Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu ngalamin kejadian yang konyol banget sampe bikin kamu mikir, Kenapa gue bisa sih sebodoh ini? Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam cerita Rando, yang, ya, semacam pahlawan jatuh dari pohon jambu—dan bukan cuma jatuh, tapi jatuh dengan cara yang nggak ada duanya!
Aku jamin, setelah baca ini, kamu bakal ketawa ngakak dan mungkin mikir dua kali sebelum coba manjat pohon jambu. Tapi siapa tahu, kamu jadi pengen coba juga, kan? Yuk, baca aja dulu, siapa tahu kamu bisa lebih kuat dari Rando!
Cerpen Jatuh dari Pohon Jambu
Pohon Jambu dan Janji Plastik Hitam
Sinar matahari pagi sudah cukup terik, tapi angin yang berhembus lembut menyejukkan. Di halaman belakang rumah Pak Mahendra, pohon jambu besar dengan dahan-dahannya yang rimbun berdiri kokoh, seakan mengawasi segala yang terjadi di sekitarnya. Buah-buah jambu yang sudah matang bergelantungan di sana, berwarna merah muda, menggoda siapa saja yang lewat.
Di bawah pohon itu, dua sosok sedang sibuk mempersiapkan sesuatu. Rando, si remaja berambut ikal yang selalu terlihat ceria, mengenakan kaos oblong lusuh dan celana pendek yang sedikit kebesaran. Dia berdiri dengan penuh keyakinan, tangan terlipat di dada, menatap pohon jambu seakan-akan itu adalah lawan yang harus ditaklukkan.
Di depannya, seorang bocah kecil bernama Toto berdiri dengan plastik hitam di tangan. Plastik itu sudah siap menanti—tugasnya adalah menangkap buah jambu yang akan jatuh dari pohon.
“Pokoknya, lu siap nangkep ya, To?” Rando berkata sambil menatap pohon itu dengan penuh semangat. “Gue yang manjat, lu tinggal siapin plastik buat nangkep jambunya.”
Toto mengangguk, matanya berbinar-binar seperti melihat sebuah petualangan besar yang akan terjadi. “Iya, gue siap! Jangan sampe lu jatoh, Do,” jawabnya dengan suara bersemangat, meskipun sebetulnya dia lebih khawatir kalau temannya itu benar-benar terjatuh.
Rando tertawa dan melirik ke arah Toto. “Santai aja, To. Gue kan udah pengalaman. Ini cuma pohon jambu, bukan tebing curam.” Dia melangkah maju, mendekat ke batang pohon yang besar. “Tunggu di sini, ya. Gue bakal tunjukin gimana caranya manjat pohon dengan gaya.”
Toto masih sedikit ragu, tapi dia hanya mengangguk dan menunggu dengan sabar. “Oke, gue siap!” jawabnya, meski dalam hati sedikit was-was.
Rando mengayunkan kaki dan meraih cabang pertama, dengan mudah melangkah ke atas. Pohon itu tak terlalu tinggi, tapi cukup untuk membuat siapa pun merasa seperti seorang pendaki profesional. Dahan-dahannya cukup kuat untuk menahan beban tubuhnya yang ringan, jadi Rando merasa tenang.
“Wih, liat nih, To!” Rando berkata sambil tersenyum lebar, melambaikan tangan ke bawah. “Gampang banget, kan?”
Toto menatapnya dari bawah, tangannya menggenggam erat plastik hitam, sudah siap untuk menangkap jika jambu-jambu itu jatuh. “Gue sih nggak yakin, Do. Lu jangan sok yakin deh, pohon ini bisa aja tiba-tiba goyang.”
“Tuh kan, lu malah khawatir.” Rando tertawa dan melanjutkan pendakiannya, semakin tinggi. Dari atas sana, dia bisa melihat seluruh halaman, rumah Pak Mahendra, dan bahkan sedikit bagian desa yang terlihat dari kejauhan. Rando merasa seperti raja di atas pohon.
Setelah beberapa detik, dia mencapai cabang yang lebih besar, lebih kokoh, dan cukup nyaman untuk berdiri. Dengan penuh percaya diri, dia mulai mengulurkan tangan ke buah jambu yang matang. “Nah, ini dia. Buah jambu gede yang kita cari!”
Toto mengerutkan dahi dan memandangi dari bawah. “Eh, hati-hati, Do! Jangan cuma fokus sama buahnya, liat cabangnya juga dong!”
