Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu jatuh cinta sama cewek tomboy yang awalnya cuma temen, tapi lama-lama bikin kamu mikir, Apa nih yang sebenernya aku rasain?
Nah, cerpen ini bakal ngasih kamu gambaran tentang gimana bisa aja kamu jatuh cinta sama seseorang yang kamu kira bakal jadi rival kamu seumur hidup. Kadang, perasaan tuh datang tiba-tiba, dan nggak selamanya sesuai dengan ekspektasi. Yuk, baca cerita ini sampai habis, siapa tau kamu juga ngerasain hal yang sama!
Kisah Romantis yang Tak Terduga
Senyum di Balik Topi
Aku duduk di sudut kelas yang agak jauh, memandang kosong ke luar jendela. Hari itu terasa biasa saja—hujan rintik-rintik di luar, dan suara obrolan teman-teman yang saling bertukar cerita di sekelilingku. Tidak ada yang istimewa. Hingga mataku tanpa sengaja menangkap sosok yang duduk di bangku belakang.
Almera.
Dia sedang duduk dengan santainya, memakai hoodie hitam yang cukup besar, dan topi hitam yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Biasanya dia akan duduk bersama teman-teman cowoknya, atau lebih tepatnya, dia memang lebih sering nongkrong dengan mereka ketimbang dengan cewek-cewek lain. Tapi hari itu, dia sendirian. Suasana seakan hening sejenak, dan aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya.
Aku tahu siapa dia—Almera, cewek tomboy yang sudah menjadi rival di sekolah ini. Dia cepat dalam segala hal, terutama di lapangan olahraga, dan sudah cukup terkenal dengan keberaniannya yang tidak pernah ragu untuk berkata kasar atau bertindak blak-blakan. Rasanya, dia selalu punya cara untuk menarik perhatian orang. Dan kebetulan, hari itu aku seperti terjebak dalam pandangannya.
Aku tidak tahu kenapa. Mungkin karena dia berbeda. Mungkin karena dia tampak seperti seseorang yang tidak peduli dengan pendapat orang lain. Atau mungkin karena topi hitam yang dia kenakan itu—topi yang selalu tampak penuh misteri.
Saat aku memfokuskan diri lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara tawa kecil dari Almera. Entah kenapa, suara itu membuat hatiku sedikit tergetar. Itu adalah tawa yang jarang keluar dari dirinya—seolah dia sedang menikmati sesuatu yang sangat menghibur. Dan seketika aku merasa seolah-olah terjatuh ke dalam dunianya yang berbeda.
Aku berusaha mendekat, meski tanpa niat untuk mengganggu. Dengan langkah hati-hati, aku berjalan ke arah meja di dekatnya dan mulai duduk. Tanpa disangka, Almera yang sejak tadi terbenam dalam bukunya, akhirnya menoleh dan langsung mendapati aku yang sedang memperhatikannya.
“Ada apa?” tanya Almera, suaranya terdengar sedikit terkejut, namun ada nada santai di sana.
Aku terkejut, merasa sedikit tertangkap basah. “Nggak apa-apa,” jawabku sambil mengalihkan pandangan. “Cuma lihat kamu aja.”
Dia menatapku beberapa detik, lalu kembali fokus pada buku komiknya. “Kenapa liat-liat gue? Ada masalah?” tanyanya dengan nada yang lebih santai, namun kali ini aku bisa merasakan ada sedikit ketegangan di suara itu.
Aku tertawa pelan. “Gak ada masalah sih. Cuma… kamu lagi baca apa sih?” tanyaku dengan penasaran.
Almera tersenyum kecil tanpa banyak kata, menunjukkan sampul buku komik yang sudah agak usang itu. “Buku komik. Cuma baca ini, nggak ada yang seru.”
“Serius? Kayaknya lebih seru daripada pelajaran ini deh,” jawabku sambil menunjuk buku yang ada di depanku. Almera tertawa pelan, seperti biasa, tanpa menyembunyikan kekonyolannya.
“Sama aja. Buku ini lebih menghibur daripada otak yang ngebosenin di kelas ini,” jawabnya sambil mencibirkan bibirnya, membuatku tersenyum tanpa bisa menahan tawa.
