Cerpen Kehidupan Sehari-Hari: Menemukan Kedamaian dalam Rutinitas yang Sederhana

Posted on

Kadang hidup itu ya gitu, sehari-hari aja. Gak ada yang spesial, rutinitas yang berulang-ulang. Tapi coba deh, perhatiin lagi—mungkin ada hal-hal kecil yang sebenarnya cukup bikin kita tersenyum, atau bahkan merasa lebih hidup.

Cerita ini tentang itu, tentang menemukan kedamaian di tengah kesederhanaan. Gak ada drama, gak ada konflik yang bikin kepala pusing. Cuma langkah-langkah santai di jalan kehidupan yang biasa, tapi bikin kita mikir, Oh, ternyata ini juga indah. Yuk, langsung aja baca!!

 

Cerpen Kehidupan Sehari-Hari

Ketukan di Pagi Hari

Pagi itu, langit masih kelabu, seakan enggan untuk menyapa matahari. Awan-awan menggantung rendah, menutupi birunya langit yang biasa menyapa di awal hari. Di dalam rumah kecil yang terletak di ujung gang sempit, Rona sedang berdiri di depan kompor gas yang menyala pelan. Tangan kanannya memegang sendok kayu, sedang kiri mengaduk kopi dalam cangkir keramik putih yang sudah setia menemani pagi-paginya.

Rona tidak suka buru-buru. Ia selalu menikmati setiap detik yang berlalu saat pagi datang. Mengaduk kopi dengan gerakan lambat, menikmati aroma kopi yang mulai memenuhi ruang dapur, meresap ke dalam hidungnya. Rasanya, dunia berhenti sejenak hanya untuk memberi kesempatan menikmati momen tenang itu.

Pekerjaannya, sebagai editor lepas, memang tidak memerlukan banyak pertemuan tatap muka. Ia lebih banyak berurusan dengan layar laptop dan secangkir kopi. Semua hal yang harus dilakukan bisa dilakukan dalam kesendirian, di rumah ini, yang terasa lebih seperti pelarian dari keramaian dunia luar. Begitulah hari-harinya—bangun, kopi, laptop, kerja, dan selesai. Tidak ada yang berubah.

Satu hal yang selalu sama adalah suara bel sepeda yang terdengar dari luar, tepat sebelum sebuah sepeda tua dengan keranjang depan melintas di depan rumahnya. Itu adalah Arga, seorang kurir dari toko buku yang terletak dekat stasiun.

Setiap pagi, tanpa gagal, Arga selalu lewat dengan sepeda tuanya. Bel sepeda yang ringkih itu selalu memberi tanda kalau dia baru saja melintas. Rona tidak pernah benar-benar peduli, hanya saja bel sepeda itu sudah menjadi bagian dari ritme harian rumahnya.

Namun, pagi itu, suara bel sepeda itu berhenti tepat di depan rumahnya. Rona yang sedang berdiri di dapur mendengar ketukan halus di pintu, dan tanpa berpikir panjang, ia membuka pintu.

“Pesanan buku dari toko,” kata Arga, sambil mengangkat satu paket buku yang terbungkus rapat di tangannya.

Rona terkejut. Ia tidak pernah menyangka akan memesan buku dari toko yang dikelola Arga. Biasanya, kalau ia ingin membeli buku, ia hanya mencari di internet.

“Oh, jadi kamu yang kirim?” tanya Rona dengan nada tidak terlalu antusias, namun tetap sopan.

“Iya, sepertinya aku yang kebagian tugas,” jawab Arga dengan senyum lebar. Rambutnya sedikit berantakan, dan keringat menetes dari pelipisnya akibat perjalanan sepedanya yang cukup jauh.

Rona menerima paket itu, lalu mengangguk. “Terima kasih.”

Arga berdiri sebentar di depan pintu, seolah ingin berkata sesuatu, tapi sepertinya ragu. “Aku… sering lihat kamu dari luar.”

Rona menoleh, sedikit terkejut. “Lihat aku?”

“Iya… maksudku, setiap pagi kan aku lewat sini. Kadang lihat kamu duduk di dekat jendela, baca buku atau sekadar ngopi,” kata Arga dengan nada yang sedikit canggung.

