Cerpen Kehidupan Sehari-hari di Rumah Baru: Perubahan, Kebersamaan, dan Harapan Baru

Posted on

Kadang, hidup itu kayak perjalanan yang penuh kejutan, ya. Bisa jadi, kita ngerasa nyaman banget di tempat yang udah lama kita kenal, tapi tiba-tiba aja ada perubahan besar yang bikin semuanya berbeda.

Nah, cerpen ini bakal ngebahas gimana rasanya ngalamin pindah rumah, tapi nggak cuma soal kemasan barang atau cari tempat tidur baru. Ini lebih ke gimana sebuah keluarga, dengan segala kekacauan dan kebersamaan, berusaha menemukan tempat baru yang bisa mereka sebut rumah. Mau tau gimana serunya? Yuk, baca!

 

Cerpen Kehidupan Sehari-hari di Rumah Baru

Pagi yang Selalu Riuh

Pagi di rumah keluarga Azwar selalu dimulai dengan suara-suara yang tak terhindarkan. Ada suara sapu yang bergesekan dengan tanah halaman, suara ketukan sendok di atas meja makan, dan tentu saja, suara riuh tawa yang datang dari anggota keluarga yang mulai bangun satu per satu. Hari ini pun begitu, seperti biasa.

Saka sudah ada di luar sejak matahari baru saja menanjak. Pagi ini, seperti biasa, dia adalah orang pertama yang bangun. Sebagai anak sulung, dia merasa sudah jadi tanggung jawabnya untuk menjaga rumah tetap rapi. Biasanya, setelah bangun tidur, dia langsung meraih sapu dan menyapu halaman kecil di depan rumah. Ada yang aneh dari kebiasaannya itu—selain menyapu, Saka juga selalu mendengarkan podcast motivasi yang membuatnya terlihat seperti seorang pekerja keras, meskipun sejujurnya, dia lebih sering termenung dan menatap langit ketimbang menyelesaikan pekerjaan rumah.

“Selamat pagi, Pak Penyapu,” suara Alira, adik perempuannya, tiba-tiba terdengar dari belakang.

Saka menoleh, dan menemukan Alira yang berdiri dengan ekspresi wajah penuh selidik, matanya yang besar menatapnya lucu. Alira selalu begitu, datang tanpa diundang dan mengusik rutinitasnya dengan cara yang tidak terduga.

“Jangan ganggu saya, Alira. Ini tugas serius,” jawab Saka sambil tetap menyapu, mencoba tidak terlalu memperhatikan kehadiran adiknya yang sekarang mulai menggoda dengan menirukan suara sapu yang terdengar aneh.

“Yah, aku cuma mau bilang kalau itu bukan sapu yang serius. Itu sapu penyapu mager!” Alira tertawa kecil, senyum lebar di wajahnya.

Saka mendengus, meski sudah terbiasa diganggu seperti itu. “Tolong deh, jangan rusak pagi hari saya dengan lelucon konyol.”

Alira tidak terlalu peduli. Dengan gaya santainya, dia duduk di kursi taman yang terletak di pojok halaman, menatap Saka sambil menggigit roti. Tidak butuh waktu lama bagi Saka untuk kembali tenggelam dalam tugasnya, menyapu halaman dengan langkah yang cepat meskipun tubuhnya setengah terjaga.

Di dalam rumah, Aisyah, ibu mereka, sudah memulai rutinitas pagi yang tak pernah berubah. Dapur itu selalu dipenuhi aroma masakan yang mengundang selera. Pagi ini, seperti biasanya, dia membuat nasi goreng dengan taburan cabai rawit yang pedas. Kebiasaan memasak di pagi hari adalah hal yang paling disukai oleh Aisyah, dan seakan-akan masakannya selalu bisa menyatukan keluarga mereka.

“Pak, tolong jangan duduk begitu. Bangun, dong. Kita kan belum makan,” suara Aisyah menyela lamunannya.

Pak Azwar, yang biasanya duduk di meja makan dengan secangkir kopi hitam di tangan, menurunkan korannya. Seperti biasa, dia akan membaca berita pagi sambil menanggapi komentar Aisyah dengan serius, meskipun kadang-kadang, tanggapannya lebih terdengar seperti pembicaraan di dunia politik yang jarang diikuti.

