Daftar Isi
Nih, ada cerita seru tentang jalan-jalan ke Bromo yang bakal bikin kamu baper. Bayangin aja, kamu jalan di lautan pasir, nunggu sunrise yang keren banget, dan harus siap-siap ngadepin perpisahan yang bikin hati nyerang. Ceritanya bakal bawa kamu merasain semua momen itu dengan gaya santai dan penuh rasa. Penasaran, kan? Langsung aja baca dan rasain sendiri!
Jalan-Jalan ke Bromo
Langkah Awal di Tengah Kabut
Dini hari itu, ketika langit masih gelap dan udara dingin menusuk tulang, aku dan Lyra memulai perjalanan ke Bromo. Jalanan kosong, hanya ada kami berdua di dalam mobil. Lyra yang menyetir, aku duduk di sebelahnya dengan jaket tebal yang bahkan tak mampu menahan dinginnya udara gunung.
“Lo yakin kita nggak salah jalan, Arkha?” tanya Lyra tiba-tiba, matanya sesekali melirik peta digital di layar ponsel yang kugenggam.
“Yakinlah. Ini jalan yang bener kok,” jawabku setengah malas sambil menatap keluar jendela. Kabut mulai turun, membuat jarak pandang semakin terbatas. Tapi, meski terlihat agak seram, jalan ini sudah kami persiapkan dengan baik. Lagi pula, semua orang bilang, kalau mau lihat Bromo yang indah, harus lewat jalan ini.
Lyra menghela napas panjang, tapi tetap melanjutkan menyetir. “Gue percaya sama lo, Arkha. Tapi kayaknya lo cuma jago di ngomong doang,” dia melirikku sejenak, tersenyum tipis, lalu kembali fokus ke jalan. Aku tahu Lyra bercanda, tapi tetap saja, rasanya ada sesuatu yang mengganjal di antara kami.
Sejak kecil, Lyra dan aku selalu bersama. Dari SD, SMP, hingga SMA. Nggak pernah terpisahkan. Kalau ada orang yang bilang cowok dan cewek nggak bisa jadi sahabat dekat tanpa ada rasa, mungkin mereka benar. Mungkin ada perasaan lain di antara kami yang nggak pernah terucap. Tapi kami berdua terlalu takut buat ngakuin itu.
“Mungkin setelah ini, kita harus sering-sering liburan kayak gini, ya,” kataku, mencoba mencairkan suasana. Aku tahu Lyra juga tegang, meski dia berusaha menyembunyikannya di balik senyum dan obrolan ringan.
“Kalo lo mau, gue sih oke-oke aja,” jawab Lyra sambil tetap menatap ke depan. “Tapi jangan cuma janji doang ya, Arkha. Lo tau sendiri, kita selalu punya rencana, tapi nggak pernah ada yang kesampaian.”
Aku terdiam sejenak, meresapi kata-katanya. Benar juga sih. Selama ini, setiap kali kami bikin rencana liburan, selalu aja ada yang batal. Sibuk kerja, atau sibuk dengan hidup masing-masing. Tapi kali ini, kami berhasil mewujudkannya. Perjalanan ke Bromo, meski belum tahu akan jadi apa, sudah terasa seperti awal dari sesuatu yang besar.
Perjalanan kami berlanjut, melewati jalan berliku yang semakin terjal. Sesekali kami harus berhenti karena kabut terlalu tebal. Udara dingin mulai meresap ke dalam mobil, membuatku menggigil.
“Sial, dingin banget,” gumamku sambil menggulung jaket lebih rapat.
Lyra menoleh dan tertawa kecil. “Lo tuh, Arkha. Padahal lo yang ngotot banget buat pergi ke Bromo pagi-pagi buta gini.”
“Ya tapi worth it lah nanti pas kita lihat sunrise. Lo nggak bakal nyesel,” balasku sambil mencoba tersenyum meskipun dingin semakin menusuk.
Akhirnya, setelah beberapa jam menyusuri jalan yang seolah tanpa ujung, kami tiba di pos perhentian terakhir. Di sana, jeep khusus sudah menunggu untuk membawa kami naik ke Penanjakan, titik terbaik untuk melihat sunrise. Aku dan Lyra turun dari mobil, membawa tas kecil berisi perlengkapan kami, lalu melangkah menuju jeep dengan semangat yang sedikit menurun karena kelelahan.