Rona terkekeh pelan. “Oh, begitu ya? Aku… nggak terlalu sering keluar rumah.”

“Dari luar, rumahmu kelihatan nyaman banget. Aku pikir kamu pasti sibuk, nggak ada waktu buat ngobrol-ngobrol.”

Rona mengangkat alisnya. “Sibuk? Enggak juga. Cuma…” Ia memikirkan sebentar. “Cuma, lebih suka di dalam rumah aja.”

Arga mengangguk, lalu menggeser sepedanya sedikit ke samping. “Oh, iya, yaudah deh. Aku pamit dulu.”

Rona menutup pintu dengan pelan, memandangi paket buku yang ada di tangannya. Terkadang, orang yang kamu kenal lewat tanpa benar-benar mengenal mereka. Arga hanyalah satu nama di daftar kurir toko buku, tapi ternyata, dia melihat lebih dari yang Rona kira.

Pagi itu, seperti biasa, berjalan begitu saja. Rona membuka paket bukunya, merasakan tekstur kertas yang lembut di tangannya. Ia mulai membaca, seakan dunia kembali ke ritme lama. Hanya suara hujan yang mulai turun deras di luar rumah yang sedikit mengganggu ketenangannya.

Namun, saat sore tiba, ada lagi ketukan di pintu. Kali ini, Arga datang dengan wajah sedikit cemas.

“Ini… ada roti dari tukang roti keliling, aku beli lebih. Mau?” tanya Arga sambil menggenggam kantong kertas.

Rona tertegun sebentar. “Kenapa roti ini malah dibawa ke sini?”

Arga mengangkat bahu. “Ya, aku pikir kalau kamu suka kopi, mungkin kamu juga suka roti. Toh, kalau nggak habis, aku juga yang makan.”

Rona tertawa kecil. “Baiklah, kalau begitu. Terima kasih.”

“Gampang kok, cuma roti doang. Aku juga sering lewat sini kok, jadi ya, kalau lagi ada yang lebih, ya buat teman aja.”

Mereka duduk di teras kecil di depan rumah Rona, menikmati secangkir kopi dan roti yang sederhana. Suasana yang tadinya canggung, kini sedikit lebih akrab. Mungkin, tidak banyak yang perlu dijelaskan. Mereka hanya berdua, menikmati sore yang hampir mendekati malam.

“Kenapa kamu nggak pernah ajak ngobrol orang lain?” tanya Arga, sambil menatap langit yang mulai gelap.

Rona terdiam sejenak. “Mungkin karena… lebih nyaman sendirian.”

Arga mengangguk, memahami tanpa banyak bicara. “Kadang aku pikir, kamu pasti orang yang sulit didekati.”

Rona hanya tersenyum tipis. “Bukan karena sulit, tapi karena aku tidak mencari siapa-siapa.”

“Ya, aku paham. Tapi, kalau kamu butuh teman bicara, aku ada kok.” Arga menatapnya dengan tulus.

Rona hanya mengangguk pelan. Ada rasa hangat yang perlahan muncul, meski tak ada banyak kata yang diucapkan. Sore itu, suasana jadi lebih ringan, dan keduanya merasa, entah kenapa, saling merasa nyaman meski belum saling mengenal dengan lebih dalam.

Ketika Arga pamit pergi, Rona menatapnya sejenak. Mungkin, tidak ada yang istimewa dari pertemuan-pertemuan kecil mereka. Tapi, tanpa disadari, ketukan pintu itu mulai menjadi bagian dari rutinitas Rona. Setiap pagi, ketukan itu adalah pengingat bahwa dunia ini tidak selalu sebosankan yang ia kira.

Dan pagi esok akan datang lagi.

 

Secangkir Kopi dan Percakapan Singkat

Hari-hari setelah pertemuan itu terasa sedikit berbeda bagi Rona. Ketukan di pagi hari dari Arga menjadi semacam ritus kecil yang menyenangkan, meski itu hanya sebentar. Rona mulai terbiasa dengan kehadirannya yang tidak mengganggu, hanya sekadar memberikan paket buku atau kadang membawa sepotong roti.

