Cerpen Kehidupan Sehari-hari yang Menyenangkan: Skateboard, Senja, dan Kenangan Kecil di Rumah

Posted on

Kadang, hidup itu nggak harus selalu penuh drama atau petualangan besar. Ada kalanya kita cuma butuh hal-hal kecil yang sederhana, seperti main skateboard di depan rumah atau duduk santai menikmati senja.

Cerpen ini bakal ngasih kamu gambaran tentang gimana seharusnya kita bisa menemukan kebahagiaan dalam rutinitas sehari-hari yang sering kita anggap biasa aja. Yuk, baca ceritanya, siapa tahu kamu juga bisa nemuin kenangan kecil yang bikin hati senang!

 

Kehidupan Sehari-hari yang Menyenangkan

Pagi yang Tenang di Rumah

Pagi ini terasa begitu sunyi. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela membuat suasana di rumah tampak lembut dan tenang. Rumah ini, meskipun besar, selalu terasa sepi kalau semuanya sudah pada pergi dengan urusan masing-masing. Ibu, yang biasanya sudah sibuk di dapur sejak subuh, masih belum terlihat. Ayah, seperti biasa, pergi ke kantor lebih awal. Sementara adikku, Ilan, pasti sedang tidur siang setelah berlarian keliling rumah sejak kemarin. Aku? Aku sudah bangun, tapi malas untuk bergerak. Rasanya enak sekali berbaring di tempat tidur yang hangat dan nyaman, jauh dari semua hiruk-pikuk dunia luar.

Aku mengerjapkan mata, melihat jam di meja samping tempat tidur. Sudah hampir jam sepuluh, padahal seharusnya aku sudah bangun lebih pagi. Tapi tak apa, hari ini aku tidak punya rencana yang besar. Aku bernafas dalam-dalam, menyambut udara pagi yang terasa segar, meskipun rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Begitulah hidup di rumah yang semua orangnya sibuk dengan dunianya masing-masing. Ada kalanya aku merasa sedikit kesepian, tapi itu tidak selalu buruk. Setidaknya aku bisa menikmati ketenangan seperti ini tanpa gangguan.

Pelan-pelan, aku menarik selimut dan bangkit dari tempat tidur. Kaki menyentuh lantai, dingin sedikit, tapi aku tidak peduli. Langkahku menuju kamar mandi, dan secepatnya aku mandi, menenangkan diri. Selama beberapa menit, aku berdiri di bawah air hangat, membiarkan diriku terbangun sepenuhnya.

Selesai mandi, aku berjalan ke dapur. Rumah besar ini selalu punya aroma yang khas di pagi hari. Seperti bau kopi yang baru diseduh atau wangi roti bakar. Ibu pasti sedang menyiapkan sesuatu, tapi aku hanya ingin sarapan ringan hari ini—mungkin roti panggang dengan selai, atau mungkin cuma segelas susu hangat.

Saat melangkah ke ruang tamu, aku melihat tumpukan buku-buku yang ada di meja. Buku-buku yang kadang aku baca, kadang hanya menatapnya tanpa semangat. Ada satu novel tebal yang sudah lama kuabaikan, bertumpuk dengan beberapa majalah lama dan kertas-kertas tak terbaca. Aku melirik TV yang ada di sudut ruangan, teringat beberapa program yang ingin kutonton, tapi tiba-tiba rasa malas itu datang lagi. Aku lebih memilih duduk di sofa, menyeruput kopi yang sudah kubuat beberapa waktu lalu. Kopi itu, meskipun sederhana, selalu menjadi teman baik setiap kali aku butuh sesuatu untuk menenangkan diri. Ada kebahagiaan dalam kesederhanaan itu.

“Ada apa, Zayn? Kenapa diem aja?” terdengar suara Ilan dari dapur. Ternyata dia sudah bangun juga. Si kecil ini memang selalu cepat bangun di pagi hari, entah kenapa energi dia tak pernah habis.

Aku tersenyum, kemudian melirik ke arah dapur. Ilan sudah duduk di meja makan, menghadap roti yang terpanggang dan selai stroberi yang hampir habis.

“Nggak ada apa-apa, Ilan. Cuma lagi santai aja,” jawabku sambil menyeruput lagi kopiku.

