Daftar Isi
Kamu pernah nggak sih ngerasa hidup kamu tuh kayak roller coaster? Penuh kejutan, penuh drama, dan kadang kamu nggak tahu bakal di mana akhirnya. Nah, cerpen ini bakal ngenalin kamu ke cerita yang nggak kalah seru.
Tentang Aksara, seorang kakak angkat yang harus ngadepin kenyataan pahit tentang masa lalunya, sambil ngadepin hubungan yang makin rumit sama keluarga angkatnya. Semuanya terasa tak terduga, penuh kebingungan, dan nggak semudah yang dibayangin. Yuk, langsung aja baca sendiri!!
Cerpen Kakak Angkat
Rahasia di Balik Pintu Gudang
Sore itu, hujan turun deras di luar, membuat udara terasa lebih dingin dari biasanya. Alindra duduk di ruang tengah, menatap dengan khidmat pada kaca jendela yang berembun. Hujan selalu mengingatkannya pada banyak hal, terutama tentang rumah ini. Rumah yang selalu terasa hangat, penuh dengan tawa, dan yang paling dia ingat, selalu ada Aksara di sana. Kakaknya yang lebih pendiam, tapi sangat sayang padanya.
Tiba-tiba, pandangannya teralihkan pada gudang kecil di belakang rumah. Sejak kecil, dia selalu penasaran dengan gudang itu. Terlalu banyak barang lama yang tidak pernah mereka gunakan lagi, tetapi entah mengapa, Bu Lila selalu mengatakan untuk tidak masuk ke sana. “Jangan ganggu barang-barang di gudang itu,” katanya, meski tidak pernah ada penjelasan lebih lanjut.
Rasa penasaran Alindra pun akhirnya mengalahkan rasa takutnya. Mungkin, hari ini, dia akan mengetahui sesuatu yang selama ini tersembunyi.
Alindra berlari kecil menuju gudang yang terletak di pojok halaman belakang. Pintu kayu yang sudah lapuk dan kusam itu sedikit terbuka, seolah mengundangnya masuk. Kunci kecil yang sering digantungkan di dekat pintu gudang tergeletak begitu saja di atas rak kayu, seperti tak berniat disembunyikan. Dengan hati-hati, dia mengambil kunci tersebut, memasukkan ke dalam kunci pintu yang berkarat, dan memutar kunci itu.
Pintu gudang terbuka dengan suara berderit pelan. Di dalamnya, debu tebal memenuhi udara, dan bau lembap dari kayu yang sudah lama tak tersentuh terasa menusuk hidung. Alindra merasakan kegugupan yang aneh, tetapi dia tetap melangkah masuk.
Di ujung ruangan, di atas rak tua yang hampir tertutup kain tebal, terdapat sebuah kotak kayu berukir halus. Tertutup rapat dengan sekeping tali. Dia mendekati kotak itu, tangan yang gemetar saat membukanya. Begitu terbuka, di dalamnya terdapat tumpukan dokumen tua, semuanya tampak usang oleh waktu.
Namun, sesuatu di antara tumpukan itu menarik perhatian Alindra. Sebuah akta kelahiran dengan nama “Aksara Arkadias” tertulis di atasnya. Nama orang tuanya yang tercatat di sana tidak sesuai dengan yang dia kenal. Tidak ada nama Pak Andri atau Bu Lila di situ. Nama yang tertera adalah Satria Widjaya dan Larasati Rahma.
Alindra merasa dunia seakan berhenti sejenak. Apa ini? Dia mulai membaca dokumen itu lebih teliti. Aksara… anak angkat?
Dengan tubuh yang lemas, Alindra meninggalkan gudang dan berlari menuju ruang keluarga. Di sana, Bu Lila sedang duduk di sofa sambil merapikan bunga yang baru dipetik dari halaman. Pak Andri berada di meja makan, mengelap piring yang baru dicuci. Namun, suasana tenang itu terasa seperti benteng yang kokoh, yang kini mulai runtuh.
“Bu, ini apa?” suara Alindra bergetar saat dia menyodorkan akta kelahiran itu kepada Bu Lila.