Meskipun jarak mereka tak begitu dekat, entah mengapa, ada hal yang membuat Rona merasa nyaman. Seperti hari itu, pagi yang lagi-lagi kelabu, Arga datang seperti biasa, tapi kali ini dia tidak hanya membawa paket buku.

“Roti lagi?” Rona sempat heran melihat keranjang yang dibawa Arga, yang kali ini lebih besar dari biasanya.

“Ini yang agak beda,” kata Arga sambil mengangkat keranjang itu. “Ada croissant isi coklat, cuma buat kamu.”

Rona tersenyum tipis. “Kamu kayaknya tahu banget ya aku suka yang manis-manis.”

Arga tertawa kecil. “Bukan cuma roti yang manis, lho.”

Rona mendelik sedikit, tidak tahu harus bagaimana menanggapi candaan itu. Tapi dia tetap menerima keranjang itu, dan mereka berdua duduk di depan rumah, menikmati roti sambil menikmati udara pagi yang segar.

Seperti biasa, percakapan mereka dimulai dengan hal-hal sederhana. Arga menceritakan seputar pekerjaannya, Rona membalas dengan cerita seputar pekerjaan lepasnya. Tentang bagaimana hari-harinya yang kadang membosankan, tentang bagaimana ia bisa berlama-lama hanya dengan menatap layar laptop tanpa banyak interaksi.

“Jadi, kamu nggak pernah coba keluar rumah buat nyari suasana baru?” tanya Arga, mencuri kesempatan saat Rona tengah mengunyah croissant.

“Ke luar rumah? Kayaknya buat apa, ya? Lagi-lagi itu cuma jalan ke tempat yang sama, lihat orang yang itu-itu juga,” jawab Rona tanpa menatap Arga.

Arga mengangkat bahu. “Kamu belum coba aja sih. Mungkin kamu bakal dapet banyak hal baru, hal-hal yang nggak pernah kamu duga.”

“Gampang banget ngomongnya,” Rona meliriknya dengan tatapan setengah bercanda. “Kamu aja yang setiap hari keliling nganterin buku, banyak hal yang kamu lihat. Aku sih… kalau nggak penting, ya nggak bakal keluar.”

Arga tertawa pelan. “Aku nggak pernah tahu apa yang dianggap penting sama orang lain. Tapi yang jelas, kamu punya cara sendiri buat hidup, kan? Entah itu di rumah, atau di luar rumah.”

Rona tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya memandangi Arga sejenak, merasa ada yang berbeda dengan cara pria itu melihat segala sesuatunya. Arga memang tampak sederhana dengan sepeda tuanya, pakaiannya yang tidak pernah mencolok, tetapi ada ketenangan dalam dirinya yang tak dimiliki banyak orang. Sesuatu yang membuat Rona merasa, entah kenapa, betah mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Hari itu berlalu seperti biasa. Rona melanjutkan pekerjaannya di laptop, dan Arga melanjutkan tugasnya mengantar buku. Tapi saat mereka bertemu lagi sore hari, suasana sedikit lebih akrab. Arga tidak hanya datang dengan paket buku atau roti, tapi kali ini dia membawa cerita tentang langit sore yang penuh warna.

“Lihat deh, warna langitnya hari ini beda, kan?” tanya Arga, mengarahkan jari ke langit yang mulai gelap.

Rona menatap langit, dan memang, ada sesuatu yang berbeda. “Iya, sih. Kaya warna-warna di palet cat yang mau dipakai buat lukis.”

“Iya, itu dia. Aku suka banget lihat langit sore. Semua warna campur jadi satu.” Arga tersenyum, tampaknya menikmati momen itu sendiri.

“Emang kamu suka banget sama langit ya?”

“Iya, karena nggak ada yang sama, tiap sore selalu berubah.” Arga menjawab dengan mata yang berbinar. “Dan aku suka melihatnya sambil mikir, apapun yang kita lewatin, langit tetap ada. Walaupun kita nggak sadar, dia tetap hadir setiap hari.”

Rona terdiam sejenak. Terkadang, kata-kata sederhana bisa memberi dampak lebih besar dari yang ia kira. Ia menatap langit lagi, merasa sesuatu bergulir di dalam hatinya. Apakah ia selama ini terlalu terjebak dengan rutinitasnya sendiri, terlalu sibuk dengan dunia kecilnya, hingga tidak menyadari keindahan sederhana yang ada di sekelilingnya?