Udara semakin dingin, tapi kali ini terasa lebih segar. Di sekitar kami, hanya ada beberapa pengunjung lain yang juga menunggu jeep. Suara alam terasa begitu jelas, dari gemerisik dedaunan hingga hembusan angin yang menghantam wajah kami.
“Gue beneran nggak sabar buat lihat sunrise dari sini,” kata Lyra sambil memasukkan tangannya ke dalam kantong jaket. Matanya berbinar-binar, seolah-olah semua rasa lelah hilang begitu saja.
Aku mengangguk, merasakan semangat yang sama. “Gue juga. Katanya sih, pemandangan dari Penanjakan bakal bikin lo lupa sama semua masalah.”
Kami naik jeep, duduk berdampingan di kursi belakang. Perjalanan ke Penanjakan terasa lebih bergejolak karena medan yang menantang. Jeep itu melintasi lautan pasir yang luas, dengan angin dingin semakin kencang menyapu wajah kami. Di tengah perjalanan, aku dan Lyra terdiam. Bukan karena bosan, tapi karena kami terlalu sibuk menikmati pemandangan yang luar biasa.
“Lo inget nggak, waktu kecil kita selalu bilang mau naik gunung bareng?” tanyaku tiba-tiba, memecah keheningan.
Lyra tersenyum. “Inget banget. Waktu itu kita masih SMP. Gue inget lo yang paling semangat ngajakin, tapi akhirnya kita cuma naik bukit kecil deket rumah.”
Kami tertawa mengingat masa lalu itu. Sejak kecil, impian kami memang sederhana, tapi selalu berarti besar. Mungkin itu juga alasan kenapa perjalanan ke Bromo kali ini terasa lebih penting. Kami seperti sedang mewujudkan mimpi masa kecil yang tertunda.
Setelah beberapa waktu, jeep berhenti di titik akhir. Kami turun dan berjalan ke arah tepi bukit, di mana tempat untuk melihat sunrise sudah penuh dengan orang. Tapi kami berhasil menemukan tempat yang cukup strategis, tepat di pinggir, dengan pemandangan langsung ke horizon.
“Arkha, liat deh,” bisik Lyra sambil menunjuk ke arah langit.
Aku menoleh, dan di sana, di kejauhan, warna jingga mulai muncul. Perlahan tapi pasti, matahari mulai merangkak naik dari balik lautan kabut. Sinar pertamanya menerpa wajah kami, menghangatkan tubuh yang kedinginan.
“Wow…” gumamku tanpa sadar. Pemandangan itu benar-benar di luar ekspektasi. Lautan pasir, gunung, dan kabut yang menyelimuti semuanya terlihat seperti dunia lain. Semua kelelahan, kedinginan, dan kebosanan selama perjalanan terbayar lunas.
“Gue nggak nyangka seindah ini,” kata Lyra dengan suara pelan. Aku menoleh ke arahnya, melihat wajahnya yang diterangi oleh sinar matahari pagi. Ada sesuatu yang berbeda di matanya. Bukan cuma kekaguman pada pemandangan, tapi juga perasaan yang lebih dalam.
Namun, sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, Lyra menatapku dan berkata, “Arkha, ada sesuatu yang harus gue kasih tau ke lo.”
Aku menoleh dengan alis terangkat, bingung. “Apa?”
Dia diam sejenak, seolah mengumpulkan keberanian, lalu berkata, “Gue mau pindah ke luar negeri.”
Kalimat itu seperti petir di siang bolong. Perjalanan yang tadinya penuh dengan keindahan dan ketenangan tiba-tiba terasa berbeda. Aku menatapnya, mencoba mencerna kata-katanya, tapi otakku belum bisa menangkap sepenuhnya.
“Pindah? Ke mana?” tanyaku akhirnya, meskipun rasanya seperti pertanyaan bodoh.
“Jerman. Gue dapat beasiswa untuk studi arsitektur,” jawab Lyra, suaranya terdengar tenang, tapi matanya memperlihatkan kebimbangan.
