Daftar Isi
Kamu pernah nggak sih ngerasain kayak jatuh cinta tapi nggak tahu gimana jelasin perasaan itu? Nah, itu yang dirasain sama Banyu, seorang murid yang nggak nyangka bakal punya perasaan kayak gini ke guru cantiknya, Bu Melati.
Awalnya sih, semuanya biasa aja, tapi lama-lama dia mulai ngerasa ada yang beda. Cinta? Dia juga nggak tahu apa itu cinta sebenarnya. Yang jelas, cerita ini nggak cuma soal perasaan, tapi juga soal perjalanan Banyu belajar, tumbuh, dan mungkin… memahami arti cinta yang sesungguhnya.
Cerpen Jatuh Cinta dengan Guru
Surat untuk Bu Melati
Pagi itu, udara di kelas tiga terasa segar, meskipun matahari sudah cukup tinggi di langit. Sebuah senyum lebar terukir di wajah Bu Melati saat dia memasuki kelas dengan langkah lembut, memakai rok selutut berwarna biru muda dan blouse putih yang terkesan selalu bersih dan rapi. Matanya berbinar penuh semangat, memancarkan kehangatan yang membuat siapa pun yang melihatnya merasa nyaman.
“Selamat pagi, anak-anak!” suara Bu Melati yang lembut dan penuh semangat langsung mengisi ruangan. Sungguh, ada sesuatu yang berbeda tentangnya, sesuatu yang membuat Banyu, yang biasanya suka melamun di kelas, langsung terjaga dan memperhatikan.
“Selamat pagi, Bu Melati!” jawab anak-anak serempak. Banyu ikut menyahut, meskipun matanya masih mengarah ke jendela, seolah-olah melihat sesuatu yang lebih menarik di luar sana.
Tapi kemudian, Bu Melati melangkah lebih dekat ke meja guru. Di tangan kanannya, ada tumpukan kertas yang disusun rapi.
“Ada pengumuman penting hari ini,” kata Bu Melati dengan senyum di wajahnya, sambil membuka beberapa lembar kertas. “Minggu depan, kita akan ada lomba menulis surat. Temanya adalah… orang yang kalian kagumi.”
Banyu terperanjat. Dada Banyu berdebar kencang. Sejak mendengar kata “orang yang kalian kagumi,” satu nama langsung terlintas di kepalanya: Bu Melati.
“Apa? Lomba surat?” suara Ayu, teman sebangkunya, ikut terdengar. Ayu memang selalu cepat tanggap kalau ada hal baru. “Bu, boleh nggak kalau temanya orang yang paling kita suka?”
Semua anak tertawa mendengar usulan Ayu. Banyu hanya menunduk, mengusap wajahnya, merasa malu.
Bu Melati tertawa kecil, matanya berkilau penuh tawa. “Tentu saja boleh, tapi lebih baik kalau kalian lebih fokus ke hal yang menginspirasi kalian. Bukan cuma suka.”
Banyu tak bisa menahan senyum, meski sedikit malu. Bukankah Bu Melati adalah orang yang menginspirasi dirinya? Tapi, Banyu belum tahu bagaimana cara menulis surat itu. Apakah dia harus menyebutkan semuanya? Tentang senyum Bu Melati yang selalu menenangkan, tentang cara dia mengajar yang membuat pelajaran terasa menyenangkan?
Saat istirahat tiba, Banyu berjalan keluar dengan perasaan campur aduk. Ayu, yang sudah menunggu di bawah pohon, langsung menghampirinya.
“Kamu serius mau nulis surat buat Bu Melati?” Ayu bertanya, masih dengan raut wajah penasaran. “Bukannya kamu sering dihukum berdiri karena melamun di kelas?”
Banyu hanya mendengus pelan, berusaha menutupi rasa malunya. “Iya, tapi Bu Melati baik. Dia selalu sabar sama aku.”
Ayu mengangkat alisnya, tampak bingung. “Bu Melati baik? Bukannya dia guru yang paling disiplin?”
“Justru itu. Karena dia disiplin, aku jadi belajar lebih banyak. Dia nggak pernah marah, cuma ngasih pengertian.” Banyu tersenyum samar, hatinya semakin yakin dengan pilihannya.
“Jadi, kamu suka sama Bu Melati?” Ayu menimpali, suaranya sedikit menggoda.