“Aku pernah dengar orang bilang, langit itu tempat orang-orang yang sudah nggak ada di dunia. Mereka jadi bagian dari warna-warna itu,” kata Rona pelan.

Arga menoleh, sedikit terkejut dengan pernyataan itu. “Iya, bisa jadi. Mungkin mereka jadi bagian dari warna itu, supaya kita nggak lupa, walaupun mereka nggak ada, mereka tetap mengingatkan kita.”

Rona merasa ada hal yang berbeda dalam percakapan mereka. Biasanya, ia hanya berbicara tentang pekerjaan, tentang apa yang harus dilakukan besok, atau hal-hal sepele lainnya. Tapi kali ini, entah mengapa, percakapan itu lebih dalam, lebih terasa hidup.

“Mungkin kita memang nggak pernah tahu seberapa pentingnya hal-hal kecil yang kita lewatkan, kan?” kata Rona, menatap Arga dengan pandangan yang sedikit berbeda.

“Yang kecil-kecil itu, yang kadang kita anggap nggak penting, justru sering jadi yang paling berharga,” jawab Arga dengan tenang.

Mereka berdua terdiam, menikmati sore yang mulai meredup, sementara langit di atas mereka perlahan berganti warna. Dunia terasa lebih luas, lebih terbuka, seolah-olah percakapan sederhana ini membawa mereka ke dimensi yang lebih dalam.

Saat Arga berpamitan, Rona merasa sedikit enggan melepaskannya. “Makasih ya,” kata Rona dengan senyum tulus. “Udah… nyemangatin aku, buat lihat langit beda dari biasanya.”

Arga tersenyum. “Kadang kita perlu orang lain buat ngingetin kita, kalau ada hal-hal kecil yang bisa jadi besar. Sampai ketemu lagi, Rona.”

Setelah Arga pergi, Rona berdiri di depan pintu, memandangi langit yang semakin gelap. Mungkin, hari-hari yang monoton itu bisa berubah. Mungkin, Arga memang benar—ada banyak hal kecil yang bisa membuat hidup ini lebih berwarna.

 

Di Antara Keheningan yang Menyenangkan

Hari-hari setelah percakapan tentang langit itu terasa berbeda bagi Rona. Tidak hanya langit yang ia lihat lebih intens, tetapi juga setiap langkah yang ia ambil, setiap keputusan yang ia buat, rasanya seperti lebih diperhatikan. Mungkin itu karena hal-hal kecil yang sering ia abaikan, yang kini mulai terlihat lebih jelas. Setiap pagi, ketika Arga datang mengantarkan paket buku atau roti, Rona merasa ada semacam kehangatan yang datang bersama kedatangannya.

Namun, meski merasa lebih ringan, Rona tidak bisa mengabaikan satu hal yang mulai mengganggunya. Dalam kebiasaan bertemu itu, ia mulai merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Ada kedekatan yang tumbuh, sesuatu yang tidak bisa ia pungkiri meski ia berusaha untuk mengabaikannya. Mungkin karena Arga adalah salah satu orang yang bisa membuatnya merasa nyaman tanpa perlu banyak bicara, tanpa banyak drama. Dan di sinilah masalahnya—Rona takut hal itu akan berkembang lebih jauh.

Pagi itu, Arga datang lagi dengan membawa segelas kopi dan sepotong kue lapis yang baru saja ia buat.

“Udah nggak ada roti ya?” Rona bercanda begitu melihat kue lapis yang disodorkan Arga.

“Sesekali berubah suasana. Ternyata kamu lebih suka kue lapis ya, daripada roti manis,” jawab Arga dengan senyum yang selalu membuat Rona merasa sedikit lebih tenang.

Rona tersenyum. “Gimana kamu bisa tahu?”

Arga duduk di kursi depan rumah, seperti biasa, dengan mata yang tetap tajam memperhatikan segala hal meskipun kata-kata yang keluar dari mulutnya seringkali sederhana. “Aku cuma mikir, kamu tuh tipe yang nggak terlalu suka hal-hal yang terlalu manis, kan?”