“Negara ini kalau terus begini, ya bisa kacau,” gumamnya, sesekali melirik ke arah berita politik yang baru saja dibaca.

Aisyah hanya tertawa kecil, seakan tidak pernah ada habisnya berbicara soal politik. “Kau cuma terlalu serius, Azwar. Sudah deh, makan dulu. Baru pikirkan dunia.”

Sementara itu, Saka yang sudah selesai menyapu halaman mulai masuk kembali ke rumah. Seperti biasa, dia akan langsung menuju meja makan, tempat di mana makan pagi yang sudah siap menunggunya. Alira, adiknya yang malas bergerak, baru saja menyelesaikan video kucing lucu yang ia tonton dari pagi. Dia berjalan ke meja dengan langkah malas, duduk sambil tersenyum.

“Pagi, semuanya. Nasi gorengnya sudah siap?” tanya Saka dengan suara yang penuh harap.

“Ya, ya, datang langsung ambil,” jawab Aisyah tanpa berpaling dari kompor.

Saat mereka duduk di meja makan, suasana pagi itu seperti biasa penuh dengan percakapan ringan. Tetapi selalu ada kebiasaan yang sama: Pak Azwar akan menyindir tentang kebiasaan anak-anaknya yang lebih sering menatap layar daripada berbicara dengan orang langsung.

“Kenapa kalian enggak bisa ngobrol seperti orang zaman dulu sih? Tanpa gadget, tanpa TV,” kata Pak Azwar sambil menyeruput kopi hitam, mencoba untuk terdengar bijaksana.

“Tapi kan itu sudah zaman sekarang, Pak,” jawab Saka sambil tertawa, “Masa saya harus jadi tua sebelum waktunya?”

Alira tidak banyak bicara, matanya masih tertuju pada layar ponsel. Sambil menyendok nasi goreng, dia sesekali terkekeh sendiri karena melihat video lucu yang ia temukan di media sosial.

Tapi pagi di rumah Azwar memang tidak pernah benar-benar sepi. Begitu Saka menghabiskan sarapannya dan Alira merasa cukup mengusik dengan candaannya, mereka semua beranjak menuju rutinitas masing-masing. Saka mengurung diri di kamarnya untuk memulai kuliah daring, sedangkan Alira membuka laptopnya, meskipun lebih sering berpindah ke media sosial daripada benar-benar mengerjakan tugas.

Namun, tak ada yang bisa merubah kenyataan bahwa di rumah itu, rutinitas sehari-hari—meskipun terkadang membosankan—selalu dipenuhi dengan canda dan kebersamaan yang membawa kehangatan, seakan hari tidak akan pernah berakhir. Semua berjalan dengan cara mereka sendiri, mengikuti irama yang tak terucapkan, namun tetap terasa indah.

Meskipun saat-saat seperti itu terasa biasa, tidak ada yang bisa menggantikan momen sederhana seperti ini di rumah keluarga Azwar.

 

Moka, Si Pendatang Tak Diundang

Hari itu seperti hari-hari biasa di rumah Azwar—pagi yang cerah, suara riuh dari meja makan, dan rutinitas yang terulang. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Ketika Saka tengah duduk di meja belajar, Alira, yang biasanya menghabiskan waktu dengan ponsel, keluar dari kamar dengan ekspresi aneh.

“Moka masuk ke rumah, Saka!” teriaknya sambil memegang pintu yang baru saja dia tutup.

Saka menoleh, keningnya berkerut. “Siapa itu Moka?”

Alira hanya tersenyum lebar, seolah-olah menemukan harta karun. “Kucing liar! Moka! Dia datang sendiri! Dan, dia nggak mau pergi.”

Saka menatap Alira dengan tatapan bingung, tetapi adiknya sudah berlari menuju ruang tamu. Penasaran, Saka mengikuti langkahnya. Saat sampai di ruang tamu, mereka melihat seekor kucing hitam dengan corak putih di sekitar perutnya tengah duduk santai di karpet, tampak seperti sudah merasa di rumah. Kucing itu menatap mereka dengan pandangan tajam, lalu menguap panjang.

