Cerpen Inspiratif: Kisah Anak Miskin yang Berjuang untuk Pendidikan

Posted on

Pernah nggak sih kepikiran gimana rasanya jadi anak yang dikucilkan cuma karena nggak punya duit buat sekolah? Ini cerita tentang Rafka, anak miskin yang nggak pernah nyerah meski banyak yang bilang dia nggak akan pernah bisa sukses.

Dari perjuangannya yang penuh rintangan, dia buktikan kalau siapa pun bisa meraih mimpi, nggak peduli dari mana asalmu. Cerita ini bakal bikin kamu mikir ulang soal pendidikan, perjuangan, dan bagaimana harapan bisa membawa perubahan. Yuk, simak kisahnya!

 

Cerpen Inspiratif

Gerbang yang Tertutup

Langit masih mendung ketika Rafka melangkahkan kakinya ke depan gerbang sekolah. Sepatunya basah karena genangan air, dingin meresap ke kulit kakinya yang hanya terlindungi oleh sandal jepit usang. Jemarinya menggenggam erat tali tas punggungnya yang sudah penuh tambalan, isinya hanya beberapa buku lusuh yang ia dapat dari anak-anak yang sudah tak memerlukannya lagi.

Beberapa murid berkerumun di dekat gerbang, tertawa riang. Begitu melihat Rafka, mereka saling berbisik, lalu salah satu dari mereka—seorang bocah bertubuh besar dengan wajah penuh kesombongan—mendekat sambil melipat tangan di dada. Reno. Anak kepala desa yang seakan memiliki kuasa atas siapa yang boleh dan tidak boleh menginjakkan kaki di sekolah ini.

“Heh, kamu mau apa ke sini?” tanya Reno dengan nada meremehkan.

“Mau sekolah,” jawab Rafka singkat. Ia sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini, tapi tetap saja, harapan kecil di hatinya membuatnya bertahan.

Reno mendengus, lalu menoleh ke teman-temannya. “Dengar, teman-teman! Si miskin ini mau sekolah!”

Tawa langsung pecah. Anak-anak lain menatap Rafka seolah ia makhluk aneh yang tersesat di tempat yang salah.

“Orang miskin gak usah mimpi bisa duduk bareng kita,” celetuk seorang anak perempuan dengan pita merah di rambutnya.

“Eh, kamu bayar sekolah pakai apa? Utang?” ejek yang lain.

Rafka menahan napas, mencoba mengabaikan mereka. Ia menggigit bibir, menahan semua kata-kata yang ingin ia lontarkan. Bukan karena takut, tapi karena tahu, melawan mereka hanya akan memperburuk keadaan.

Ia menunduk dan melangkah ke dalam sekolah, mencoba melewati Reno. Tapi bocah itu justru menghadangnya, satu tangannya mendorong bahu Rafka hingga tubuhnya terhuyung ke belakang.

“Aku bilang, kamu gak usah sekolah di sini!” suara Reno meninggi. “Denger gak?!”

Bukunya jatuh ke tanah yang masih lembap oleh hujan semalam. Lumpur langsung menodai sampulnya yang sudah robek di beberapa bagian. Rafka menelan ludah, lalu jongkok untuk mengambil bukunya. Tapi sebelum sempat ia raih, sebuah kaki menginjaknya.

Reno.

“Aduh, buku kamu kena lumpur ya?” katanya dengan suara yang dibuat-buat iba. “Sayang banget, tapi… yaa, kayaknya ini sebanding sama yang punya.”

Tawa meledak lagi.

Jemari Rafka mengepal. Ada rasa marah yang membakar dadanya, tapi ia tahu, melawan Reno hanya akan membuatnya diadukan ke kepala sekolah—dan ia yang akan kena hukuman, bukan Reno.

Ia menunduk, mengulurkan tangan untuk mengambil bukunya, tapi sebelum sempat disentuh, suara berat seorang wanita memotong udara.

“Ada apa ini?”

Semua anak serentak menoleh. Bu Ratna, guru yang terkenal tegas, berdiri di depan pintu kelas. Wajahnya datar, sulit ditebak apa yang ada di pikirannya.

Reno mundur selangkah, lalu tersenyum, seolah ia tidak melakukan apa pun. “Gak ada apa-apa, Bu. Cuma ngajarin si Rafka kalau sekolah itu butuh uang.”

