Cerpen Kehabisan Bensin Saat Berangkat Sekolah: Kisah Sial yang Menginspirasi

Posted on

Bayangin deh, lagi pagi-pagi buta, udah kesiangan, motor malah kehabisan bensin! Sial banget, kan? Tapi ternyata, hari yang kacau ini malah jadi pelajaran berharga. Gimana rasanya ngerasain drama dari pagi sampai siang? Yuk, simak ceritanya, deh, siapa tahu kamu bisa ketawa bareng!!

 

Kisah Sial yang Menginspirasi

Alarm yang Terabaikan

Pagi itu, Farren terbangun dengan mata yang terasa berat, seperti baru saja menelan semangkuk nasi goreng—tapi bukan karena kenyang, melainkan karena kantuk yang nggak hilang-hilang. Alarm di ponselnya sudah berbunyi tiga kali, dan tiap kali itu pula, ia cuma menekan tombol snooze dengan malas. Pikirannya hanya satu: lima menit lagi.

Namun, pagi itu, lima menit ternyata bukan lagi lima menit. Begitu matanya terbuka sepenuhnya, ia mendapati jam di dinding sudah menunjukkan pukul 06.45. Seketika itu juga, jantungnya meloncat. “Aduh, ini udah telat banget!”

Dalam sekejap, Farren melompat dari tempat tidur, melemparkan selimutnya yang masih menggulung ke bawah kaki. Seragam sekolah yang semalam diletakkan asal-asalan di kursi kini dipakai dalam hitungan detik. Kemeja putihnya langsung ia kenakan dengan cara yang tak kalah cepat—sama sekali nggak rapi, tapi setidaknya bisa menutupi bagian tubuh yang penting. Celana abu-abu yang agak kusut juga ia tarik dengan terburu-buru.

“Bu, aku nggak bisa sarapan deh, telat!” serunya ke arah dapur.

Ibunya yang sedang sibuk menyiapkan masakan untuk sarapan hanya menjawab dengan nada setengah khawatir, “Hati-hati di jalan, Farren!”

Sementara itu, Farren sudah menuruni tangga dengan langkah cepat, seperti seorang atlet lari yang sedang mengejar garis finis. Begitu tiba di garasi, ia langsung menghadap motor kesayangannya, Orlin. Motornya itu sudah berusia tiga tahun, tapi masih tetap setia. Namun, pagi ini, Orlin tampaknya juga malas beraksi. Dengan tangan gemetar, Farren mengambil kunci motor yang tergeletak di atas meja dan memasukkannya ke lubang kunci.

“Brumm… brumm…” Motor itu mulai menyala, dan Farren pun langsung meluncur keluar dari garasi, berharap bisa mengejar waktu yang semakin berjalan lebih cepat.

Namun, beberapa meter setelah keluar dari gerbang rumah, Orlin tampaknya mengalami masalah. Motor itu mulai bergetar aneh. Farren mendorong gas sedikit lebih dalam, berharap bisa mengatasi masalah sepele ini, tapi tiba-tiba…

“Brum… brum…”

Motor itu tiba-tiba mati.

Farren menatap motor yang kini terdiam dengan ekspresi bingung. “Aduh, kenapa sih? Jangan sekarang dong!”

Dia mencoba menyalakannya lagi, tapi tak berhasil. Farren mulai panik. Dia menengok ke kanan-kiri, berharap ada seseorang yang lewat dan bisa menolong. Tapi jalanan masih sepi. Dengan berat hati, dia mulai mendorong motor tersebut ke pinggir jalan.

Dalam hatinya, Farren sudah mulai membayangkan berbagai skenario buruk. Apa yang bakal terjadi jika dia terlambat upacara bendera? Bagaimana kalau guru BK tahu? Pak Hamdan, guru BP yang terkenal galak, pasti bakal langsung memberikan hukuman terberat, seperti yang selalu dia lakukan ke teman-teman yang terlambat.