Tapi ada sesuatu yang menarik perhatian. Di balik sikap tomboy-nya yang cuek dan selalu terlihat cool, Almera ternyata punya sisi lain yang tak banyak orang tahu. Setiap kali dia tertawa, itu seperti membuka sebuah jendela ke dalam dirinya. Seperti ada keceriaan yang jarang dia tunjukkan.
“Tapi serius deh, lo lucu banget kalau ketawa gitu,” kataku tanpa sadar. Aku tidak tahu kenapa kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
Almera menatapku dengan wajah datar, tetapi ada sedikit senyum di sudut bibirnya. “Lo aneh, tahu nggak sih?” katanya dengan nada yang tak bisa kutebak, seolah dia setuju dan tidak setuju dalam satu waktu. “Tapi yaudah, terima kasih deh.”
Aku hanya bisa tersenyum. “Maksud gue, lo nggak keliatan serius gitu. Tapi ternyata, lo tuh konyol juga ya.”
“Tuh kan, lo semakin aneh,” jawabnya, kali ini dia tertawa keras, membuatku ikut tertawa. Meski dia sering menunjukkan sisi keras dan maskulinnya, Almera sebenarnya bukanlah cewek yang sulit untuk didekati. Dia justru lebih terbuka dari yang aku kira.
Aku baru menyadari bahwa Almera punya daya tarik yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Mungkin itu karena dia tomboy, atau mungkin karena dia sangat tidak peduli dengan apa yang orang pikirkan tentang dirinya. Yang pasti, semakin sering aku menghabiskan waktu dengannya, semakin aku merasa nyaman.
Dan entah kenapa, saat dia menoleh ke arahku dengan tatapan yang lebih serius, aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekedar rivalitas di antara kami.
“Lo nggak usah terlalu mikirin gue, ya. Gue nggak sebaik itu,” katanya, tanpa memandangku. Tapi aku bisa merasakan ketulusan dalam suaranya.
Aku menggelengkan kepala. “Enggak, gue nggak mikir apa-apa. Cuma aja, lo lebih dari yang gue kira.”
Almera terdiam beberapa saat, lalu akhirnya tersenyum, senyum yang hampir tak pernah dia tunjukkan ke orang lain. “Lo memang aneh banget.”
Aku tertawa lagi, merasa lebih dekat dengannya dari sebelumnya. Mungkin ini bukan sekedar tentang cewek tomboy yang aku anggap rival. Almera lebih dari itu. Dan aku semakin penasaran untuk mengetahui lebih banyak tentang dirinya.
Saat Dunia Berputar
Hari-hari berlalu, dan aku mulai merasa bahwa aku sudah masuk ke dalam dunia yang berbeda sejak pertama kali berbicara dengan Almera. Tak ada lagi yang sama seperti dulu. Aku yang biasanya menikmati kesendirian di sudut kelas, kini merasa ada ruang kosong yang harus diisi setiap kali aku mendengar tawa khas Almera dari bangku belakang.
Dia, yang selalu duduk dengan gaya kasual, mengenakan hoodie yang sama setiap kali, dan memakai topi yang hampir menutupi seluruh wajahnya, seolah menjadi bagian dari dirinya. Aku kadang merasa seakan topi itu adalah simbol dari segala hal yang tersembunyi dariku. Ada rasa penasaran yang mulai menggerogoti pikiranku. Almera itu lebih dari yang aku kira. Cewek tomboy yang kutahu sejak dulu, ternyata bukan hanya seorang atlet tangguh atau cewek yang tak peduli dengan pendapat orang lain. Di balik penampilannya yang cuek, ada sisi lain yang sulit dijangkau, dan aku ingin mengetahuinya lebih dalam.
Hari itu, aku duduk di kantin, menikmati makan siang seorang diri, ketika tiba-tiba Almera muncul. Dia datang dengan langkah cepat, meski tangan kanannya memegang piring dengan hati-hati, seolah-olah dia tahu kalau akan ada sesuatu yang tidak beres jika piring itu terjatuh.
