Cerpen Katak Hendak Menjadi Lembu: Perjalanan Sihir Menuju Kedamaian

Posted on

Kamu pernah nggak sih ngerasa pengen banget jadi sesuatu yang beda, kayak hidup kamu kayaknya kurang aja? Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dunia di mana seekor katak punya ambisi gila buat jadi lembu! Iya, kamu nggak salah baca. Jadi lembu! Penasaran kan gimana ceritanya bisa jadi konyol dan penuh sihir? Yuk, baca terus buat tahu gimana perjalanan aneh dan lucu si katak ini!

 

Cerpen Katak Hendak Menjadi Lembu

Impian Gabulax

Di sebuah rawa kecil yang terletak di pinggiran hutan Eldoria, suasana pagi itu terlihat biasa-biasa saja. Suara riuh serangga dan gemericik air yang mengalir lembut menambah ketenangan hutan. Namun, di tengah ketenangan itu, ada sebuah pemandangan yang tidak biasa—sebuah katak besar berwarna hijau lumut duduk di atas batu, memandang jauh ke depan dengan ekspresi serius. Katak ini bernama Gabulax, dan seperti yang akan segera kamu ketahui, Gabulax adalah katak yang memiliki impian yang sangat tidak biasa.

“Kalau aku jadi lembu,” kata Gabulax dengan penuh keyakinan, berbicara lebih pada dirinya sendiri daripada siapa pun yang mendengarnya. “Semua hewan di sini pasti bakal hormat padaku. Aku bisa punya tanduk, suara ‘moo’ yang menggema, dan bisa makan rumput sepuasnya.”

Teman-teman Gabulax yang kebetulan lewat hanya bisa melirik sekilas, lalu tertawa terbahak-bahak. Si Belok, capung yang selalu terbang cepat, tidak bisa menahan diri.

“Hahaha! Gabulax, kamu serius mau jadi lembu?” tanya Belok sambil terbang rendah di samping Gabulax.

Gabulax mengangguk, matanya menyala dengan semangat. “Tentu saja! Bayangkan, aku bisa jadi besar dan kuat, nggak cuma lincah lompat-lompat kayak sekarang. Aku bisa jadi simbol kekuatan, hewan terhormat di rawa ini!”

Kelinci, yang sedang menggigit daun, mendongak dan tertawa. “Kamu? Lembu? Yang ada malah kamu jadi sasaran empuk bagi serigala!”

Gabulax memutar matanya dengan kesal. “Kalian nggak ngerti. Kalau aku jadi lembu, aku nggak cuma besar. Aku akan jadi pusat perhatian. Semua hewan bakal mengagumiku, melihatku sebagai contoh kehidupan yang sempurna!”

Belok hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu itu katak, Gabulax. Katak punya hidupnya sendiri, kenapa harus jadi lembu? Lembu itu rumput doang makanannya, dan tanduknya nggak guna kalau kamu nggak tahu cara pakai.”

“Aku nggak peduli! Aku sudah mantap dengan keputusan ini!” Gabulax berkata dengan suara tegas, seolah-olah tidak ada yang bisa merubah pikirannya.

Meskipun teman-temannya tertawa dan mengejeknya, Gabulax tetap teguh pada impiannya. Ia melompat dengan percaya diri menuju hutan, menuju tempat yang pernah ia dengar, di mana ada seorang penyihir yang konon bisa mewujudkan segala macam keinginan.


Hari itu juga, Gabulax meninggalkan rawa dan melangkah ke dalam hutan Eldoria. Di tengah perjalanan, ia mendengar suara berisik, suara dari Makraw, seekor kucing penyihir yang terkenal dengan kecerdasannya. Makraw selalu dijadikan bahan cerita oleh para hewan di hutan, dengan segala keajaiban yang dia buat.

“Sekarang, saatnya aku bertemu Makraw,” gumam Gabulax, berusaha menenangkan dirinya. “Kalau ada yang bisa mengubah aku jadi lembu, pasti dia.”