“Wah, ini kucing galak ya?” Saka berkata setengah bercanda, sambil melangkah mundur perlahan.

“Tapi lucu, kan? Aku mau pelihara dia. Dia bakal jadi anggota baru kita,” jawab Alira penuh semangat, duduk di lantai dekat kucing itu.

Saka menggelengkan kepala. “Nggak bisa, Alira. Nggak ada hewan peliharaan di rumah ini.”

Namun, sepertinya itu bukan akhir dari cerita. Alira tidak peduli dengan apa yang Saka katakan. Dengan lembut, dia mengelus kepala kucing itu, yang sepertinya sudah nyaman berada di rumah mereka. “Moka nggak akan ganggu. Dia cuma butuh makan, kan? Cuma kasih makan sedikit, Saka.”

Saka menghela napas panjang. “Kau tahu kan, Pak Azwar nggak suka kucing. Terutama kalau ada yang masuk ke rumah tanpa izin.”

Benar saja, beberapa saat kemudian Pak Azwar muncul di ambang pintu ruang tamu dengan wajah serius. “Ada apa ini? Apa kalian bawa kucing ke rumah?”

Saka dan Alira terdiam. Saka yang biasanya tidak mudah terjebak dalam situasi seperti ini merasa canggung. Sedangkan Alira, dengan wajah polos dan tidak berdosa, hanya bisa tersenyum lebar.

“Moka itu… kucing liar, Pa. Tapi aku janji, dia nggak akan ganggu. Lagian dia nggak jahat, kok.”

Pak Azwar mengerutkan keningnya, menatap Moka yang sedang duduk di dekat Alira. Dalam diam, ia berjalan mendekat. Semua orang menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tiba-tiba, Pak Azwar mengeluarkan suara tawa kecil, yang membuat suasana jadi lebih ringan.

“Ah, kucing ya… Apa lagi ini. Moka, ya?” Pak Azwar melirik kucing itu, lalu mengelus kepala Moka. “Baiklah, kalau sudah begini. Tapi jangan sampai kucing ini ganggu tanaman saya di halaman!”

Alira melompat kegirangan. “Makasih, Pa! Moka nggak akan ganggu kok. Dia cuma butuh tempat tinggal dan sedikit perhatian.”

Saka hanya bisa menggelengkan kepala. “Aduh, gimana sih. Tahu-tahu ada kucing di rumah. Semoga saja dia nggak bikin masalah nanti.”

Namun, seiring berjalannya waktu, Moka ternyata memang tidak terlalu merepotkan. Kucing itu lebih banyak tidur dan bermain-main sendiri di pojok ruang tamu. Alira merasa sangat puas karena akhirnya berhasil membuat Pak Azwar setuju, meskipun dengan syarat ketat. Setiap sore, Moka akan diberi makan, dan Saka akan memastikan bahwa kucing itu tidak mengganggu kebun ayah mereka.

Namun, kebiasaan Moka yang tidur sepanjang siang dan aktif di malam hari menjadi tantangan tersendiri. Setiap malam, ketika seisi rumah sudah tertidur lelap, Moka mulai berlarian ke sana kemari. Alira yang mendengarnya langsung bangun, keluar dari kamar, dan berjalan mencari Moka yang sepertinya senang mengejar bayangannya sendiri di bawah lampu.

Saka, yang merasa terganggu oleh suara langkah kaki Moka yang berlarian, keluar dari kamar. “Alira! Udah malam, jangan biarin Moka berlarian, dong!”

Alira berlari mengejar Moka yang melompat ke atas sofa, lalu dia mencoba menangkapnya dengan suara cemas. “Aduh, Moka, diam dong! Jangan ganggu tidur Saka.”

Pak Azwar yang terbangun oleh kegaduhan di ruang tamu hanya bisa menghela napas panjang. “Sudahlah, Saka. Alira, biarkan kucing itu. Kalau dia masih ganggu, kita kembalikan ke luar.”

Alira, yang mendengar ancaman itu, langsung panik. “Nggak bisa, Pa! Aku sayang Moka. Kalau kita kembalikan ke luar, dia bakal kesepian.”