Ilan menggigit roti bakarnya dengan santai, lalu memandangku dengan penuh perhatian. “Kenapa nggak pergi keluar aja? Udah lama kan kita nggak main bareng?” katanya sambil melontarkan senyum lebar yang hampir selalu menghiasi wajahnya.

Aku mengangkat bahu, tidak yakin. “Ah, nggak tahu. Lagi malas keluar rumah.”

Ilan memiringkan kepala, seperti mempertimbangkan sesuatu. “Aku sih nggak malas. Mau coba skateboard lagi?” Dia menunjuk papan skateboard yang ada di samping meja.

Aku memandang skateboard itu sejenak. Entah kenapa, aku merasa tertarik untuk mencoba lagi. Mungkin karena udara pagi yang segar, atau hanya karena rasa bosan yang menghinggapi. Tanpa banyak pikir, aku berdiri dan berjalan ke halaman belakang bersama Ilan.

Halaman belakang rumah kami memang tidak luas, tapi cukup untuk beberapa aktivitas kecil. Kami sering berdua bermain skateboard di sini, meluncur dengan hati-hati di jalur yang sudah mulai sedikit tergores. Ilan, meskipun usianya masih 12 tahun, sudah sangat mahir. Sedangkan aku? Masih sering jatuh dan tertawa sendiri. Tapi justru itulah yang membuatnya seru. Tidak ada beban, tidak ada tuntutan.

Beberapa kali Ilan melaju cepat, sementara aku hanya meluncur perlahan-lahan, berusaha menjaga keseimbangan. Tertawa bersama, meskipun hanya beberapa menit, terasa seperti waktu yang berharga. Tidak ada yang harus dilakukan, tidak ada yang penting. Kami hanya menikmati kebersamaan itu, di tengah sepi rumah yang penuh kenangan.

“Zayn, kamu masih inget nggak waktu kita dulu sering main ini bareng?” tanya Ilan sambil berputar di udara.

Aku mengangguk, senyum lebar menghiasi wajahku. “Inget banget, dulu kita bisa main sampe sore. Sekarang malah jarang.” Aku menggigit bibir, sedikit merasa kesal pada diriku sendiri.

Ilan berhenti sebentar, menatapku dengan serius. “Kenapa nggak sering main lagi? Biar nggak bosen kan.”

Aku hanya mengangkat bahu. Kadang aku merasa sedikit bosan dengan rutinitas sehari-hari. Rumah yang besar dan sepi terkadang membuat semuanya terasa kosong. Tapi Ilan benar, mungkin kita butuh lebih banyak waktu untuk menikmati hal-hal sederhana. Aku merasa sedikit terkejut, tapi senang. Ada sesuatu yang mengingatkan aku untuk berhenti sejenak dari segala yang rumit dan menikmati saat-saat seperti ini.

Di luar, suasana semakin cerah. Udara sejuk pagi itu terasa semakin menyegarkan. Kami berdua melanjutkan permainan kecil itu sampai beberapa saat, tertawa, jatuh, bangun, dan kembali meluncur lagi.

Namun, saat matahari mulai tinggi dan terasa lebih panas, kami berdua akhirnya berhenti. Kami duduk di teras, sama-sama terengah-engah, menikmati ketenangan sejenak. Tanpa ada yang perlu dibicarakan lebih lanjut, kami duduk bersama, merasakan kehangatan sinar matahari yang mulai terasa di kulit.

Rasa bosan itu tetap ada, tapi entah kenapa, hari ini, semuanya terasa lebih ringan.

 

Kopi, Tanaman, dan Percakapan Sederhana

Hari sudah semakin siang, dan meskipun langit tampak cerah, aku merasa sedikit enggan untuk melanjutkan aktivitas di luar. Ilan sudah kembali ke dalam rumah, sepertinya dia ingin bermain game lagi, sementara aku tetap duduk di teras, menikmati sisa-sisa kedamaian pagi. Angin yang semula sejuk kini terasa lebih hangat, dan aku mendongak ke langit, merasa bahwa ada hal-hal kecil yang selalu terlewatkan begitu saja dalam kesibukan sehari-hari.