Rando tertawa lagi, “Santai aja, gue udah berpengalaman! Cuma beberapa langkah lagi, terus jambu itu bakal jatuh sendiri. Lu siap nangkep?”
Dengan percaya diri yang berlebihan, Rando meraih cabang yang lebih rendah, dengan niat mengambil buah jambu yang paling besar. Tapi tiba-tiba, seakan ada sesuatu yang salah, ranting yang diinjaknya mengeluarkan bunyi retakan yang sangat jelas.
“Krekkk…”
Rando menoleh ke bawah, matanya menyipit. “Eh, kenapa jadi bunyi kayak gitu?”
“Lu hati-hati, Do!” teriak Toto, wajahnya mulai gelisah. “Gue bilang juga apa, pohon ini nggak bisa sembarangan!”
Tapi Rando hanya tersenyum lebar, pura-pura santai. “Gue yang manjat pohon ini, ya gue yang tahu. Pokoknya tinggal ambil aja.”
Namun, saat itu juga, cabang yang dipijaknya patah dengan suara keras. “Krekkk… PRAAAKK!!”
Rando terpelanting ke belakang, kehilangan keseimbangan. Tangannya mencoba meraih cabang, tapi itu sia-sia. Sebelum sempat menjerit, tubuhnya sudah jatuh bebas ke bawah.
“BRUK!”
Suara benturan yang cukup keras mengguncang tanah di bawah pohon. Plastik hitam yang dipegang Toto terlempar tinggi ke udara, dan isinya—buah-buah jambu—terpencar di sekitar Rando yang tergeletak di semak-semak kering.
Toto terdiam sejenak, mata terbelalak. “DOOOO!!!”
Dia berlari cepat, tangannya masih menggenggam plastik yang kini kosong. “Aduh, Do, kamu kenapa?!”
Rando terdiam sejenak, matanya berputar mencari tahu apakah dia masih bisa merasakan kaki dan tangannya. Badannya terasa sakit, terutama di punggung dan lengannya yang menahan beban jatuhnya. Tapi lebih parah lagi—egonya yang jatuh lebih dulu.
“Aduh… sakit banget, To…” Rando menggerutu sambil meraba bagian punggung yang terasa kaku.
Toto, yang awalnya khawatir, tak tahan lagi untuk menahan tawa. “HAH! HAHAHAHAHA!”
Mila, yang kebetulan lewat dari pagar samping rumah Pak Mahendra, mendengar suara kejatuhan itu dan langsung menoleh. Setelah melihat Rando tergeletak di tanah dengan kaki tertekuk dan wajah konyol, dia tak bisa menahan diri. Tawa Mila meledak, keras, tak terbendung.
“Hahaha! Lu ngapain, Do?! Sama sekali nggak kelihatan keren!” Mila berkata dengan suara terbahak, sambil memegangi perutnya yang sudah sakit karena tertawa.
Rando yang masih tergeletak di semak-semak hanya bisa menatap Mila dengan wajah merah padam. “Mila?! Lu nggak liat apa-apa, kan?”
“Tentu aja gue liat, Do!” Mila masih tertawa, suaranya menggema di sekitar halaman. “Lu lagi manjat pohon, terus jatuh. Udah gitu, jatohnya kayak bintang jatuh! Gokil banget!”
Toto yang berdiri di samping, masih memegangi plastik, ikut tertawa terbahak-bahak. “Gue kira jatuhnya bakalan dramatis, kayak di film-film. Ternyata malah konyol begini!”
Rando cuma bisa menatap mereka berdua dengan tatapan jengah. Dia merasa tubuhnya penuh sakit, tapi rasa malunya lebih menyakitkan. Dia berusaha berdiri, meski agak goyah. “Udah, udah, cukup deh ketawanya. Gue masih bisa jalan kok!”
Tapi seketika itu, Rando merasa dirinya dipermalukan lebih jauh lagi.
Pendaki yang Tak Kenal Takut
Setelah kejadian jatuh dari pohon jambu, Rando merasa tubuhnya seperti dipenuhi pecahan-pecahan kecil yang menyakitkan. Ia berdiri dengan susah payah, mencoba mengabaikan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Tapi ada satu hal yang tak bisa disembunyikan: egonya hancur berkeping-keping.
Mila masih tertawa terbahak-bahak, tangan memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa. “Aduh, Do, serius deh, itu jatuhnya kayak guling-guling di taman! Gimana sih, lu manjat pohon aja bisa jatuh?”