Bu Lila terdiam sejenak, ekspresinya berubah. Wajahnya yang biasanya cerah kini tampak cemas. Pak Andri yang mendengar suara Alindra segera berdiri dan mendekat.
“Alindra,” ucap Bu Lila dengan suara rendah, “Ada sesuatu yang perlu kami jelaskan.”
Pak Andri mengangguk perlahan, menyadari bahwa ini adalah saat yang tak bisa dihindari. “Aksara bukan anak kandung kami, Alin.”
Dunia Alindra seakan runtuh di sekelilingnya. Aksara bukan kakaknya? Tapi, kenapa? Apa maksudnya semua ini?
“Tapi… kenapa?” suara Alindra tercekat. “Kenapa nggak bilang kalau Aksara bukan anak kandung?”
Pak Andri menghela napas panjang. “Karena kami nggak ingin membuat kamu bingung. Aksara sudah jadi bagian dari keluarga ini sejak dia bayi. Kami tak ingin ada yang berubah, dan kami harap kamu bisa melihatnya seperti itu.”
Alindra mencoba mencerna semua informasi ini. Dia melangkah mundur, merasa seperti baru saja menemukan sesuatu yang sangat besar, tetapi terlalu berat untuk diterima. “Tapi kenapa aku nggak pernah tahu?” tanya Alindra dengan mata yang mulai berair.
Bu Lila menatap Alindra dengan penuh kasih sayang. “Kami selalu berusaha membuat kalian merasa seperti keluarga, karena memang itulah yang kami rasakan. Tapi kami juga takut kalau suatu hari, kamu akan melihat Aksara berbeda jika tahu kenyataannya.”
Aksara… anak angkat? Alindra merasa seolah dia tidak mengenal siapa pun lagi di rumah ini. Lalu bagaimana dengan Aksara? Apa dia tahu? Apakah dia juga merasa bingung seperti dirinya sekarang?
Sebelum Alindra sempat berkata apa-apa lagi, pintu depan rumah terbuka. Aksara masuk dengan jas hujan yang basah kuyup, rambutnya sedikit berantakan. Sesaat dia terhenti di ambang pintu, menatap wajah Alindra yang tampak hancur.
“Kak…” suara Alindra serak, berusaha menahan tangis. “Kamu… tahu, kan?”
Aksara menghela napas pelan. Ia menatap wajah adiknya dengan tatapan yang tidak biasa, seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang sudah lama dia simpan. “Aku tahu, Alin. Sejak aku berusia sepuluh tahun.”
Kata-kata itu terasa seperti petir yang menyambar. Alindra merasa dirinya seperti tersedot ke dalam pusaran kebingungan. “Kenapa kamu nggak bilang?”
Aksara hanya tersenyum tipis. “Apa bedanya, Alin? Aku tetap kakakmu, dan kita tetap keluarga. Aku nggak mau ada perbedaan.”
“Aku nggak peduli siapa orang tuamu, Kak. Kamu tetap kakakku.” Alindra merasakan kehangatan yang mengalir dari kata-kata itu meski hatinya masih penuh kekeliruan.
Aksara berjalan mendekat dan meletakkan tangannya di kepala Alindra, membelainya lembut. “Dan kamu tetap adikku. Selalu.”
Alindra memeluk Aksara dengan erat, seperti ingin memastikan bahwa dia tak akan pergi ke mana-mana. Ada rasa aman dalam pelukan itu, meskipun dia tahu, tak semua kisah harus dimulai dengan darah. Begitu banyak hal yang belum dia pahami, tapi satu hal yang pasti—Aksara adalah kakaknya, dan tidak ada yang bisa mengubah itu.
Namun, di dalam hati Alindra, masih ada banyak pertanyaan yang mengganjal, pertanyaan yang mungkin tak akan pernah terjawab sepenuhnya.
Teka-teki Nama yang Tersimpan
Pagi itu, udara terasa lebih segar dari biasanya. Hujan semalam meninggalkan sisa-sisa gerimis yang mengering di jendela, sementara matahari perlahan muncul dari balik awan gelap. Alindra masih terjaga, duduk di pinggir tempat tidurnya, menatap kosong ke luar jendela. Kejadian kemarin sore terus berputar dalam pikirannya, seperti roda yang tak pernah berhenti berputar.