Setelah beberapa waktu berjalan, Gabulax akhirnya tiba di sebuah rumah kecil yang terbuat dari batu dan kayu. Kuil yang tampak sederhana, namun dari dalamnya mengalir cahaya keemasan yang misterius. Di depan pintu, sebuah tulisan terpampang: Masuklah jika kau berani.

Tanpa berpikir panjang, Gabulax melompat masuk, tanpa menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya.

Di dalam, Makraw sedang duduk dengan tenang, mencampurkan ramuan di dalam kuali besar yang berasap. Aromanya sangat kuat, seakan bisa membuat siapapun yang menghirupnya merasa pusing. Makraw tidak menoleh, tetapi suara beratnya menggema, seolah ia tahu kedatangan Gabulax.

“Kenapa kamu datang ke sini, katak kecil?” tanyanya, suaranya seperti bisikan angin yang berputar.

Gabulax berdiri tegak, meskipun hatinya sedikit cemas. “Aku ingin menjadi lembu. Tolong bantu aku, Makraw.”

Makraw berhenti mengaduk ramuan, kemudian mengangkat kepalanya. Matanya yang tajam menatap Gabulax, menilai dengan hati-hati. “Menjadi lembu? Itu permintaan yang sangat… tidak biasa.”

“Aku benar-benar serius, Makraw! Aku ingin besar dan kuat. Aku ingin dihormati oleh semua hewan di hutan ini. Aku ingin punya tanduk dan makan rumput sepanjang hari. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari itu.”

Makraw tertawa kecil, suara tawanya penuh teka-teki. “Baiklah, katak. Aku akan memberimu apa yang kamu inginkan. Tapi ingat, menjadi sesuatu yang bukan dirimu adalah jalan yang tidak mudah. Akan ada ujian yang harus kamu jalani.”

Gabulax tidak peduli dengan peringatan itu. “Aku siap! Apa yang harus aku lakukan?”

Makraw menepuk tangannya, dan seketika itu juga, sebuah awan berwarna biru terang melingkupi tubuh Gabulax. Tubuhnya terasa bergetar, dan dalam sekejap mata, tubuhnya mulai berubah. Kakinya menjadi panjang, otot-ototnya mengencang, dan kulitnya berubah menjadi kasar. Di atas kepalanya, tumbuh dua tanduk kecil yang tampak seperti tanduk lembu.

Namun, suara “Kwek!” yang keluar dari mulutnya tetap sama. Gabulax mengerutkan kening, mencoba untuk mengeluarkan suara lain. “Moo… Moo… Moo…!”

“Tidak, ini belum sempurna,” Makraw menggelengkan kepala. “Suaramu masih harus berubah. Lanjutkan latihannya dan kembali ke sini jika kamu ingin menyempurnakan dirimu.”

Gabulax merasa agak kecewa, tapi ia tidak ingin menyerah. “Terima kasih, Makraw. Aku akan latihan sekeras mungkin.”

Makraw tersenyum tipis. “Jangan terburu-buru. Ingat, ini adalah ujian.”

Dengan tubuh besar dan tanduk yang keras, Gabulax melangkah keluar dari rumah penyihir. Setiap langkahnya menimbulkan suara gemuruh, dan hewan-hewan di sekitar mulai memperhatikan perubahan yang terjadi pada Gabulax. Namun, tak ada yang bisa menahan tawa ketika suara “Kwek!” terdengar.

“Hei, lihat itu! Katak dengan tanduk!” teriak seekor burung pipit yang terbang melintas.

Gabulax hanya tersenyum lebar. “Aku akan buktikan kalau aku bisa jadi lembu sejati.”

Namun, perjalanan baru saja dimulai.

 

Makraw si Penyihir Ajaib

Gabulax berjalan dengan penuh semangat, meskipun ia merasa sedikit aneh dengan suara “kwek” yang masih keluar dari mulutnya. Tanduk di kepalanya terasa berat, tapi ia menahan diri untuk tidak mengeluh. Tidak ada jalan lain—jika ingin menjadi lembu sejati, ia harus menjalani latihan yang diberikan Makraw. Jadi, ia berjalan melewati hutan Eldoria, sesekali menoleh ke hewan-hewan lain yang meliriknya dengan heran.

Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan beberapa hewan yang kerap ia temui setiap hari. Mereka tidak bisa menahan tawa ketika melihat perubahan fisiknya yang mencolok. Seekor kura-kura yang sedang bersantai di bawah pohon hampir terjatuh karena terlalu banyak tertawa.

“Heh, Gabulax, kamu jadi apa itu? Lembu? Hahaha!” kata kura-kura dengan suara gemeretak, hampir tidak bisa berhenti tertawa.

Gabulax hanya mengangkat bahunya, berusaha tetap tegar meskipun dipenuhi rasa malu. “Kamu nggak ngerti. Aku ini sedang dalam perjalanan untuk menjadi lembu sejati, bukan katak bodoh seperti dulu.”

“Hahaha, ya sudah deh,” jawab kura-kura sambil tertawa keras. “Kalau kamu berhasil, aku akan bawa kamu pawai keliling hutan jadi pahlawan!”

Gabulax menggertakkan giginya. Ia tahu bahwa semua hewan tidak akan mengerti niatnya. Mereka terlalu terikat pada kenyataan bahwa dirinya hanyalah katak biasa, dengan suara “kwek” yang lemah dan tubuh yang mungil. Namun, dia tidak akan menyerah.

Setelah berjalan cukup jauh, Gabulax akhirnya sampai di tempat yang sudah dijanjikan oleh Makraw—sebuah padang rumput luas dengan pohon besar di tengahnya. Inilah tempat di mana ia harus menjalani ujian pertama untuk menjadi lembu sejati.

Makraw sudah menunggunya di bawah pohon besar. Kali ini, penyihir kucing itu terlihat lebih serius dari sebelumnya. Matanya yang tajam menatap Gabulax, seolah mengukur sejauh mana katak ini siap menghadapi tantangan yang ada.

“Selamat datang, Gabulax,” Makraw menyapa dengan suara rendah. “Kamu sudah sampai di tempat ujian pertama. Di sini, kamu harus belajar bagaimana merubah dirimu menjadi lembu dalam cara yang lebih mendalam. Ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal bagaimana kamu mengendalikan sifat alami dalam dirimu.”

“Fisik? Sifat alami?” Gabulax bingung. “Apa maksudmu? Aku cuma ingin bisa moo, punya tanduk, dan makan rumput tanpa diganggu. Kenapa ini harus jadi sulit?”

Makraw tersenyum samar. “Itulah yang akan kita pelajari. Menjadi lembu itu bukan hanya soal tubuhmu yang berubah. Lembu memiliki ketenangan, keberanian, dan juga cara hidup yang jauh berbeda dengan katak. Untuk itu, kamu harus melalui ujian ini.”

Gabulax mengerutkan kening. “Ujian apa, sih? Kalau cuma latihan cara makan rumput, aku bisa kok!”

Makraw tertawa kecil. “Kamu akan belajar lebih banyak dari itu. Untuk menjadi lembu sejati, kamu harus menguasai dua hal. Pertama, mengendalikan suara ‘kwek’ yang tak sesuai dengan tubuhmu, dan kedua, menguasai cara meresapi kehidupan sebagai lembu yang tenang dan penuh rasa hormat.”

“Ah, jadi aku harus jadi lembu yang tenang gitu?” Gabulax merengut. “Aku tidak terbiasa! Aku selalu ramai, lompat kesana kemari, suka bikin keributan!”

Makraw mengangguk dengan bijak. “Itulah ujianmu. Kamu akan berlatih di sini, di padang rumput yang luas ini, selama tiga hari berturut-turut. Di hari ketiga, kamu harus bisa menunjukkan apakah kamu benar-benar siap untuk menjadi lembu sejati.”

Gabulax merasa cemas, tetapi ia tetap bertekad. Ia ingin menjadi lembu. Ia ingin memiliki segala hal yang selama ini ia impikan. Ia mengangguk dan mulai mengikuti arahan Makraw.