Bu Ratna menatap Rafka lama. Ada sesuatu dalam tatapannya, bukan amarah, bukan juga iba, tapi sesuatu yang lebih dingin dari itu—ketidakpedulian.

“Rafka,” katanya akhirnya, “pulanglah.”

Dada Rafka mencelos.

“Tapi, Bu…”

“Sekolah ini bukan buat orang yang gak bisa bayar,” potong Bu Ratna. “Bukan aku yang bikin aturan, tapi begitu adanya.”

Anak-anak lain terdiam, tapi bukan karena simpati. Mereka hanya menunggu bagaimana akhir dari drama ini.

Rafka menggigit bibir. Tangannya meremas buku yang masih kotor, tapi ia tidak bisa berkata apa-apa. Tidak ada yang bisa ia lakukan.

Dengan langkah berat, ia berbalik, meninggalkan halaman sekolah yang seharusnya bisa menjadi tempatnya belajar. Suara tawa Reno dan teman-temannya kembali terdengar di belakang, tapi kali ini, Rafka sudah tidak peduli.

Jalan pulang terasa lebih panjang dari biasanya. Rumahnya terletak di ujung desa, di dekat ladang kosong yang hanya ditumbuhi rumput liar.

Setibanya di rumah, ibunya, seorang wanita dengan wajah lelah tapi penuh kasih, sedang menjemur pakaian. Begitu melihat anaknya pulang lebih cepat dari seharusnya, ia langsung tahu apa yang terjadi.

“Kamu diusir lagi?” tanyanya pelan.

Rafka mengangguk, lalu masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa.

Ibunya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Tapi ia tidak berkata apa-apa, karena ia tahu, tidak ada kata-kata yang bisa mengubah kenyataan ini.

Di dalam kamar kecilnya, Rafka menatap buku lusuhnya yang masih kotor oleh lumpur. Ia menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang ingin ia keluarkan sejak tadi.

Tangannya menghapus noda lumpur di halaman buku itu.

Lalu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia menangis.

 

Langit yang Sama, Nasib yang Berbeda

Malam itu, Rafka duduk di depan rumahnya yang hanya diterangi cahaya remang-remang dari lampu minyak. Angin malam berhembus pelan, membawa suara jangkrik yang terdengar nyaring di antara keheningan. Buku lusuhnya masih ada di pangkuannya, halamannya yang terkena lumpur sudah kering, meski noda kecoklatannya tak bisa hilang.

Di dalam rumah, ibunya sedang menyiapkan makanan seadanya—nasi dengan garam dan sedikit lauk dari sisa pemberian tetangga. Tapi Rafka tidak lapar. Perutnya memang kosong, tapi dadanya lebih sesak dibandingkan rasa lapar yang sudah biasa ia tahan.

Ia menatap langit.

Di atas sana, bintang-bintang bertaburan, bersinar dengan indahnya. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Sama seperti malam yang dilihat Reno, anak-anak kaya di sekolah, dan semua orang yang tak perlu khawatir tentang besok akan makan apa. Langit mereka sama. Tapi mengapa hidup mereka berbeda?

Keesokan harinya, Rafka bangun lebih awal dari biasanya. Ia tidak berangkat ke sekolah—ia sudah tahu tempatnya bukan di sana. Tapi bukan berarti ia akan menyerah.

Ia mengambil beberapa barang bekas dari belakang rumah, menaruhnya di dalam karung, lalu berjalan ke jalanan desa yang mulai ramai. Di pasar kecil dekat alun-alun, ia menjual botol plastik dan kertas bekas ke pengepul. Uang yang ia dapat memang tidak seberapa, tapi cukup untuk membeli sebatang pensil dan selembar kertas kosong di warung.

Setelah itu, ia berjalan ke kota.

Kota bukan tempat yang sering ia kunjungi. Jaraknya terlalu jauh, dan kakinya terlalu lelah. Tapi hari itu, ia nekat. Ia harus mencari cara untuk belajar, meskipun ia bukan bagian dari anak-anak yang duduk di bangku sekolah.

Di sebuah sekolah di pusat kota, ia berdiri di luar pagar, memperhatikan murid-murid yang sedang belajar di kelas. Beberapa jendela dibiarkan terbuka, dan dari sana, ia bisa mendengar suara guru yang sedang menjelaskan pelajaran.

Tanpa pikir panjang, ia duduk di bawah pohon dekat pagar, membuka kertasnya, dan mulai mencatat.