Aku memutuskan untuk masuk kembali ke rumah. Dapur tampak kosong, dan ibu pun belum muncul dari balik pintu. Hanya ada suara detak jam yang mengisi kekosongan. Aku mengambil secangkir kopi yang masih tersisa dari tadi pagi, membiarkannya sedikit mendingin sebelum kembali meneguknya. Rasanya masih nikmat. Ada sesuatu yang memuaskan dalam hal-hal yang sederhana seperti ini, kopi pagi, sedikit waktu untuk diri sendiri, dan kesunyian rumah yang terasa nyaman.

Aku berjalan ke ruang tamu, lalu ke ruang tengah, dan mata ku terarah pada rak tanaman yang ada di sudut ruang. Aku tersenyum sendiri. Beberapa minggu yang lalu, aku mulai mengoleksi tanaman kecil di pot-pot lucu. Mereka sudah menjadi bagian dari rutinitas harian—disiram, dipindahkan, dan dipelihara. Mungkin terdengar aneh, tapi merawat tanaman terasa seperti memberi perhatian pada sesuatu yang tidak bisa berbicara, namun tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Rasanya seperti memiliki teman yang diam, yang tidak pernah menghakimi.

Langkahku pelan, mendekati rak tanaman itu. Aku mulai memindahkan beberapa tanaman dari pot kecil mereka ke pot yang lebih besar, memberi ruang agar mereka bisa tumbuh lebih baik. Ada kebahagiaan tersendiri dalam kegiatan yang tidak rumit ini—memastikan tanaman mendapatkan cukup cahaya, air, dan perhatian. Terkadang aku membayangkan bahwa tanaman-tanaman ini seperti refleksi diriku: kadang terlupakan, kadang terabaikan, tapi tetap berkembang dengan caranya sendiri.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di belakangku. Ibu muncul di pintu dapur, membawa sebuah nampan berisi teh manis dan beberapa kue kecil. Ibu selalu tahu bagaimana membuat teh yang sempurna, rasanya tidak pernah gagal menenangkan pikiran. “Zayn, lagi sibuk apa? Kok tenang banget di sini?” katanya sambil duduk di dekat meja makan.

Aku tersenyum sambil menata pot tanaman yang baru saja kupindahkan. “Nggak sibuk apa-apa, cuma merawat tanaman. Lumayan, bisa bikin suasana rumah jadi lebih hidup.”

Ibu tertawa kecil, matanya menyiratkan kebanggaan. “Kamu memang suka yang sederhana, ya. Tapi jangan lupa, hidup itu juga tentang keseimbangan. Jangan sampai terlalu sibuk dengan hal kecil dan lupa sama yang besar.”

Aku menatap ibu dengan heran, lalu mengangguk pelan. “Aku tahu, Bu. Kadang-kadang, hal-hal kecil justru bikin hidup lebih berwarna, kan?”

Ibu hanya tersenyum, lalu menyeruput teh manis yang dia buat. Suasana di antara kami terasa nyaman. Tak ada pembicaraan berat, hanya percakapan ringan yang mengalir begitu saja. Seperti itulah kami—membicarakan segala hal tanpa tekanan, dan saling mengerti tanpa banyak kata. Kadang, dalam kebersamaan yang sederhana ini, aku merasa cukup.

Tiba-tiba, aku mendengar suara Ilan dari ruang tamu, memanggilku dengan suara yang agak terburu-buru. “Zayn, ayo sini bentar! Ada yang seru!”

Aku meninggalkan ibu dan bergegas menuju ruang tamu, bertanya-tanya apa yang membuat Ilan begitu antusias. Begitu sampai, aku melihatnya duduk di lantai, menghadap layar laptop. “Lihat ini!” katanya dengan semangat, menunjuk ke layar.

Aku ikut duduk, mendekat ke layar laptop. Ternyata Ilan menemukan video tutorial baru tentang cara membuat proyek DIY yang cukup menarik. “Mau coba bikin sesuatu bareng?” tawarnya sambil menatapku dengan penuh harap.

Aku tersenyum, sedikit merasa terhibur. Meskipun awalnya malas, melihat Ilan begitu bersemangat membuatku merasa tertarik untuk ikut. “Ayo deh, coba bikin sesuatu yang seru.”