Malam itu di rumah Azwar berlangsung cukup kacau. Moka dengan segala kelucuannya membuat rutinitas malam yang biasanya tenang berubah menjadi sedikit heboh. Meskipun begitu, semua anggota keluarga merasa ada hal baru yang menyenangkan. Moka, si pendatang tak diundang, kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka, menambah warna baru dalam keseharian yang sebelumnya hanya dipenuhi kebosanan ringan.

Namun, tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya dengan Moka di rumah itu. Sebuah babak baru dalam kehidupan keluarga Azwar baru saja dimulai.

 

Kejutan Pagi yang Tak Terduga

Pagi itu terasa sedikit berbeda dari biasanya. Moka, yang semalam tampak kelelahan berlarian, tidur pulas di karpet ruang tamu, tampak tenang. Alira duduk di sampingnya, membelai bulunya yang lembut, sementara Saka, yang sudah terbiasa dengan kucing itu, cuma melirik sekilas sebelum melanjutkan dengan rutinitas paginya.

Namun, meskipun tampak damai, ada yang tidak biasa di rumah itu. Pak Azwar, yang biasanya menikmati secangkir kopi dengan tenang sambil membaca koran, kali ini tidak berada di meja makan. Aisyah juga belum terlihat keluar dari kamar tidur mereka, yang biasanya dia sudah sibuk dengan urusan dapur. Semua terasa sepi.

“Ada apa, ya?” Saka bertanya pada dirinya sendiri sambil melangkah menuju kamar orang tuanya. Dia membuka pintu kamar dengan perlahan, dan langsung disambut oleh pemandangan yang membuatnya terkejut.

Pak Azwar duduk di ranjang, wajahnya tampak pucat, dan Aisyah duduk di sisi tempat tidur dengan ekspresi cemas. Suasana dalam kamar itu terasa sangat berbeda, seolah ada yang mengganggu ketenangan keluarga mereka.

“Pa, Ma, ada apa? Kenapa kelihatan cemas gitu?” tanya Saka dengan suara yang penuh rasa penasaran.

Aisyah menghela napas panjang dan menatap Saka. “Saka, Ayahmu… ada hal penting yang harus kita bicarakan.”

Saka duduk di ujung ranjang, merasakan ketegangan yang memancar dari wajah kedua orang tuanya. “Apa, Ma?”

Pak Azwar akhirnya membuka mulut, meskipun suaranya terdengar lebih lemah dari biasanya. “Saka, kita harus pindah rumah.”

Kata-kata itu seperti petir di siang bolong. Saka terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Pindah rumah? Kenapa, Pa? Kita nggak bisa tinggal di sini lagi?”

Aisyah menggigit bibirnya, tampak bingung antara memberitahu lebih lanjut atau menahan informasi. “Ada masalah di pekerjaan Ayah. Sepertinya kita nggak bisa tinggal di sini lebih lama, Saka.”

Saka merasa seluruh tubuhnya terhuyung. Meskipun dia tak terlalu banyak tahu tentang pekerjaan ayahnya, dia tahu betul bahwa rumah ini adalah segalanya bagi mereka. Rumah ini penuh dengan kenangan, dan meninggalkannya rasanya tidak mudah.

“Apa kita… harus pindah secepat ini?” tanyanya dengan suara pelan.

Pak Azwar mengangguk lemah. “Iya, Saka. Mungkin dalam beberapa hari ini. Aku udah coba cari tempat baru, tapi… semuanya nggak semudah yang aku kira.”

Alira yang mendengar percakapan itu dari luar kamar, akhirnya masuk dengan wajah bingung. “Pindah rumah? Kenapa? Kita nggak bisa bertahan di sini?”

Aisyah memeluk Alira, mencoba menenangkan perasaan adiknya yang tampaknya mulai panik. “Kita akan baik-baik saja, sayang. Hanya saja, keadaan sekarang tidak memungkinkan kita untuk tetap di sini.”

Saka merasa hatinya sesak. Rasanya seperti semuanya yang dia anggap tetap dan stabil, kini berubah begitu cepat. Rumah mereka yang selama ini terasa aman, yang dipenuhi dengan canda dan tawa, kini terasa rapuh.

“Mungkin kita bisa coba bicarakan lagi, kan? Jangan langsung putuskan sekarang,” Saka mencoba menyarankan.