Ia menulis semua yang ia dengar, meskipun ia tidak bisa melihat papan tulisnya. Kadang-kadang, ada kata-kata yang tidak ia mengerti, tapi ia menuliskannya tetap, berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan mencari tahu artinya nanti.

Seorang penjaga sekolah sempat melihatnya, tapi hanya melirik sebentar sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya. Tidak seperti di desanya, di sini, orang-orang tidak terlalu peduli.

Hari itu berlalu dengan cepat. Rafka terus belajar, meskipun ia hanya mendengar setengah dari apa yang diajarkan.

Saat matahari mulai condong ke barat, ia pulang. Langkahnya berat, tubuhnya lelah, tapi ada sesuatu di dadanya yang membuatnya tetap berjalan.

Harapan.

Hari-hari berikutnya, Rafka mengulang kebiasaannya. Ia mengumpulkan barang bekas di pagi hari, menjualnya untuk membeli peralatan tulis, lalu pergi ke kota untuk belajar dari luar pagar sekolah.

Tapi tidak semua hari berjalan lancar.

Suatu siang, ketika ia sedang sibuk mencatat, suara tawa terdengar dari arah belakangnya.

“Heh, aku gak salah lihat, kan? Itu si Rafka?”

Reno.

Rafka langsung tahu ini akan buruk. Reno tidak pernah muncul tanpa alasan, dan jika ia ada di sini, pasti karena kebetulan ia melihat Rafka dan merasa perlu mengusiknya.

“Apa yang kamu lakuin di sini?” tanya Reno, melipat tangan di dada. “Mau sekolah juga? Tapi gak punya uang?”

Rafka tidak menjawab. Ia hanya melanjutkan mencatat, mencoba mengabaikan mereka.

Tapi Reno tidak akan membiarkannya.

“Hei, aku nanya!” Reno menendang lutut Rafka, membuat tubuhnya sedikit terdorong ke belakang.

Rafka menghela napas. “Aku cuma dengar pelajaran,” katanya akhirnya.

“Kenapa gak belajar di kandang ayam aja? Kan lebih cocok buat orang kayak kamu,” Reno tertawa, diikuti teman-temannya.

Rafka menunduk. Ia sudah terbiasa dengan hinaan seperti ini, tapi tetap saja, rasanya masih menusuk.

“Aku gak ganggu siapa-siapa,” katanya pelan.

Reno mendengus. “Tapi kamu ganggu aku. Dan aku gak suka.”

Tanpa peringatan, Reno meraih kertas di pangkuan Rafka dan merobeknya.

Rafka terdiam. Ia melihat lembaran-lembaran itu beterbangan, semua catatan yang ia buat dengan susah payah hancur begitu saja.

Dadanya terasa sesak, tapi ia tahu, melawan tidak akan ada gunanya.

Reno menepuk bahu Rafka dengan tawa puas. “Denger ya, miskin. Sekolah itu buat orang yang bisa bayar. Kamu gak usah mimpi tinggi-tinggi.”

Lalu mereka pergi, meninggalkan Rafka dengan sisa-sisa kertas yang berserakan di tanah.

Rafka mengepalkan tangannya.

Air matanya hampir jatuh, tapi ia menahannya. Tidak. Ia tidak akan menangis lagi.

Ia mengambil lembaran yang masih bisa diselamatkan, menatanya sebaik mungkin, lalu berdiri.

Meskipun Reno sudah menghancurkan catatannya, ia masih bisa menulis ulang semuanya. Ia masih bisa belajar.

Dan ia tidak akan menyerah.

Karena langit mereka memang sama. Tapi nasibnya? Itu yang akan ia ubah sendiri.

 

Cahaya di Ujung Jalan

Malam itu, Rafka duduk di depan rumah dengan kepala tertunduk. Tangannya masih menggenggam lembaran-lembaran catatan yang berhasil ia selamatkan, meskipun sebagian besar sudah rusak dan tidak bisa dibaca lagi. Hatinya masih sakit mengingat bagaimana Reno merobeknya dengan mudah, seolah-olah semua usahanya tidak ada artinya.

Ibunya keluar dari dalam rumah, membawa segelas air. Dengan lembut, ia duduk di sebelah Rafka, menatap putranya dengan penuh kasih.

“Kenapa diam saja, Nak?” tanyanya pelan.

Rafka menghela napas, tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap kosong ke depan, ke arah gelapnya ladang yang terbentang luas di ujung desa.