Rona menatapnya, sedikit terkejut. “Kamu bisa nebak kayak gitu, sih?”

“Ya, kalau dilihat-lihat dari caramu makan roti manis, kamu lebih suka yang nggak terlalu berat, yang nggak bikin eneg.” Arga tertawa pelan, seakan mengingatkan Rona pada cara-cara sederhana yang dulu tidak pernah ia pikirkan.

Rona hanya tertawa kecil dan menerima kue lapis yang ditawarkan Arga. “Mungkin kamu memang lebih tahu soal aku, ya.”

“Gak ada yang lebih tahu, Rona. Kita cuma saling kenal, itu aja,” jawab Arga dengan suara yang dalam, seolah ia mencoba memberikan pengertian lebih tanpa harus mengatakannya langsung.

Namun, di situlah letak kenyataan yang sedikit mengganggu Rona. Kenapa rasanya seperti ada hal-hal yang belum selesai di antara mereka? Percakapan ini tidaklah biasa. Tidak ada gurauan konyol, tidak ada percakapan tentang hal-hal sepele. Tiba-tiba saja, suasana yang tenang itu terasa terlalu intim.

“Aku nggak tahu, sih. Tapi kadang-kadang aku merasa kita udah kenal lama, meski kita nggak banyak bicara,” kata Rona dengan suara yang sedikit pelan.

Arga menatapnya, namun kali ini tidak dengan senyum seperti biasanya. Ada keseriusan yang mulai terlihat di wajahnya. “Iya, kita memang nggak banyak bicara. Tapi kadang, justru itu yang bikin kita jadi lebih ngerti satu sama lain.”

Rona menghela napas pelan. Satu hal yang sering kali dia hindari adalah terlalu terbuka dengan orang lain, terutama tentang apa yang ada di dalam pikirannya. Namun, entah kenapa, dengan Arga, ia merasa seperti ada dorongan untuk berbagi lebih banyak, untuk membiarkan perasaannya keluar tanpa takut dihakimi.

“Tapi, kamu nggak ngerasa aneh ya?” Rona bertanya, agak ragu. “Maksudku, kita ini… nggak punya banyak kesamaan. Kamu dengan hidupmu yang… lebih santai, dan aku dengan hidupku yang lebih sibuk dan monoton.”

Arga memandang jauh ke depan, tidak langsung menjawab. Ada keheningan yang tiba-tiba menyelimuti percakapan mereka. Lalu, dengan perlahan, dia berkata, “Kadang kita justru lebih menemukan kesamaan lewat perbedaan, kan?”

Rona terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Arga, dengan segala ketenangannya, seolah bisa membuatnya berpikir lebih dalam tentang hidup yang selama ini terasa datar dan monoton. Namun, di sisi lain, Rona masih merasa cemas dengan kemungkinan rasa yang mulai tumbuh. Bukankah itu hal yang bisa berbahaya?

“Cuma satu hal yang aku tahu,” lanjut Arga, “Terkadang, keheningan bisa lebih berbicara daripada kata-kata.”

Rona menatap Arga. Ia merasakan sebuah ketenangan yang tidak bisa dijelaskan, tetapi juga ada rasa takut yang menyelinap masuk—takut kalau keheningan ini hanya akan membiarkannya berharap terlalu banyak.

“Apa maksudmu?” tanya Rona pelan.

Arga tersenyum tipis, lalu mengedipkan mata. “Ya, kita nggak selalu perlu ngobrol panjang lebar. Kadang, kita cukup duduk bersama, menikmati waktu yang ada. Yang penting, kita ada di sini, dan nggak perlu mencari alasan.”

Rona merasa seperti terhanyut dalam kata-kata itu. Dia yang biasanya begitu analitis, selalu mencari alasan dan tujuan dalam segala hal, kini merasa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak bisa diukur dengan logika atau perhitungan.

“Terima kasih,” kata Rona, akhirnya membuka suara setelah hening yang cukup lama.

“Untuk apa?” tanya Arga, masih dengan senyuman ringan yang tetap tidak bisa disembunyikan.

