Daftar Isi
Bayangin deh, lagi asyik-asyiknya di sekolah, tiba-tiba aja kamu dipermainkan sama kakak kelas yang nyeleneh. kamu dibawa ke gudang, ditinggalin sendirian, dan ngerasain ketakutan yang enggak pernah kamu bayangin sebelumnya.
Ini bukan cuma cerita biasa, ini kisah yang bakal ngebuat kamu merinding dan enggak bisa tidur. Siap-siap, karena yang kamu baca ini bisa jadi pengalaman paling seram dalam hidup kamu!
Terjebak Dalam Ketakutan dan Tragedi
Langkah Menuju Gudang Tua
Malam itu sekolah terasa lebih sunyi dari biasanya. Seperti ada sesuatu yang mengendap di udara. Aira berjalan dengan langkah ragu di lorong panjang, cahaya lampu neon yang sudah mulai redup membuat suasana semakin menekan. Di ujung sana, pintu gudang tua menanti, seolah mengundang dia untuk masuk, meskipun tak ada yang memintanya dengan suara hati yang bersahabat.
“Jangan takut,” suara Rhea terdengar dari belakangnya, suaranya santai namun terkesan tajam. “Gampang kok, cuma beberapa menit doang.”
Aira menoleh. Rhea dan dua teman lainnya, Artha dan Dika, berjalan dengan langkah yang lebih cepat, seolah-olah mereka sudah terbiasa dengan malam seperti ini. Mereka lebih tua, lebih berpengalaman, dan lebih berani. Atau setidaknya, mereka berpura-pura begitu.
“Aku nggak yakin ini ide yang bagus, Rhea.” Aira berusaha menghalau keraguan yang mulai merayap di pikirannya.
Rhea tertawa pelan, mata gelapnya berbinar, sedikit menyeringai. “Nggak usah banyak tanya, Aira. Kamu cuma perlu ikut aturan. Kalau kita bilang masuk, ya masuk. Kalau kita bilang keluar, kamu keluar.”
Aira meremas tasnya lebih erat, mencoba menghalau rasa takut yang semakin membesar di dadanya. Gudang itu selalu terlihat menyeramkan, bahkan di siang hari. Dindingnya yang dipenuhi jamur, pintunya yang berderit saat dibuka, dan bau lembap yang menyengat dari dalam—itu bukan tempat yang menyenangkan, itu tempat yang dilupakan.
Tapi Aira tahu, saat kamu jadi adik kelas di sekolah seperti ini, kamu harus tahu tempatmu. Tahu kapan harus diam, dan tahu kapan harus menurut. Itu yang diajarkan oleh orang-orang yang lebih tua, oleh mereka yang berkuasa, bahkan kalau hanya sedikit.
“Ini nggak akan lama, kok.” Artha, yang berjalan di samping Rhea, melemparkan senyum yang tampak dingin. “Cuma buat seru-seruan doang. Kami juga pernah lewat sini, jadi nggak usah takut.”
Tapi Aira tetap merasa cemas. “Kenapa harus aku? Kenapa nggak kalian aja?”
Dika tertawa kecil, menatapnya dengan pandangan seolah-olah Aira belum mengerti permainan yang sedang dimainkan. “Karena kamu yang paling baru, Aira. Ini tradisi.”
Mereka sudah sampai di depan pintu gudang. Aira berhenti sejenak, matanya menelusuri pintu kayu yang sudah lapuk itu, hampir tak bisa melihat kunci lubangnya dengan jelas. Kunci yang dibawa Rhea berkilat-kilat dalam cahaya temaram.
“Jangan lama-lama di dalam, ya. Ini cuma ujian kecil,” ujar Rhea, membuka pintu dengan ringan.
Aira menelan ludah, melangkah masuk dengan hati berdebar. Begitu ia melewati ambang pintu, gelapnya ruangan itu langsung menyambut.
“Masuk aja, Aira. Nggak ada yang bisa kamu takutkan di sini,” ujar Artha sambil menutup pintu dengan keras, membuat Aira tersentak.
Begitu pintu tertutup, Aira merasa seolah dunia luar lenyap begitu saja. Hanya ada gelap, udara dingin, dan bau lembap yang semakin tajam di dalam gudang itu. Hanya ada dirinya dan ruang kosong yang mengelilinginya.
“Aira,” suara Dika terdengar dari luar pintu. “Kamu di dalam nggak usah ngapa-ngapain. Duduk aja di situ, tunggu sampai kami bilang keluar.”
Aira mencoba menenangkan diri. Ia duduk di sudut ruangan, berusaha membiasakan mata pada kegelapan. Semakin lama, semakin tak terasa suasana sepi itu menekan. Ia bisa mendengar suara jam dinding dari kejauhan, detakannya berirama lambat, hampir seperti napas yang berat.