Rando, meskipun masih merasa nyeri, berusaha menjaga citra dirinya. “Santai aja, gue cuma… tes daya tahan pohonnya. Ini kan pohon tua, pasti cabangnya udah rapuh!” jawabnya dengan nada sok tenang, mencoba membenarkan kejadian itu.
Toto, yang dari tadi berdiri dengan plastik hitam kosong di tangan, sepertinya baru menyadari bahwa ia masih memegang plastik itu. Dengan ekspresi serius, ia berkata, “Gue kan udah bilang, Do! Pohon ini nggak stabil. Tapi lu malah nggak dengerin gue.” Toto berusaha menahan tawa, meskipun jelas ia ingin tertawa lagi.
Rando menatap Toto sejenak, lalu meraba punggungnya yang terasa sangat sakit. “Iya, iya, gue salah. Tapi ini nggak akan menghentikan misi gue. Sekarang kita harus dapetin buah jambu itu!”
Mila, yang sudah mulai mereda tawanya, menoleh ke arah pohon jambu. “Emangnya kamu masih mau manjat pohon itu lagi, Do? Setelah jatuh kayak gitu?” tanyanya, matanya penuh rasa ingin tahu.
“Gue nggak takut jatuh lagi,” jawab Rando, sedikit menggebu-gebu. “Kali ini, gue pasti berhasil! Terserah lu mau ketawa, yang penting gue bakal buktikan kalau gue bisa ambil buah jambu itu.”
Toto yang mendengarnya cuma menggelengkan kepala. “Duh, kalau udah begini, harusnya ngalah aja deh, Do. Gue nggak yakin pohon ini bakal memberi lebih banyak buahnya. Lu udah jatuh satu kali, masa mau coba lagi?”
Rando mengabaikan kekhawatiran Toto. Ia menatap pohon jambu, yang tampaknya seperti mengolok-oloknya dengan cabangnya yang sedikit bergerak tertiup angin. Dia mulai merasa seperti tantangan hidup, semacam panggilan yang harus ia jawab. “Pokoknya gue akan manjat lagi. Gimana pun caranya, gue akan buktikan kalau gue lebih dari sekadar jatuh.”
Mila menatap Rando dengan ekspresi bercampur antara khawatir dan geli. “Ya udah, kalau begitu. Tapi kalau sampai jatuh lagi, gue bakal inget ini selamanya, Do!”
Rando mengambil napas panjang dan menguatkan diri. Dengan perlahan, ia mulai mendekati batang pohon yang besar, kali ini lebih hati-hati. Ia memanjat dengan perlahan, tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Setiap langkahnya terasa lebih berat, dan ia menyadari bahwa ia tidak sebanding dengan pohon itu. Pohon jambu ini ternyata lebih kuat dan lebih tua dari yang ia kira.
Mila dan Toto hanya berdiri menonton. Toto tampak cemas, sedangkan Mila lebih banyak tersenyum, menahan tawa. “Hati-hati, Do, jangan sampe jatuh lagi, ya. Gue nggak yakin gue bisa tahan kalau liat lu jatuh lagi.”
Rando tiba di cabang yang sedikit lebih tinggi, kali ini dengan lebih berhati-hati. Ia mengatur keseimbangan tubuhnya, dan matanya mencari buah jambu yang akan ia petik. Tiba-tiba, sebatang ranting lain terdengar retak. “Krek!”
Refleks, Rando segera menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Keringat mulai menetes di dahinya. “Aduh, pohon ini kayaknya bener-bener nyoba ngebikin gue jatuh.”
Mila mengernyitkan dahi. “Jangan paksa, Do! Gue rasa itu udah cukup. Mungkin pohon ini mau kasih kita pelajaran, nih.”
Namun, Rando, dengan sikap yang tetap tak kenal takut, bersikeras. “Pokoknya gue bakal ambil jambu itu, Mila! Kamu lihat aja.”
Dengan penuh tekad, Rando menarik satu cabang yang lebih rendah, dan tubuhnya sedikit meluncur ke depan. Ia sudah hampir sampai pada jambu yang dimaksud. Begitu dekat!
Tapi tiba-tiba, begitu ia menggenggam jambu yang hendak dipetik, cabang tempatnya berpijak tiba-tiba patah!
“Ahhhhhh!!!”
Sekali lagi, Rando terjatuh, tapi kali ini lebih cepat. Ia terjatuh dengan posisi yang lebih buruk dari sebelumnya, karena tak ada yang bisa menahan jatuhnya. Suara benturan keras itu menggema lagi. “BRUK!”