Mengingat itu semua, Farren semakin terdesak. Ia terus mendorong motor itu dengan tenaga yang seolah nggak ada habisnya, meskipun keringat sudah membasahi punggungnya. Beberapa tetangga yang sedang berangkat kerja atau sekadar berjalan-jalan lewat, memberikan tatapan aneh ke arahnya.

“Eh, Farren, kenapa motornya mogok?” tanya Pak Rahman, tetangga yang kebetulan sedang mengendarai mobilnya.

Farren hanya bisa mengangguk malu, berusaha menunjukkan senyum yang terlihat lebih seperti senyum sumbing daripada senyum percaya diri. “Iya, Pak. Sepertinya kehabisan bensin.”

Pak Rahman hanya menggelengkan kepala. “Coba periksa bensinnya dulu.”

Farren langsung menoleh ke motor Orlin dan membuka tutup tangki bensin. Kosong. Seutuhnya kosong.

“Bodohnya aku, kenapa nggak ngeh kalau bensin udah mau habis kemarin?” keluh Farren dalam hati.

Setelah itu, ia mulai mendorong motor lagi, meskipun langkahnya sudah terasa lebih berat. Matanya mulai berair, dan hatinya ingin sekali teriak kesal. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Tiba-tiba, hari itu jadi terasa begitu berat.

Hanya satu tujuan yang ada di pikirannya: pom bensin terdekat. Kalau bisa, dia harus segera mengisi ulang bensin agar bisa sampai ke sekolah tepat waktu. Tapi jarak pom bensin itu hampir satu kilometer dari rumahnya. Dan hari ini, langit pun seakan tidak memberikan belas kasihan.

Dengan napas terengah-engah, Farren terus mendorong motor itu, berharap waktunya tidak semakin terkuras. Begitu ia hampir tiba di pom bensin, ia merasa seperti sudah mendaki gunung. Semua orang di sekitarnya seperti terlihat menertawakan kegagalannya, meskipun mereka mungkin tidak begitu peduli.

Setiba di pom bensin, antreannya panjang—seperti antrian di kasir swalayan saat liburan tiba. Wajah Farren mulai memerah, dan dia mulai merasa seperti tokoh utama dalam film komedi yang dipenuhi kekonyolan.

Namun, tidak ada waktu untuk berpikir terlalu lama. Ia mengambil tempat di antrean dan memandang mesin pom bensin yang terlihat semakin lama semakin lambat. Orang-orang di depan seolah melambatkan gerakannya, dan Farren pun hanya bisa menghela napas panjang, mencoba menahan diri agar tidak meledak.

Waktunya sudah sangat terbatas.

 

Orlin yang Haus

Setelah menunggu dengan sabar—atau lebih tepatnya mencoba tidak mengutuk dalam hati—Farren akhirnya mendapatkan giliran untuk mengisi bensin. Dengan langkah cepat, ia menyerahkan uang ke petugas dan menunggu mesin pom bensin mengalirkan bahan bakar ke dalam tangki motor.

Namun, waktu yang sudah terbuang itu terus menghantui Farren. Jam di tangan kirinya menunjukkan pukul 07.10, dan pikirannya mulai penuh dengan bayangan wajah Pak Hamdan yang berdiri di depan barisan upacara. Bahkan ketika bensin sudah penuh, Farren masih merasa terjebak dalam spiral kekacauan ini.

“Terima kasih, Mbak,” ujar petugas pom bensin itu, membuat Farren sedikit terjaga dari lamunannya. Ia memberikan senyum tipis, meskipun dalam hati ia sudah terlanjur kesal.

Dengan motor yang kini sudah terisi penuh, Farren bergegas menuju jalan utama. Sepanjang jalan menuju sekolah, sepertinya setiap kendaraan di dunia ini memilih untuk bergerak lebih lambat dari biasanya. Ia melirik ke kanan-kiri, berharap tidak ada polisi yang sedang berpatroli, karena sebuah tilang atau razia di pagi yang sial ini bisa menjadi pukulan telak.