Aku terdiam. Tiba-tiba, perjalanan ini terasa seperti awal dari akhir sesuatu. Mungkin bukan cuma akhir dari liburan, tapi juga dari hubungan kami yang selama ini kami pikir nggak akan pernah berubah. Tapi saat itu, aku nggak tahu harus bilang apa. Jadi, aku hanya menatap sunrise yang terus naik, dengan perasaan yang campur aduk.
Perjalanan ke Bromo ini baru saja dimulai, tapi perasaanku sudah berakhir di tempat yang lain.
Di Balik Senyuman Matahari
Matahari terus naik, perlahan-lahan menghangatkan puncak Penanjakan, tapi rasanya hawa dingin justru semakin menyesakkan dadaku. Suasana hening, hanya terdengar suara samar angin yang berhembus di telinga. Setelah Lyra mengatakan dia akan pindah ke Jerman, aku seperti kehilangan kata-kata. Beasiswa arsitektur? Ke luar negeri? Rasanya mendadak jarak di antara kami makin jauh.
“Kok nggak ada reaksi, sih?” tanya Lyra dengan nada ringan, mencoba memecah keheningan yang menggantung di antara kami. Tapi aku tahu, senyum di wajahnya itu cuma topeng. Ada kecemasan di balik sorot matanya, sesuatu yang dia sembunyikan sejak tadi.
Aku menatapnya dengan ragu, lalu mencoba tersenyum meski sulit. “Gue… gue seneng banget buat lo, Ly. Serius, ini kesempatan gede.”
“Gue tau.” Dia mengangguk sambil mengalihkan pandangan ke arah horizon, mengikuti gerakan matahari yang perlahan makin tinggi. “Tapi gue bingung. Beneran bingung, Arkha. Di satu sisi, gue pengen banget ngejar mimpi gue. Tapi di sisi lain, gue nggak pengen ninggalin semuanya, termasuk lo.”
Kalimat terakhirnya menggema di kepala, tapi aku nggak tahu harus nanggepin gimana. Kalau aku jujur, aku juga nggak mau dia pergi. Aku nggak siap kehilangan Lyra. Tapi siapa aku buat ngelarang? Siapa aku buat jadi alasan dia nggak ngeraih mimpinya?
“Gue bakal kangen lo, Ly.” Itu aja yang akhirnya keluar dari mulutku, suara rendah nyaris berbisik. Klise, tapi itu yang aku rasain sekarang.
Lyra menoleh, matanya langsung menatap tajam ke arahku. “Serius, Arkha? Itu doang yang lo bakal bilang? Kangen?”
Aku mengangkat bahu, mencoba menyembunyikan kebingungan. “Ya… gue juga nggak tahu mau bilang apa lagi, Ly. Lo kan tahu gue nggak jago ngomong yang puitis-puitis gitu.”
Lyra tertawa pelan, meski suaranya terdengar getir. “Ya, itu lo. Selalu sederhana. Dan itu yang bikin gue…,” dia terhenti sejenak, menelan ludah, seolah-olah mencoba menahan kata-kata yang sebenarnya ingin dia ucapkan. “Bikin gue seneng bisa bareng lo selama ini.”
Sekali lagi hening. Hanya ada matahari yang terus naik, dan bayangan puncak Bromo yang gagah di kejauhan. Aku tahu ini momen yang penting, tapi aku juga tahu Lyra nggak akan pernah bilang lebih dari itu. Aku merasa ada sesuatu yang nggak terucap di antara kami. Bukan hanya soal dia pindah, tapi lebih dari itu. Sesuatu yang mungkin udah lama tertahan.
Tiba-tiba, aku merasa perlu lebih dari sekadar kata-kata basa-basi.
“Ly,” kataku, mencoba mengumpulkan keberanian. “Kalau lo pindah ke Jerman, kita… kita bakal gimana?”
Dia menatapku lama sebelum menjawab, mungkin mencoba mencari jawaban yang tepat. “Gue nggak tau, Arkha,” akhirnya dia berkata dengan jujur. “Gue nggak mau ninggalin lo, tapi gue juga nggak bisa nahan hidup gue cuma di sini. Gue selalu punya mimpi buat studi arsitektur ke luar negeri. Dan gue rasa, ini kesempatan gue.”