Hari pertama latihan berjalan dengan lebih berat daripada yang Gabulax bayangkan. Pada pagi hari, Gabulax diminta untuk berlatih merubah suaranya. Setiap kali ia mencoba untuk mengeluarkan suara “moo”, yang keluar justru “kwek” yang sangat keras. Makraw hanya menggelengkan kepala, kemudian memberikan beberapa latihan pernapasan untuk membantu Gabulax menenangkan dirinya.

“Coba tenangkan pikiranmu, Gabulax. Lembu itu tidak buru-buru. Semua gerakannya penuh dengan ketenangan. Cobalah untuk tidak terburu-buru mengubah suaramu.”

Namun, Gabulax merasa frustrasi. “Aku sudah mencoba tenang, Makraw! Tapi tetap aja suara ‘kwek’ yang keluar!”

Makraw tersenyum lembut. “Kamu terlalu fokus pada hasilnya. Cobalah menikmati prosesnya. Jadilah seperti lembu yang makan rumput—nikmati setiap gigitan dengan penuh rasa syukur.”

Pada hari kedua, Gabulax diminta untuk belajar meresapi kehidupan lembu. Ia harus berdiri diam di padang rumput, memandang langit biru, dan mencoba merasakan kedamaian yang biasanya dimiliki lembu. Namun, Gabulax kesulitan. Ia terbiasa bergerak, melompat, dan terkadang bahkan berteriak. Tetapi, setiap kali ia berusaha diam, tubuhnya gatal karena rumput yang menggelitik kulitnya. Ia mencoba menahan gerakan, tetapi tidak bisa.

“Apa yang kamu rasakan, Gabulax?” tanya Makraw dari jauh, mengamatinya dengan penuh perhatian.

“Aku merasa gatal!” jawab Gabulax dengan frustasi. “Dan nggak bisa diam, aku lebih suka lompat-lompat!”

Makraw mengangguk. “Itu adalah tantangan pertama. Lembu selalu tenang, meskipun ada gangguan. Jika kamu bisa menahan diri, barulah kamu bisa merasakan ketenangan itu.”

Pada hari ketiga, Gabulax merasa tubuhnya semakin berat. Tanduknya semakin besar, dan ia mulai merasa kesulitan bergerak. Tetapi ia merasa sudah lebih tenang daripada sebelumnya. Meskipun suaranya tetap “kwek”, namun ia bisa merasakan sedikit perubahan dalam dirinya.

“Aku rasa aku hampir siap,” gumamnya, meskipun masih ragu.

Makraw menatapnya, wajahnya penuh pertimbangan. “Lalu, Gabulax, apakah kamu siap untuk menjadi lembu sejati?”

Namun, Gabulax hanya diam. Ternyata, perjalanan menjadi lembu sejati jauh lebih rumit daripada yang ia kira. Ia merasa ada lebih banyak yang harus dipelajari.

 

Ujian Terakhir

Hari ketiga telah tiba, dan Gabulax mulai merasa perubahan yang cukup signifikan pada dirinya. Tubuhnya memang sudah lebih besar, dengan tanduk yang semakin tebal, meskipun suaranya masih saja tetap “kwek.” Meski begitu, ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya. Ia kini lebih tenang, lebih bisa menahan diri, dan mulai menyadari betapa rumitnya hidup sebagai lembu.

Makraw tidak banyak berbicara. Kali ini, penyihir kucing itu hanya berdiri di sampingnya dengan pandangan yang tajam, seakan menunggu sesuatu. Gabulax merasakan tekanan berat di bahunya, dan dia tahu, ujian terakhir sudah dekat.

“Makraw, aku merasa… ada yang kurang. Apa aku benar-benar siap untuk menjadi lembu?” tanya Gabulax, meskipun hatinya penuh keraguan.

Makraw mengangguk dengan pelan. “Kamu sudah lebih siap dari yang kamu kira. Tetapi, ujian terakhir ini tidak akan mudah. Kamu harus menguji ketahananmu, tidak hanya fisikmu, tetapi juga mental dan emosimu. Ini tentang bagaimana kamu menghadapi sumber daya yang terbatas.”