“Ada apa, Aira? Takut?” Suara Rhea tiba-tiba datang dari balik pintu.
Aira tak tahu bagaimana menjawab. Ia mengangguk pelan, walaupun sebenarnya ia tak yakin. Suara itu, ketukan yang terdengar samar-samar, terus bergema di telinganya. Begitu heningnya, seolah mengundang kesendirian yang mengerikan.
“Waktu terus berjalan. Jangan jadi pengecut, Aira,” teriak Artha dari luar.
Aira mengerutkan kening. Suara tawa mereka semakin samar, semakin jauh. Kunci yang berputar di luar pintu itu, seakan menghapus harapan untuk segera keluar.
Ketika ia menoleh ke sekitar, matanya menangkap sesuatu yang tak biasa. Beberapa kursi kayu yang tergeletak di sudut ruangan tampak tak tersentuh, tertutup debu tebal. Lalu ada meja panjang yang di atasnya terserak kertas-kertas kuno, tak teratur.
Ia mencoba berdiri dan mendekati meja itu, berusaha mengusir rasa cemas yang menggulung perutnya. Tapi begitu kakinya melangkah lebih jauh, sebuah suara aneh tiba-tiba terdengar, membuat Aira berhenti.
Seperti ada sesuatu yang bergerak, tapi tidak terlihat. Sesuatu yang berat, berdesakan, seperti… langkah kaki?
Aira menarik napas panjang, lalu melangkah mundur. “Siapa di sana?” gumamnya, tubuhnya mulai gemetar.
Tak ada jawaban. Tapi suara itu semakin jelas. Menggerus ketenangannya. Sesuatu yang datang dari dalam kegelapan itu. Sesuatu yang membuat seluruh tubuhnya kaku.
Di luar sana, tawa Rhea dan teman-temannya mulai menghilang. Tapi Aira tak tahu itu. Dia hanya mendengar suara itu, semakin dekat, semakin jelas.
Tawa yang Memudar
Aira merasakan ada sesuatu yang tak beres. Suara langkah kaki yang seharusnya hanya ada di dalam pikirannya, kini semakin nyata. Kegelisahan itu merayap di tubuhnya, meremas jantungnya, memaksa napasnya menjadi lebih cepat. Ia berdiri di tengah ruangan yang sepi, dengan telinga yang terus menunggu, menunggu untuk mendengar apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Siapa di sana?” suaranya kali ini lebih keras, namun bergema aneh di dalam ruang yang kosong ini. Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang semakin terasa menekan.
Tiba-tiba, suara tawa ringan terdengar dari luar, tapi kali ini berbeda. Tak seceria tadi. Ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Rhea, Artha, dan Dika mulai merasakan ada yang tak beres, meskipun mereka berusaha untuk tetap terlihat tenang.
“Aira, udah berapa lama sih?” teriak Dika dari luar, suaranya sedikit melengking. “Kita tunggu di luar, ayo keluar!”
Aira tetap diam. Pintu gudang itu terkunci, dan ia merasa seperti terperangkap dalam sebuah permainan yang tak ia pahami. Tawa itu semakin meredup, seperti ada sesuatu yang berubah.
Kemudian, dari balik pintu yang terkunci, terdengar suara gemerisik. Suara langkah kaki yang datang mendekat, namun langkahnya berbeda—lebih berat, lebih lambat, dan semakin menekan. Aira menahan napas, tubuhnya kaku seolah ada yang mengikatnya. Ia tahu, ada sesuatu yang salah.
“Aira, buka pintunya!” suara Rhea terdengar cemas, tak seperti biasanya. Itu suara yang tidak familiar.
Aira merasa seolah ada sesuatu yang menggelisahkan di luar sana. Dia berjalan mendekati pintu, memegang gagangnya dengan hati-hati, meskipun rasanya ada kekuatan yang menahannya untuk membuka pintu itu. Sesuatu di dalam dirinya menjerit agar ia tetap tinggal, agar ia tidak membuka pintu dan keluar.
Namun, ketika tangan Aira hampir menyentuh gagang pintu, suara itu kembali. Kali ini lebih jelas. Seperti suara seseorang yang menarik napas dalam-dalam, sebuah napas berat yang bergetar.
“Jangan buka,” suara itu terdengar, dalam dan menyeramkan.
Aira terkejut, dan langkahnya mundur secara otomatis. Suara itu bukan berasal dari luar. Itu berasal dari dalam ruangan, dari kegelapan yang menutupi sudut-sudut gudang.
Perasaan aneh itu semakin menguat, seolah ruang itu mengawasi, seolah ruangan ini hidup dan tahu ketakutannya. Aira menatap sekeliling dengan mata yang mulai berkelip-kelip, mencoba menenangkan pikirannya.