Aku meresapi kata-katanya. Aku nggak bisa menyalahkan dia. Mimpi Lyra itu selalu besar, jauh lebih besar dari yang aku bayangin. Sementara aku? Aku cuma Arkha, sahabat kecil yang setia ada di belakangnya, ngikutin dia kemana-mana, tapi nggak pernah benar-benar ngerti apa yang dia inginkan dalam hidup.
“Tapi lo nggak bakal lupa sama gue, kan?” tanyaku akhirnya, setengah bercanda untuk mengurangi ketegangan.
Lyra menatapku dan tersenyum lembut. “Ya kali gue lupa. Lo satu-satunya orang yang nggak pernah bosen sama semua drama hidup gue.”
Aku ketawa kecil. Dia benar. Dari semua orang yang ada di hidup Lyra, mungkin cuma aku yang bisa bertahan dengan segala kekacauan dan lika-liku yang dia bawa. Tapi sekarang, ketika dia mau pergi ke luar negeri, aku mulai merasa khawatir. Takut kehilangan tempatku di hidupnya.
Setelah momen singkat itu, kami melanjutkan perjalanan menuruni Penanjakan, menuju lautan pasir di bawah. Suasana di antara kami masih hening, meskipun ada percakapan singkat di sana-sini. Aku tahu, meskipun Lyra berusaha seolah semuanya baik-baik saja, ada jarak yang mulai tumbuh di antara kami. Jarak yang nggak pernah ada sebelumnya.
Jeep terus melaju, membawa kami melewati jalanan berdebu yang mengelilingi gunung Bromo. Di kejauhan, kami bisa melihat kawah gunung yang legendaris itu. Sesuatu yang selama ini cuma kami lihat di foto, kini ada tepat di depan mata.
“Bromo keren juga, ya,” kata Lyra, suaranya datar, seolah-olah pikirannya melayang entah ke mana.
“Banget,” jawabku sambil memandangi pemandangan di depan kami. “Nggak nyangka tempat ini bakal sekeren ini.”
Lyra tersenyum kecil. Tapi bukan senyuman yang biasa dia tunjukkan. Ada sesuatu di balik senyuman itu. Seperti ada perasaan yang nggak bisa dia ungkapkan sepenuhnya.
Saat jeep berhenti di titik terakhir, kami turun dan mulai berjalan mendekati kawah. Kabut tipis masih melingkupi lautan pasir, menciptakan suasana magis yang aneh. Di sini, di tengah alam yang begitu indah dan sunyi, aku merasa ada keintiman yang nggak bisa dijelaskan antara aku dan Lyra. Seolah-olah kami berdua tahu, ini adalah perjalanan terakhir kami sebelum segalanya berubah.
Kami duduk di sebuah batu besar yang menghadap ke kawah. Angin sepoi-sepoi menyapu wajah kami, membawa debu halus yang beterbangan di udara. Aku menatap Lyra, mencoba menangkap perasaan yang dia sembunyikan di balik senyumnya.
“Lo nggak takut bakal sendirian di sana, Ly?” tanyaku tiba-tiba.
Lyra menoleh, menatapku sebentar sebelum menjawab, “Jujur aja, gue takut. Tapi gue lebih takut kalau gue nggak ngambil kesempatan ini. Kalau gue nggak pergi, gue bakal nyesel seumur hidup.”
Aku mengangguk, memahami jawabannya meski hati aku nggak benar-benar siap menerima kenyataan itu. Perjalanan ini, dari awal aku pikir cuma liburan biasa, ternyata membawa lebih banyak hal dari yang aku harapkan.
“Gue ngerti, Ly. Gue cuma berharap, lo nggak lupa sama yang kita punya di sini,” kataku, suaraku terdengar lebih lemah dari yang aku mau.
Lyra tersenyum lagi, kali ini lebih hangat. “Lo bakal selalu jadi bagian dari hidup gue, Arkha. Nggak peduli gue ada di mana, atau lo ada di mana.”
Itu adalah janji yang mungkin terasa sederhana, tapi bagi aku, itu lebih dari sekedar kata-kata. Aku tahu perpisahan ini akan segera datang, tapi setidaknya aku punya satu hal untuk digenggam. Sebuah keyakinan bahwa, meski jarak memisahkan kami, persahabatan ini nggak akan hilang begitu saja.