Mila dan Toto langsung berlari mendekat, kali ini tidak ada tawa, hanya ekspresi terkejut. Rando terkapar di tanah, matanya melotot, merasakan sakit di seluruh tubuhnya.
Toto memeriksa keadaan temannya, khawatir. “DOOOO! Jangan bilang kamu…”
Namun, Rando hanya mengangkat tangannya dengan lemah. “Gue… gue nggak apa-apa,” jawabnya, meskipun jelas dia meringis kesakitan. “Tapi… ini pohon gila!”
Mila tidak bisa menahan diri lagi. Dengan wajah penuh ekspresi bingung sekaligus khawatir, ia berkata, “Lu emang lebih keras kepala daripada pohon ini, Do. Udah jatuh dua kali, masa nggak sadar juga sih?”
Toto menatap Mila, lalu menatap Rando yang tergeletak di tanah. “Gue rasa kita harus panggil Pak Mahendra, nih,” katanya dengan nada cemas.
Rando hanya bisa tertawa getir, meskipun rasa sakitnya makin terasa. “Jangan… jangan panggil Pak Mahendra. Gue… gue masih bisa…”
Namun, pada saat itu, suara dari jauh terdengar. “HEEEEEY! Apa yang kalian lakukan?!”
Mereka semua menoleh ke arah suara itu. Pak Mahendra, pemilik pohon jambu, sudah berdiri di depan pagar, menatap mereka dengan bingung.
Terjebak dalam Hukuman Pohon Jambu
Pak Mahendra berdiri di depan pagar, matanya tajam menatap mereka bertiga. Rando terkulai lemas di tanah, mencoba untuk mengumpulkan sisa-sisa harga dirinya yang hancur. Sementara itu, Mila dan Toto terlihat bingung dan sedikit panik, menghadapinya seperti anak yang tertangkap basah sedang berbuat nakal.
“Rando, kamu lagi-lagi nekat manjat pohon jambu ini?” suara Pak Mahendra berat, mengandung kekesalan yang tertahan. “Dan kamu berdua—Toto, Mila, kenapa cuma diam aja? Kok bisa biarin dia jatuh berkali-kali?”
Mila langsung berdiri tegak, berusaha menutupi kebingungannya. “Bukan… bukan begitu, Pak. Rando… Rando cuma mau buktikan sesuatu,” jawabnya dengan nada cemas, sedikit terbata.
Toto yang biasanya bisa dibilang lebih kalem, kali ini tampak tergagap. “Iya, Pak… Rando cuma… cuma… ehm… uhh… coba ambil jambu, Pak.” Dia tersenyum kaku, berharap Pak Mahendra bisa mengerti.
Rando, yang merasa semangatnya sudah habis, hanya bisa tersenyum canggung. “Aku… aku cuma pengen ambil satu buah jambu, Pak. Cuma itu.”
Pak Mahendra mendekat, namun bukan dengan wajah marah yang diharapkan. Justru, wajahnya sedikit melunak. “Jambu ini bukan pohon sembarangan. Kalau nggak hati-hati, bisa bahaya. Kalian tahu nggak? Ini pohon tua dan berakar kuat. Kalau sampai cabangnya patah lagi, bisa-bisa kalian…”
Pak Mahendra berhenti sejenak, menatap Rando yang masih terbaring. “Tapi, Rando, kamu… Kenapa sih, anak muda zaman sekarang suka banget tantangan yang aneh-aneh?”
Mila, yang sudah mulai cemas, mendekati Pak Mahendra. “Pak, kami mohon maaf. Rando cuma pengen nyoba. Kita nggak nyangka dia bakal jatuh lagi. Tapi kalau bisa, jangan marahin dia terlalu keras, ya. Nanti dia makin parno, Pak.”
Pak Mahendra tersenyum tipis, lalu menepuk-nepuk pundak Rando yang masih tergolek di tanah. “Kamu itu bodoh, tapi agak berani juga. Ini bukan taman bermain, Rando. Pohon ini bukan mainan buat diuji coba. Kamu bisa jatuh dan patahkan tengkorak kamu, kalau nggak hati-hati. Kalo udah begini, gimana kalau kamu kenapa-napa?”
Rando tertawa kecil, meskipun tubuhnya terasa sangat sakit. “Iya, Pak, gue ngerti. Aku cuma pengen cari pengalaman aja. Gak bakal coba lagi, kok.”
Pak Mahendra mengangguk pelan. “Coba pelan-pelan, kalau memang mau naik pohon, jangan cuma asal nekat. Kalau sampai jatuh lagi, aku bakal panggil dukun pohon untuk minta izin,” ujarnya dengan nada bercanda, meskipun jelas ada rasa kesal di balik senyumannya.