Banyu terdiam sejenak. Sebelum dia sempat menjawab, Ayu sudah mengedipkan matanya. “Hah! Kamu suka banget, kan?”
Banyu merasa pipinya memanas. “Aku nggak tahu, tapi… aku rasa, ya, mungkin aku suka sama Bu Melati.”
Ayu tertawa terbahak-bahak. “Kamu masih kecil, Banyu. Masa suka sama guru? Hahaha!”
Namun, Banyu tidak merasa aneh. Ada sesuatu dalam dirinya yang terus menarik perhatian Bu Melati. Senyumannya, caranya berbicara dengan lembut, serta matanya yang selalu penuh kehangatan.
Pada malam hari, Banyu tidak bisa tidur. Dia duduk di meja belajarnya, menatap kertas kosong di depannya. Berbagai kalimat terlintas di pikirannya, tapi tak ada yang terasa cukup untuk menggambarkan perasaan ini.
“Apa yang harus aku tulis?” gumamnya. “Harus apa ya?”
Akhirnya, dengan sedikit usaha, Banyu mulai menulis. Kata demi kata mengalir pelan, meskipun tangannya sedikit gemetar.
“Bu Melati, terima kasih sudah menjadi guru yang paling baik di dunia. Saya suka cara Ibu mengajari kami, terutama saat Ibu bercerita tentang dongeng. Kalau nanti saya sudah besar, saya ingin menjadi guru seperti Ibu. Ibu cantik sekali seperti bunga di taman. Dari, Banyu.”
Banyu tersenyum kecil setelah selesai menulis suratnya. Meski kalimatnya sederhana, dia merasa surat itu cukup mewakili perasaannya. Begitu banyak hal yang ingin dia sampaikan, tapi dia tahu—ini sudah lebih dari cukup untuk Bu Melati.
Keesokan harinya, saat tiba giliran membaca surat, Banyu merasa gugup sekali. Tapi setelah mendengar nama Bu Melati disebutkan, hatinya mendadak terasa lebih tenang. Dia berdiri dan membawa suratnya ke depan kelas.
Dengan sedikit suara gemetar, Banyu mulai membaca surat itu dengan keras. Semua mata tertuju padanya, dan meskipun dia merasa canggung, dia tetap melanjutkan.
Ketika Banyu selesai, Bu Melati tersenyum lebar. “Terima kasih, Banyu. Suratmu sangat manis.”
Senyuman Bu Melati itu terasa seperti hadiah terbesar yang pernah Banyu terima. Namun, di dalam hatinya, Banyu tahu—surat ini hanyalah awal dari perasaan yang lebih dalam.
Hati yang Deg-degan
Minggu berlalu dengan cepat, dan lomba menulis surat pun semakin dekat. Setiap hari, Banyu mencoba fokus di sekolah, namun ada satu hal yang terus mengusik pikirannya—surat untuk Bu Melati. Dia tidak tahu apa yang lebih membuatnya merasa gugup: apakah surat itu akan membuat Bu Melati terkesan, atau malah membuatnya canggung.
Di kelas, Banyu merasa seperti ada sesuatu yang mengambang di udara. Saat Bu Melati mengajar, mata Banyu sering kali tertarik pada cara Bu Melati menyusun kata-kata, cara tangannya menggerakkan spidol dengan penuh hati-hati saat menulis di papan. Setiap gerakan Bu Melati terasa sempurna di matanya, hingga kadang dia lupa memperhatikan pelajaran.
“Ayo, anak-anak! Sekarang kita akan belajar tentang kalimat majemuk,” kata Bu Melati dengan ceria, seolah tak ada yang bisa mengganggu keceriaannya.
Tapi bagi Banyu, itu bukan pelajaran bahasa Indonesia yang menarik. Hatinya lebih fokus pada Bu Melati yang sedang berbicara.
“Eh, Banyu, kamu masih mikirin surat itu, ya?” Ayu bertanya sambil melirik ke samping.
Banyu mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ayu tertawa, namun dengan cara yang sangat mengerti. “Udah nggak sabar buat lihat reaksi Bu Melati, kan?”
Banyu menggaruk kepala, merasa malu. “Aku nggak tahu… Tapi rasanya aneh, Ayu. Aku nggak pernah merasa kayak gini sebelumnya.”
“Aduh, kamu tuh kayak orang yang baru pertama kali jatuh cinta.” Ayu tersenyum penuh arti, tapi Banyu hanya diam.