“Untuk membuatku merasa kalau hidup itu nggak cuma soal tugas dan jadwal yang harus diselesaikan. Kadang, hidup itu cuma soal menikmati apa yang ada.”

Arga tertawa ringan. “Kamu baru sadar sekarang, ya?”

“Ya, kadang kita butuh orang lain buat ngingetin kita tentang hal-hal kecil kayak gitu,” jawab Rona, sambil tersenyum tipis.

Setelah itu, mereka terdiam. Tidak ada yang perlu dijelaskan lebih jauh. Tidak ada kata-kata besar yang harus diungkapkan. Keheningan itu, yang dulunya terasa berat, kini terasa menyenangkan, memberi ruang bagi mereka berdua untuk mengerti tanpa perlu banyak bicara.

Hari itu, Rona merasa sedikit lebih ringan. Mungkin, keheningan adalah bahasa yang paling jujur, dan kadang, dalam keheningan itu, rasa bisa tumbuh dengan cara yang tak terduga.

 

Langkah Tanpa Kata

Keheningan yang terasa menenangkan itu, perlahan, membawa Rona ke suatu titik yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Beberapa hari setelah percakapan tentang langit itu, ia mulai menemukan ketenangan dalam rutinitas yang terasa lebih sederhana. Rutinitas yang dulunya biasa-biasa saja, kini memiliki warna. Tidak ada yang berubah secara dramatis, namun ada perbedaan yang cukup berarti—Rona merasa lebih hidup.

Pagi-pagi seperti biasa, Arga datang dengan kopi dan kue lapis yang dia buat sendiri. Seperti biasa, mereka duduk bersama di meja kecil di teras rumah, hanya berbincang tentang hal-hal ringan yang tidak pernah terasa membosankan. Tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—sesuatu yang ada dalam suasana yang lebih dalam, lebih tenang.

“Ini hari keberapa kamu datang pagi-pagi banget bawa kopi dan kue lapis?” tanya Rona dengan senyum nakal, sambil memiringkan kepalanya ke arah Arga yang sedang menyesap kopi.

Arga tersenyum sambil mengangkat bahu. “Mungkin aku sudah ketagihan dengan pagi-pagi yang nggak terlalu sibuk. Kalau kamu nggak keberatan, aku sih akan terus datang.” Suaranya santai, namun ada ketulusan yang bisa terasa di balik kata-katanya.

Rona hanya tertawa pelan. “Aku nggak keberatan sih. Tapi jangan sampai kamu jadi kebiasaan, nanti aku jadi terlalu nyaman.”

“Terlalu nyaman bukan hal yang buruk kok, Rona,” jawab Arga, meletakkan cangkir kopinya dengan lembut di atas meja. “Kadang, kita terlalu takut dengan kenyamanan karena kita merasa itu berarti ketergantungan. Padahal, kenyamanan juga bisa jadi tempat kita bisa menemukan diri sendiri, tahu?”

Rona memandangnya dalam-dalam. Kata-kata Arga selalu sederhana, namun bisa menyentuh lebih dalam daripada yang ia duga. Terkadang, orang seperti Arga—yang tidak banyak berbicara—lebih bisa memberikan pengertian daripada mereka yang suka mengungkapkan segalanya.

“Kenapa kamu bisa sebijaksana itu?” tanya Rona tanpa sengaja, terkejut dengan dirinya sendiri yang mulai mengungkapkan pertanyaan yang jarang ia pikirkan sebelumnya.

Arga tertawa pelan, melemparkan tatapan yang sedikit genit ke arahnya. “Mungkin aku cuma suka diam. Kadang, dengan diam, kita bisa lebih mendengarkan.”

“Dan aku suka mendengarkan kamu,” kata Rona, lebih dari sekedar candaan. Ia merasakan suatu kehangatan di dalam dirinya. Bukan hanya karena kata-kata itu, tetapi karena hadirnya Arga di sekitarnya membuat segala sesuatu terasa lebih mudah.

Mereka terdiam sejenak. Tidak ada kata-kata besar, hanya kenyataan bahwa perasaan ini tumbuh perlahan, tanpa terencana. Tidak ada tekanan untuk menjelaskannya, tidak ada kebutuhan untuk menjadikan sesuatu lebih dari sekedar perasaan yang datang begitu saja. Keheningan mereka saat itu adalah bentuk komunikasi yang paling murni.