Aksara bukan anak kandung. Kenyataan itu seakan menghantui setiap langkahnya. Meskipun Aksara mengatakan bahwa tak ada yang berubah, dan bahwa dia tetap kakaknya, Alindra merasa ada yang mengganjal. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ikatan darah yang tidak dimilikinya dengan kakaknya.
Alindra memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh. Dia tidak bisa terus hidup dengan kebingungannya, merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar fakta sederhana itu. Bagaimana mungkin sebuah keluarga bisa menjaga rahasia sebesar itu begitu lama? Apa yang sebenarnya terjadi?
Setelah sarapan, Alindra memberanikan diri untuk mencari informasi lebih lanjut. Dia menuju ke ruang kerja Pak Andri, tempat ayahnya sering menyimpan dokumen penting. Di sana, ada rak buku besar yang dipenuhi berkas-berkas lama, dan di antara semua itu, Alindra merasa ada sesuatu yang bisa menjelaskan banyak hal.
“Apakah ini ide yang bagus?” pikirnya, merasa sedikit ragu. Namun, rasa ingin tahu lebih kuat, dan dia akhirnya memilih untuk membuka salah satu folder tua di rak. Di dalamnya terdapat beberapa surat-surat yang sudah menguning, dokumen yang tampaknya sangat penting. Ada banyak informasi yang tidak pernah dia tahu sebelumnya—termasuk dokumen yang membahas tentang adopsi Aksara.
Alindra meraih salah satu dokumen itu, dan saat ia membaca, rasa terkejut mulai kembali menghantamnya. Ternyata, Aksara bukan hanya anak angkat yang diambil dari panti asuhan setempat. Lebih dari itu, Aksara juga bagian dari cerita yang jauh lebih kompleks—terkait dengan keluarga yang jauh lebih besar. Nama orang tua Aksara yang tertera di dokumen itu adalah Satria Widjaya dan Larasati Rahma, namun ada beberapa hal yang tidak dijelaskan dengan jelas, terutama tentang latar belakang mereka.
Makin lama Alindra memeriksa dokumen-dokumen itu, semakin banyak pertanyaan yang muncul. Kenapa Pak Andri dan Bu Lila memilih untuk mengadopsi Aksara? Apakah mereka benar-benar tidak tahu tentang keluarga asli Aksara? Atau ada alasan lain yang membuat mereka menyembunyikan hal ini dari Alindra dan Aksara?
Suasana di rumah semakin hening saat Aksara muncul di belakang Alindra, berdiri diam di pintu. Alindra kaget, namun mencoba untuk tetap tenang.
“Aksara,” kata Alindra dengan suara rendah, “apa kamu tahu tentang ini?”
Aksara menghela napas panjang. “Aku sudah menebak kamu pasti mencari tahu lebih banyak,” katanya sambil melangkah masuk dan duduk di kursi dekat Alindra. “Aku tahu kamu pasti penasaran. Aku cuma nggak ingin semuanya menjadi rumit. Aku cuma ingin kamu tetap melihat kita seperti keluarga.”
“Tapi kenapa, Kak?” tanya Alindra, menatap Aksara dengan tatapan penuh tanya. “Kenapa nggak pernah ada penjelasan? Kenapa nggak ada yang pernah bilang kalau aku punya saudara kandung yang bisa jadi masih ada di luar sana?”
Aksara menundukkan kepala. “Aku nggak tahu pasti, Alin. Aku nggak tahu kenapa mereka memilih untuk mengadopsi aku, atau kenapa kami nggak pernah diberitahu lebih banyak soal keluarga asli aku. Yang aku tahu, mereka sayang aku, dan aku sudah lama menganggap Pak Andri dan Bu Lila sebagai orang tua kandungku.”
Alindra merasa hatinya sedikit melunak. Meski Aksara terlihat begitu tenang dan tegar, dia tahu bahwa kakaknya juga pasti merasa bingung. Aksara selalu terlihat sempurna, selalu menjaga dirinya, tetapi siapa yang tahu apa yang ada di dalam hati Aksara?