Seperti yang dijanjikan, pada hari lomba, Bu Melati mengumumkan untuk mengumpulkan suratnya. Semua anak duduk rapi dengan tangan di meja, termasuk Banyu yang tampak agak gelisah. Ayu yang duduk di sampingnya, menepuk-nepuk bahunya dengan ringan.
“Tenang aja, Banyu. Surat kamu pasti keren kok!” Ayu berbisik.
Banyu hanya mengangguk dengan ragu. Sebagian besar anak sudah menyerahkan surat mereka, tapi Banyu tetap duduk di bangkunya, belum berani maju. Akhirnya, dengan berat hati, dia berdiri dan berjalan perlahan ke meja guru, membawa amplop yang diselipkan di tangan kecilnya.
“Bu Melati, ini surat saya,” kata Banyu dengan suara pelan, hampir seperti berbisik.
Bu Melati tersenyum lebar, senyum yang selalu bisa membuat hati Banyu berdebar-debar. “Terima kasih, Banyu. Aku akan membaca suratmu dengan baik.”
Setelah surat dikumpulkan, Bu Melati mulai membaca satu per satu. Banyu kembali duduk, menunggu dengan hati berdebar-debar. Sejak tadi, dia tidak bisa menahan rasa penasaran tentang bagaimana Bu Melati akan bereaksi.
Ayu yang duduk di sampingnya juga tampak gelisah. “Gimana, Banyu? Kamu nggak takut kalau Bu Melati nggak suka sama surat kamu?”
Banyu hanya menggelengkan kepala. “Enggak, Ayu. Aku cuma… nggak tahu aja kalau dia bakal gimana.”
Namun, saat Bu Melati selesai membaca surat dari teman-teman sekelas, dia tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Semua anak-anak menunggu dengan sabar, bahkan ada yang duduk tegak sambil menunggu giliran mereka untuk diberi pujian.
“Anak-anak,” Bu Melati berkata dengan suara lembut, “Aku sangat senang dengan surat-surat yang kalian buat. Kalian semua menulis dengan sangat tulus.” Dia berhenti sejenak, melihat ke seluruh kelas, lalu menatap langsung ke arah Banyu. “Dan ada satu surat yang menurutku sangat mengharukan.”
Semua mata tertuju pada Banyu. Jantungnya berdegup keras. Bu Melati melanjutkan, “Surat ini membuatku tersentuh, dan aku yakin si penulis memiliki niat baik yang sangat besar. Surat ini datang dari Banyu.”
Banyu merasa seluruh tubuhnya kaku. Matanya membelalak, tak percaya. Semua anak mulai berbisik, dan beberapa bahkan meliriknya dengan pandangan yang menggodanya. Bu Melati melanjutkan dengan senyum yang begitu manis.
“Banyu, kamu menulis surat yang luar biasa. Aku sangat senang ada anak-anak seperti kamu yang begitu tulus dan penuh perhatian. Terima kasih banyak atas suratmu.”
Banyu merasa hatinya melompat. Hatinya yang tadinya penuh kekhawatiran kini terasa ringan. Senyum Bu Melati itu seperti hadiah terbesar yang pernah ia terima. Banyu tidak tahu apakah ini disebut cinta atau bukan, tapi perasaannya kini semakin jelas. Dia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kagum terhadap Bu Melati.
Setelah kelas selesai, Ayu langsung menyamperinya. “Wah, Banyu! Bu Melati sepertinya suka banget sama surat kamu!”
Banyu tersenyum malu, menggaruk tengkuknya. “Aku nggak tahu, Ayu. Tapi… itu rasanya seperti mimpi.”
Ayu tertawa. “Iya, kan? Tapi, Banyu, kalau kamu suka sama Bu Melati, aku rasa kamu harus mulai belajar ngerti apa itu cinta.”
Banyu mengangguk pelan, meskipun hatinya belum sepenuhnya paham tentang apa yang dirasakannya. Yang dia tahu, perasaan ini membuat hatinya lebih ringan setiap kali dia melihat Bu Melati tersenyum. Rasanya manis, seperti es krim vanila yang dia nikmati di siang hari yang panas. Tapi, satu hal yang pasti—Banyu tidak ingin perasaan ini hilang begitu saja.