Kami pun mulai mengikuti tutorial tersebut, meskipun beberapa kali Ilan lebih sering salah langkah, tapi itu justru membuat kami semakin tertawa. Kami memotong-motong bahan dengan ceroboh, berusaha mengikuti instruksi, dan berakhir dengan proyek yang jauh dari sempurna, tetapi tetap menyenangkan.

Seiring berjalannya waktu, suasana di rumah semakin hangat. Meskipun hanya aktivitas kecil yang terjadi hari ini—merawat tanaman, ngobrol dengan ibu, dan bermain proyek DIY bersama Ilan—aku merasa bahwa semuanya cukup untuk membuat hari ini terasa penuh. Kadang, kebahagiaan datang dari hal-hal yang tak perlu direncanakan, cukup dengan menyadari bahwa kita bisa menikmati waktu dengan orang-orang yang kita sayangi, meskipun hanya di rumah saja.

Pukul empat sore, hari masih terasa panjang, tapi aku tahu, sesederhana ini saja sudah cukup untuk membuatku merasa bahagia.

 

Skateboard, Senja, dan Kenangan Lalu

Seiring dengan berlalunya waktu, hari semakin memudar. Meskipun pagi tadi terasa sepi, sore ini rumah mulai hidup dengan tawa kecil dan obrolan ringan. Ilan, yang semula sibuk dengan proyek DIY, kini kembali berlari ke luar rumah. Tanpa banyak kata, dia sudah membawa skateboardnya lagi, siap untuk mengajak bermain.

Aku masih di ruang tamu, menikmati sisa teh yang sudah mulai dingin, saat mataku menangkap sosok Ilan yang sudah meluncur dengan lincah di halaman depan. Dia benar-benar tak pernah kehabisan energi. Dengan gaya yang lebih yakin dan kecepatan yang semakin meningkat, Ilan meluncur turun ke jalan depan, kemudian berputar balik dengan penuh gaya.

Aku menggelengkan kepala, tersenyum melihatnya. Tiba-tiba, rasa malas itu kembali menghampiri, namun entah kenapa kali ini aku merasa ada sedikit dorongan untuk ikut. Mungkin karena langit yang semakin gelap dan angin senja yang mulai terasa sejuk. Ada sesuatu yang mengundang untuk beraktivitas lebih, sesuatu yang membuatku ingin melupakan kesendirian dan rutinitas yang kadang terasa monoton.

Aku berjalan menuju pintu, mengganti sandal dan melangkah ke luar rumah. “Ilan, tunggu aku!” seruku. Ilan yang mendengar langsung menoleh dengan wajah ceria.

“Akhirnya, Zayn! Ayo, coba ikut lagi,” katanya dengan semangat. “Sekarang giliran kamu! Jangan cuma jadi penonton aja.”

Aku hanya tertawa dan berjalan menuju papan skateboard yang ada di sisi rumah. Terasa canggung pada awalnya, tapi setelah meluncur beberapa meter, aku merasa sedikit lebih lepas. Ilan tidak henti-hentinya tertawa melihatku yang hampir jatuh beberapa kali, tapi dia tidak pernah mengolok-olok. Malah, dia terus memberi semangat.

Kami terus bermain di jalan depan rumah hingga matahari hampir tenggelam. Cahaya senja yang memerah memberikan keindahan tersendiri, dan kami berdua menikmati momen itu dengan cara yang paling sederhana. Skateboard, senja, dan sedikit kelelahan yang terasa menyenangkan.

Saat aku duduk di trotoar, menarik napas panjang, Ilan berhenti di sampingku dan duduk dengan kaki terentang. Kami berdua menatap langit yang mulai berwarna oranye keemasan. Tidak ada percakapan panjang, hanya keheningan yang terasa pas di antara kami. Angin senja berhembus, membawa bau tanah dan daun kering, membuat suasana semakin tenang.

“Ilan,” kataku, setelah beberapa menit terdiam, “Pernah nggak sih kamu merasa kayak hidup ini cuma rutinitas aja? Kayak semuanya terasa datar, gitu?”