Rando hanya mengangguk dengan lemas, tidak tahu harus berkata apa lagi. Sementara itu, Mila dan Toto, yang mulai merasa sedikit lega karena Pak Mahendra tidak marah lebih lama, hanya bisa menahan tawa.
“Aduh, Do, kamu sih. Udah jatuh dua kali, malah bikin heboh,” ujar Mila sambil menyikut Rando dengan lembut.
“Gue kan pengen jadi pahlawan,” jawab Rando, tersenyum pahit, sambil merasakan sakit di punggung dan bahunya. “Tapi kayanya lebih banyak jadi bahan tertawaan ya.”
Toto, yang mulai merasa sedikit lebih santai, mendekati mereka. “Udah, udah. Rando, kalo sakit mending istirahat dulu. Kita pulang aja, biar nggak jadi bahan omongan lebih lanjut. Lagian, kita bisa beli jambu di pasar kok.”
Rando mengerang, merasa lelah dan malu. “Iya, deh. Kali ini gue nggak akan manjat lagi. Tapi… itu jambu pohon Mahendra emang enak banget, sih.”
Mila menyeringai. “Makanya, jangan manjat kalau nggak kuat. Nanti aja beli jambu di toko. Tapi lo perlu istirahat dulu, Do.”
Pak Mahendra, yang melihat situasi mulai lebih tenang, akhirnya tertawa kecil. “Jambu itu enak, tapi ingat, nggak semua yang enak itu harus dicapai dengan cara nekat. Jambu yang manis itu bakal datang sendiri kalau waktunya tepat.”
Dengan sedikit rasa lega, Rando mengangguk, meskipun dia tahu bahwa keinginan untuk memetik jambu itu masih bergejolak dalam hatinya.
“Jadi, gimana sekarang, Pak?” tanya Toto, yang ingin mengakhiri percakapan dengan suasana yang lebih santai.
“Sekarang kalian bisa pergi, tapi ingat. Pohon jambu ini punya aturan sendiri. Jangan bikin masalah lagi. Kalau bisa, jaga keselamatan kalian. Jangan jadi orang bodoh yang hanya bisa mencari bahaya.”
Rando, Mila, dan Toto akhirnya beranjak dari sana. Namun, saat mereka berjalan menjauh dari pohon jambu, Rando tak bisa menahan diri. “Suatu hari nanti, Pak Mahendra, gue bakal buktikan kalau gue bisa ambil jambu itu dengan cara yang bener!”
Pak Mahendra, yang mendengar ucapan itu, hanya menggelengkan kepala. “Aku nggak tau apakah itu lebih bodoh atau lebih keren. Tapi jangan sampai aku liat lagi jatuhnya, Rando.”
Mila, yang berjalan di samping Rando, tersenyum lebar. “Kita lihat aja nanti, Do. Kalau sampai jatuh lagi, gue yang bakal jadi hakim.”
Toto tertawa kecil. “Ya, kalian berdua deh, ribut terus. Gue sih berharap Rando berhasil, tanpa harus bikin masalah lagi.”
Mereka berjalan pulang dengan suasana yang lebih ringan, meskipun Rando tahu satu hal pasti: jatuh dari pohon jambu itu tidak akan pernah terlupakan, dan mungkin, suatu hari nanti, dia akan kembali untuk mencapainya dengan cara yang berbeda. Tapi untuk sekarang, dia lebih memilih istirahat dan menghindari lebih banyak bencana.
Pembalasan dari Pohon Jambu
Hari itu, Rando merasakan sesuatu yang aneh. Punggungnya masih pegal, tubuhnya terasa berat, dan matanya masih berusaha menepis kantuk setelah semalaman terbangun, memikirkan kejadian kemarin. Baginya, jatuh dari pohon jambu bukan cuma soal luka fisik. Ada rasa malu yang sulit diungkapkan, apalagi setelah melihat wajah Pak Mahendra yang terkadang lucu, namun kali itu penuh dengan kebingungan. Rasanya seperti ada beban yang menempel, yang tak bisa dilepaskan hanya dengan kata maaf.
Di tengah pikirannya yang berlarian, Mila mendekat dan menyenggolnya pelan. “Pulang nggak, Do?” tanyanya dengan nada santai.
Rando memutar bola matanya, setengah kesal. “Gue udah cukup deh, Mila. Kemarin aja gue nggak bisa tidur gara-gara jatuh dari pohon itu. Nggak ada yang ngerti.”