Langkah yang Tak Pasti
Hari-hari di sekolah setelah lomba menulis surat berlalu dengan cepat. Setiap kali Banyu bertemu Bu Melati di kelas, hatinya kembali berdebar. Meskipun dia mencoba untuk tidak memikirkannya, perasaan itu selalu datang begitu saja, seperti angin yang tak terduga. Kadang-kadang, Banyu merasa seperti ada yang aneh dengan dirinya, terutama saat melihat Bu Melati tersenyum atau mendengarnya berbicara dengan lembut.
Hari itu, pelajaran baru dimulai. Bu Melati masuk dengan senyum yang selalu mampu menghangatkan seluruh kelas. “Selamat pagi, anak-anak! Hari ini kita akan belajar tentang puisi,” katanya dengan penuh semangat.
Banyu duduk di bangkunya, sedikit lebih semangat daripada biasanya, meskipun hatinya terus bergejolak. “Ayo, Banyu, tetap fokus!” bisiknya pada diri sendiri. Tapi entah kenapa, setiap kali dia mendengar suara Bu Melati, pikirannya mulai melayang.
“Bagaimana kalau kalian membuat puisi tentang kebahagiaan?” Bu Melati bertanya, dan seluruh kelas langsung antusias. Semua teman-teman Banyu mulai menulis dengan semangat, tapi Banyu? Dia malah tersenyum sendiri. Puisi apa yang tepat untuk Bu Melati? Apa yang bisa dia tulis untuk menggambarkan perasaannya?
Ayu yang duduk di sebelahnya menyenggol lengannya. “Banyu, kamu pasti sedang mikirin Bu Melati lagi, ya?”
Banyu menatap Ayu sejenak. “Aku… enggak tahu, Ayu. Rasanya kayak setiap kali aku coba fokus, selalu ada sesuatu yang mengganggu.”
Ayu tertawa kecil. “Jangan khawatir, kamu tuh kayak orang yang jatuh cinta pertama kali. Semua jadi kelihatan lebih indah, ya?”
Banyu hanya menggelengkan kepala, tapi di dalam hatinya, dia tahu Ayu benar. Bu Melati memang membuat segala sesuatu menjadi lebih berwarna.
Setelah beberapa waktu, Banyu selesai menulis puisinya. Dia merasa agak ragu dengan apa yang telah dia tulis. “Untuk Bu Melati…” itulah kalimat pembuka puisi yang tertulis di atas kertasnya. Banyu tidak tahu apakah ini cukup bagus, tapi dia merasa harus mencoba.
Saat pelajaran selesai, Bu Melati mulai meminta setiap siswa untuk membacakan puisinya. Banyak yang tampil percaya diri, namun Banyu merasa tubuhnya kaku. Ketika namanya dipanggil, langkahnya terasa berat.
“Banyu, ayo baca puisimu!” Bu Melati menyemangatinya.
Dengan ragu, Banyu berdiri dan maju ke depan kelas. Dia meremas kertas puisi itu di tangannya, lalu mulai membaca dengan suara pelan, “Untuk Bu Melati, guru yang selalu membuat hari-hariku penuh warna. Seperti matahari yang tak pernah lelah bersinar, seperti hujan yang selalu datang memberi kesejukan…”
Semakin lama Banyu membaca, semakin dia merasa seperti dunia menghilang. Hanya ada Bu Melati yang mendengarkan, dan Banyu yang berusaha mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam. Suaranya semakin yakin, meskipun tangan dan kakinya sedikit gemetar.
Ketika dia selesai, suasana kelas sejenak hening. Beberapa teman mulai saling berpandangan, dan Banyu merasa cemas. Namun, Bu Melati tersenyum hangat, senyum yang membuat semua kekhawatiran Banyu seolah hilang begitu saja.
“Terima kasih, Banyu,” Bu Melati berkata dengan lembut. “Puisi kamu sangat indah. Kamu benar-benar tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan dengan kata-kata.”
Banyu merasa jantungnya hampir melompat keluar. “A-apa… kamu suka, Bu?”
“Yah, tentu saja. Kamu punya bakat luar biasa,” jawab Bu Melati dengan senyum tulus. “Terus asah kemampuanmu, Banyu. Aku yakin kamu bisa menulis lebih banyak lagi yang lebih hebat.”
Banyu tersenyum malu, mengangguk pelan. Tapi di dalam hatinya, dia merasa seolah-olah dunia tiba-tiba terasa lebih indah. Rasanya seperti ada sesuatu yang baru dalam hidupnya—sesuatu yang membuatnya merasa lebih hidup.