Matahari sudah tinggi di atas kepala, memancar hangat di atas kawah Bromo. Kami berdiri di sana, diam, membiarkan pemandangan itu terpatri dalam ingatan. Perjalanan ke Bromo ini bukan cuma tentang melihat matahari terbit atau menikmati keindahan alam. Ini adalah perjalanan menuju perpisahan yang nggak pernah kami rencanakan.
Dan meskipun aku nggak tahu bagaimana masa depan akan membawa kami, satu hal yang pasti: aku akan selalu ingat hari ini, dan semua yang terjadi di balik senyuman matahari.
Langkah di Lautan Pasir
Setelah percakapan kami di tepi kawah, suasana jadi agak canggung. Aku dan Lyra cuma jalan berdua, menyusuri lautan pasir yang luas banget. Langkah kaki kami meninggalkan jejak di antara debu-debu halus yang terbawa angin, seolah itu satu-satunya bukti bahwa kami pernah ada di sini. Setiap kali angin bertiup, jejak-jejak itu pelan-pelan menghilang, dan aku nggak bisa berhenti mikir kalau ini sama kayak hubungan aku dan Lyra yang, cepat atau lambat, akan memudar begitu aja.
“Nggak ada yang bilang kalau pasir di sini bakal bikin capek jalan,” ujar Lyra sambil tersenyum tipis, mencoba memecah keheningan.
Aku tertawa kecil, meskipun dalam hati lagi nggak secerah itu. “Iya, ya. Kita kayak lagi jalan di pantai tapi tanpa laut.”
Lyra mengangguk, pandangannya lurus ke depan. “Iya, tapi ini lebih kerasa kosong.”
Kosong. Kata itu cukup menggambarkan suasana hati aku sekarang. Lautan pasir ini memang indah, tapi di saat yang sama, ada sesuatu yang hampa di antara kami. Mungkin karena, tanpa sadar, kami sama-sama tahu kalau ini adalah akhir dari sesuatu yang sudah lama ada. Tapi siapa yang mau ngakuin itu?
“Gue lagi mikir deh, Arkha,” kata Lyra tiba-tiba, suaranya lebih pelan dari biasanya. “Kenapa ya, kadang kita cuma sadar betapa berharganya sesuatu setelah kita bakal kehilangan?”
Aku menoleh ke arahnya, tapi dia nggak melihat ke arahku. Pandangannya tertuju pada cakrawala yang jauh, seolah-olah ada sesuatu di sana yang nggak bisa dia capai.
“Maksud lo?” tanyaku, meskipun dalam hati aku tahu apa yang dia maksud.
“Lo tau, kan? Gue selalu sibuk sama mimpi-mimpi gue. Gue selalu kejar apa yang gue pengen, tapi kadang gue lupa lihat ke sekitar. Kadang gue lupa kalau ada hal-hal yang juga penting, tapi gue anggap biasa aja.”
Aku terdiam sebentar. Kata-kata Lyra seperti menggema di kepalaku, menampar kenyataan yang selama ini aku hindari. Kami memang sahabat, tapi ada lebih dari sekadar persahabatan ini yang belum pernah kami bahas. Mungkin karena kami takut, atau mungkin karena kami nggak mau merusak apa yang sudah ada. Tapi sekarang, di ujung jalan ini, semua perasaan yang selama ini tertahan kayaknya nggak bisa dihindari lagi.
“Gue ngerti, Ly,” kataku pelan. “Tapi… mimpi-mimpi lo itu penting. Gue nggak pernah nyalahin lo buat ngejar apa yang lo mau.”
Lyra berhenti berjalan, lalu berbalik menatapku. “Iya, tapi kadang gue takut. Takut gue udah terlalu sibuk ngejar masa depan sampai lupa sama yang ada sekarang. Sama lo.”
Jantungku berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang berbeda di cara Lyra menatapku saat ini. Bukan sekadar tatapan sahabat, tapi ada emosi yang lebih dalam, lebih intens. Aku bisa ngerasainnya, tapi nggak tahu gimana harus merespons. Sejak kapan ini berubah jadi lebih dari sekadar persahabatan?