“Lo lagi makan sendirian?” tanya Almera, sambil menarik kursi dan duduk di depanku tanpa permisi.
Aku mengangguk. “Iya, biasanya gitu sih.”
Almera menatapku sejenak, lalu menggelengkan kepala. “Lo nggak merasa aneh gitu makan sendirian terus?”
“Tergantung, sih. Gue lebih suka kalau makan tenang. Cuma hari ini rasanya ada yang kurang,” jawabku, sedikit jujur tanpa berusaha terlihat seperti orang yang terlalu mengada-ada.
“Kenapa emangnya? Lo nggak suka gue temenin?” tanyanya sambil tersenyum licik, seperti biasa.
Aku sedikit terkejut, lalu tertawa kecil. “Gue nggak bilang gitu, cuma… ya, lo tahu sendiri kan, gue bukan orang yang suka banyak ngobrol di saat makan.”
Almera menatapku sejenak, lalu dengan lincah mulai makan, seolah tak ada yang berubah. “Gue juga nggak terlalu suka makan sama orang, tapi kalau lo diem mulu, gue jadi nggak nyaman,” katanya sembari menyentuh bagian atas topinya yang sedikit melorot. “Makanya gue dateng,” tambahnya.
Aku hanya bisa mengangkat bahu dan menatap piring makananku. Ada sesuatu yang aneh tentang cara Almera berbicara. Dia tidak peduli dengan norma sosial atau aturan yang biasa dijunjung tinggi. Semua yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata yang kadang membuatku bingung, namun seringkali juga membuatku terkejut.
“Sebenarnya, lo kalau diam kayak gini, gue jadi makin penasaran, tau nggak?” ujarku tiba-tiba. “Lo tuh, gimana ya, antara menarik dan bikin kesel,” tambahku, merasa sedikit tak tahu apa yang kututurkan.
Almera menatapku lagi, lalu tertawa terbahak-bahak. “Gue? Menarik? Lo bener-bener aneh, tahu nggak sih?” katanya dengan nada yang entah serius atau bercanda. Aku merasa sedikit tersentak, tapi ada sesuatu yang lucu dalam perkataannya.
“Jadi, lo suka bikin orang bingung, ya?” aku bertanya lagi, kali ini sedikit lebih serius. “Lo suka bikin orang nyangkut di situasi yang nggak jelas gitu?”
Almera menyendok nasi ke dalam mulutnya, mengunyah dengan santai. “Itu kan cuma cara gue. Lo mau apa, kan?”
Aku terdiam, merasa seolah kata-kata itu punya makna yang lebih dalam daripada yang aku duga. Mungkin, memang benar. Almera adalah orang yang selalu membuat aku merasa ada di ujung batas, di mana segala sesuatu terasa tidak jelas dan ambigu. Tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih di balik itu. Sesuatu yang… ingin kutahu lebih dalam.
“Apa kamu sering kayak gini? Nggak jelas gitu, maksudnya?” tanyaku lagi, entah kenapa rasa penasaran itu semakin besar.
Almera menyeringai. “Mungkin. Atau mungkin lo yang terlalu mikir terlalu dalam tentang gue.”
Aku mendengus, merasa sedikit kikuk. Tiba-tiba, ponselku bergetar di meja. Aku melihat notifikasi pesan dari temanku, yang mengingatkan tentang tugas sekolah yang harus segera diselesaikan. Namun, pandanganku teralih kembali pada Almera, yang kini sudah kembali ke posisi duduk santainya, meski topinya hampir terjatuh. Kali ini, mataku tak bisa berpaling.
“Jadi, lo selalu kayak gini ya?” tanyaku lagi dengan suara lebih pelan.
Almera berhenti sejenak, menatapku dengan serius. “Tergantung, sih. Gue nggak peduli sama apa yang orang pikirin soal gue,” jawabnya, kali ini lebih dalam, lebih penuh arti. “Tapi, gue rasa lo mulai ngerti sedikit tentang siapa gue.”
Aku hanya terdiam mendengarkan jawabannya. Sesuatu dalam hatiku mulai bergerak. Ada perasaan yang tak bisa kutangkap sepenuhnya, perasaan yang tiba-tiba terasa begitu kuat. Almera bukan hanya seorang cewek tomboy yang biasa aku lihat, dia jauh lebih dalam dari itu.