Pak Azwar menggelengkan kepala. “Sudah diputuskan, Saka. Ini demi kebaikan kita semua.”

Beberapa hari berikutnya, rumah keluarga Azwar dipenuhi dengan kesibukan yang tidak biasa. Pindahan bukanlah hal yang mudah, dan meskipun Alira tetap ceria dengan kehadiran Moka yang terus mengganggu ketenangan rumah, Saka bisa merasakan ketegangan yang semakin membesar. Setiap kali dia melihat wajah ibu dan ayahnya, ada kecemasan yang tak bisa dihindari.

Hari demi hari berlalu, dan keluarga Azwar mulai mengemas barang-barang mereka. Saka merasa seperti dia sedang berada dalam mimpi buruk, di mana semuanya berubah begitu cepat, tanpa dia bisa berbuat banyak. Setiap kali dia melangkah ke kamar tidurnya, rasanya seperti kehilangan bagian dari dirinya. Bagaimana mereka bisa pindah begitu saja? Kenapa rumah ini harus ditinggalkan?

Namun, tidak ada yang bisa mengubah kenyataan. Mereka harus pindah. Dan meskipun Saka merasa cemas, dia tahu satu hal: apapun yang terjadi, keluarganya akan tetap bersama, di rumah baru, dengan kenangan yang baru pula.

Alira, dengan cara yang lucu dan khasnya, terus menghibur mereka semua. “Ayo, Pa, Ma! Kita akan punya rumah baru! Siapa tahu nanti kita bisa punya ruang tamu yang lebih besar buat Moka berlarian.”

Moka, yang telah menjadi bagian dari keluarga itu, duduk dengan manis di pangkuan Alira, seolah mengerti bahwa perubahan ini akan datang. Meskipun Saka merasa berat meninggalkan rumah yang penuh kenangan, dia tahu, bahwa setiap keluarga pasti melewati masa-masa seperti ini.

Pindah rumah mungkin tidak mudah, tetapi mungkin, justru itulah yang dibutuhkan. Pagi-pagi yang cerah itu pun berubah menjadi salah satu pagi penuh pemikiran dan perubahan. Keluarga Azwar akan memulai babak baru dalam hidup mereka—sesuatu yang tak terduga, tapi tetap penuh harapan.

 

Hal Baru di Rumah Baru

Keluarga Azwar akhirnya tiba di rumah baru mereka. Rumah yang terlihat lebih kecil dibandingkan dengan yang lama, namun penuh dengan potensi dan harapan baru. Dengan keadaan yang masih terasa asing, mereka berjalan masuk satu per satu, membawa barang-barang yang baru saja dipindahkan dari rumah lama. Moka, yang kini menjadi bagian dari rutinitas keluarga, berjalan santai di samping Alira, menikmati suasana baru yang terhampar di depan mereka.

Saka berdiri di tengah ruang tamu, menatap dinding yang kosong dan belum dihiasi apapun. Ini memang rumah baru, dan meskipun baru beberapa hari tinggal di sini, Saka mulai merasakan ada perbedaan besar. Tidak ada lagi suara riuh dari dapur yang biasanya terdengar dari arah rumah lama, tidak ada lagi kenangan lama yang terpatri di setiap sudutnya. Semua terasa kosong, namun juga segar. Mungkin ini adalah awal baru yang mereka butuhkan.

“Ayo, Saka, bantuin aku atur-atur barang ini,” seru Alira dari ruang tamu.

Saka mengangguk, tersenyum. Walaupun perasaan cemas masih menghantui dirinya, dia tahu bahwa setiap langkah ini adalah bagian dari proses. Mereka mungkin telah meninggalkan rumah lama, tetapi mereka membawa segalanya yang lebih penting: keluarga. Mungkin rumah baru ini belum sepenuhnya terasa seperti rumah, tetapi mereka akan membuatnya begitu.

Pak Azwar dan Aisyah tampak lebih tenang sekarang, meski jelas mereka juga sedang beradaptasi dengan kenyataan baru. Mereka berbicara lebih banyak daripada biasanya, mencoba untuk merasa nyaman dengan perubahan yang ada. Pak Azwar duduk di meja makan yang terletak di sudut, menyarankan Saka dan Alira untuk mulai merapikan ruang tamu sementara dia mengatur meja kerja.