“Kita punya banyak waktu, Ly,” ujarku akhirnya, mencoba menenangkan. “Mungkin lo bakal pergi sebentar, tapi itu nggak berarti kita harus kehilangan segalanya.”
Lyra tersenyum lemah. “Gue harap gitu, Arkha. Tapi lo tau gimana hidup bisa berubah, kan?”
Aku terdiam, nggak bisa menyangkal kata-katanya. Hidup memang penuh ketidakpastian. Kadang, tanpa kita sadari, sesuatu yang kita kira akan tetap ada selamanya bisa hilang dalam sekejap. Dan sekarang, aku mulai sadar kalau mungkin itulah yang terjadi sama aku dan Lyra. Aku nggak mau mengakuinya, tapi di dalam hati, aku tahu kami sedang berjalan ke arah perpisahan.
Kami melanjutkan langkah tanpa banyak bicara, hanya suara pasir yang bergesekan di bawah kaki kami dan angin yang terus berhembus di sekitar. Di kejauhan, gunung Bromo berdiri gagah, tapi bagi aku, pemandangan itu terasa suram. Rasanya seperti lambang dari sesuatu yang akan segera hilang dari hidupku.
Setelah beberapa lama berjalan, kami sampai di sebuah titik di mana kami bisa melihat pemandangan lautan pasir dari ketinggian. Dari sini, Bromo terlihat begitu megah, seolah memandang kami dengan tenang, tidak peduli pada kekacauan di dalam hati kami. Aku duduk di sebuah batu besar, sementara Lyra tetap berdiri, pandangannya tetap fokus pada pemandangan di depan kami.
“Gue selalu suka tempat-tempat kayak gini,” katanya pelan. “Bikin gue sadar kalau kita itu cuma bagian kecil dari dunia yang luas.”
Aku mengangguk, meskipun dia nggak melihat. “Iya. Kayak kita cuma debu kecil di lautan pasir ini.”
Lyra tertawa kecil. “Benar, banget. Dan itu yang bikin gue nggak mau nunda mimpi-mimpi gue. Dunia ini terlalu besar buat kita cuma diam di satu tempat.”
Aku mengerti maksudnya, tapi ada bagian dari diriku yang nggak bisa sepenuhnya setuju. Iya, dunia ini besar, tapi buat aku, Lyra adalah bagian yang paling penting dari dunia itu. Dan kalau dia pergi, rasanya akan ada bagian besar yang hilang.
Lyra berbalik menatapku, senyumnya lembut tapi penuh makna. “Gue harap lo ngerti, Arkha. Gue nggak pergi karena gue mau ninggalin lo. Gue pergi karena ini yang harus gue lakuin.”
Aku mengangguk, mencoba tersenyum meskipun dalam hati rasanya berat. “Gue ngerti, Ly. Gue cuma pengen lo tahu… gue selalu ada di sini. Apapun yang terjadi.”
Dia tersenyum lagi, dan kali ini senyumnya terasa lebih hangat. “Gue juga. Meskipun nanti gue jauh, lo bakal tetap ada di sini,” ujarnya sambil menunjuk ke dadanya. “Di hati gue.”
Kami tertawa kecil bersama, tapi di balik tawa itu ada kesedihan yang nggak bisa diabaikan. Aku tahu ini adalah momen penting, momen di mana aku harus melepaskan seseorang yang sangat berarti buatku. Tapi di sisi lain, aku juga tahu bahwa aku harus merelakan Lyra pergi, karena itulah yang dia butuhkan.
Matahari mulai turun perlahan di belakang kami, menciptakan bayangan panjang di lautan pasir yang seolah tak berujung. Hari ini mungkin akan segera berakhir, tapi perasaan ini, perasaan kehilangan yang pelan-pelan tumbuh di dalam hati, rasanya akan tetap ada, bahkan setelah Lyra pergi.
Kami berdiri berdua, menatap ke arah matahari yang mulai tenggelam di balik gunung. Dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasakan apa artinya kehilangan seseorang sebelum dia benar-benar pergi.