“Bu,” akhirnya ia berkata, suaranya nyaris berbisik. “Kenapa orang miskin gak boleh sekolah?”

Ibunya terdiam. Ia tahu pertanyaan itu akan muncul cepat atau lambat, tapi tetap saja, hatinya terasa perih mendengarnya langsung dari mulut putranya sendiri.

“Kamu tahu jawabannya,” jawab ibunya lirih.

“Aku tahu,” kata Rafka, suaranya terdengar getir. “Tapi aku gak bisa terima.”

Ibunya menghela napas, lalu merangkul Rafka ke dalam pelukannya.

“Kamu anak yang kuat,” katanya lembut. “Dan kamu juga pintar. Aku percaya, kalau ada orang yang bisa membuktikan kalau sekolah bukan cuma buat orang kaya, itu kamu.”

Rafka menggigit bibirnya, menahan air mata yang ingin jatuh.

Ia ingin percaya kata-kata ibunya. Ia ingin percaya bahwa kerja kerasnya akan membuahkan hasil. Tapi bagaimana jika ia salah? Bagaimana jika tidak peduli sekeras apa pun ia berjuang, dunia tetap tidak memberikan tempat untuknya?

Namun, meski dengan semua keraguan itu, satu hal tetap jelas dalam pikirannya.

Ia tidak akan berhenti.

Keesokan harinya, Rafka memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda.

Jika sekolah tidak mau menerimanya, dan jika ia tidak bisa terus-menerus belajar hanya dari luar pagar, maka ia harus mencari tempat lain. Tempat di mana ia bisa mendapatkan ilmu tanpa harus membayar.

Ia pergi ke kota, berjalan kaki seperti biasa, meskipun kakinya mulai terasa sakit karena terlalu sering melangkah jauh. Ia tidak punya tujuan pasti, hanya berharap ada seseorang yang mau memberinya kesempatan.

Dan saat itulah, ia menemukannya.

Di pinggir jalan, ada sebuah bangunan tua dengan papan kayu yang sudah usang. Tulisan di atas pintu masuknya nyaris pudar, tapi masih bisa terbaca:

“Perpustakaan Umum Kota.”

Hati Rafka berdegup kencang.

Perpustakaan. Tempat penuh buku. Tempat penuh ilmu.

Dengan langkah ragu, ia masuk.

Di dalam, deretan rak kayu memenuhi ruangan, dipenuhi buku-buku tebal dengan sampul yang mulai usang. Udara di dalamnya terasa sejuk, jauh berbeda dari panasnya jalanan di luar. Hanya ada beberapa orang di sana—sebagian besar sudah tua, duduk membaca dengan tenang.

Rafka melangkah pelan, tidak ingin menarik perhatian. Matanya berkeliling, membaca judul-judul buku yang berjajar di rak. Ia bahkan tidak tahu harus mulai dari mana.

“Kamu mencari sesuatu?”

Rafka terlonjak.

Di hadapannya berdiri seorang pria paruh baya dengan kacamata bulat dan wajah penuh keriput. Ia mengenakan kemeja lusuh dan celana bahan sederhana.

“Aku…” Rafka menelan ludah. “Aku cuma mau lihat-lihat.”

Pria itu mengamati Rafka dari kepala sampai kaki, matanya yang tajam seolah bisa membaca seluruh kisah hidup bocah itu dalam sekali pandang.

“Kamu suka membaca?” tanyanya.

Rafka mengangguk pelan.

“Aku mau belajar,” tambahnya dengan suara lebih lirih.

Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Rafka dalam diam, sebelum akhirnya tersenyum kecil.

“Kalau begitu, ikut aku.”

Rafka ragu sejenak, tapi akhirnya mengikuti pria itu ke sudut ruangan, di mana ada meja besar dengan tumpukan buku-buku yang tampak lebih teratur dibanding rak-rak lainnya.

“Namaku Ginanjar,” kata pria itu sambil menarik kursi. “Aku penjaga perpustakaan ini.”

Rafka hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa.

Pak Ginanjar menarik sebuah buku tebal dari rak di belakangnya, lalu meletakkannya di meja.

“Ini buku pertama yang harus kamu baca,” katanya.

Rafka menatap sampulnya. Itu buku matematika dasar.

“Kamu bisa membaca, kan?” tanya Pak Ginanjar.

“Bisa,” jawab Rafka cepat.