“Aku cuma ingin kamu tahu, Kak,” kata Alindra dengan suara pelan, “bahwa apapun yang terjadi, aku tetap nggak akan pernah menganggap kamu beda.”
Aksara menatap Alindra dan tersenyum tipis, senyum yang terasa agak pahit. “Aku tahu, Alin. Tapi ini bukan hanya soal kita berdua. Ada banyak hal yang lebih besar yang kami sembunyikan.”
“Apakah itu tentang orang tua kandungmu?” Alindra bertanya. “Apa yang sebenarnya terjadi, Kak?”
Aksara terdiam sejenak. “Mungkin ini saatnya kamu tahu sedikit lebih banyak,” jawab Aksara akhirnya, suara Aksara terdengar agak berat. “Orang tuaku… mereka bukan orang biasa. Mereka terlibat dalam sebuah bisnis yang sangat besar. Banyak hal yang nggak pernah mereka ceritakan ke orang lain. Satria Widjaya dan Larasati Rahma… mereka punya masalah besar yang akhirnya membuat mereka terpaksa meninggalkan aku.”
Alindra merasa seolah didera banyak perasaan sekaligus. Apa yang Aksara katakan benar? Apakah orang tua Aksara terlibat dalam dunia yang begitu kelam hingga mereka harus meninggalkan anak mereka?
“Aku nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya,” lanjut Aksara, “tapi yang aku tahu, mereka pasti punya alasan kuat untuk menjauh dari aku. Dan aku… aku nggak ingin mengungkit semuanya.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu depan. Pak Andri dan Bu Lila masuk, tampak seperti sudah tahu bahwa percakapan ini akan terjadi. Mereka berdua duduk di sofa, dan Pak Andri memandang Aksara dengan tatapan yang penuh beban.
“Ini saatnya kamu tahu lebih banyak, Aksara,” kata Pak Andri dengan suara serak. “Kami sudah terlalu lama menyembunyikan semua ini. Kamu harus tahu, bahwa keluarga kamu… bukan keluarga biasa.”
Aksara menatap Pak Andri dan Bu Lila dengan mata yang tak bisa dibaca. “Jadi, kalian tahu siapa orang tua kandungku?”
Pak Andri mengangguk pelan. “Kami tahu, Aksara. Tapi kami memilih untuk menjaga jarak. Kami tidak ingin kamu terjebak dalam dunia yang mereka tinggalkan.”
Alindra merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. “Tunggu, jadi mereka… mereka orang yang berbahaya?”
“Lebih dari itu,” jawab Bu Lila dengan suara lemah. “Mereka adalah bagian dari sebuah dunia yang sangat kelam. Dunia yang bisa mengancam kehidupan kalian.”
Alindra tak bisa berkata apa-apa. Begitu banyak hal yang harus dipahami, begitu banyak kebenaran yang masih tertahan. Dunia yang selama ini dia kenal mulai terasa seperti ilusi, dan kini, semua berubah begitu cepat.
Bayang-Bayang yang Menghantui
Alindra tidak bisa tidur sepanjang malam itu. Pikirannya berputar-putar, menelusuri jejak-jejak yang baru saja terbuka di hadapannya. Semua yang dia tahu selama ini tentang keluarganya seolah runtuh dalam sekejap. Aksara bukan hanya anak angkat yang dia kenal—ternyata dia adalah bagian dari sebuah cerita yang lebih besar, lebih rumit, dan lebih berbahaya.
Alindra merasa seperti berada di dalam labirin, di mana setiap jalan yang dia pilih hanya membawanya ke kegelapan yang lebih pekat. Kenapa orang tua kandung Aksara meninggalkannya? Apa yang sebenarnya terjadi dengan Satria Widjaya dan Larasati Rahma? Apakah mereka terlibat dalam dunia kejahatan yang begitu besar hingga keluarga mereka harus dibungkam dalam diam?
Pagi itu, suasana di rumah terasa aneh. Keheningan lebih terasa daripada biasanya, dan Alindra merasakan beban yang semakin berat di dadanya. Ketika dia turun untuk sarapan, Aksara sudah duduk di meja, memandang kosong ke luar jendela.