Gabulax terkejut. “Sumber daya terbatas? Apa maksudnya? Aku harus berburu makanan atau apa?”

Makraw tersenyum sinis. “Tidak, lebih dari itu. Sumber daya yang dimaksud adalah rasa sabar dan pengendalian diri. Setiap lembu sejati harus tahu kapan harus menahan diri dan kapan harus bertindak. Dalam kehidupan ini, tidak semua yang kamu inginkan akan datang dengan mudah. Lembu sejati tahu kapan harus merespons dan kapan harus bertahan.”

Gabulax bingung, tetapi tidak berani bertanya lebih lanjut. Ia hanya mengangguk dan mengikuti langkah Makraw yang mulai berjalan menuju sebuah padang rumput yang lebih luas, lebih hijau, dan penuh dengan berbagai macam tanaman yang sangat menggoda.

“Tapi, Makraw,” Gabulax mulai bertanya, “Kenapa aku harus berlatih seperti ini? Kenapa nggak langsung jadi lembu aja?”

Makraw menoleh dengan tatapan serius. “Karena hidup itu tidak semudah itu, Gabulax. Kamu harus mengerti nilai dari perjuangan. Menjadi lembu itu bukan tentang status atau penampilan fisik. Itu tentang bagaimana kamu bisa menanggapi tantangan hidup dengan cara yang bijaksana.”

Gabulax terdiam sejenak. Ia merasa ada banyak hal yang belum ia pahami, dan mungkin ini saatnya untuk benar-benar memahami arti dari semua pelatihan ini.

Makraw berhenti di tengah padang rumput yang luas, dan di sana, terdapat sebuah pohon besar yang rindang, dengan rumput hijau di sekelilingnya. “Kamu lihat itu?” Makraw menunjuk ke arah pohon besar tersebut. “Di sana ada sumber daya terbatas. Di sekitar pohon itu, rumputnya sangat lezat, tapi ada banyak hewan lain yang juga ingin makan rumput itu. Kamu harus berjuang untuk mendapatkannya.”

Gabulax melangkah mendekat, matanya terpaku pada rumput hijau yang tampaknya sangat lezat. Namun, saat ia mulai melangkah ke sana, ia melihat beberapa hewan lain yang sudah berada di situ—sebuah kawanan domba, beberapa ekor kelinci, dan bahkan seekor babi hutan. Mereka semua mengelilingi rumput hijau itu, masing-masing tampak sedang sibuk makan dengan lahapnya.

“Bagaimana caranya aku bisa mendapatkannya?” tanya Gabulax.

Makraw hanya tersenyum. “Ini adalah ujian ketahanan. Kamu bisa memilih untuk bertarung memperebutkan rumput itu, atau kamu bisa menunggu dan melihat apakah ada cara lain untuk mendapatkannya tanpa harus bertarung.”

Gabulax merasa dilema. Ia ingin sekali makan rumput itu, namun jika ia bertarung, ia takut akan menyebabkan kerusakan atau bahkan mendapat luka. Namun, jika ia menunggu, mungkin rumput itu akan habis dimakan oleh hewan lain. Keputusan apa yang harus ia ambil?

Dia memutuskan untuk mencoba menunggu. Dengan hati yang berat, ia menahan diri dan berdiri di sebelah pohon besar itu, memandang rumput hijau yang menggoda di hadapannya. Ia merasa sangat lapar, namun ia berusaha menenangkan pikirannya.

Sementara itu, Makraw duduk di bawah pohon, mengamati Gabulax dengan seksama. Dia tahu, ini adalah saat yang paling menentukan. Gabulax harus belajar untuk menahan diri, tidak hanya dalam hal makanan, tetapi juga dalam hal emosi dan tindakan. Hidup ini penuh dengan godaan dan tantangan, dan hanya yang sabar dan bijaksana yang akan mampu menghadapinya.

Setelah beberapa waktu berlalu, Gabulax mulai merasa frustrasi. Ia sudah lama berdiri, dan rumput itu semakin terasa jauh. Makanan yang ada di sekitar tampak tidak sebanding dengan apa yang ada di depan matanya.