Dan mungkin, aku baru saja mulai menyadari sesuatu yang lebih besar.
Langkah yang Tak Terduga
Hari-hari berikutnya terasa semakin aneh. Aku yang biasanya nyaman berada di zona sendiri, kini merasa ada yang hilang saat Almera tidak ada di sekitar. Keberadaannya yang tak terduga—seperti sebuah teka-teki yang terus mengganggu pikiranku—membuatku merasa seolah dunia ini sedikit lebih terang. Namun di sisi lain, ada ketegangan yang muncul dari perasaan yang baru muncul begitu saja, tanpa aku tahu pasti darimana asalnya.
Di sekolah, kami semakin sering bertemu, meskipun hanya dalam pertemuan yang singkat. Almera, dengan gayanya yang selalu santai dan terkadang sedikit terburu-buru, seolah-olah tahu kapan aku butuh ruang untuk mencerna apa yang sedang terjadi. Meskipun begitu, ada perasaan tak bisa ditanggalkan. Rasanya, seperti ada sesuatu yang sedang berkembang, meskipun aku masih ragu untuk menyebutnya perasaan yang lebih dari sekadar ketertarikan biasa.
Hari itu, saat aku sedang duduk di perpustakaan, menyelesaikan tugas yang menumpuk, aku mendengar langkah kaki mendekat. Tanpa melihat, aku tahu itu suara Almera. Aku tak perlu berpaling untuk mengetahui dia ada di sana.
“Eh, lo lagi ngapain?” Suara Almera menggema dengan santai di telingaku.
Aku menoleh, sedikit terkejut karena tidak menyangka dia akan datang ke perpustakaan, tempat yang biasanya tenang dan sepi. “Lagi ngerjain tugas. Kenapa, lo nyariin gue?” jawabku, sambil mencoba tersenyum, meskipun di dalam hatiku terasa ada kegelisahan kecil yang semakin meningkat.
Almera tertawa. “Mencariin? Enggak kok, cuma kebetulan aja.” Dia mengangkat bahu, seperti biasa, dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Lo terlalu serius deh, gue gangguin dikit aja udah bisa bikin lo mikir,” katanya dengan nada menggoda, seolah tahu betul cara membuatku merasa seperti dipojokkan.
Aku mendengus, tapi aku tahu dia memang benar. “Gue nggak mikir apa-apa kok,” jawabku, meskipun dalam hati aku sudah mulai merasa cemas tanpa alasan yang jelas.
Dia duduk di sampingku tanpa permisi, membuatku sedikit terkejut. “Tugas lo banyak banget ya? Gimana bisa betah?” tanyanya sambil melirik ke buku-buku yang terbuka di depanku. “Gue aja lebih suka main bola daripada ngerjain tugas gini.”
“Ya, beda orang beda cara belajar,” jawabku, sedikit tertawa. Aku menatapnya sekilas, dan untuk pertama kalinya aku benar-benar memperhatikan ekspresi wajahnya. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Dia tidak sekasar biasanya. Tidak ada gurauan yang terkesan mengejek, tidak ada canda yang membuatku merasa seolah-olah dia hanya mempermainkan kata-kata. Hari ini, wajah Almera terlihat lebih serius.
Almera menatapku dengan tatapan tajam, seolah-olah mencoba membaca pikiranku. “Lo kenapa sih? Gue ngeliat lo kayaknya lagi mikirin sesuatu,” katanya, kali ini nada bicaranya berubah. Ada keseriusan di balik suaranya yang terdengar sangat tidak biasa.
Aku terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Perasaan yang datang begitu cepat, begitu mengacaukan pikiranku, hingga aku sulit untuk mengungkapkannya dengan jelas. “Gue cuma… lagi mikir, sih,” jawabku akhirnya. “Mikirin lo, mungkin.”
Almera membelalakkan matanya sejenak, namun kemudian dia hanya tersenyum. “Lo aneh, tau nggak sih?” katanya sambil mencondongkan tubuh ke arahku, seolah mencoba menenangkan suasana dengan cara yang hanya dia tahu. “Gue nggak ngerti kenapa lo bisa mikirin gue sampai segitunya.”