“Kenapa kamu terlihat seperti itu, Kak?” tanya Alindra dengan suara lembut, mencoba membuka percakapan.
Aksara mengalihkan pandangannya dan tersenyum tipis, tapi senyum itu tampak dipaksakan. “Aku cuma… nggak tahu harus gimana, Alin. Rasanya semua ini kayak mimpi buruk yang nggak pernah berhenti.”
Alindra duduk di sebelah Aksara. “Aku ngerti, Kak. Tapi kita nggak bisa terus terjebak di bayangan masa lalu, kan?”
Aksara terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Kamu benar. Tapi ada hal yang lebih besar yang harus kita hadapi.”
Mereka berdua menatap satu sama lain dalam keheningan, merasa seolah-olah ada sesuatu yang berat menghubungkan mereka—sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Namun, saat itulah pintu depan terbuka. Pak Andri dan Bu Lila masuk dengan ekspresi serius, dan Alindra merasakan ketegangan yang tak terbantahkan. Ada yang akan berubah, dan mereka tahu itu.
“Alindra, Aksara,” kata Pak Andri dengan suara berat. “Ada sesuatu yang harus kalian ketahui. Ini bukan hanya soal kalian berdua. Ada banyak hal yang lebih besar yang melibatkan keluarga kita.”
Alindra merasa ketegangan itu semakin menggigit, dan Aksara menatap ayah mereka dengan tatapan cemas. “Apa maksudnya, Pak?”
Pak Andri menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Kami tidak bisa lagi menutupi semuanya. Kami harus menghadapi kenyataan. Ada orang-orang dari masa lalu yang akan datang kembali, dan mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan.”
Bu Lila menambahkan dengan suara serak, “Kami sudah berusaha melindungi kalian, tapi sekarang ini tidak bisa lagi kami lakukan sendirian.”
Alindra menatap mereka berdua dengan bingung. “Siapa mereka? Kenapa kami harus takut pada mereka?”
Pak Andri menunduk, tampak kesulitan untuk melanjutkan. Namun, akhirnya dia mengangkat kepala dan menatap Alindra dan Aksara dengan mata yang penuh beban. “Mereka adalah bagian dari masa lalu Aksara. Orang tua kandungmu, Aksara, adalah bagian dari jaringan kriminal yang sangat besar. Kami dulu terpaksa mengambil keputusan untuk melindungi kalian, dan itu berarti menghapus jejak masa lalu mereka.”
Aksara terkejut mendengar penjelasan itu. “Tunggu, jadi mereka…” suara Aksara tercekat, mencoba mengerti apa yang baru saja dia dengar. “Mereka bukan orang baik?”
Pak Andri mengangguk pelan. “Mereka bukan orang baik, Aksara. Mereka terlibat dalam bisnis yang tidak hanya ilegal, tapi juga sangat berbahaya. Itu sebabnya kami menganggap perlu untuk menjaga jarak.”
Aksara terdiam, matanya yang biasanya penuh dengan keyakinan kini dipenuhi dengan kebingungannya. “Tapi kenapa, Pak? Kenapa nggak pernah ada yang memberitahu aku soal ini?”
Bu Lila menatap Aksara dengan lembut. “Kami hanya ingin kamu tumbuh tanpa beban, tanpa tahu kenyataan yang bisa menghancurkan hidupmu. Kami ingin kalian berdua tetap merasa aman, jauh dari masalah yang tak bisa kalian kontrol.”
Alindra merasakan gelombang emosi yang datang begitu mendalam. Hatiku terasa sesak, pikirnya. Mengapa orang tua mereka harus membawa beban sebesar ini? Apa yang sebenarnya mereka lakukan untuk sampai sejauh ini? Kenapa mereka harus hidup dengan rahasia yang begitu gelap?
“Mereka akan datang, Alindra,” lanjut Pak Andri dengan suara pelan. “Kami sudah diberitahu bahwa mereka akan kembali mencari Aksara. Kami tidak bisa lagi menghindari kenyataan ini.”
Mata Aksara menatap ayahnya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. “Lalu apa yang harus kita lakukan, Pak? Apa yang bisa kita lakukan?”