Pak Ginanjar tersenyum. “Bagus. Kalau begitu, mulai dari halaman pertama.”

Rafka menelan ludah.

Tangannya gemetar saat menyentuh buku itu.

Seumur hidupnya, ia tidak pernah memegang buku setebal ini. Semua buku yang ia miliki selalu lusuh, penuh coretan, atau bahkan sudah kehilangan beberapa halaman. Tapi yang satu ini masih utuh. Halamannya putih, tintanya jelas, dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar seperti seorang murid.

Ia membuka halaman pertama.

Dan mulai membaca.

Hari demi hari berlalu, dan Rafka semakin sering datang ke perpustakaan.

Ia membaca semua yang bisa ia baca—matematika, sains, sejarah, bahkan sastra. Setiap kali ia tidak mengerti sesuatu, Pak Ginanjar akan menjelaskan dengan sabar, mengajarinya dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh siapa pun sebelumnya.

Pak Ginanjar tidak pernah menanyakan kenapa Rafka belajar di sana, atau kenapa ia tidak bersekolah seperti anak-anak lain. Ia hanya memberinya ilmu, seolah-olah Rafka berhak atasnya sama seperti siapa pun.

Dan bagi Rafka, itu adalah hal paling berharga yang pernah ia terima.

Namun, meskipun ia telah menemukan tempatnya, dunia luar masih belum berubah.

Suatu sore, saat ia sedang berjalan pulang, ia bertemu lagi dengan Reno dan teman-temannya.

“Heh, kamu udah berhenti mimpi jadi anak sekolah, kan?” Reno tertawa, melipat tangan di dada.

Rafka menatapnya tanpa ekspresi.

“Aku gak perlu sekolah buat belajar,” katanya datar.

Reno menyipitkan mata. “Maksudmu?”

“Aku tetap belajar,” lanjut Rafka. “Tanpa bayar. Tanpa seragam. Tanpa guru-guru yang pilih kasih.”

Tawa Reno menghilang.

“Omong kosong,” gumamnya, suaranya terdengar lebih tajam.

Rafka tidak menjawab. Ia hanya berbalik dan melangkah pergi.

Tapi sebelum ia bisa menjauh, Reno berteriak, “Miskin tetap miskin, Rafka! Kamu bisa baca seribu buku sekalipun, tapi gak akan pernah bisa jadi seperti kami!”

Langkah Rafka terhenti.

Ia menoleh, menatap Reno dalam diam.

Kemudian, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tersenyum.

“Aku gak mau jadi seperti kalian,” katanya pelan. “Aku mau jadi lebih dari itu.”

Dan tanpa menunggu jawaban, ia melanjutkan langkahnya, meninggalkan Reno yang hanya bisa menatap punggungnya dengan ekspresi tercengang.

Rafka tahu, perjalanannya masih panjang. Dunia masih belum menerimanya.

Tapi ia tidak peduli.

Karena sekarang, ia memiliki cahaya di ujung jalannya.

Dan ia akan terus berjalan menuju ke sana.

 

Langkah yang Tidak Akan Berhenti

Tahun-tahun berlalu, dan meskipun dunia masih sama kerasnya, Rafka tetap berdiri tegak.

Setiap hari, ia bekerja lebih keras. Jika dulu ia hanya mengumpulkan barang bekas, kini ia mulai bekerja serabutan—membantu mengangkat barang di pasar, menjadi kuli di pabrik bata kecil di ujung desa, bahkan mencuci piring di warung makan saat malam. Uang yang ia dapat memang tidak banyak, tapi cukup untuk membelikan ibunya beras, cukup untuk membeli satu-dua buku bekas dari loakan, cukup untuk terus belajar.

Di perpustakaan, Pak Ginanjar tetap menjadi satu-satunya orang yang membimbingnya. Ia mengajari Rafka dengan sabar, bahkan mulai memberinya soal-soal yang lebih sulit.

“Kenapa kamu mau belajar sekeras ini?” tanya Pak Ginanjar suatu hari, saat melihat Rafka masih sibuk mencatat meski perpustakaan hampir tutup.

Rafka menatap pria itu, lalu tersenyum tipis.

“Karena aku ingin membuktikan kalau orang miskin juga bisa,” katanya.

Pak Ginanjar terdiam. Di matanya, ada sesuatu yang sulit diartikan—seperti harapan yang selama ini ia simpan sendiri, dan kini melihatnya kembali dalam diri anak yang bahkan bukan darah dagingnya.