“Rumah ini lebih kecil, tapi ada banyak ruang untuk kita membuatnya lebih baik,” kata Pak Azwar, melirik Saka dengan senyuman. “Kita bisa mulai merancang kehidupan baru di sini.”

Saka mengangguk setuju. “Ya, Pa. Mungkin ini juga bisa jadi kesempatan buat mulai lagi. Semuanya bisa berubah lebih baik, kan?”

Alira berlari ke ruang tamu sambil membawa beberapa barang kecil. “Ayo, Saka, kita atur barang-barang ini supaya Moka nggak kesusahan lagi! Lagian, siapa tahu, kita bisa nemuin tempat yang lebih nyaman buat dia di rumah baru ini!”

Saka tertawa kecil, mengingat betapa banyaknya masalah yang Moka bawa, meskipun sekarang dia menjadi semacam kebiasaan baru yang mereka semua nikmati. “Iya, Alira. Moka udah jadi anggota keluarga kita yang nggak bisa dihindari.”

Hari itu berlalu dengan cepat. Setiap sudut rumah baru mereka mulai terisi, sedikit demi sedikit. Moka masih dengan segala kenakalannya, berlarian ke sana kemari, menggigit barang-barang yang belum disusun. Meskipun Moka bisa sedikit mengganggu, ada rasa hangat di dalam hati Saka yang mulai menyadari bahwa hal-hal kecil seperti ini adalah bagian dari kebersamaan mereka.

Alira, yang sibuk menata tempat tidur, menyeringai. “Kalian lihat nggak, si Moka? Dia udah mulai merasa di rumah sendiri. Mana ada kucing liar yang bisa langsung nyaman kayak gini?”

Saka hanya tertawa ringan, mengikuti langkah adiknya. Semua berubah dengan cepat, namun ada rasa syukur yang tidak terungkapkan. Moka, rumah baru, dan segala perubahan ini mengingatkan Saka bahwa hidup akan selalu memberikan kejutan. Meski kadang perasaan takut dan cemas datang menyelip, kenyataannya, perubahan itu justru membawa mereka lebih dekat satu sama lain.

Malam itu, setelah semua pekerjaan berakhir, mereka duduk bersama di ruang tamu, yang meskipun masih sederhana, terasa lebih hangat dari sebelumnya. Alira duduk di lantai, memeluk Moka yang sudah tertidur, sementara Saka menatap ke luar jendela.

“Aku nggak tahu rumah baru ini akan jadi seperti apa, tapi rasanya kita bisa mulai dari sini. Kita semua bisa memulai sesuatu yang baru,” ujar Saka, berbicara pada dirinya sendiri.

Pak Azwar dan Aisyah duduk di sofa, tersenyum sembari memandang anak-anak mereka. “Kita akan membuat kenangan baru di sini,” kata Pak Azwar dengan penuh keyakinan. “Dan di tempat baru ini, kita akan lebih kuat.”

Suasana terasa damai. Meski masih ada banyak hal yang harus dihadapi, mereka tahu bahwa dengan kebersamaan, mereka akan mampu melewati semuanya. Di rumah baru yang penuh tantangan ini, mereka akan menemukan jalan baru yang membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik. Dengan keluarga, sedikit perubahan, dan kehadiran Moka yang nakal, mereka tahu bahwa kebahagiaan itu sederhana.

Dan pada malam yang tenang itu, mereka tidur dengan perasaan nyaman, siap untuk memulai babak baru dalam kehidupan mereka.

 

Jadi, meskipun pindah rumah bukan hal yang mudah dan penuh tantangan, akhirnya kita belajar satu hal penting: yang bikin rumah itu rumah bukanlah tempatnya, tapi orang-orang yang kita cintai di dalamnya.

Di setiap perubahan, ada kesempatan untuk membangun kenangan baru, dan yang pasti, kebersamaan keluarga itu nggak pernah salah. Semoga cerita ini bisa ngasih sedikit inspirasi buat kamu yang lagi atau akan menghadapi perubahan besar dalam hidup. Karena, siapa tahu, rumah baru bisa jadi tempat terbaik untuk memulai sesuatu yang lebih baik.

Leave a Reply