Pak Andri dan Bu Lila saling bertukar pandang sebelum akhirnya Pak Andri menghela napas lagi. “Kita harus siap menghadapi mereka. Kami akan berusaha melindungi kalian, tapi kalian juga harus tahu bahwa tidak ada yang bisa dijamin dalam situasi seperti ini.”
Alindra merasa hatinya semakin kacau. Dunia yang mereka anggap aman dan damai kini terancam oleh bayang-bayang masa lalu yang gelap. Aksara dan dia tidak bisa lagi hidup tanpa merasakan ketegangan itu. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa hidup mereka, meskipun penuh dengan kasih sayang, ternyata dipenuhi dengan rahasia yang menakutkan.
“Jadi, apakah ini berarti kita nggak akan pernah bisa hidup seperti sebelumnya?” tanya Aksara dengan suara hampir berbisik.
Pak Andri tidak bisa memberikan jawaban pasti, tetapi ekspresinya sudah cukup menjelaskan betapa besar ancaman yang kini menghantui mereka.
“Keamanan kalian adalah prioritas utama kami,” kata Pak Andri dengan tegas. “Namun, kita harus siap menghadapi kenyataan apapun yang datang. Kami akan berusaha melindungi kalian, tapi kalian juga harus tetap kuat. Jangan biarkan rasa takut menguasai kalian.”
Alindra menatap Aksara, dan meskipun hatinya berat, ia merasa ada semacam kekuatan yang mengalir di antara mereka. Mereka berdua harus bertahan—untuk satu sama lain. Karena dalam keluarga, tak ada yang lebih penting dari itu.
Melangkah ke Depan
Hari-hari setelah pertemuan itu terasa seperti perjalanan di atas kawah berapi. Setiap langkah yang mereka ambil, setiap kata yang terucap, seolah penuh dengan risiko. Aksara dan Alindra tahu bahwa dunia mereka tidak akan pernah sama lagi. Namun, ada satu hal yang tidak bisa disangkal—bahwa mereka berdua semakin dekat satu sama lain, berpegang pada ikatan yang lebih kuat dari apapun.
Malam itu, rumah terasa semakin sunyi. Pak Andri dan Bu Lila sudah berangkat untuk bertemu dengan beberapa pihak yang bisa membantu mereka merencanakan langkah selanjutnya. Alindra duduk di ruang tengah, tangannya memegang secangkir teh hangat yang sudah dingin, matanya terfokus pada api di perapian. Aksara duduk di sebelahnya, masih dengan ekspresi yang sama—tidak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu.
Aksara menyandarkan tubuhnya pada sofa, matanya menatap kosong ke arah pintu. “Apa kita akan baik-baik saja, Alin?” tanya Aksara dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Alindra menatap kakaknya. Walaupun tidak bisa memberikan jawaban yang pasti, ia merasa perlu untuk memberi sesuatu yang bisa menenangkan hati Aksara. “Kita akan tetap kuat, Kak. Kita nggak bisa mundur sekarang.”
Aksara terdiam beberapa detik, lalu mengangguk pelan. “Aku nggak pernah tahu, kalau kenyataan bisa sekeras ini,” katanya, suara Aksara serak, penuh kepahitan. “Mereka… orang tua kandungku, mereka adalah bagian dari dunia yang sangat gelap, kan?”
“Ya,” jawab Alindra pelan, tanpa menambahkan apapun. Mereka sudah berbicara tentang itu sebelumnya. Mereka sudah tahu kenyataan pahit yang harus diterima.
Tapi Aksara menghela napas dan memandang ke luar jendela, seakan mencari jawaban di antara langit malam yang gelap. “Tapi aku masih ingin tahu siapa mereka sebenarnya, Alin. Aku harus tahu.”
Alindra merasa hatinya tergerus mendengar itu. Aksara memang berani, lebih berani dari siapa pun yang Alindra kenal. “Kadang, Kak, kita nggak perlu tahu semuanya. Kadang, ada hal-hal yang harus kita biarkan hilang bersama waktu,” jawab Alindra dengan suara yang berusaha tenang, meskipun hatinya bergejolak.