Aku merasa agak canggung dengan pernyataan itu, namun seiring berjalannya waktu, aku tahu bahwa kata-kata itu hanya pengantar untuk sesuatu yang lebih dalam. Aku hanya tidak tahu bagaimana harus menghadapinya. Aku tak tahu bagaimana harus merespons perasaan ini.
“Tapi gue juga mikirin lo, tau,” kata Almera dengan suara yang lebih pelan kali ini, seolah untuk pertama kalinya dia mengakui bahwa dia merasakan sesuatu yang sama, meskipun kata-katanya tetap terdengar ringan. “Lo tuh susah dibaca, tapi ada sesuatu yang bikin gue nggak bisa berhenti mikirin lo.”
Kata-kata itu membuat dadaku terasa sesak. Apakah ini yang namanya… kebingungannya perasaan? Aku tidak tahu harus berpikir apa. Satu sisi aku merasa lega, namun di sisi lain, rasa cemas itu justru semakin kuat. “Kenapa lo bilang gitu?” tanyaku, mencoba mencari makna dari apa yang baru saja dia ucapkan.
Almera mengerutkan keningnya, kemudian menatap lurus ke arah mataku. “Karena gue nggak pernah nyangka lo bakal jadi orang yang gue peduliin,” jawabnya dengan pelan, namun penuh makna.
Jantungku berdegup kencang. Almera… peduli padaku?
Aku merasa dunia tiba-tiba berhenti berputar sejenak. Perasaan yang awalnya tak jelas, kini terasa lebih nyata. Aku harus mengakui itu, meskipun hatiku tak siap untuk menghadapinya. Namun, di sisi lain, ada semacam dorongan dalam diri ini yang ingin meyakinkan diriku bahwa aku benar-benar merasakannya. Perasaan itu bukan sekadar perasaan biasa. Perasaan itu… mulai tumbuh dengan cara yang sangat berbeda.
“Lo beneran?” tanyaku, suaraku sedikit bergetar. “Lo serius ngomong gitu?”
Almera menatapku lama, lalu mengangguk pelan. “Iya, gue serius. Gue juga nggak ngerti kenapa, tapi lo tuh beda.”
Aku terdiam, merasa bingung sekaligus merasa ada kedamaian yang aneh menyelimuti pikiranku. Almera yang dulu kutahu sebagai cewek tomboy yang suka berkelahi di lapangan bola, kini menjadi sosok yang berbeda. Dia… lebih dari sekadar itu. Dan aku, entah kenapa, merasa semakin terjebak dalam dunia yang tak ku mengerti.
Namun satu hal yang pasti: perasaan ini sudah tidak bisa lagi dibendung.
Momen yang Tak Bisa Diubah
Hari itu, segalanya terasa berbeda. Bahkan angin yang menyapu wajahku terasa lebih hangat, lebih menenangkan. Aku sudah mulai terbiasa dengan kebersamaanku bersama Almera, meskipun aku tak sepenuhnya mengerti perasaan yang menggelayuti hatiku. Namun, satu hal yang aku tahu pasti: perasaan itu semakin nyata setiap kali aku bersamanya.
Aku berdiri di luar gerbang sekolah, menunggu temanku yang lain. Pemandangan sore yang cerah membuat segalanya tampak lebih indah. Langit yang berwarna oranye keemasan, udara yang masih terasa segar, dan suasana yang begitu tenang, menyatu dengan perasaan di dalam hatiku.
Ketika aku memutar badan, aku melihat Almera mendekat, mengenakan jaket hitam yang sering dia pakai. Matanya yang tajam dan tegas menatapku, namun ada sesuatu yang berbeda di sana. Sebuah senyuman yang tidak seperti biasanya. Senyuman yang aku kenali, namun kali ini terasa lebih hangat.
“Lo udah selesai?” tanya Almera, suaranya terdengar santai seperti biasanya, namun entah kenapa aku merasa ada ketulusan di balik kata-katanya.