Sampai akhirnya, ia tiba di gerbang sekolah. Langkahnya sedikit tergesa, dan rasa malu sudah mulai membungkus dirinya. Beberapa siswa sudah berdiri di sekitar lapangan upacara, dengan seragam rapi dan wajah yang sudah siap mengikuti kegiatan sekolah seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda bahwa mereka juga pernah merasakan kekacauan pagi seperti yang Farren alami.

Begitu motor Orlin tiba di halaman parkir, Farren memarkirnya dengan cepat. Namun, baru saja ia melewati gerbang sekolah, ia mendengar suara bel upacara berbunyi. “Kedua…!”

Farren hampir terjatuh. “Sial!” gumamnya dalam hati.

Langkahnya menjadi semakin cepat, dan ia mulai berlari kecil menuju lapangan. Di tengah perjalanan, ia melihat beberapa teman sekelasnya yang sedang tertawa melihat ke arahnya. Mungkin ada yang menyadari betapa kacau kondisinya. Farren merasa pipinya memanas. “Aduh, kenapa sih ini?”

Saat ia sampai di barisan, Pak Hamdan, guru BP yang terkenal galak, sudah menatap tajam. Farren merasa seluruh dunia seakan memperhatikannya. Ada yang menahan tawa, ada yang pura-pura tidak peduli, dan ada juga yang dengan sengaja mendekat untuk melihat apa yang terjadi.

“Farren, kamu lagi, ya?” suara Pak Hamdan keras dan membuat semua mata tertuju padanya.

Farren hanya bisa mengangguk pelan, menundukkan kepala. Ia tahu, hukuman sudah menunggu. Pak Hamdan dengan sigap mengarahkan Farren ke sisi lapangan yang memang sudah disediakan untuk siswa yang terlambat.

“Hukumannya kali ini bukan sekadar berdiri di sini, Farren,” kata Pak Hamdan sambil melipat tangannya. “Kamu harus bersihkan toilet sekolah.”

“Serius, Pak?” Farren hampir tidak percaya. Itu adalah hukuman terberat yang pernah didapatnya, dan dia tahu pasti itu adalah momen yang tak akan terlupakan.

Sekolah masih berjalan dengan biasa, tetapi Farren merasa seolah-olah dia sedang berada di dunia yang berbeda. Sejak ia tiba, setiap gerakan yang ia lakukan seakan menjadi perhatian semua orang. Ada yang mendekat, ada yang berbisik. Beberapa temannya bahkan terlihat geli dengan keadaan yang Farren alami.

“Ih, Farren kena lagi tuh…” gumam salah seorang teman Farren yang berdiri di belakangnya.

“Malu banget, ya,” tambah temannya yang lain, membuat Farren semakin merasa ingin menghilang saja di tengah keramaian itu.

Setelah upacara selesai, Farren dibawa ke toilet oleh seorang penjaga sekolah. Wajahnya merah padam, meskipun ia berusaha tersenyum seakan tidak apa-apa. Di dalam toilet, Farren memandang sekelilingnya. “Ya ampun, nggak pernah semenyedihkan ini, deh,” pikirnya.

Mengambil sapu dan ember, Farren mulai membersihkan lantai toilet yang cukup kotor. Ia menyeka dan menggosok dengan penuh kesabaran, meskipun dalam hati ia terus mengutuk dirinya sendiri.

“Aduh, kenapa sih hari ini semuanya berantakan?” keluhnya dalam hati, sambil melirik ke sekeliling toilet.

Sesekali, Farren berhenti sejenak, berpikir tentang apa yang sudah terjadi pagi ini. Keterlambatannya, motornya yang kehabisan bensin, sampai hukuman yang harus ia jalani, semuanya terasa seperti gurauan sial yang tak berujung. “Sungguh hari yang sangat buruk…”

Namun, di tengah keputusasaannya, ia tersenyum sedikit. Mungkin, nanti setelah ini, ia akan bisa tertawa tentang semua ini, kan? Tapi untuk saat ini, ia hanya bisa merenung dan berharap hari-harinya berikutnya tidak sesial ini.