Tapi Aksara menggeleng, seolah menolak untuk menerima kenyataan itu. “Aku nggak bisa hidup dalam bayang-bayang terus. Aku harus menghadapi masa lalu itu. Aku harus mengerti, kenapa mereka melakukan ini semua.”
Alindra tidak bisa menyalahkan kakaknya. Aksara memiliki hak untuk tahu. Namun, di satu sisi, Alindra juga tahu betapa berbahayanya jika mereka terlalu banyak menggali. Dunia yang mereka jalani selama ini sudah cukup berbahaya tanpa harus menggali lebih dalam ke dalam lubang hitam itu.
Keduanya terdiam dalam keheningan, hanya suara api yang terdengar di perapian. Lalu, suara pintu yang terbuka menghentikan suasana itu. Pak Andri dan Bu Lila kembali ke rumah dengan wajah yang lebih tegang. Mereka membawa informasi baru, dan mereka sudah memutuskan langkah selanjutnya.
“Pak, Bu,” Aksara memulai, suaranya penuh harap, “apa yang kita lakukan sekarang?”
Pak Andri mendekat dan duduk di hadapan mereka, matanya serius. “Kita harus siap menghadapi ancaman ini, Aksara. Kami sudah membuat rencana. Ini bukan hanya soal melindungi kalian berdua lagi, tapi juga soal bertahan hidup.”
“Bertahan hidup?” tanya Aksara, nada suaranya mengandung kebingungan dan sedikit ketakutan.
Bu Lila mengangguk, menyelesaikan penjelasan yang tidak bisa diteruskan oleh Pak Andri. “Ada ancaman yang lebih besar dari sekedar orang tua kandungmu. Orang-orang yang terlibat dengan mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka cari.”
Aksara menatap Bu Lila dan Pak Andri dengan mata yang penuh dengan keraguan. “Apa kita harus melarikan diri? Apa kita harus meninggalkan semuanya?”
Pak Andri memandang Aksara dengan tatapan tegas. “Kita akan mencari cara untuk mengatasi ini tanpa harus meninggalkan rumah kita, tapi kalian harus siap jika situasi berubah lebih buruk. Tidak ada yang bisa dipastikan dalam keadaan seperti ini.”
Aksara mengangguk pelan. “Kalau begitu, kita harus siap. Kita nggak bisa mundur.”
Dan dalam hati Alindra, meskipun ada rasa takut yang merayap, dia tahu bahwa keputusan yang mereka ambil adalah keputusan yang tak bisa diputarbalikkan. Keluarga ini sudah terjebak dalam sebuah permainan yang lebih besar dari sekadar mereka, dan mereka harus berjuang untuk keluar dari cengkeraman itu.
Malam itu, Alindra dan Aksara berbaring di tempat tidur masing-masing. Keheningan mengisi ruangan, namun ada sesuatu yang berubah dalam diri mereka. Tidak ada lagi ketakutan yang membungkam, tidak ada lagi kebingungan yang menghalangi. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, dan masa depan mereka tidak akan pernah sama lagi. Tetapi satu hal yang pasti—mereka tidak akan menghadapi semua ini sendirian.
Dengan perlahan, Alindra memejamkan mata, membiarkan dirinya terlelap dalam mimpi yang penuh dengan harapan, meskipun bayang-bayang ancaman masih ada. Karena dia tahu, bersama Aksara, mereka akan tetap bertahan, apa pun yang terjadi.
Jadi, setelah semua yang mereka lewatin, Aksara dan Alindra sadar satu hal: hidup nggak selalu sesuai rencana, tapi kadang, hal yang nggak terduga malah bikin kita jadi lebih kuat. Mereka mungkin nggak tahu apa yang bakal terjadi ke depan, tapi satu yang pasti—kekuatan keluarga, rasa sayang, dan tekad buat bertahan, itu yang bikin mereka terus maju.
Mungkin hidup nggak sempurna, tapi kalau kita punya orang-orang yang benar-benar peduli, semuanya jadi lebih berarti. Jadi, bagaimana menurut kamu? Udah siap hadapi dunia yang nggak selalu bisa ditebak?