“Tetaplah seperti itu, Rafka,” katanya akhirnya. “Jangan biarkan siapa pun menghentikanmu.”

Dan Rafka menepati janjinya.

Namun dunia belum selesai mengujinya.

Suatu malam, saat ia baru pulang dari warung tempatnya bekerja, ia mendapati rumahnya dalam keadaan kacau. Pintu kayunya terbuka lebar, jendela pecah, dan di dalam, ibunya terduduk di lantai sambil menangis.

“Bu!” Rafka langsung berlari masuk. “Apa yang terjadi?”

Ibunya menatapnya dengan mata merah dan wajah penuh ketakutan.

“Mereka mengambil semuanya, Nak,” isaknya. “Semua yang kita punya…”

Rafka mengepalkan tangannya. Ia tidak perlu bertanya siapa ‘mereka’. Hanya ada satu orang yang cukup keji untuk melakukan ini.

Reno.

Mungkin ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Rafka masih bisa berdiri, meskipun ia telah berulang kali berusaha menjatuhkannya. Mungkin ia merasa harga dirinya terinjak karena seorang anak miskin yang seharusnya menyerah justru terus berjalan.

Tapi Rafka tidak akan membiarkan ini menghancurkannya.

Ia menatap ibunya dengan penuh tekad.

“Aku akan memperbaiki semuanya, Bu,” katanya mantap.

Ibunya menatapnya dengan khawatir. “Tapi, Nak… kita tidak punya apa-apa lagi…”

“Kita masih punya harapan,” jawab Rafka pelan.

Ibunya terdiam, lalu tersenyum dalam air matanya.

Dan malam itu, meskipun rumah mereka hancur, meskipun mereka kehilangan segalanya, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Rafka merasa lebih kuat dari sebelumnya.

Beberapa tahun kemudian, desa itu berubah.

Anak-anak miskin yang dulu tidak bisa sekolah mulai mendapatkan hak mereka. Perpustakaan umum kini penuh dengan anak-anak yang ingin belajar, tidak lagi hanya tempat sunyi yang diisi orang tua.

Dan di tengah perubahan itu, Rafka berdiri.

Bukan lagi sebagai bocah yang diusir dari sekolah karena kemiskinannya.

Bukan lagi sebagai anak yang belajar dari luar pagar, mencatat diam-diam dari balik jendela.

Kini, ia adalah seseorang yang kembali ke desa bukan sebagai orang biasa. Ia adalah seseorang yang berhasil melanjutkan pendidikannya melalui beasiswa, yang bekerja keras hingga bisa mencapai sesuatu yang bahkan dulu hanya bisa ia impikan.

Dan yang paling penting, ia kembali untuk membawa perubahan.

Di depan sekelompok anak-anak yang duduk bersila di lantai, dengan buku-buku terbuka di depan mereka, Rafka berbicara.

“Dulu, aku pernah diberitahu kalau orang miskin gak boleh sekolah,” katanya. “Kalau orang miskin cuma boleh menerima nasib, tunduk, dan pasrah.”

Anak-anak itu mendengarkan dengan mata penuh harapan.

“Tapi aku belajar satu hal,” lanjutnya. “Mereka salah.”

Ia menatap wajah-wajah kecil di depannya, mengingat dirinya sendiri bertahun-tahun lalu.

“Kalian berhak bermimpi. Kalian berhak belajar. Dan tidak ada satu orang pun yang bisa mengambil itu dari kalian.”

Di kejauhan, matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan jingga yang hangat.

Dan di bawah langit yang sama—langit yang dulu membuatnya bertanya-tanya kenapa nasibnya begitu berbeda—kini Rafka tersenyum.

Karena akhirnya, ia tahu jawabannya.

Nasib memang bisa ditentukan oleh dunia.

Tapi masa depan? Itu adalah milik mereka yang tidak pernah berhenti berjuang.

 

Gimana, seru kan? Cerita Rafka ini bener-bener ngasih kita pelajaran penting tentang nggak gampang nyerah. Walaupun hidup sering kasih kita banyak masalah, kalau kita tetap usaha dan percaya sama diri sendiri, nggak ada yang nggak mungkin.

Semoga cerpen ini bisa jadi inspirasi buat kita semua buat terus berjuang, apapun yang terjadi. Jadi, jangan pernah takut untuk mulai, karena dunia nggak akan pernah berhenti memberi kesempatan!

Leave a Reply