Setelah kelas selesai, Banyu kembali ke bangkunya dengan perasaan campur aduk. Ayu yang duduk di sampingnya langsung mencubit lengannya. “Gimana? Seneng banget kan dibilang bagus?”
Banyu mengangguk, tapi matanya tak bisa lepas dari Bu Melati yang sedang berdiri di depan kelas, berbicara dengan teman-teman lain. Hatinya berdegup kencang, dan dia merasa lebih bingung daripada sebelumnya. Apakah ini yang disebut dengan cinta? Apakah perasaan ini benar-benar bisa dijelaskan?
“Ayu, aku nggak tahu deh… Rasanya aku semakin bingung.”
Ayu menatapnya dengan senyum jahil. “Banyu, kamu tuh harus lebih percaya sama perasaanmu. Kalau kamu suka, ya bilang aja. Kalau nggak, ya nggak usah terlalu dipikirin. Bu Melati pasti juga bisa ngerti kalau kamu punya perasaan berbeda sama dia.”
Banyu menatap Ayu, merasa sedikit ragu. “Mungkin aku nggak perlu bilang sekarang, ya?”
Ayu tertawa. “Terserah kamu, Banyu. Tapi satu hal yang aku yakin—perasaan kamu nggak salah. Cinta itu nggak pernah salah.”
Banyu menghela napas panjang, lalu menatap Bu Melati lagi, yang kini sedang tersenyum sambil berbicara dengan beberapa siswa lain. Entah kenapa, dia merasa semakin yakin bahwa perasaan ini bukan sekadar kekaguman. Namun, Banyu tidak tahu harus bagaimana melangkah selanjutnya. Satu hal yang dia tahu pasti, saat melihat Bu Melati, jantungnya selalu berdegup kencang, dan itu cukup membuatnya merasa bahagia, meskipun dia belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang dirasakannya.
Menerima Perasaan
Minggu-minggu berlalu, dan hari-hari di sekolah semakin terasa aneh bagi Banyu. Setiap kali Bu Melati masuk kelas, hatinya berdebar-debar tanpa bisa dikendalikan. Rasanya seperti ada aliran listrik yang mengalir di dalam dirinya, membawa rasa hangat yang tak bisa dijelaskan.
Namun, Banyu mulai menyadari sesuatu yang penting. Perasaan yang dia rasakan bukanlah sesuatu yang bisa dia sembunyikan selamanya. Untuk pertama kalinya, dia merasa siap menghadapi kenyataan, meskipun itu membuatnya sedikit takut.
Pada suatu hari, setelah pelajaran selesai, Bu Melati berdiri di depan kelas, seperti biasa, berbicara dengan beberapa siswa. Banyu merasakan dorongan kuat untuk mendekat. “Ayo, Banyu, ini kesempatanmu,” katanya pada dirinya sendiri.
Dengan langkah yang terasa lebih berat dari biasanya, Banyu berjalan perlahan menuju meja Bu Melati. Matanya tak bisa lepas dari senyum hangatnya, yang seakan menyambutnya tanpa syarat. Saat dia tiba di depan Bu Melati, Banyu merasa sedikit gugup.
“Bu, aku… ingin bicara sebentar,” kata Banyu dengan suara pelan, mencoba menguasai diri.
Bu Melati menoleh, senyum tipis di wajahnya. “Tentu, Banyu. Ada apa?”
Banyu menarik napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. “Bu, aku nggak tahu bagaimana mengatakannya, tapi… aku rasa, aku mulai menyadari sesuatu.”
“Apa itu?” Bu Melati bertanya, suaranya lembut, membuat Banyu merasa sedikit lebih nyaman.
“Aku… aku merasa berbeda setiap kali ada di dekat Bu Melati,” kata Banyu, dengan mata yang sedikit ragu. “Rasanya, aku mulai jatuh cinta sama Bu Melati.”
Detik itu, seluruh dunia terasa diam. Banyu merasa seperti seluruh kelas sedang menunggu jawaban Bu Melati. Namun, Bu Melati hanya tersenyum, senyuman yang penuh kehangatan dan pengertian.
“Banyu…” kata Bu Melati dengan lembut. “Aku tahu kamu masih muda, dan mungkin perasaan ini sangat baru buat kamu. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal.”
Banyu menatapnya, bingung. “Apa itu, Bu?”