Ilan menoleh dengan kening berkerut, seolah mencerna kata-kataku. “Aku nggak tahu sih, Zayn. Tapi kalau kamu sering merasa gitu, coba cari hal yang bikin kamu senang. Jangan terlalu banyak mikirin hal lain.”

Aku tertawa kecil, sedikit merasa tersentil dengan kata-kata Ilan. “Maksudnya?”

“Ya, maksudnya kayak… skateboard ini, misalnya. Kalau kita nggak tahu lagi mau ngapain, ya coba aja. Main dengan bebas. Terus kalau capek, istirahat sebentar, dan lanjut lagi. Hidup juga begitu, kan? Kadang nggak perlu terlalu dipikirin.”

Aku diam sejenak, meresapi kata-katanya. Mungkin benar. Hidup ini kadang memang tentang menjalani hal-hal kecil yang membuat kita merasa hidup. Skateboard, misalnya—itu mungkin cuma hal sederhana, tapi ternyata bisa membawa kebahagiaan yang cukup besar di tengah hari yang biasa.

Di saat yang sama, rasa nostalgia mulai menyentuh. Beberapa tahun lalu, aku dan Ilan sering sekali bermain skateboard bersama. Rasanya waktu itu tak ada yang lebih menyenangkan daripada meluncur bersama di sepanjang jalan, tanpa beban, tanpa memikirkan apapun. Kami tertawa sepanjang waktu, saling berlomba, saling mendukung. Tapi entah kenapa, setelah beberapa waktu, semuanya terasa lebih jarang. Ilan mulai lebih tertarik dengan hal-hal baru, dan aku mulai terjebak dalam rutinitas yang lebih serius.

Namun hari ini, semuanya terasa seperti kembali ke masa lalu. Aku merasa hidup, seperti dulu, tanpa beban dan tanpa terlalu banyak berpikir. Mungkin itu yang dibutuhkan—untuk melepaskan semua pikiran dan kembali ke hal-hal sederhana yang membuat kita bahagia.

Matahari kini sudah tenggelam, meninggalkan langit yang berwarna biru tua, dan lampu-lampu jalan mulai menyala. Udara malam semakin dingin, tapi entah kenapa aku merasa lebih hangat. Kami berdua berjalan perlahan menuju rumah, melewati jalan yang kini hampir sepi.

Saat melangkah masuk ke dalam rumah, kami disambut oleh ibu yang sedang duduk di ruang tamu, membaca buku. Ada rasa nyaman yang mengalir di dalam rumah ini, seolah semuanya kembali ke tempat yang seharusnya. Sederhana, tapi penuh makna.

Ilan segera menuju kamarnya, sementara aku duduk di meja makan, mengambil sisa makanan yang ditinggalkan ibu. Begitu aku duduk, suara ibu memecah keheningan. “Zayn, kamu masih ingat kan, dulu kita sering ngobrol tentang banyak hal setelah bermain di luar?”

Aku menatap ibu, merasakan kehangatan dalam suara itu. “Iya, Bu. Aku ingat. Rasanya hari ini seperti kembali ke masa itu.”

Ibu tersenyum, melirikku dengan mata yang penuh arti. “Terkadang, kita cuma butuh mengingat hal-hal yang sederhana, Zayn. Hanya untuk merasa hidup.”

Aku terdiam, dan tanpa sadar, aku tersenyum. Mungkin hidup ini memang tentang itu—tentang menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil yang selalu ada di sekitar kita, bahkan dalam rutinitas yang tampaknya membosankan.

 

Pagi Baru dan Langkah Kecil

Pagi tiba dengan lembut, menyelipkan cahaya ke dalam kamar melalui jendela yang sedikit terbuka. Udara yang sejuk masih terasa segar, memulai hari dengan harapan baru. Aku membuka mata perlahan, merasakan ketenangan yang datang bersama pagi yang sederhana ini. Tak ada kegelisahan, tak ada kerumitan. Hanya ada secangkir kopi dan ketenangan yang menunggu untuk dihadapi.

Pagi ini terasa sedikit berbeda. Tidak ada kekhawatiran tentang pekerjaan atau kegiatan yang harus diselesaikan. Semua terasa lebih ringan. Aku duduk di meja makan, menyiram tanaman-tanaman kecil di rak yang sudah kutata kembali beberapa hari lalu. Setiap tetes air yang jatuh di atas daun terasa seperti memberi hidup baru, seperti memberi sedikit kesegaran pada dunia yang kadang terasa berat.