 

Pom Bensin dan Tatapan Dunia

Farren duduk di lantai toilet sekolah dengan punggung yang terasa pegal, tangan masih memegang sikat WC, dan wajahnya yang memerah masih menunjukkan rasa malu yang mendalam. Tugasnya belum selesai, dan waktu seakan berjalan lebih lambat dari biasanya.

“Kenapa sih semuanya harus seperti ini?” keluhnya dalam hati, berusaha menenangkan diri.

Suara langkah kaki terdengar dari luar toilet. Farren mengangkat kepala dan melihat seorang teman sekelas, Dita, melangkah masuk dengan senyum lebar di wajahnya. Dita adalah salah satu teman yang selalu tampil ceria, dengan rambut pendek dan gaya berbusana yang simpel tapi selalu keren.

“Farren, kamu kenapa?” Dita bertanya sambil melirik ke sekeliling. “Lagi ngepel atau lagi dijeblosin buat bersihin WC?”

Farren hanya bisa tertawa kecut. “Iya, Dita. Sial banget, kan? Motor kehabisan bensin, telat, dan sekarang disuruh bersihin WC sekolah. Sekali kena, semuanya jadi berantakan.”

Dita tertawa kecil, meski tampak seperti kasihan juga melihat keadaan Farren. “Aduh, kasihan banget. Tapi gimana pun, kamu nggak sendiri kok. Semua orang pasti pernah ngerasain hari-hari sial kayak gini.”

Farren mengangguk sambil melanjutkan pekerjaannya. “Mungkin sih, Dita, tapi ini terlalu cepat buatku. Cuma dalam beberapa jam, dunia terasa seperti menyelamatkan orang lain dan menyiksa aku.”

Namun, tak lama setelah itu, Dita beranjak pergi dengan senyum simpul. “Oke deh, Farren, aku bantuin bersihin WC, yuk! Tuh, lihat, kita bisa nyelesain ini bareng-bareng.”

Farren merasa sedikit lebih baik meski masih kesal, dan bersama Dita, mereka pun menyelesaikan tugas itu dengan lebih cepat. Setelah selesai, Dita memberikan Farren semangat untuk melanjutkan harinya.

“Loh, kok kamu masih belum beranjak dari sini? Ayo, udah selesai! Jangan biarkan satu kesalahan menghancurkan seluruh harimu.”

Meskipun rasa malu masih menempel, Farren mencoba untuk melangkah keluar dari toilet dengan sedikit lebih tegak. Tidak ada cara lain selain menjalani sisa hari ini, meskipun seperti sedang menjalani cobaan yang tidak ada habisnya.

Ketika ia akhirnya keluar dari ruang toilet, ia disambut oleh tatapan teman-teman sekelasnya yang masih mengobrol di sekitar lapangan. Beberapa dari mereka menatapnya dengan kasihan, beberapa dengan rasa heran, dan beberapa lainnya hanya berbisik pelan. Tentu saja, tak ada yang benar-benar berniat buruk. Mereka semua hanya terkejut melihat Farren yang biasa tampil percaya diri, kini sedang menjalani hari yang penuh dengan kesialan.

“Sial banget, ya?” gumam Ryan, salah satu teman laki-laki sekelas yang biasanya selalu bercanda. “Baru pagi udah telat, disuruh bersihin WC, terus jadi bahan obrolan seluruh sekolah. Kalau aku sih udah pasti nyerah.”

Farren memutar bola matanya dengan kesal. “Ya, emang sih. Tapi nggak ada pilihan, kan? Kalau mau tetep hidup, ya harus terus jalan aja. Gimana lagi?”