“Tapi, Makraw,” kata Gabulax dengan suara putus asa, “Kenapa aku harus terus menunggu? Aku lapar, dan aku ingin sekali makan rumput itu sekarang!”

Makraw hanya tersenyum bijak. “Ingat, Gabulax, kesabaran itu bukan hanya soal menunggu, tetapi juga tentang bagaimana kamu memilih tindakanmu. Jika kamu bisa menahan diri dan berpikir lebih bijaksana, kamu akan melihat cara lain untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan.”

Gabulax terdiam. Tiba-tiba, ia melihat bahwa beberapa hewan lain yang awalnya mengelilingi rumput itu sudah pergi. Mereka merasa puas dan tidak lagi menginginkan rumput itu. Kini, hanya ada Gabulax yang bisa mendekat dan menikmati makanan itu dengan tenang, tanpa harus bertarung atau merasa terburu-buru.

Ia pun melangkah ke rumput itu dan mulai memakannya perlahan, merasakan setiap gigitan dengan penuh rasa syukur. Tidak ada pertarungan, tidak ada kecemasan, hanya ketenangan dalam menikmati apa yang ada di hadapannya.

Makraw mengangguk dengan bangga. “Kamu berhasil, Gabulax. Kamu telah melewati ujian ketahanan dengan bijak. Tidak semua yang kita inginkan harus didapatkan dengan cara cepat. Terkadang, yang terbaik adalah menunggu dan melihat kesempatan yang datang.”

Gabulax merasa puas, meskipun masih banyak yang harus ia pelajari. Tetapi, untuk pertama kalinya, ia merasa seolah-olah ia memang sedang berada di jalan yang benar.

 

Menjadi Lembu Sejati

Hari terakhir datang juga. Gabulax, dengan tubuh yang semakin besar dan tanduk yang makin kokoh, kini berdiri di hadapan Makraw, siap untuk menghadapi tantangan terakhir dalam perjalanannya. Di kejauhan, padang rumput hijau yang luas terbentang. Ada angin sepoi-sepoi yang membawa aroma segar dari pepohonan. Suasana itu terasa damai, namun Gabulax tahu bahwa ini adalah ujian terakhir.

Makraw berdiri di samping Gabulax, menatap padang rumput di depan mereka. “Hari ini adalah penentu, Gabulax. Kamu telah melampaui banyak ujian. Sekarang, kamu harus membuktikan bahwa kamu siap menjadi lembu sejati. Ini bukan hanya tentang fisik atau kekuatan. Ini tentang cara kamu menerima diri sendiri dan menjadi bagian dari alam ini.”

Gabulax menatapnya bingung. “Maksudnya?”

Makraw menghela napas. “Kamu sudah belajar banyak. Kamu sudah melalui ujian ketahanan, kamu sudah bisa mengendalikan keinginan, dan yang terpenting, kamu sudah belajar untuk menunggu dengan sabar. Sekarang, saatnya untuk menghadapi ujian terakhir—menghadapi kenyataan bahwa menjadi lembu itu bukan tentang meniru kekuatan luar, tetapi menerima kekuatan dalam dirimu sendiri.”

Gabulax merasa ada beban berat yang muncul di hatinya. “Tapi aku… aku tidak tahu apakah aku bisa benar-benar menjadi lembu. Apa aku sudah cukup kuat?”

Makraw menatapnya dengan serius, matanya berbinar bijaksana. “Kekuatan bukan hanya tentang ukuran tubuh atau tanduk yang besar. Kekuatan yang sesungguhnya adalah ketika kamu bisa berdamai dengan diri sendiri dan tahu kapan harus mengarahkan energi dan kapan harus berhenti.”

Dengan kata-kata itu, Makraw melangkah maju, memberi Gabulax ruang untuk merenung. Gabulax merasa cemas, tetapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk terus maju. Dengan penuh keberanian, ia melangkah ke depan, menuju padang rumput yang telah menantinya.