Ilan masih terlelap di kamarnya, dan ibu sudah keluar rumah untuk urusan pagi hari. Aku sendiri menikmati momen itu dengan penuh kesadaran. Hanya aku, tanaman, dan suara-suara pagi yang tenang. Kadang, aku merasa inilah bagian terbaik dari hidup—momen-momen kecil yang datang tanpa diberi tahu, yang tidak bisa dipaksakan, hanya bisa dinikmati.

Setelah selesai dengan tanaman, aku mengambil secangkir teh hangat dari dapur, duduk di depan jendela, dan menatap jalanan yang masih sepi. Hanya ada angin yang berhembus lembut, dan burung-burung yang terbang pelan. Dunia di luar sana sepertinya tidak terburu-buru. Aku tersenyum sendiri. Mungkin, aku yang perlu lebih banyak belajar untuk tidak terburu-buru dalam hidup.

Pikiranku melayang ke beberapa hari lalu, saat aku bersama Ilan bermain skateboard, atau saat kami ngobrol ringan tentang hidup. Entah kenapa, setiap momen itu terasa seperti hadiah—tidak ada yang luar biasa, tapi semuanya berharga. Kami tidak perlu merencanakan apapun, hanya mengikuti alur waktu yang ada, dan kadang-kadang, itu sudah cukup.

Hari ini, aku memutuskan untuk meluangkan lebih banyak waktu di luar rumah. Mungkin berkeliling, menghirup udara segar, atau sekadar duduk di bangku taman yang sepi. Begitu banyak yang bisa dilakukan, namun kadang kita hanya perlu berhenti dan menikmati apa yang ada. Tidak ada yang perlu dipaksakan.

Tiba-tiba, suara pintu depan terbuka, dan Ilan muncul dengan rambut acak-acakan, wajahnya tampak lebih ceria dari biasanya. “Zayn, ayo jalan-jalan! Nggak ada salahnya keluar sebentar. Pasti seru,” katanya dengan nada penuh semangat, seolah mengerti bahwa aku butuh sedikit dorongan.

Aku menatapnya, lalu tersenyum. “Ayo, tapi hari ini santai saja ya, nggak usah terburu-buru.”

Kami berdua keluar dari rumah, berjalan menyusuri jalan yang sudah sering kami lewati. Kali ini, kami tidak bermain skateboard atau melakukan hal-hal yang mengharuskan kami bergerak cepat. Kami hanya berjalan pelan, menikmati suasana, dan berbicara tentang segala hal yang muncul di pikiran. Terkadang kami hanya terdiam, menikmati keheningan yang terasa begitu damai.

Ketika matahari mulai terbenam di ufuk barat, kami kembali ke rumah dengan langkah ringan. Seperti hari-hari sebelumnya, kami tidak melakukan hal-hal besar, tidak mengejar apapun. Kami hanya menjalani hari dengan cara yang sederhana, menikmati waktu bersama tanpa beban.

Malam itu, aku duduk di balkon, menatap langit yang dipenuhi bintang. Dalam hati, aku merasa puas. Hidup ini memang tak selalu harus rumit, kadang cukup dengan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Mungkin itu yang sebenarnya aku butuhkan—untuk terus berjalan, meskipun dengan langkah kecil, dan menikmati setiap momen yang ada.

Ilan duduk di sampingku, tanpa banyak kata, hanya saling berbagi keheningan. Kami tahu, dalam kesederhanaan ini, kami telah menemukan bagian dari kebahagiaan yang sesungguhnya.

 

Gimana, seru kan? Ternyata, kebahagiaan nggak selalu datang dari hal-hal besar atau rumit. Kadang, justru momen sederhana yang paling berharga.

Semoga cerpen ini bisa bikin kamu mikir lagi soal hal-hal kecil yang selama ini mungkin terlupakan, tapi sebenarnya bisa bikin hidup terasa lebih hidup. Jadi, jangan terlalu serius, nikmatin aja setiap detiknya, karena kebahagiaan sering banget datang tanpa kita duga!

Leave a Reply