, merasa lebih dekat, lebih kuat, dan lebih siap menghadapi dunia yang penuh dengan perbedaan.
Hari itu, kami belajar satu hal penting: bahwa persahabatan dalam kebersamaan itu lebih kuat daripada perbedaan apapun yang ada. Kami adalah bagian dari dunia yang berwarna-warni, dan kami bangga menjadi bagian darinya.
Merayakan Keberagaman
Hari-hari setelah proyek seni itu berlalu begitu cepat. Setiap kali kami bertemu di sekolah, suasana menjadi lebih akrab. Tidak hanya di kelas, tapi juga di luar kelas, di lapangan, di kantin, bahkan di perjalanan pulang, kami semakin terbiasa merayakan keberagaman. Dari mulai cerita lucu yang kami bagi, hingga kebiasaan kecil yang kami lakukan bersama, semuanya terasa lebih bermakna.
Saat aku sedang duduk di bawah pohon rindang di halaman sekolah, Dinda datang menghampiriku dengan senyum lebar. “Kimi, lihat! Ini hasil akhirnya,” katanya sambil menunjukkan buku kecil berisi foto-foto proyek seni kami yang sudah dipajang di koridor sekolah. Dalam foto itu, kami semua berdiri bangga di samping karya-karya kami, dan wajah kami terlihat penuh semangat.
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Keren ya, kita bisa buat sesuatu yang luar biasa bareng-bareng.”
“Ya, kita bisa menunjukkan betapa indahnya kebhinekaan ini,” jawab Dinda sambil duduk di sampingku. “Aku nggak nyangka kita bisa bikin sesuatu yang nyambung banget, padahal awalnya kita semua punya ide yang beda-beda.”
“Betul,” kataku. “Tapi justru itu yang membuatnya keren, kan? Kita masing-masing punya perspektif yang unik, dan dari situ kita saling melengkapi.”
Saat kami berbicara, Adit dan Ika datang menghampiri. Mereka baru saja selesai latihan sepak bola di lapangan. Adit terlihat masih bersemangat, sementara Ika tampak sedikit lelah, namun wajahnya tetap ceria. Mereka ikut duduk di bawah pohon, dan kami melanjutkan obrolan tentang proyek seni itu.
“Aku nggak sabar buat nunggu acara perayaan kebhinekaan minggu depan,” kata Adit sambil mengelap peluh di keningnya. “Sepertinya seru banget, kan? Semua kelas bakal memperlihatkan karya seni mereka yang menggambarkan budaya Indonesia.”
“Betul! Semua kelas akan menampilkan apa yang mereka buat, dan kita akan jadi bagian dari perayaan besar itu,” jawab Ika dengan antusias. “Bukan cuma gambar, ada juga tarian dan musik tradisional. Kita bakal merayakan kebudayaan yang berbeda, dan itu akan sangat seru!”
Aku melihat mereka berbicara dengan semangat, dan entah kenapa aku merasa bangga. Keberagaman yang kami bicarakan tidak hanya sebatas ide dalam proyek seni itu, tapi juga semakin terasa dalam kehidupan sehari-hari kami. Kami semakin menghargai perbedaan dan belajar banyak dari satu sama lain.
Keesokan harinya, saat perayaan kebhinekaan tiba, sekolah kami dipenuhi dengan warna-warni kebudayaan. Setiap kelas memamerkan hasil karya seni mereka, ada yang menampilkan batik, tarian, hingga alat musik tradisional. Aku dan teman-teman sekelas menampilkan gambar rumah adat, batik, serta tim sepak bola yang kami buat dengan penuh semangat. Semua karya itu menggambarkan satu hal yang jelas: kebhinekaan adalah kekuatan yang membuat kami lebih kaya, lebih kuat, dan lebih bersatu.
Pada acara tersebut, Bu Maya berdiri di depan kami dengan bangga. “Apa yang kalian tunjukkan hari ini adalah bukti bahwa kita bisa hidup bersama dalam keberagaman. Setiap karya yang kalian buat, setiap lagu yang kalian nyanyikan, dan setiap gerakan yang kalian tampilkan adalah cerminan dari kebersamaan yang bisa kita jalin.”
Aku berdiri di samping Dinda, Adit, dan Ika, merasa senang dan bangga. Ketika aku menatap wajah mereka, aku tahu bahwa kami tidak hanya belajar tentang kebudayaan, tetapi juga belajar tentang arti persahabatan yang sesungguhnya. Kami belajar bahwa meskipun kita datang dari latar belakang yang berbeda, kita bisa bersama-sama menciptakan sesuatu yang luar biasa.
Saat acara berakhir, kami semua berkumpul di halaman sekolah, berbicara dengan penuh semangat tentang semua yang baru saja kami lihat dan alami. Suasana terasa sangat hangat, penuh tawa, dan rasa kebersamaan yang luar biasa.
“Menurut kalian, kita masih bisa lebih dekat lagi nggak?” tanya Dinda dengan senyum cerah.
“Pastinya,” jawab Adit cepat. “Kita sudah melewati banyak hal bersama, dan aku yakin kita masih bisa banyak belajar dari satu sama lain.”
Ika mengangguk setuju. “Kebhinekaan itu bukan hanya di kelas atau di acara ini, tapi di setiap hari kita. Kita selalu punya kesempatan buat merayakannya.”
Aku tersenyum mendengar jawaban mereka. “Ya, dan kita harus terus menjaga persahabatan ini, apapun yang terjadi.”
Kami berempat berjalan pulang bersama, dengan rasa bangga dan penuh semangat. Rasanya, tidak ada lagi yang bisa menghalangi kami untuk terus belajar dari keberagaman yang ada. Kami tahu, bahwa di dunia ini, yang membuat kita kuat bukanlah kesamaan, tetapi bagaimana kita bisa saling menghargai perbedaan dan hidup bersama dalam kebersamaan.
Dengan setiap langkah, aku semakin yakin bahwa kebhinekaan adalah kekuatan yang bisa mempersatukan kami. Kami adalah contoh nyata dari persahabatan yang dibangun dalam keberagaman. Dan, selamanya, kami akan terus merayakan kebhinekaan itu, karena inilah yang membuat hidup kami begitu berwarna.
Jadi, gimana menurut kamu? Kebhinekaan itu bukan cuma soal perbedaan, tapi juga soal gimana kita bisa saling belajar, saling menghargai, dan pastinya, saling merayakan.
Di sekolah dasar, kita belajar banyak hal—bukan cuma pelajaran di buku, tapi juga pelajaran hidup tentang persahabatan, kebersamaan, dan rasa saling menghormati. Yuk, terus rayakan perbedaan kita, karena justru di situlah kekuatan kita!