Di sana, di tengah padang rumput yang luas itu, ia berhenti. Rasanya aneh, seolah-olah ada ketenangan yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Keinginan untuk bertarung atau membuktikan sesuatu kepada orang lain hilang begitu saja. Yang tersisa hanya keinginan untuk menjadi bagian dari alam ini, untuk menjalani hidup sebagai lembu dengan ketenangan dan kebijaksanaan.

Makraw mendekat, kini berdiri di belakangnya, mengamati dengan seksama. “Apa yang kamu rasakan sekarang?” tanya Makraw.

Gabulax menatap padang rumput itu, menarik napas panjang, dan akhirnya berkata dengan lembut, “Aku merasa… damai. Tidak perlu membuktikan apa-apa lagi. Aku tidak perlu menjadi lembu seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Aku hanya perlu menjadi diriku sendiri, menerima semua yang ada dalam diriku.”

Makraw tersenyum lebar, puas dengan jawaban Gabulax. “Itulah jawaban yang benar, Gabulax. Kamu telah siap. Menjadi lembu sejati bukan tentang meniru atau mengejar sesuatu yang ada di luar diri kita. Itu tentang menerima apa yang ada di dalam diri kita dan belajar untuk hidup dalam harmoni dengan dunia ini.”

Gabulax merasa ringan. Segala kebimbangan yang ia rasakan selama ini seolah terlepas begitu saja. Ia tidak perlu menjadi besar dan kuat seperti lembu yang ia impikan. Ia hanya perlu menjadi dirinya sendiri, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Seperti lembu yang berdiri tegak di tengah padang, menikmati hidup, dan berjalan dengan penuh rasa syukur.

“Terima kasih, Makraw. Aku mengerti sekarang,” kata Gabulax dengan senyum lebar.

Makraw mengangguk, memberi isyarat bahwa ujian telah selesai. “Kamu telah menyelesaikan perjalanan ini dengan bijak, Gabulax. Sekarang, kamu tidak hanya menjadi lembu dalam tubuh, tetapi dalam hati dan pikiranmu juga.”

Gabulax memandang diri di dalam bayangan sebuah kolam kecil yang ada di dekatnya. Tanduk besar, tubuh yang kekar, namun dalam hatinya, ia merasa tenang dan bebas dari segala keraguan. Ia telah menjadi lembu sejati—bukan karena tampak seperti lembu, tetapi karena ia sudah menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri.

Makraw mengangguk puas, lalu berpaling. “Saatnya melanjutkan perjalananmu. Setiap langkah baru adalah awal dari perjalanan hidupmu yang baru.”

Gabulax mengangguk dengan penuh rasa terima kasih. Tidak ada lagi rasa khawatir tentang apakah ia cukup besar atau kuat. Ia tahu bahwa yang terpenting adalah bagaimana ia menjalani hidup dengan ketenangan, kebijaksanaan, dan rasa syukur.

Dengan langkah mantap, Gabulax berjalan menuju padang rumput yang luas, menikmati setiap detik perjalanan hidupnya. Ia kini tahu bahwa menjadi lembu sejati bukan hanya soal penampilan fisik, tetapi tentang kedamaian yang bisa ditemukan dalam hati yang terbuka.

Dan dengan itu, perjalanan Gabulax sebagai lembu sejati dimulai—tanpa lagi memikirkan apakah ia sudah cukup besar, cukup kuat, atau cukup hebat. Ia hanya berjalan dengan keyakinan bahwa setiap langkahnya adalah langkah menuju kebijaksanaan yang lebih dalam.

 

Jadi, siapa sangka kan, katak yang pengen jadi lembu bisa ngasih kita pelajaran tentang menerima diri sendiri? Mungkin perjalanan Gabulax ini konyol, tapi siapa tahu kita juga punya lembu dalam diri kita yang harus diterima.

Intinya, nggak usah terlalu pusing cari kesempurnaan, yang penting bisa jalanin hidup dengan hati yang tenang. Semoga cerpen ini bisa bikin kamu senyum, bahkan setelah selesai baca! Sampai ketemu di cerita gila lainnya, ya!

Leave a Reply