“Iya,” jawabku sambil mengangguk, mencoba menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba muncul. “Lo juga udah selesai?”
Dia mengangguk, tapi kali ini, dia tidak langsung berkata apa-apa. Justru ada hening sejenak antara kami, sesuatu yang jarang terjadi di antara kami berdua yang biasanya selalu mengobrol tanpa henti.
Aku mengangkat alis, merasa sedikit canggung. “Ada apa?” tanyaku dengan nada penasaran.
Almera menatapku lebih lama, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Gue cuma pengen bilang,” kata Almera pelan, “kalau gue… seneng banget bisa kenal sama lo.”
Aku terdiam. Kata-katanya begitu sederhana, namun rasanya seperti ada ribuan makna yang tersimpan di baliknya. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahku terasa kelu. Aku hanya tersenyum tipis, merasakan perasaan yang semakin berat di dada.
“Tapi, lo nggak takut?” tanyaku akhirnya, setelah beberapa detik hening. “Takut kalau perasaan kita… nggak seperti yang kita kira?”
Almera terdiam, dan untuk pertama kalinya, ekspresinya berubah. Ada kejujuran yang terbaca di matanya, sesuatu yang tak pernah aku lihat sebelumnya. “Gue nggak takut,” jawabnya pelan. “Karena gue udah terlanjur nyaman sama lo.”
Aku merasakan jantungku berdegup lebih kencang. Kata-kata itu seperti sebuah pengakuan yang tak pernah terucapkan, dan itu membuatku merasa seperti ada sebuah pencerahan. Mungkin aku sudah lama mencari seseorang yang bisa mengerti aku, yang bisa membuatku merasa dihargai, dan ternyata orang itu adalah dia—Almera.
Tanpa sadar, aku melangkah lebih dekat padanya. “Lo tahu nggak?” tanyaku, suaraku sedikit bergetar. “Kalau gue juga ngerasa yang sama. Gue cuma belum siap buat ngomongin ini.”
Almera tersenyum lembut, dan untuk pertama kalinya aku merasa bahwa perasaan ini tidak salah. “Gak masalah,” jawabnya dengan lembut. “Kita ambil waktu kita. Tapi gue cuma pengen lo tahu, gue di sini.”
Aku hanya mengangguk, merasa semua perasaan yang sempat membebani diriku selama ini akhirnya menemukan jalan keluarnya. Dalam hati, aku tahu, tak ada lagi keraguan yang bisa menghalangi perasaan ini. Kami berdua, dalam cara yang unik dan tak terduga, sudah menemukan cara untuk saling menerima.
Sambil berjalan berdampingan, aku merasa dunia ini sedikit lebih terang, seperti semua yang ada di sekitar kami seolah menyambut langkah kami. Mungkin kami berdua tidak tahu bagaimana ceritanya akan berlanjut, tapi satu hal yang pasti: perasaan ini, meskipun tak sempurna, sudah cukup nyata untuk kami jalani bersama.
Kami berjalan bersama, dan dalam setiap langkah, aku merasa semakin yakin bahwa ini bukan hanya sebuah kebetulan. Mungkin, ini adalah momen yang sudah seharusnya terjadi, dan aku tak akan pernah membiarkan diri ini melepaskan kesempatan yang ada.
Dalam kebersamaan yang sederhana, dengan perasaan yang semakin dalam, aku tahu bahwa ini hanyalah permulaan dari sebuah perjalanan panjang. Perjalanan yang tak bisa diubah, yang akan tetap ada, meskipun segala rintangan dan ketidakpastian menghadang. Aku dan Almera—berdua, berjalan maju bersama.
Jadi, kadang cinta itu nggak datang dari tempat yang kita harapkan, dan nggak selalu sesuai dengan apa yang kita bayangkan. Cinta bisa datang dari orang yang kita anggap musuh, tapi tiba-tiba jadi orang yang bikin hati kita berdebar.
Apa yang awalnya cuma persaingan, bisa berubah jadi perasaan yang paling kita cari-cari tanpa sadar. Siapa tahu, mungkin di kehidupan nyata, lo juga bisa menemukan kejutan cinta seperti ini. Jadi, jangan pernah menutup hati, ya!