Pagi itu pun berlalu, dan rutinitas pun kembali. Rona mulai menemukan hal yang belum pernah ia sadari sebelumnya—bahwa dalam kehidupan yang monoton dan penuh jadwal, ada keindahan yang terletak pada momen-momen sederhana yang kadang terlupakan. Setiap pertemuan dengan Arga tidak lagi hanya tentang berbagi roti atau kopi, tetapi tentang berbagi keheningan yang nyaman, tentang berbagi waktu tanpa harus menjelaskan semuanya.

Hari-hari berikutnya mengalir dengan cara yang sangat alami. Mereka bertemu, berbicara, dan tertawa—tentu saja, tanpa beban. Ada kenyamanan dalam kebersamaan itu yang tak terucapkan, tapi terasa di setiap detik yang berlalu. Rona merasa, untuk pertama kalinya, bahwa kehidupan yang tampaknya datar dan biasa-biasa saja, justru memiliki kedalaman yang tidak ia duga sebelumnya.

Suatu sore, ketika matahari mulai tenggelam di balik bukit dan angin sepoi-sepoi menyelimuti udara, Arga mengajaknya berjalan-jalan ke taman. Tidak ada alasan khusus, hanya untuk menikmati suasana sore yang tenang. Rona berjalan di sampingnya, tidak terburu-buru, hanya menikmati langkah kaki yang terasa ringan. Mereka berdua hanya diam, sesekali berbicara tentang hal-hal sepele, tentang langit yang mulai berubah warna, atau tentang kenangan masa lalu yang mulai hilang ditelan waktu.

“Apa kamu pernah merasa kalau hidup itu nggak selamanya harus penuh dengan ambisi?” tanya Arga di tengah keheningan.

Rona menatapnya, mencoba memahami maksud pertanyaan itu. “Ambisi? Aku rasa ambisi itu penting. Tanpa ambisi, hidup jadi gak punya arah.”

“Ambisi memang penting,” jawab Arga dengan tenang, “tapi kadang kita terlalu sibuk mengejar hal-hal besar sampai kita lupa menikmati apa yang ada di depan mata. Coba lihat sekelilingmu. Langit yang mulai gelap, taman yang sepi, angin yang berhembus pelan. Semua ini ada dan nggak perlu dijelaskan. Ini semua bagian dari hidup.”

Rona tersenyum tipis, menatap langit yang semakin kelam. Ia merasa ada suatu kedamaian yang mengalir begitu saja di dalam dirinya. “Kamu benar,” jawabnya pelan. “Kadang, kita terlalu fokus mencari tujuan sampai lupa kalau perjalanan itu sendiri sudah cukup berarti.”

Mereka terus berjalan, tidak ada kata-kata besar yang perlu diucapkan lagi. Dalam keheningan, mereka menemukan kenyamanan yang sulit untuk dijelaskan. Dan meskipun perjalanan ini mungkin hanya bagian kecil dari hidup mereka, bagi Rona, momen seperti ini sudah cukup. Tidak perlu lebih dari itu.

Karena di antara langkah-langkah yang tenang itu, Rona tahu bahwa terkadang, hidup tidak harus dimengerti. Kadang, kita hanya perlu ada—dan menikmati setiap detik yang diberikan tanpa perlu berpikir terlalu banyak.

Hari itu, Rona merasa lebih ringan. Mungkin, memang tidak ada yang perlu dijelaskan lebih jauh. Keheningan itu sendiri adalah jawaban yang paling benar.

 

Jadi, kadang hidup nggak perlu dipaksain buat selalu seru atau penuh kejutan. Kadang, hal-hal sederhana—seperti duduk bareng temen, ngobrol santai, atau bahkan cuma menikmati sore yang tenang—udah cukup bikin hati merasa hangat.

Mungkin, dalam rutinitas yang terasa monoton itu, kita justru menemukan kebahagiaan yang paling nyata. Jadi, nggak usah takut sama kehidupan yang biasa, karena siapa tahu, itu justru yang paling berarti.

Leave a Reply