Mila tertawa pelan. “Gue ngerti kok. Cuma ya, apa lo nggak pengen coba lagi?”
“Coba lagi?” tanya Rando, seolah tidak percaya. “Emang lo kira gue gila? Jatuhnya aja udah sakit, apa gue mau coba lagi buat nambah sakit?”
Toto, yang baru saja datang dengan wajah cerah, ikut nimbrung. “Tapi lo harus ngaku, Rando, itu seru banget. Lo kayak superhero yang jatuh dari langit. Siapa tahu besok bisa lebih sukses.”
Rando menghela napas, lalu menatap kedua temannya dengan tatapan kosong. “Gue nggak pernah ngerasa secanggung ini dalam hidup. Pokoknya, gue nggak mau jatuh lagi.”
Toto menyenggol Rando dengan lembut. “Jangan bilang begitu, Do. Kalau nggak jatuh, nggak seru. Tapi lo beneran harus coba lagi dengan cara yang lebih hati-hati. Jangan langsung manjat ke pohon itu, coba ajak Pak Mahendra dulu buat izin. Kalau berhasil, lo pasti bangga, dan bisa bilang ‘gue bisa’ ke semua orang.”
Rando tertawa seiring dengan kata-kata Toto. “Iya, iya, gue bisa coba. Tapi kali ini kalau gue jatuh lagi, lo berdua yang tanggung jawab, ya!”
Pak Mahendra yang tiba-tiba muncul di balik pagar, mendengar percakapan itu dan menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Lo udah bener-bener nggak kapok, Rando? Kalau nanti jatuh lagi, gue pikir gue bakal jadi pelatih jambu bukan cuma penjaga pohon.”
Mila dan Toto tertawa, sementara Rando hanya menggerutu. “Gue serius, Pak. Nggak akan jatuh lagi.”
“Coba kalau udah coba, lo boleh bilang ke gue kalau pohon jambu ini memang bisa jadi tantangan seru. Tapi ingat, kalau sampai lo jatuh lagi, gue bakal laporin lo ke polisi pohon jambu!”
Tawa mereka meledak lagi, mengiringi langkah Rando yang mulai ragu. “Jangan deh, Pak. Ntar gue dicap beneran gila sama semua orang.”
Hari itu berakhir dengan canda tawa yang lebih ringan. Meskipun Rando sudah merasa sedikit malu dan lelah, dia tahu dia tak akan menyerah begitu saja. Ada rasa penasaran yang masih menggelora di dadanya. Pohon jambu itu seolah menjadi misteri yang harus dipecahkan. Rando tidak bisa membiarkan dirinya dikalahkan oleh rasa sakit.
Namun, keesokan harinya, saat matahari mulai terbit, Rando berdiri di bawah pohon jambu itu lagi. Tidak ada yang tahu apa yang ada di pikirannya. Tapi yang jelas, dia merasa lebih siap. “Oke, kali ini gue beneran bakal coba dengan hati-hati,” katanya kepada dirinya sendiri, mencoba menguatkan hati.
Pohon jambu itu, meski sudah beberapa kali menorehkan kenangan pahit, tetap berdiri kokoh. Tapi siapa yang tahu, mungkin ini adalah saat yang tepat bagi Rando untuk menaklukkannya. Atau mungkin, pohon itu yang akhirnya menaklukkan Rando sekali lagi. Namun, yang jelas, dia sudah siap menghadapi tantangan apa pun yang akan datang.
Akhirnya, dengan langkah mantap, dia mulai mendekat ke pohon jambu yang dulu menakutkan itu. Kali ini, dia berjanji pada dirinya sendiri: “Jika aku jatuh lagi, aku akan bangkit lebih kuat. Dan, kalau pun gagal, setidaknya aku sudah berani mencoba.”
Jadi, gimana menurut kamu? Udah siap nyoba tantangan pohon jambu, atau masih ragu takut jatuh juga kayak Rando? Apapun yang kamu pilih, ingat aja: kadang hidup emang penuh kejadian konyol yang bikin kita ketawa, tapi itu juga yang bikin kita jadi lebih kuat.
Jadi, jatuh bukan berarti gagal, kan? Semoga cerita ini bikin kamu senyum-senyum sendiri, dan jangan lupa, kalau kamu lagi butuh hiburan, ya, jatuh dari pohon jambu bisa jadi pilihan, tapi jangan terlalu serius! Sampai jumpa di petualangan berikutnya!