Tiba-tiba, sebuah suara berderit keras terdengar, seperti sesuatu yang terjatuh di salah satu sudut ruangan. Aira menoleh dengan cepat, matanya berkeliling mencari sumber suara itu. Di pojok yang gelap, sebuah kursi kayu tergeletak, seolah telah digeser oleh tangan tak terlihat.
Aira berlari ke arah kursi itu, berharap dapat melihat lebih jelas apa yang ada di baliknya, tapi saat ia mendekat, kursi itu tiba-tiba bergeser kembali ke tempat semula, membuat Aira hampir terjatuh.
“Aira, buka pintunya! Ayo!” teriak Rhea lagi, kali ini lebih panik.
Tapi Aira tidak bisa menjawab. Tubuhnya kaku, mulutnya terbungkam, seolah ada suara yang melarangnya untuk berbicara. Ia merasa terperangkap dalam pusaran kegelapan yang semakin pekat, seperti ada sesuatu yang mendekat, mengawasi, menunggu.
Suara langkah itu datang lagi. Aira bisa mendengarnya dengan jelas. Langkah berat yang semakin dekat, semakin menekan udara di sekitarnya. Seketika, udara di dalam gudang itu terasa sangat dingin, bahkan lebih dingin daripada biasanya. Tubuh Aira menggigil, dan tangannya mulai terasa kaku.
Tiba-tiba, ada bayangan yang melintas di depan matanya. Bayangan hitam yang bergerak cepat, melintas di sudut ruangan. Aira hampir teriak, tetapi suara itu tertahan di tenggorokannya. Bayangan itu berhenti di depan meja panjang, berdiri diam tanpa bergerak.
Tapi bayangan itu bukanlah sesuatu yang terlihat dengan jelas. Bayangan itu… berbeda. Aira bisa merasakan keberadaannya, meskipun tak bisa melihat dengan pasti.
Ketakutannya semakin membesar, jantungnya berdegup sangat keras, dan ia merasa ada sesuatu yang tidak wajar. Dari dalam kegelapan, suara itu kembali terdengar.
“Jangan keluar… Kamu akan menyesal.”
Aira menggigil. Tidak hanya karena ketakutan, tetapi juga karena suara itu terdengar begitu nyata. Itu bukan hanya suara hantu atau bayangan. Itu seperti suara seseorang yang sudah lama ada di sini, yang mengetahui setiap gerak-geriknya.
Tiba-tiba, terdengar suara kunci yang berputar, dan pintu gudang mulai terbuka perlahan. Aira menoleh cepat, berharap itu adalah Rhea atau teman-temannya yang datang untuk menyelamatkannya. Namun, yang terlihat hanyalah kegelapan yang semakin menelan ruang itu, dan suara langkah yang semakin jelas mendekat.
Tiba-tiba, terdengar suara tawa, tawa yang bukan milik Rhea atau teman-temannya. Tawa itu keras, menggelegar, dan sangat menakutkan. Aira terdiam, tubuhnya membeku. Tawa itu begitu jahat, begitu dingin.
“Kenapa kamu masih ada di sini, Aira?” suara itu terdengar sangat dekat. “Tidak ada yang bisa menolongmu sekarang.”
Terjebak dalam Kegelapan
Tawa itu bergema, semakin lama semakin tajam, seperti belati yang mengiris ke dalam hati Aira. Wajahnya pucat, tubuhnya terasa semakin lemas, meskipun rasa takut itu membuatnya ingin berlari. Namun kakinya seperti tertanam di tanah, berat, kaku, tak bisa bergerak.
“Aira… Aira… Aira…” suara itu terdengar semakin jelas, berulang-ulang, menyebut namanya dengan nada yang mengenalinya, seolah sudah lama menunggu. Aira bisa merasakan getaran dari suara itu merambat di udara, seperti getaran listrik yang mengalir ke dalam tubuhnya.
Dia menatap ke sekeliling, tapi hanya ada kegelapan yang memeluk ruangan. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada Rhea. Tidak ada Artha. Tidak ada Dika. Hanya dirinya yang terperangkap dalam sebuah ruangan yang semakin sesak. Suara langkah itu mendekat lagi, lebih pelan namun lebih berat, menghantam kesunyian dengan kehadirannya yang semakin nyata. Sesuatu, atau seseorang, sedang bergerak di dalam kegelapan ini.
“Aira, kamu nggak akan bisa keluar. Kamu nggak bisa lari.” Suara itu menyeringai, seolah mempermainkan ketakutannya.
Tiba-tiba, cahaya dari luar menyusup masuk melalui celah kecil di pintu gudang yang terbuka sedikit. Cahaya itu meredupkan bayangan yang semakin tebal di dalam, memberi harapan pada Aira bahwa ada sesuatu di luar sana. Tetapi saat ia melangkah mendekat, pintu itu tertutup dengan sendirinya—keras, memantul dengan dentuman yang membuat tubuh Aira tersentak.