“Perasaan itu bukan sesuatu yang salah, Banyu,” Bu Melati berkata, dengan mata yang penuh kasih sayang. “Tapi kamu harus tahu bahwa cinta itu bisa berarti banyak hal, dan terkadang, cinta bukan tentang memiliki, melainkan tentang menghargai dan memahami diri sendiri terlebih dahulu.”
Banyu terdiam sejenak, mencerna kata-kata Bu Melati. Ada kehangatan yang mengalir dalam dirinya, meskipun rasa cemas masih menggantung.
“Jadi, Bu Melati… apa maksudnya?” tanya Banyu dengan hati yang sedikit ragu.
Bu Melati menatapnya dengan lembut, lalu mengangguk. “Maksudku, Banyu, kamu harus tumbuh dan menemukan dirimu sendiri. Cinta itu bukan tentang keinginan untuk memiliki, tetapi tentang menemukan siapa dirimu sebenarnya, siapa yang kamu inginkan untuk menjadi. Jangan terburu-buru mengartikan perasaan ini sebagai sesuatu yang harus kamu perjuangkan.”
Banyu merasakan sebuah pemahaman yang mulai terbentuk di dalam dirinya. Rasanya, perasaan yang dia miliki bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan atau dikejar. Mungkin, ini adalah proses belajar.
“Aku paham, Bu,” jawab Banyu, merasa lega.
Bu Melati tersenyum lagi, senyum yang penuh dengan pengertian. “Aku senang kamu bisa mengerti, Banyu. Ingatlah, cinta itu selalu berkembang. Suatu hari nanti, kamu akan tahu apa yang benar-benar kamu cari, dan apa yang bisa membuatmu bahagia.”
Banyu mengangguk, mencoba mencerna kata-kata Bu Melati. Meski perasaan itu belum sepenuhnya hilang, dia mulai mengerti bahwa cinta itu tidak selalu tentang memiliki seseorang. Cinta itu bisa berarti hal-hal yang jauh lebih dalam, tentang menghargai diri sendiri dan orang lain dengan cara yang lebih murni.
“Aku akan berusaha, Bu,” kata Banyu dengan penuh keyakinan.
Saat itu, Bu Melati meletakkan tangan di bahunya dengan lembut. “Kamu sudah melakukan langkah yang besar, Banyu. Jangan takut untuk terus belajar dan berkembang. Cinta akan datang pada waktunya.”
Banyu merasa ada sebuah ketenangan yang menyelimutinya, sebuah rasa damai yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Mungkin perasaan jatuh cinta itu memang tak selalu harus diarahkan kepada seseorang. Kadang, cinta itu adalah tentang menghargai diri sendiri dan perjalanan yang harus dilalui.
“Terima kasih, Bu,” kata Banyu, dengan senyum yang kini lebih tenang.
Bu Melati hanya tersenyum, kemudian berkata dengan lembut, “Sama-sama, Banyu. Ingat, apapun yang terjadi, kamu akan selalu menemukan jalanmu.”
Banyu mengangguk sekali lagi, merasa lebih ringan, seperti beban yang selama ini dia bawa mulai terangkat sedikit demi sedikit. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi dia tahu satu hal—perjalanan cinta ini adalah bagian dari dirinya yang akan membentuk siapa dirinya kelak.
Dengan langkah yang lebih mantap, Banyu kembali ke bangkunya. Hatinya tidak lagi penuh dengan kebingungannya, melainkan dengan pemahaman baru tentang cinta—yang tidak selalu bisa dijelaskan, tetapi selalu bisa dirasakan. Dan itu sudah cukup.
Di luar sana, dunia terus berputar, dan Banyu tahu, dia akan siap untuk setiap langkah baru yang akan datang.
Jadi, mungkin Banyu belum sepenuhnya ngerti apa itu cinta, tapi dia udah mulai sadar satu hal penting—cinta itu nggak harus selalu punya akhir yang jelas. Kadang, cinta itu cuma tentang tumbuh, belajar, dan menghargai perasaan yang ada.
Siapa tahu, suatu hari nanti, perasaan itu bakal jadi lebih jelas, atau malah hilang begitu saja. Tapi yang pasti, perjalanan ini adalah bagian dari siapa dirinya yang akan terus berkembang. Dan siapa tahu, mungkin cinta yang sebenarnya bakal datang di waktu yang tepat.