Lalu, tiba-tiba, tatapan Farren tertuju pada sesuatu yang tak disangka-sangka. Seorang murid yang baru saja memasuki gerbang sekolah dengan motor besar—mungkin baru datang dari rumahnya yang jauh. Mata Farren langsung tertuju pada motor itu. Ia mengenal pemiliknya.

Seseorang yang selalu tampil begitu rapi dan terlihat cool. Siapa lagi kalau bukan Arsen, si anak ‘sempurna’ yang selalu punya segalanya. Wajah tampannya yang dingin, rambut hitam yang teratur, pakaian yang selalu terlihat seperti baru, dan… senyum sedikit mengejek yang selalu membuat Farren merasa seperti orang yang baru saja jatuh dari langit.

Tak jarang, Arsen juga dikenal sebagai orang yang suka bercanda dengan teman-teman, tetapi tidak pernah sekalipun terlihat benar-benar ‘terjatuh’ seperti Farren pagi ini. Semua yang ia lakukan selalu terlihat sempurna—bahkan saat ia berangkat ke sekolah.

Arsen memarkirkan motornya dengan gaya yang santai, lalu menatap Farren yang masih berdiri terdiam di depan pintu toilet. Tanpa merasa ragu, ia mendekat dengan langkah mantap, meskipun wajahnya tak menunjukkan rasa ingin tahu.

“Wah, Farren,” katanya dengan suara setenang mungkin. “Kayaknya kamu lagi ngerasain karma nih.”

Farren merasa pipinya memanas lagi. “Jangan terlalu puas dulu, Arsen. Aku memang telat, dan aku memang bersihin WC, tapi kamu nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik layar.”

Arsen hanya mengangkat alis, sedikit tersenyum. “Iya, iya, aku tahu kok. Tapi… just so you know, nggak ada yang pernah sempurna. Semua orang punya sisi jeleknya.”

Farren memutar bola matanya, berusaha mengendalikan emosinya yang mulai meluap. “Kamu cuma nggak tahu rasanya jadi orang yang selalu dikelilingi orang-orang yang nggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi.”

Tiba-tiba, Arsen tersenyum lebar dan mempersilakan Farren untuk mengikuti langkahnya menuju lapangan. “Yuk, ikut upacara. Kamu udah cukup dijatuhi hukuman untuk satu hari, kan?”

Farren merasa geli, meskipun tetap merasa risih. “Bukan masalah itu. Aku cuma nggak suka dilihat orang lagi.”

Namun, Arsen mengangkat bahu dengan santai, seakan menanggapi semua yang terjadi di pagi itu dengan cara yang sangat ringan. “Kita semua pernah di posisi itu, kok. Cuma mungkin nggak semua orang mau mengakuinya.”

Dengan senyuman itu, Farren akhirnya mengikuti langkah Arsen menuju barisan upacara, merasa sedikit lebih tenang, meskipun hari itu masih terasa berat.

 

Pelajaran di Pagi yang Sial

Hari itu akhirnya tiba juga. Setelah melalui pagi yang penuh drama, Farren merasa bahwa dirinya bisa sedikit menarik napas lega, meskipun masih banyak hal yang terasa canggung dan belum selesai. Upacara sudah berakhir, dan sekarang waktunya untuk kembali ke kelas, menghadapi tugas-tugas, dan tentunya, hidup yang terus berjalan.

Farren melangkah menuju kelas dengan langkah sedikit berat. Beberapa teman masih meliriknya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Ada yang masih tampak geli, ada yang sekadar penasaran, dan beberapa dari mereka sudah kembali dengan aktivitas mereka masing-masing, seakan pagi itu tidak pernah terjadi. Tapi bagi Farren, ingatan tentang pagi yang kacau ini akan selalu membekas.

Di ruang kelas, suasana sedikit lebih tenang. Farren duduk di tempatnya dengan wajah datar, mencoba untuk melupakan segala yang terjadi. Namun, saat ia membuka buku catatannya, ia melihat sebuah tulisan yang baru saja muncul di atas mejanya.