Aira mundur. Setiap detak jantungnya seperti menambah ketegangan di udara. Dia tahu, ini bukan hanya soal permainan. Ini lebih dari itu. Ini adalah peringatan.
Di dalam kegelapan yang hampir total itu, Aira mulai mendengar suara berderit, seperti seseorang yang berjalan dengan hati-hati di atas lantai kayu yang sudah rapuh. Semakin dekat. Tidak ada jalan untuk melawan. Tidak ada yang bisa dia lakukan.
Aira menekan kedua tangannya di dada, mencoba mengatur napas, meskipun tak ada udara yang cukup untuk menenangkan dirinya. Tangannya gemetar saat ia meraih salah satu kursi kayu dan mengangkatnya sedikit, seakan-akan itu bisa menjadi perlindungan darinya. Namun saat ia mengangkat kursi itu, sejenak semuanya hening. Begitu sunyi, Aira hampir bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdebar keras.
Lalu, suara itu kembali. Tapi kali ini, lebih dekat.
“Kenapa kamu di sini, Aira? Kamu tidak seharusnya di sini. Tapi sekarang… aku tak bisa biarkan kamu keluar.”
Aira terhuyung mundur, merasa pusing. Pandangannya kabur, sesak di dada. Ada sesuatu yang sangat jahat di sini, dan itu bukan hanya sekedar permainan dari Rhea dan teman-temannya. Ada sesuatu yang lebih tua, lebih kelam. Suara itu bukan milik manusia lagi. Itu suara sesuatu yang tak terlihat, yang hanya bisa dirasakan dalam setiap getaran yang mengisi udara.
Kemudian, dalam kegelapan itu, Aira melihat bayangan lain—lebih besar, lebih jelas. Bayangan itu bergerak dengan anggun, tetapi juga dengan niat yang jelas, menuju Aira. Mata Aira melebar. Bayangan itu semakin mendekat, semakin mendekat, dan akhirnya, ia bisa melihat sosoknya.
Namun bukan wajah yang muncul di hadapannya. Itu hanya sebuah bentuk gelap, tubuh yang tampak kabur, dengan mata yang menyala merah di tengah kegelapan.
“Kamu…” Aira berbisik, tubuhnya lemas, hatinya berdebar. Ia terjatuh ke lantai, hampir tak mampu menahan diri lagi. Namun sosok itu diam. Tidak bergerak lebih jauh.
“Apa yang kau inginkan dariku?” suara Aira bergetar, namun ada sedikit keberanian yang tersisa dalam dirinya.
Sosok itu tidak langsung menjawab. Hanya diam, dan Aira bisa merasakan kehadirannya yang semakin menekan. Rasanya, sosok itu seperti sedang menimbang-nimbang, memutuskan apakah akan mengakhiri permainan ini atau membiarkan Aira merasakan kepedihan yang lebih dalam lagi.
“Aira…” suara itu lagi, kali ini lebih pelan, seperti bisikan angin. “Kamu akan tahu apa yang terjadi selanjutnya. Kamu akan tahu betapa dalamnya rasa takut ini.”
Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar dari luar, seolah-olah dari balik pintu yang terkunci. Suara langkah kaki yang berlarian, teriakan yang samar-samar. “Aira! Aira! Kamu di sana?” Teriakan itu datang semakin keras, semakin jelas. Sepertinya ada orang yang berusaha masuk.
Aira merasa sedikit lega, meskipun masih ketakutan. Namun, suara itu kembali, lebih dalam kali ini, seperti menggema dari seluruh ruangan.
“Tidak ada yang akan menolongmu. Kamu hanya akan terperangkap di sini. Seperti yang lainnya.”
Aira terdiam. Apa yang dimaksud dengan ‘yang lainnya’? Sosok itu memandangi Aira sejenak, mata merahnya bersinar terang, menembus ketakutan yang menghimpit tubuh Aira.
Tiba-tiba, Aira mendengar suara kunci berputar dari luar. Pintu yang terkunci perlahan mulai terbuka, dan tubuh Aira yang lemas mencoba bangkit, berlari menuju pintu, menuju suara yang semakin mendekat.
Namun, sebelum dia bisa mencapai pintu, tangan besar yang dingin dan kuat meraih pergelangan tangannya, menariknya ke belakang dengan kekuatan yang membuat Aira kehilangan keseimbangan. Seketika, tubuhnya terseret kembali ke dalam kegelapan.
“Jangan coba kabur,” suara itu terdengar, kali ini penuh ancaman. “Kamu akan menjadi bagian dari tempat ini. Seperti yang lainnya.”