Hari ini mungkin akan segera berakhir, tapi cerita kami belum. Aku nggak tahu bagaimana akhir dari perjalanan ini, tapi yang aku tahu pasti adalah, meskipun dunia ini besar dan penuh ketidakpastian, di suatu tempat di dalam hati kami, jejak-jejak ini akan tetap ada.
Jejak yang Tersisa
Langit mulai berubah warna. Cahaya oranye dari matahari terbenam menciptakan pemandangan yang luar biasa di atas lautan pasir. Aku dan Lyra masih berdiri di sana, membiarkan angin malam membawa keheningan di antara kami. Tapi keheningan ini berbeda. Ada sesuatu yang damai, meskipun di dalam hatiku, perasaan yang campur aduk masih sulit diabaikan.
“Jadi, besok pagi lo berangkat, ya?” tanyaku, memecah sunyi.
Lyra mengangguk, matanya sedikit redup. “Iya. Penerbangan gue jam tujuh.”
Aku menghela napas pelan. Ini benar-benar nyata. Semua hal yang selama ini cuma jadi bayangan samar di benak kami kini ada di depan mata. Lyra akan pergi, meninggalkan aku dan segala yang pernah kami lalui di sini. Walaupun aku tahu itu keputusan yang benar untuknya, tetap saja rasanya berat.
“Lo udah siapinsemua?” tanyaku, meskipun sudah jelas dia pasti sudah beres.
“Udah, sih. Gue tinggal ngepak barang terakhir nanti malam,” jawabnya dengan senyum tipis. Tapi di balik senyumnya, aku tahu ada sesuatu yang lebih. Sesuatu yang nggak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.
Aku mengerti, karena aku juga merasa hal yang sama. Kami sama-sama tahu bahwa ini bukan sekadar perpisahan biasa. Ini adalah akhir dari sesuatu yang pernah sangat penting, meski kami nggak pernah benar-benar membicarakannya. Dan mungkin, itulah yang bikin ini terasa lebih menyakitkan.
Kami mulai berjalan lagi, kali ini lebih pelan. Aku bisa merasakan Lyra lebih dekat denganku, langkahnya selaras dengan langkahku. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi entah kenapa semua kata-kata terasa hilang. Di dalam kepalaku, ada banyak hal yang ingin aku ungkapkan, tapi semuanya hanya tertahan di tenggorokan.
“Gue bakal kangen banget sama lo, Arkha,” kata Lyra tiba-tiba, suaranya terdengar pelan tapi jelas di telingaku.
Aku menoleh, menatapnya. Mata Lyra berkilau sedikit di bawah cahaya senja, dan aku tahu dia sungguh-sungguh dengan ucapannya. “Gue juga, Ly. Lo nggak tau seberapa besar gue bakal kangen.”
Dia tersenyum lembut, meskipun matanya sedikit berkaca-kaca. “Gue selalu ngerasa lo orang yang paling ngerti gue. Dan sekarang… gue cuma takut, gue bakal kehilangan itu.”
Aku menghentikan langkahku dan berbalik menghadapnya. “Lo nggak akan kehilangan itu. Kita nggak perlu bareng terus buat tetap saling ngerti, kan? Gue tahu lo punya mimpi besar, dan gue akan selalu dukung itu.”
Dia menatapku lama, seolah berusaha mencari kepastian di mataku. “Tapi lo juga harus janji, lo nggak bakal lupa sama gue.”
Aku tertawa kecil, meskipun dalam hati rasanya perih. “Gimana mungkin gue bisa lupa lo, Ly? Gue yakin, bahkan kalo gue pengen lupain lo, gue nggak akan bisa.”
Lyra tersenyum lebih lebar kali ini. “Gue serius, Arkha. Gue tahu gue mungkin nggak ada di sini lagi buat nemenin lo kayak biasanya, tapi gue harap lo masih bisa jadi Arkha yang gue kenal. Yang selalu kuat, yang selalu bisa ngelewatin apapun.”
Aku menelan ludah, berusaha mengendalikan emosi yang mulai muncul di dadaku. “Gue janji, Ly. Gue bakal baik-baik aja.”
Angin semakin kencang, menerbangkan pasir-pasir halus di sekitar kami. Aku merasa dingin, tapi itu bukan karena angin malam. Ini karena aku sadar, aku benar-benar akan kehilangan Lyra. Bukan secara fisik, tapi kehilangan kehadirannya yang selama ini selalu ada di dekatku. Kehilangan momen-momen kecil yang membuat hidupku lebih berwarna.