“Farren, sorry kalau aku ganggu, tapi kamu luar biasa bisa bertahan di pagi yang gila kayak tadi. Kamu tuh inspirasi banget.”

Farren menoleh, terkejut melihat tulisan dari Dita yang duduk di sebelahnya. Dita selalu menjadi teman yang bisa membuat segala sesuatunya terasa lebih ringan, bahkan di saat-saat sulit sekalipun.

Farren tersenyum tipis, merasa sedikit lebih baik. “Thanks, Dita. Tapi jujur aja, aku nggak tahu bagaimana bisa sampai sini. Rasanya kayak hari ini semua pengen aku jatuhin aja.”

Dita tertawa kecil. “Gitu deh, Farren. Kamu itu kadang kelihatan kuat banget, tapi ternyata ada kalanya kamu juga bisa down. Semua orang kok ngalamin itu.”

Farren mengangguk, merasa seolah-olah sebuah beban berat akhirnya sedikit terangkat. “Iya ya, mungkin aku terlalu keras sama diri sendiri. Aku terlalu fokus pada segala yang nggak berjalan sesuai rencana.”

Saat itu, guru memasuki kelas dan suasana berubah menjadi lebih serius. Namun, Farren merasa sedikit lega. Meskipun pagi itu benar-benar kacau, ia tahu bahwa hari ini akan tetap berjalan, dan semuanya pasti akan berakhir dengan baik—atau setidaknya, ia berharap begitu.

Selama pelajaran berlangsung, pikirannya melayang ke kejadian tadi pagi. Ia teringat pada Arsen, yang dengan santai menghadapinya dan memberinya pandangan yang mungkin tidak pernah ia duga. Selama ini, Farren selalu merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Tetapi kata-kata Arsen tentang “semua orang punya sisi jeleknya” terdengar seperti sebuah pengingat.

“Kadang, kita terlalu keras pada diri sendiri,” gumam Farren dalam hati.

Hari itu berlanjut dengan lancar, dan meskipun banyak yang masih merasa sedikit canggung, Farren akhirnya belajar sesuatu yang berharga: bahwa semua orang, tanpa terkecuali, punya hari yang buruk. Tak ada yang sempurna.

Pada akhirnya, pagi yang sial ini hanya akan menjadi cerita lucu yang ia kenang dengan sedikit tawa. Setelah semua selesai, Farren tahu bahwa setiap kesalahan yang terjadi bukanlah akhir dari dunia. Justru, itu adalah bagian dari perjalanan yang membuatnya lebih kuat.

Ketika bel pulang berbunyi, Farren keluar dari kelas dengan senyum di wajahnya. Hari yang penuh cobaan itu akhirnya berakhir, dan ia bisa kembali melangkah dengan lebih ringan. Pagi yang kacau itu tak lagi menahan langkahnya.

Mungkin esok, ia akan belajar untuk mengisi bensin di motor lebih awal. Atau mungkin, ia hanya akan mengingat bahwa hidup tak selalu berjalan sesuai harapan. Apa pun yang terjadi, Farren tahu satu hal—kehidupan ini tidak akan berhenti meskipun di tengah kekacauan.

Tersenyumlah, Farren. Karena besok, dunia akan memberimu kesempatan untuk mencoba lagi.

 

Jadi, meskipun pagi itu penuh kekacauan, Farren akhirnya belajar satu hal: nggak ada yang sempurna, dan semua orang pasti pernah punya hari yang sial.

Tapi yang penting, kita bisa bangkit lagi, kan? Kalau besok kamu lagi ngalamin hari yang nggak enak, inget aja, pasti ada pelajaran di balik semua kekacauan itu. Jadi, semangat terus, ya! Jangan biarkan satu kejadian jelek menghancurkan hari-harimu.

Leave a Reply