Kami melanjutkan perjalanan, tapi kali ini dalam diam. Rasanya nggak ada lagi yang perlu diucapkan. Semua sudah jelas di antara kami. Aku tahu, meskipun Lyra pergi, dia nggak benar-benar meninggalkan aku. Tapi tetap saja, ada kekosongan yang nggak bisa diisi dengan kata-kata atau janji.
Saat kami sampai di parkiran Jeep yang menunggu di ujung lautan pasir, Lyra berhenti sejenak. Dia memandang ke arah puncak Bromo yang sudah jauh di belakang kami.
“Gue akan selalu inget tempat ini,” katanya. “Bukan cuma karena pemandangannya, tapi karena… ini tempat terakhir kita bareng.”
Aku mencoba tersenyum, meskipun hatiku serasa dipelintir. “Gue juga, Ly. Bromo bakal selalu ngingetin gue sama lo.”
Kami saling berpandangan lagi, dan di saat itu, aku tahu ini adalah momen perpisahan yang sesungguhnya. Bukan ketika dia naik pesawat besok pagi, tapi di sini, di lautan pasir yang luas ini, di bawah langit senja yang mulai gelap.
“Jadi… ini perpisahan?” tanya Lyra dengan senyum getir.
Aku mengangguk, meskipun ada sesuatu di dalam diriku yang menolak kenyataan ini. “Iya, kayaknya ini perpisahan.”
Dia mendekat, dan untuk pertama kalinya, dia memelukku erat. Aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya, dan itu membuat dadaku semakin berat. Aku membalas pelukannya, mencoba menyimpan momen ini sedalam mungkin dalam ingatanku. Mungkin ini terakhir kalinya aku bisa memeluk Lyra seperti ini.
“Jaga diri lo baik-baik di sana, Ly,” bisikku.
Lyra menarik diri perlahan, menatapku dengan senyuman lembut tapi matanya masih berkaca-kaca. “Lo juga, Arkha. Jangan terlalu keras sama diri lo sendiri.”
Aku hanya mengangguk. Nggak ada lagi yang bisa aku ucapkan.
Akhirnya, kami berdua masuk ke dalam Jeep, dan perjalanan kembali ke desa dimulai. Sepanjang jalan, suasana sunyi. Hanya suara mesin Jeep dan debu yang beterbangan di sekitarnya. Aku tahu, ini bukan sekadar perjalanan pulang dari Bromo. Ini perjalanan pulang dari sesuatu yang sudah lama aku pegang erat, dan sekarang aku harus merelakannya.
Ketika kami sampai di desa, malam sudah turun. Cahaya lampu di desa menerangi jalan kecil yang kami lewati. Lyra menghela napas panjang sebelum akhirnya keluar dari Jeep. Aku mengikuti di belakangnya, merasa seperti ada sesuatu yang hilang di setiap langkahku.
Sebelum berpisah di depan penginapan, Lyra menoleh sekali lagi padaku. “Arkha, apapun yang terjadi… gue harap lo tahu kalau lo selalu ada di hati gue.”
Aku tersenyum pelan. “Gue juga, Ly. Selalu.”
Dan dengan itu, dia masuk ke dalam penginapan. Aku berdiri di sana beberapa saat, memandang pintu yang sudah tertutup. Angin malam Bromo menerpa wajahku, dan aku merasa kosong. Tapi di balik semua itu, aku tahu satu hal: Jejak yang kami tinggalkan di lautan pasir Bromo mungkin akan hilang, tapi kenangan ini akan tetap ada di hati kami. Mungkin selama-lamanya.
Jadi, gimana? Udah ngerasain serunya jalan-jalan ke Bromo dan campur aduknya perpisahan bareng cerita ini? Semoga kamu bisa merasakan setiap momen yang ada, dari keindahan sunrise sampai emosi yang tak terungkapkan. Jangan lupa, meskipun perjalanan ini udah selesai, kenangan dan perasaan yang ditinggalin bisa jadi temen lo di setiap langkah. Sampai ketemu di cerita berikutnya, ya!